1
PENGAJARAN BAHASA INGGRIS TERPADU
ALA GONTOR
Muhammad Farkhan1
Abstract: This qualitative research tries to explore the integrative
English teaching developed by Pondok Modern Gontor (PMG). As a
boarding school, PMG has already developed a unique model of
English teaching. It provides both formal and informal language
environment. Formally, PMG adops and synthesizes very up to date
language theories and language learning theories as bases for
conducting teaching and learning activities. Informally, PMG
creates a condusive environment where the learners are enforced to
use English as their everyday communication. Wherever and
whenever they go to or stay in the campus, they have to use their
English.
Keywords: approach design procedure language environment
Pengajaran bahasa Inggris tidak dapat dilakukan secra baik kecuali dengan
memperhatikan beberapa faktor pendukung, seperti metode dan lingkungan kebahasaan
yang kondusif. Metode meliputi tiga komponen pengajaran yang saling terkait, yakni
pendekatan, desain, dan prosedur. Pendekatan merupakan seperangkat teori bahasa dan
belajar bahasa yang mendasari suatu program pengajaran bahasa (Richards dan Rogers,
1986:15). Bagaimana model pengajaran yang akan dikembangkan guru banyak
dipengaruhi oleh pendekatan yang dipedomani. Berbeda dengan pendekatan yang
berhubungan dengan aspek teoretis dan filosofis, desain pengajaran lebih banyak berkaitan
dengan aspek perencaan pengajaran bahasa. Desain dapat didefinisikan sebagai seluruh
perencanaan pengajaran yang meliputi perumusan tujuan, pengembangan silabus,
penyusunan bahan pelajaran, peran siswa, peran guru, dan peran bahan pelajaran (Huda,
1989: 296). Desain inilah yang membantu guru menentukan langkah-langkah konkret
dalam pengajaran bahasa yang biasanya disebut dengan prosedur. Dengan kata lain
prosedur merupakan tahapan implementatif yang berhubungan dengan apa yang dilakukan
guru dan siswa, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, untuk mencapai tujuan
pengajaran yang diharapkan.
Selain metode, aspek lain yang memiliki andil dan peran besar dalam keberhasilan
pengajaran bahasa adalah lingkungan kebahasaan. Lingkungan kebahasaan berkaitan erat
dengan latar dan peran suatu bahasa berkenaan dengan peran dan status bahasa-bahasa lain
dalam suatu kelompok masyarakat. Secara sederhana, lingkungan kebahasaan dapat
diartikan sebagai status yang diperoleh oleh suatu bahasa sebagai bahasa pertama, kedua,
atau asing (Dubin dan Olhstain, 1985: 7). Adapun pada tataran yang lebih sempit,
lingkungan kebahasaan merupakan situasi atau tempat yang memungkinkan siswa dapat
memperoleh kesempatan untuk menggunakan bahasa sasaran sebagai alat komunikasi.
Lingkungan tersebut tidak saja mencakup lingkungan kebahasaan formal yang banyak
terjadi di dalam kelas, tetapi juga meliputi lingkungan kebahasaan informal yang banyak
1 Muhammad Farkhan adalah dosen bahasa Inggris pada fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2
berlangsung di luar kelas (Ellis, 1999: 214). Kedua lingkungan kebahasaan tersebut tidak
tersedia atau tercipta dengan sendirinya, tetapi harus secara sengaja diciptakan sedemikian
rupa sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman berbahasa Inggris sebagaimana
mestinya, bukan pengalaman berbahasa Inggris yang bersifat artifisial.
Secara umum setiap lembaga pendidikan mampu mengembangkan metode
pengajaran bahasa yang baik, tetapi, tidak semua lembaga pendidikan mampu
menyediakan lingkungan kebahasaan, khususnya lingkungan kebahasaan informal.
Ketidak-mampuan itu disebabkan oleh beberapa keterbatasan dan kendala yang memang
sulit untuk dihindari, seperti kehidupan sosial yang tidak menunjang penggunaan bahasa
Inggris sebagai alat komunikasi utama, pengawasan yang lemah terhadap penggunaan
bahasa Inggris; fasilitas dan sarana lain yang kurang memadai; dan tidak adanya
penegakan disiplin penggunaan bahasa Inggris dalam interaksi komunikatif harian. Salah
satu lembaga pendidikan yang berhasil mengembangkan metode pengajaran bahasa Inggris
yang efektif dan menyediakan lingkukngan kebahasaan yang kondusif adalah Pondok
Modern Gontor. Keberhasilan lembaga tersebut dapat dilihat dari para lulusannya yang
memiliki kemampuan berbahasa Inggris relatif lebih baik daripada lulusan yang dihasilkan
oleh lembaga pendidikan lainnya. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari kemampuan
mereka berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Mereka dapat menggunakan bahasa
Inggris, baik secara pasif maupun aktif, dalam berbagai kegiatan komunikasi yang
dilakukan.
Lembaga tersebut dapat dianggap telah berhasil mengembangkan suatu model
pengajaran bahasa Inggris secara terpadu yang benar-benar memperhatikan kebutuhan
berbahasa siswa, baik bahasa tulis maupun lisan. Di lembaga tersebut, siswa memiliki
banyak kesempatan untuk menggunakan bahasa Inggris dalam berbagai aktivitas
kehidupan keseharian. Siswa dapat mengekspresikan maksud dan keinginannya secara
tertulis melalui media cetak, seperti majalah dinding dan buletin; atau secara lisan dengan
melakukan interaksi komunikatif langsung dengan siswa lain, guru, atau siapa saja yang
terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di lembaga tersebut. Dengan peluang dan
pengalaman menggunakan bahasa sasaran yang cukup besar tersebut, siswa dapat
menguasai bahasa Inggris yang baik dan benar relatif lebih mudah dan alamiah.
Pandangan dan keyakinan lembaga tersebut mengenai bahasa Inggris dan bagaimana
seharusnya pengajaran bahasa itu dilakukan, telah cukup lama diyakini dan
diimplementasikan dalam berbagai macam kegiatan belajar dan penyediaan lingkungan
kebahasaan yang kondusif. Akhirnya, keyakinan dan usaha-usaha yang terus-menerus
dilakukan lembaga tersebut untuk membantu siswa menguasai bahasa Inggris membentuk
suatu model pengajaran bahasa Inggris yang berciri khas Gontor. Bagaimana lembaga
tersebut mengembangkan pengajaran bahasa Inggris yang terpadu menarik minat peneliti
untuk mengadakan kajian yang lebih mendalam, sehingga diperoleh gambaran yang
sebenarnya mengenai pendekatan, desain, prosedur, dan lingkungan kebahasaan yang
dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas, pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini
difokuskan pada “Bagaimanakah Pondok Modern Gontor (PMG) mengembangan
pengajaran bahasa Inggris terpadu?”. Secara spesifik pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah: (1) Pendekatan manakah yang mendasari pengembnagan pengajaran bahasa Inggris
terpadu di PMG?; (2) Bagaimanakah PMG mengembangkan desain pengajaran bahasa
Inggris terpadu?; (3) Bagaimanakah PMG mengembangkan prosedur pengajaran bahasa
Inggris terpadu?; dan (4) lingkungan kebahasaan kondusif yang disediakan.
Metode Penbelitian
3
Sesuai dengan pokok masalah yang dibahas, penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi, di mana data yang dibutuhkan digali dengan
memanfaatkan diri sendiri sebagai alat pengumpul data melalui kegiatan pengamatan
berperanserta dan wawancara (Marshall dan Rossman, 1989: 79) dengan beberapa
informan yang ditentukan dengan teknik bola salju. Selain itu, untuk melengkapi data
yang diperoleh, peneliti juga memanfaatkan beberapa sumber data tertulis seperti
karangan siswa, autobiografi, kurikulum, buletin, daftar kosakata, majalah tahunan, dan
buku teks; dan sumber data taktertulis yang berbentuk lukisan siswa, gambar-gambar, dan
foto kegiatan siswa.
Karena satuan kajiannya berupa lembaga pendidikan yang berbentuk asrama, peneliti
dapat berinteraksi langsung dengan para reponden/informan sehingga data yang diperoleh
benar-benar akurat. Data tersebut diolah secara langsung di lapangan melalui empat
tahapan analisis yang diselingi dengan pengumpulan data, yaitu: analisis ranah; taksonomi;
komponen; dan tema. Adapun untuk menguji keabsahan data, penelitian ini menggunakan
beberapa cara, yakni perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi,
uraian rinci, dan auditing
Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil penelitian ini mengikuti unsur-unsur yang membangun metode
yakni, pendekatan, desain, prosedur, dan lingkungan kebahasaan dengan berbagai hal yang
terkandung di dalamnya.
Pendekatan
Pendekatan dalam pengajaran bahasa Inggris berhubungan erat dengan teori bahasa
dan teori belajar bahasa. Kedua teori tersebut memiliki peran yang sangat strategis di
dalam penentuan aspek-aspek pengajaran bahasa Inggris, seperti desain, prosedur, dan
penyediaan lingkungan kebahasaan yang mendukung. Berkaitan dengan teori bahasa, PMG
meyakini bahwa bahasa Inggris merupakan alat komunikasi internasional yang dipakai
oleh masyarakat secara luas dalam berbagai kegiatan komunikasi lisan dan tulis. Bahasa
Inggris, dalam hal ini, dilihat dari sisi fungsi-fungsi komunikatif bahasa itu yang digunakan
untuk menyampaikan gagasan, maksud, dan perasaan seseorang kepada orang lain.
Pandangan tersebut sejalan dengan teori bahasa fungsional yang memandang bahasa
sebagai alat yang digunakan untuk mengungkapkan fungsi-fungsi komunikatif bahasa yang
lebih banyak dipengaruhi oleh situasi atau konteks tempat terjadinya peristiwa komunikasi
(Halliday, 1978: 18). Menegaskan substansi teori bahasa fungsional, Purwo (1988; 232)
mengatakan bahwa bahasa lebih tepat dilihat sebagai sesuatu yang berkenaan dengan apa
yang dapat dilakukan atau ditindakkan dengan bahasa (fungsi) atau berkenaan dengan
makna apa yang dapat diungkapkan melalui bahasa (nosi), tetapi bukannya berkenaan
dengan butir-butir bahasa.
Secara umum, fungsi-fungsi bahasa dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori,
yaitu personal, interpersonal, direktif, referensial, dan imaginatif (personal, interpersonal,
directive, referential, and imaginative (Finnochiaro, 1988: 41). Fungsi personal berkaitan
dengan kemampuan seseorang untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, dan pengalaman
emosional, seperti cinta, sedih, marah, frustasi, dan senang. Fungsi interpersonal mengacu
pada kemampuan seseorang untuk membangun dan memelihara hubungan sosial dan kerja,
seperti menyatakan simpati, dan memberikan ucapan selamat atas keberhasilan orang lain.
Fungsi direktif berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memberikan arahan dan
mempengaruhi orang lain, seperti memberikan nasehat, merayu, dan meyakinkan orang
lain. Fungsi referensial berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk membicarakan
4
lingkungan dan bahasanya sendiri; sedangkan fungsi imajinatif berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk membuat atau menghasilkan karya-karya sastra yang indah.
Sesuai dengan pandangan tersebut pengajaran bahasa Inggris di PMG diarahkan pada
pengembangan kemampuan menggunakan bahasa Inggris untuk maksud-maksud tertentu,
atau apa yang dapat dilakukan seorang siswa dengan bentuk-bentuk bahasa Inggris
yang digunakan dalam komunikasi. Oleh karena itu, dalam pengajaran gramatika dan
keterampilan berbahasa siswa tidak diarahkan untuk menguasai komponen bahasa dan
keterampilan tersebut, tetapi diarahkan untuk memiliki kemampuan bagaimana
menggunakan komponen dan keterampilan berbahasa Inggris untuk menyampaikan
maksud-maksud atau pesan-pesan kepada orang lain dalam kegiatan komunikasi. Dengan
kata lain dapat dikatakan, bahwa di PMG komponen bahasa dan keterampilan berbahasa
Inggris masih diberikan kepada siswa melalui kegiatan formal di kelas-kelas, tetapi
dikemas sedemikian rupa sehingga siswa dapat menggunakannya dalam kegiatan
komunikasi harian dengan siswa lain. Apa yang siswa peroleh di dalam kelas dapat
digunakan dalam kegiatan komunikasi harian karena lingkungan pondok memungkinkan
siswa untuk memperoleh pengalaman berbahasa Inggris sesuai dengan konteksnya.
Mengenai hal ini, Stern (1992: 178). menjelaskan bahwa kemampuan menggunakan
aspek-aspek gramatikal bahasa untuk mengungkapkan makna atau fungsi-fungsi
komunikatif bahasa secara tepat diperoleh melalui pemahaman seseorang mengenai situasi
tempat terjadinya peristiwa komunikasi Selain itu apa yang dilakukan PMG untuk
menyelaraskan pengajaran unsur-unsur bahasa, seperti gramatika dan kosakata bahasa
Inggris dengan konteks penggunaannya di luar kelas tidak berbeda dengan pandangan
Wilkins (1979: 83) yang menyarankan agar bahan pelajaran yang berbentuk unsur-unsur
bahasa harus selalu dikaitkan dan lekat dengan konteks penggunaannya supaya siswa dapat
memperoleh pengalaman menggunakan bahasa sasaran secara benar. Jika diperhatikan
secara seksama, pandangan yang berbunyi bahwa bahasa Inggris merupakan alat
komunikasi internasional juga merupakan bagian dari teori bahasa interaksional. Teori
tersebut memandang bahasa sebagai alat untuk mewujudkan hubungan interpersonal dan
melakukan transaksi sosial antaranggota dalam suatu kelompok masyarakat. Melalui
bahasa Inggris yang dikuasai, seorang siswa dapat menciptakan dan memelihara hubungan
sosialnya dengan siswa atau orang lain (Richards dan Rogers, 1986: 17). Tampak bahwa
teori tersebut lebih memperhatikan aspek-aspek sosial yang dapat menjaga terpeliharanya
hubungan sosial dan jalur-jalur komunikasi tetap terbuka. Pandangan tersebut juga
mengisyaratkan bahwa bahasa tidak hanya memiliki fungsi komunikatif yang digunakan
untuk menyampaikan maksud dan keinginan pemakainya, tetapi juga memiliki fungsi yang
jauh lebih besar daripada fungsi tersebut, yakni menciptakan dan memelihara hubungan
sosial antar individu. Di samping itu, pandangan tersebut juga menunjukkan peran penting
pengetahuan seseorang tentang aspek-aspek yang membangun suatu interaksi komunikatif,
seperti tujuan berkomunikasi, siapa yang terlibat dalam komunikasi, bentuk bahasa yang
digunakan, waktu dan tempat terjadinya peristiwa komunikasi. Ellis (1999: 243)
menambahkan bahwa kemampuan berbahasa merupakan wujud atau hasil interaksi yang
sangat kompleks antara kemampuan kognitif dan lingkungan kebahasaan tempat seseorang
tinggal dan menetap. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa teori
bahasa yang mendasari pengajaran bahasa Inggris terpadu yang dikembangkan PMG
adalah teori bahasa fungsional dan interaksional. Kedua teori tersebut banyak berpengaruh
terhadap beberapa aspek pengajaran, seperti tujuan pengajaran; pengembangan silabus dan
bahan pelajaran; dan kegiatan belajar yang dikembangkan, baik di dalam kelas maupun di
luar kelas.
5
Berkenaan dengan teori belajar bahasa, PMG berkeyakinan bahwa dalam
penyelenggaraan kegiatan belajar bahasa Inggris perlu diperhatikan beberapa aspek
penting, seperti aspek kognitif, emosional, dan sosial anak. Selain ketiga aspek ini, dalam
penyelenggaraan kegiatan belajar bahasa Inggris perlu juga diciptakan suatu lingkungan
yang mendukung; penegakan disiplin berbahasa; dan penyediaan buku pegangan dan
fasilitas belajar lainnya. Perhatian terhadap aspek kognitif siswa tentunya sejalan dengan
teori belajar kognitivisme. Teori belajar kognitivisme memandang individu dengan
kemampuan kognitifnya sebagai seorang yang aktif dan kreatif mengelola segala masukan
dari luar dirinya. Bentuk kegiatan belajar bahasa Inggris di PMG yang menerapkan teori
belajar bahasa kognitivisme adalah penjelasan mengenai makna kosa-kata baru dan kaidah
bahasa. Dalam kegiatan belajar bahasa Inggris di dalam kelas dan asrama santri, biasanya
terdapat dua cara yang digunakan, yakni induksi dan deduksi. Melalui teknik induksi, guru
tidak menerangkan kata-kata sulit atau gramatika baru yang ditemukan siswa dalam buku
teks, tetapi meminta siswa untuk memahaminya berdasarkan konteks tempat kosakata dan
gramatika tersebut muncul. Jika cara tersebut tidak berhasil guru biasanya menggunakan
teknik deduksi. Setelah guru menerangkan makna kosakata yang sulit atau kaidah
gramatika yang baru, siswa diberikan kesempatan untuk memberikan contoh-contoh
kalimat yang menggunakan kosakata dan kaidah gramatika tersebut. Model belajar tersebut
mendorong siswa untuk menggunakan kemampuan kognitifnya untuk menghasilkan
bentuk-bentuk bahasa secara kreatif dalam berbagai interaksi komunikatif yang dilakukan.
Bentuk-bentuk kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai aplikasi dari hipotesis konstruksi
kreatif (M. Litghtbown dan Spada, 1993: 26) atau kaedah kreativitas terarah (Nunan, 1991:
233) yang merupakan aplikasi dari teori belajar bahasa kognitivisme. Selain aspek
kognitif, aspek afektif siswa juga diperhatikan oleh PMG. Perhatian terhadap aspek
emosional atau afektif siswa diketahui dari berbagai pandangan reponden yang
menekankan perhatian terhadap minat siswa dalam belajar; perbedaan anak; dan perlakuan
anak sebagai manusia sutuhnya. Perhatian terhadap aspek itu merupakan bentuk penerapan
dari teori belajar bahasa Humanisme yang memandang siswa sebagai manusia yang utuh
secara fisik, intelektual, dan emosional yang mampu mengembangkan kemampuan dirinya
secara aktif menuju proses perubahan yang diharapkan (Brumfit, 1985: 79). Di samping
itu, setiap individu membutuhkan perlakuan yang hangat, penuh cinta, hormat, dan
penghargaan dari pihak lain agar mampu berkembang secara maksimal sesuai dengan
potensi yang dimilikinya (Carlson dan Buskit, 1997: 473).
Aplikasi teori belajar tersebut dapat dilihat melalui cara bagaimana guru-guru
memainkan peran-peran mereka, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru-guru di
PMG selalu bertindak sebagai model yang memberikan contoh kepada siswa bagaimana
menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Dengan contoh yang diberikan guru
tersebut siswa merasa terdorong dan termotivasi untuk mengikuti atau mencontoh
bagaimana menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Memperkuat contoh
yang diberikan, guru-guru bahasa Inggris secara terus-menerus memberikan nasehatnasehat
yang dapat menyemangati siswa untuk belajar bahasa Inggris, dan hal itu sangat
berpengaruh pada penumbuhan sikap positif siswa terhadap bahasa Inggris dan motivasi
belajar mereka. Selain itu, untuk menjaga sikap, minat, dan motivasi belajar siswa tetap
tinggi, guru-guru seringkali menghindari pemberian perlakuan yang merendahkan martabat
siswa. Oleh karena itu, di dalam mengoreksi kesalahan berbahasa siswa, guru-guru selalu
berusaha untuk memperlihatkan dimana letak kesalahan yang dibuat, dan menghindari
perlakuan yang cenderung menyalahkan siswa. Apa yang dilakukan di atas menunjukkan
betapa penting aspek afektif dalam belajar bahasa. Menurut Nunan (1991: 234) jika
faktor-faktor afektif, seperti sikap, motivasi dan minat diperhatikan dengan baik sesuai
6
dengan lingkungan belajar yang tersedia, pengajaran bahasa Inggris yang berhasil dapat
diwujudkan.
Selain teori belajar kognitivisme dan humanisme, dalam pandangan guru-guru PMG,
pengajaran bahasa Inggris yang baik akan terwujud bila didukung oleh penyediaan
lingkungan bahasa; penegakan disiplin berbahasa; dan pemberian kesempatan yang luas
kepada siswa untuk menggunakan bahasa sasaran. Pandangan-pandangan tersebut
mengisyaratkan pentingnya aspek lingkungan dan kebiasaan dalam pengajaran bahasa
Inggris, yang tentunya tidak bertentangan dengan teori belajar bahasa Behaviorisme.
Adapun bentuk kegiatan belajar bahasa Inggris di PMG yang menerapkan teori belajar itu
adalah pembentukan kebiasaan (conditioning), latihan (drilling), dan belajar menemukan
sendiri (discovery learning) atau coba-coba salah (trial and error). Latihan dapat dijumpai
pada kegiatan pengenalan kosakata dan ujaran bahasa Inggris yang dilakukan oleh
penggerak bahasa asrama setiap selesai sholat shubuh. Pada kegiatan itu penggerak bahasa
memperkenalkan kosakata dan ujaran baru secara berulang-ulang dan diikuti secara
serentak oleh seluruh siswa. Pengulangan dianggap cukup bila siswa telah dapat
mengucapkan kosakata adan ujaran baru tersebut sesuai dengan kaidah yang benar. Setelah
itu, penggerak bahasa juga menerangkan makna dan cara penggunaannya melalui contohcontoh
kalimat yang diberikan siswa atau yang telah dipersiapkan, dan meminta siswa
untuk mengembangkan atau memberikan contoh-contoh kalimat yang menggunakan
kosakata dan ujaran-ujaran yang telah diperkenalkan. Mengenai hal itu, Larsen-Freeman
(1986: 43) menjelaskan bahwa latihan, seperti substitusi, dan transformasi dilakukan
melalui pola-pola kalimat yang muncul dalam dialog, dan respons siswa yang benar diberi
penguatan sehingga terjadi pembentukan kebiasaan.
Pembentukan kebiasaan yang memiliki peran strategis dalam pengajaran bahasa
Inggris di PMG adalah penerapan disiplin berbahasa dan penciptaan lingkungan
kebahasaan yang kondusif. Penerapan disiplin berbahasa Inggris menuntut seluruh siswa
untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi keseharian yang didukung
oleh lingkungan yang sengaja diciptakan untuk memberi-kan kesempatan kepada siswa
menggunakan bahasa Inggris. Penegakan disiplin berbahasa Inggris di PMG dilakukan
melalui peraturan yang mengikat seluruh warga pondok untuk menggunakan bahasa
Inggris dan bahasa Arab sebagai alat komunikasi secara bergantian setiap dua minggu
sekali. Pada masa dua minggu pertama seluruh siswa harus menggunakan bahasa Inggris.
Dimana saja siswa berada, kapan saja siswa berkomunikasi, dan dengan siapa saja siswa
berkomunikasi, penggunaan bahasa Inggris merupakan suatu keharusan. Jika tidak
menggunakan bahasa Inggris, siswa akan mendapatkan hukuman dalam bentuk tugas-tugas
kebahasaan atau tugas penegakan disiplin berbahasa. Penegakan disiplin berbahasa di
PMG relatif berhasil karena lingkungan yang disediakan pondok sangat mendukung
pemberlakuan disiplin tersebut. Dengan penciptaan kondisi seperti itu, siswa secara terusmenerus
berusaha untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasinya
sehingga terbentuk suatu kebiasaan berbahasa Inggris. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi keseharian bagi seluruh siswa
merupakan kebiasaan yang dihasilkan oleh penerapan disiplin berbahasa Inggris dan
penyediaan lingkungan kebahasaan yang kondusif. Berdasarkan beberapa keterangan
terdahulu, dapat dipastikan bahwa pengajaran bahasa Inggris yang dilakukan PMG
menerapkan tiga teori belajar bahasa, yakni kognitivisme, humanisme, dan behaviorisme.
Ketiganya tidak diadopsi secara utuh, tetapi dipadukan sedemikian rupa sehingga terbentuk
prinsip-prinsip pengajaran bahasa Inggris yang berciri khusus PMG.
Desain
7
Apa yang telah ditetapkan dalam pendekatan, baik yang berhubungan dengan teori
bahasa maupun teori belajar bahasa, memberikan PMG sumber inspirasi dalam penentuan
tujuan pengajaran yang ingin dicapai, silabus dan pengembangan bahan pelajaran, peran
guru, peran siswa, peran bahan pelajaran, serta prosedur pengajaran bahasa di dalam kelas,
dan tahapan seperti itu biasanya disebut dengan desain. Desain diperlukan agar supaya
asumsi-asumsi teoretis yang berkaitan dengan bahasa dan belajar bahasa dapat diwujudkan
dalam bentuk kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas.
Setiap matapelajaran memiliki tujuan dan harapan yang harus dicapai oleh siswa
setelah selesai mengikuti pelajaran tersebut, begitu juga dengan pelajaran bahasa Inggris di
PMG. Tujuan pelajaran bahasa Inggris di PMG meliputi pengembangan kemampuan agar
siswa mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris secara baik dan benar; membaca
naskah-naskah yang berbahasa Inggris; mengembangkan wawasan; memiliki bekal yang
cukup untuk terjun ke dalam masyarakat; dan melanjutkan studi pada jenjang yang lebih
tinggi. Di antara tujuan-tujuan tersebut, agar mampu berkomunikasi dengan bahasa
Inggris secara baik dan benar dapat dianggap sebagai tujuan utama dari pengajaran bahasa
Inggris terpadu di PMG. Tujuan itu sejalan dengan tujuan pengajaran bahasa Inggris
komunikatif, yakni pengembangan kemampuan komunikatif. Mengenai hal ini, Huda
(1999: 93) mengatakan “Proponents of CLT claim that the teaching objective is the
development of communicative competence, that is the ability to use English for
communication in real life situations as opposed to classroom situations. Siswa, dalam
hal ini, tidak hanya dituntut untuk menghasilkan bentuk-bentuk bahasa yang benar secara
gramatikal saja; tetapi justru diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk menggunakan
bentuk-bentuk bahasa tersebut sesuai dengan tujuan komunikasi. Dengan kata lain
kemampuan komunikatif ini merupakan kemampuan untuk menyelaraskan bentuk-bentuk
bahasa dengan berbagai masukan, baik yang bersifat linguistik maupun nonlinguistik
(Hadley, 1993: 4). Untuk menguasai kemampuan tersebut, seorang siswa harus memiliki
empat kemampuan. Pertama, kemampuan untuk menghasilkan dan membedakan bentukbentuk
bahasa yang gramatikal, misalnya I teach English everyday dan *She is having a
big car. Kedua, kemampuan untuk menghasilkan bentuk-bentuk bahasa yang layak. Suatu
kalimat yang terdiri dari beberapa kata dapat dianggap gramatikal, tetapi bila dikaji dari
sisi proses bagai-mana kalimat itu dibuat atau dihasilkan, kalimat tersebut dianggap tidak
layak, misalnya *The mouse the cat the dog the man the woman married beat chased ate
had a white tail. Jadi, kelayakan berkaitan dengan proses bagaimana kalimat itu dihasilkan
oleh akal pikiran seseorang. Ketiga, kemampuan untuk mengahasilkan bentuk-bentuk
bahasa yang tepat dan sesuai dengan konteksnya, misalnya *my baby is funny. Suatu
kalimat bisa saja dianggap layak dan gramatikal, tetapi kalimat tersebut kurang atau
bahkan tidak tepat. Keempat, kemampuan yang berhubungan dengan pengetahuan apakah
makna yang terkandung dalam suatu kalimat itu benar-benar terjadi atau tidak. Suatu
kalimat dapat saja layak, tepat, dan gramatikal, tetapi tidak terjadi, misalnya *The king of
America visited Indonesia last year (Hymes, 1979; 14).
Pencapain tujuan pengajaran bahasa Inggris tidak dapat dilakukan secara instan,
tetapi melalui suatu proses yang melibatkan beberapa kegiatan, antara lain pemilihan dan
pengurutan bahan pelajaran yang biasanya dinamakan dengan silabus. Di PMG, silabus
dipandang sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
selama periode tertentu. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa silabus merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum sebagai keseluruhan program sekolah,
termasuk di dalamnya bahan pelajaran yang harus disampaikan kepada siswa pada level
tertentu. Oleh karena itu, silabus harus berisikan penjelasan yang rinci dan operasional
mengenai berbagai unsur pengajaran sebagai pedoman bagi guru untuk untuk mewujudkan
8
apa yang terkandung dalam kurikulum ke dalam bentuk seperangkat langkah-langkah
untuk mencapai tujuan pengajaran khusus sesuai dengan tingkatan siswa. Pengertian
silabus seperti itu juga ditekankan oleh Dubin dan Olshtain (1985: 35) yang mengatakan
“A syllabus is a more detailed and operational statement of teaching and learning
elements which translates the philosophy of the curriculum into a series of planned steps
leading towards more narrowly defined objectives at each level. Penjelasan rinci dan
operasional, menurut Rogers (1989: 26), dapat berbentuk materi pelajaran yang harus
diberikan kepada siswa pada suatu progam pengajaran. Apa isi materi pelajaran dan
bagaimana menyampaikannnya kepada siswa merupakan silabus.
Menyadari pentingnya silabus, PMG membentuk sebuah tim pengembangan silabus
di bawah pimpinan direktur KMI. Tim itu dibantu oleh beberapa guru senior dan junior
yang berkompeten dalam pelajaran bahasa Inggris. Pembentukan tim pengembangan
silabus tersebut sesuai dengan gagasan Nunan (1988: 6) yang mengatakan bahwa
pemilihan dan pengurutan materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa merupakan
tugas dari pengembang silabus. Tugas utama tim tersebut adalah menyiapkan materi
pelajaran dan peraqngkat pendukung lainnya agar dapat dijadikan sebagai pedoman bagi
guru dalam menjalankan tugasnya di dalam kelas. Hasilnya, silabus bahasa Inggris di PMG
mencakup mata pelajaran komponen kebahasaan, seperti gramatika dan kosakata; dan
keterampilan berbahasa yang meliputi membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara
yang disampaikan, baik secara terpadu maupun terpisah. Supaya tidak terjadi
pembahasaan yang tumpang tindih, PMG memilih dan mengurutkan bahan-bahan
pelajaran yang berhubungan dengan komponen dan keterampilan berbahasa berdasarkan
prinsip materi yang mudah dan dasar diberikan sebelum materi yang lebih sulit dan
kompleks. Selain itu, pengurutan bahan pelajaran juga didasarkan pada prinsip
penyesuaian bahan pelajaran dengan kebutuhan siswa dalam komunikasi. Materi pelajaran
yang berhubungan dengan kebutuhan dasar seseorang untuk berkomunikasi diberikan
terlebih dahulu daripada materi yang kurang dibutuhkan. Keterangan tersebut
menunjukkan bahwa silabus bahasa Inggris yang dikembangkan di PMG merupakan
silabus komunikatif yang berusaha agar apa yang siswa peroleh, baik di dalam kelas
maupun di luar kelas, dapat digunakan dalam interaksi komunikatif keseharian. Kenyataan
itu sesuai dengan pandangan Yalden (1986:25) yang menekankan bahwa materi yang
terdapat dalam silabus harus disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip bagaimana bahasa
itu digunakan, bukan bagaimana bahasa itu diajarkan.
Melalui bentuk silabus tersebut, siswa-siswa PMG sejak dini sudah diajarkan dan
didorong untuk menggunakan bahasa sasaran secara komunikatif. Penggunaan bahasa
Inggris sejak awal sebagai alat komunikasi di lingkungan kampus PMG merupakan hal
yang mungkin sekali terjadi karena seluruh siswa dan orang-orang yang terlibat
penyelenggaraan kegiatan belajar tinggal di dalam asrama yang memberikan peluang yang
besar bagi siswa untuk menggunakan bahasa Inggris sesuai dengan konteks yang dihadapi.
Penggunaan bahasa Inggris sejak awal juga menunjukkan bahwa apa yang dipelajari siswa
merupakan sesuatu yang berarti dan dapat dirasakan manfaatnya secara langsung (Milne,
1981: 20). Artinya, apa yang diperoleh siswa di dalam kelas dan luar kelas dapat
digunakan dan manfaatkan untuk kepentingan komunikasi harian.
Berdasarkan prinsip-prinsip pengurutan bahan pelajaran tersebut, model silabus
komunikatif yang dikembangkan di PMG merupakan silabus struktural-fungsional. Silabus
Sturktural-fungsional merupakan model silabus komunikatif yang berusaha untuk
menjembatani antara pengajaran bahasa yang menekankan aspek gramatika bahasa dengan
pengajaran bahasa yang menitikberatkan pada aspek penggunaan bahasa sebagai alat
komunkasi. Model silabus itu tetap mempertahan pemisahan antara bahan pelajaran yang
9
berupa komponen kebahasaan, seperti gramatika dan kosakata dengan bahan pelajaran
yang berbentuk fungsi-fungsi komunikatif bahasa (Yalden, 1983: 110). Model silabus itu
dianggap relatif lebih mudah diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas
karena penyampaian materi komponen kebahasaan dilakukan secara terpisah sebelum
fungsi-fungsi komunikatif diberikan. secara terpisah sebelum fungsi-fungsi komunikatif
diberikan.
Model silabus komunikatif yang dikembangkan PMG dapat juga dikelompokkan ke
dalam model silabus penekanan beragam (variable-focus syllabus). Di PMG bahan
pelajaran bahasa Inggris yang berkaitan dengan komponen kebahasaan lebih banyak
dijumpai pada kelas-kelas awal, sedangkan materi pelajaran yang berhubungan dengan
penggunaan bahasa lebih banyak ditemukan pada kelas-kelas akhir. Artinya, makin tinggi
kelas siswa makin banyak materi penggunaan bahasa yang diberikan; sebaliknya, makin
rendah kelas siswa makin banyak materi komponen kebahasaaan yang diterimanya. Model
itu memandang pemilihan dan pentahapan bahan pelajaran harus disesuaikan dengan
kemampuan siswa atau tingkatan kelas siswa. Bagi siswa yang berada pada tingkat pemula
dan belum memiliki latar belakang bahasa sasaran yang memadai, silabus yang lebih tepat
adalah silabus yang mengandung muatan komponen kebahasaan yang lebih banyak. Bagi
siswa yang termasuk dalam kelas menengah dan sudah memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai bahasa sasaran, silabus yang lebih tepat adalah silabus yang mengandung
muatan komponen kebahasaan dan penggunaan bahasa secara seimbang. Adapun bagi
siswa yang termasuk ke dalam kelas yang lebih tinggi dan sudah memiliki latar belakang
bahasa sasaran yang cukup baik, silabus yang lebih tepat adalah silabus yang lebih banyak
mengandung muatan penggunaan bahasa daripada komponen bahasa. Untuk memenuhi
kebutuhan siswa dalam belajar, PMG banyak memanfaatkan bahan pelajaran yang
bersumber dari buku teks; koran dan majalah berbahasa Inggris; artikel-artikel berbahasa
Inggris yang diambil dari internet; CD-Rom bahasa Inggris; kaset-kaset dan video
berbahasa Inggris. Keseluruhan bahan pelajaran tersebut merupakan bahan-bahan yang
bersifat autentik, kecuali buku teks. Melalui bahan-bahan yang bersifat autentik itu, siswa
memiliki kesempatan yang besar untuk memperoleh pengalaman menggunakan bahasa
sasaran sesuai dengan konteks penggunaan yang sebenarnya (Harmer, 1991: 187).
Sebagai upaya pembumian silabus di dalam kelas, guru-guru bahasa Inggris di PMG
mengembangkan berbagai macam kegiatan belajar yang lebih banyak berorientasi pada
siswa daripada guru. Siswa memiliki peran yang lebih dominan daripada guru. Kegiatan
belajar bahasa Inggris yang sering dikembangkan di dalam kelas adalah wawancara atau
dialog antarsiswa; bertanya-jawab; mendengarkan keterangan guru; menerjemahkan dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia; membuat ringkasan dari majalah atau artikel
beerbahasa Inggris; memanggil orang asing; mengerjakan tugas/latihan; membuat
karangan atau tulisan dalam bahasa Inggris; bermain peran; dan kerja kelompok. Selain itu,
untuk menunjang kegiatan belajar di dalam kelas, PMG memfasilitasi siswanya dengan
berbagai kegiatan belajar yang dapat dilakukan di luar kelas. Adapun kegiatan belajar yang
sering dilakukan adalah mengikuti English club atau kursus; berdiskusi dengan teman
tentang materi pelajaran; membaca koran dan majalah berbahasa Inggris; melihat atau
membuka internet; mencatat dan mengkaji kosakata yang diberikan di asrama; mencatat
dan mengkaji kosakata yang terdapat di zona-zona tertentu; mendengarkan berita
berbahasa Inggris di radio; mendengarkan dan memahami lagu-lagu berbahasa Inggris;
membuat karangan untuk majalah dinding dalam lomba kebahasaan antarasrama; bermain
drama; mengikuti latihan pidato berbahasa Inggris; mengikuti diskusi bahasa Inggris;
mengikuti latihan muhadatsah atau conversation; belajar bersama bahasa Inggris; dan
masuk laboratorium bahasa.
10
Secara umum kegiatan belajar bahasa Inggris yang dikembangkan guru-guru PMG
telah memenuhi beberapa ciri belajar bahasa Inggris komunikatif (Richards dan Rogers,
1986: 72) seperti berikut.
a. menekankan penggunaan bahasa dari pada bentuk bahasa atau mementingkan
kegiatan yang mengarah pada kelancaran berkomunikasi;
b. memperhatikan latihan berkomunikasi dengan bahasa sasaran;
c. mementingkan belajar yang terpusat pada siswa;
d. memperhatikan perbedaan antarsiswa; dan
e. mementingkan variasi dalam penggunaan bahasa.
Keragaman aktivitas belajar komunikatif yang dikembangkan oleh guru-guru bahasa
Inggris PMG dapat juga dibedakan menjadi dua kelompok besar yang masing-masing
terdiri dari dua bagian, yaitu aktivitas prakomunikatif yang mencakup aktivitas struktural
dan aktivitas komunikatif tersamar; dan aktivitas komunikatif yang meliputi aktivitas
komunikasi fungsional dan aktivitas interaksi sosial (Littlewood, 1981: 85-86). Aktivitas
prakomunikatif merupakan aktivitas belajar bahasa yang memisahkan antara aspek
struktural bahasa dari aspek fungsional bahasa, tetapi masih tetap dalam koredor belajar
bahasa komunikatif. Adapun kegiatan belajar bahasa Inggris di PMG yang termasuk pada
kelompok itu adalah mendengarkan keterangan guru, bertanya-jawab, membuat ringkasan,
mengkaji kosakata yang diberikan di asrama dan tempat-tempat strategis; dan masuk
laboratorium bahasa. Aktivitas komunikatif merupakan aktivitas belajar bahasa yang
menempatkan kemampuan komunikatif sebagai perhatian utamannya dengan memberikan
berbagai latihan dan kegiatan yang memungkinkan siswa untuk memadukan kemampuan
prakomunikatif dengan kemampuan struktural yang telah dikuasainya. Adapun kegiatan
belajar bahasa Inggris di PMG yang termasuk dalam kelompok itu adalah melakukan
wawancara, bertanya-jawab, latihan percakapan, latihan berpidato, bermain peran, diskusi
kelompok, dan diskusi berbahasa Inggris.
Kegiatan belajar bahasa Inggris, sebagaimana yang telah dikembangkan PMG, lebih
mangarah pada upaya pengembangan kemampuan komunikatif daripada hanya sekedar
menguasai bentuk-bentuk bahasa, tetapi sekaligus menguasai bentuk, makna, serta
kaitannya dengan konteks tempat bentuk dan makna itu dipakai. Tentu saja, orientasi itu
berdampak pada keragaman peran siswa, guru, dan bahan pelajaran. Di PMG, siswa
memiliki beberapa peran yang mempermudah kegiatan belajar yang dikembangkan guru,
seperti sebagai motivator bagi siswa-siswa lain; sebagai partner bagi siswa-siswa lain;
membantu siswa yang mendapatkan kesulitan dalam belajar (fasilitator); dan memonitor
bahasa Inggris yang digunakan siswa-siswa lain (monitor). Peran-peran tersebut muncul
sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dikembangkan PMG yang cenderung mengarah
pada pengajaran yang terpusat pada siswa. Kegiatan belajar tersebut membuka peluang
yang lebar bagi siswa untuk memainkan perannya secara lebih bebas guna memperoleh
pengalaman berbahasa Inggris sesuai dengan konteks yang sebenarnya. Tidak berbeda
dengan siswa, dalam kegiatan belajar guru juga memiliki peran tertentu yang tidak jauh
berbeda dengan peran-peran yang dimainkan siswa. Di PMG, peran-peran yang dapat
dimainkan guru dalam kegiatan belajar bahasa Inggris adalah memberikan contoh
bagaimana berbahasa Inggris yang baik (model); memberikan motivasi supaya siswa
senang belajar bahasa Inggris (motivator); memfasilitasi siswa dalam belajar bahasa
Inggris (fasilitor); menjadi partner dalam kegiatan belajar; mengevaluasi bahasa Inggris
siswa (evaluator); dan memantau penggunaan bahasa Inggris siswa (monitor). Peran-peran
tersebut lahir sebagai akibat yang takterelakkan dari penyelenggaraan kelas bahasa
komunikatif yang terpusat pada siswa (Bolithio, 1990: 27).
11
Bahan pelajaran merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam kegiatan
pengajaran bahasa. Oleh karena itu, bahan pelajaran harus dipersiapkan sedemikian rupa
sehingga mampu dengan baik memainkan peran utamanya sebagai pemermudah kegiatan
belajar. Untuk memainkan peran tersebut, bahan pelajaran yang digunakan dalam kegiatan
belajar tidak hanya berbentuk buku pegangan atau buku teks, tetapi mencakup segala
sesuatu yang dapat dimanfaatkan guru dan siswa untuk memfasilitasi kegiatan belajar, atau
paling tidak dapat dimanfaatkan guru untuk memberikan pengalaman kepada siswa
bagaimana menggunakan bahasa sasaran sebagaimana mestinya. Guru-guru bahasa Inggris
di PMG biasanya menggunakan koran, majalah, video, dan bahkan mengahadirkan penutur
asli di dalam kelas untuk menjadi mitra dalam diskusi kelompok atau kegiatan belajar
lainnya. Mengenai hal ini, Tomlinson (1998: 2) mengatakan “Materials could obviously be
cassets, vidioes, CD-roms, dictionaries, grammar book, readers, work book, or
photocopied exercises. They could also be newspapers, food packages, photographs, live
talks by invited native speakers, instruction given by a teacher, tasks written on cards or
discussion between leaners.
Prosedur
Prosedur sebagai tahapan implementatif di dalam kelas mencakup beberapa kegiatan
sesuai dengan materi pelajaran dan cara bagaimana materi tersebut disampaikan kepada
siswa. Di PMG, secara umum prosedur pengajaran bahasa Inggris yang dikembangkan
guru-guru kelas III cenderung memiliki tiga tahapan kegiatan, yakni kegiatan pendahuluan
(pre-teaching), inti (while-teaching), dan akhir (post-teaching) yang masing-masing
kegiatan memiliki tujuan dan aktivitas yang berbeda-beda. (Hadley, 1993: 374). Kegiatan
pendahuluan merupakan kegiatan belajar yang dirancang untuk melihat kesiapan siswa
dalam menghadapi materi pelajaran baru. Di PMG, kegiatan pendahuluan biasanya
mencakup beberapa kegiatan, seperti mereview kembali pelajaran yang telah diberikan
sebelumnya dengan menanyakan kembali pelajaran yang lalu; menjelaskan tema/topik
yang akan dipelajari; dan melontarkan beberapa pertanyaan berkaitan dengan topik yang
akan dibahas.
Kegiatan inti merupakan tahapan pengajaran bahasa yang memungkinkan terjadinya
proses pemahaman dan penguasaan materi pelajaran yang sedang dibahas di dalam kelas.
Di PMG, kegiatan inti dikembangkan guru-guru bahasa Inggris adalah menerangkan
pelajaran; memeriksa apa yang siswa sedangkan kerjakan; menyuruh siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas; dan mengajak siswa untuk berdiskusi. Secara lebih spesifik,
kegiatan belajar yang sering dikembangkan guru-guru bahasa Inggris adalah latihan
percakapan, menerjemahkan, membuat ringkasan, mendengarkan kaset berbahasa Inggris,
bermain peran, dan diskusi kelompok. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, guru-guru
berusaha membantu siswa untuk memahami pelajaran dan memperoleh pengalaman
berbahasa yang baik sehingga siswa dapat menggunakannya dalam konteks komunikasi
yang sebenarnya.
Kegiatan akhir merupakan seluruh kegiatan yang dikembangkan guru untuk
mengetahui pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Di PMG,
kegiatan inti yang dikembangkan guru-guru bahasa Inggris adalah mengecek kembali
pemahaman siswa mengenai pelajaran yang baru diberikan; memberikan tugas/PR untuk
dikerjakan di kamar; dan menjelaskan kembali pelajaran yang telah diberikan. Untuk
mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap pelajaran yang telah dipelajari,
guru-guru di PMG memberikan beberapa pertanyaan lisan. Bila mendapatkan kesulitan
yang dihadapi siswa, guru menerangkan kembali secara ringkas sesuai dengan
12
permasalahan yang ada; dan untuk memantabkan pemahaman siswa, guru memberikan
pekerjaan tambahan yang harus dikerjakan siswa di asrama masing-masing.
Lingkungan Kebahasaan
Lingkungan kebahasaan (language environment) merupakan salah satu faktor yang
turut menentukan keberhasilan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing.
Lingkungan kebahasaan ini sangat terkait dengan kebijaksanaan suatu lembaga pendidikan
atau bahkan pemerintah terhadap bahasa itu sendiri, apakah bahasa tersebut dinyatakan
sebagai bahasa pertama, bahasa kedua, atau bahasa asing. Kebijakan itu menjadi sesuatu
yang sangat penting dan strategis yang dapat menentukan sejauhmana bahasa itu
digunakan sebagai alat komunikasi, dan bagaimana bahasa itu dipelajari di sekolahsekolah.
Di PMG, lingkungan kebahasaan diartikan sebagai lingkungan yang memungkinkan
siswa memiliki kesempatan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi.
Pandangan itu menunjukkan bahwa lingkungan kebahasaan bukan merupakan faktor faktor
linguistik, tetapi mengarah pada faktor faktor nonlinguistik yang banyak dipengaruhi oleh
aspek sosial, ekonomi dan politik. Pandangan tersebut juga bermakna bahwa lingkungan
kebahasaan berkaitan dengan peran bahasa-bahasa lain yang terdapat dalam suatu
kelompok masyarakat apakah sebagai bahasa pertama, kedua, atau asing Dubin dan
Olhstain, 1986: 7-8). Di PMG, bahasa Inggris dapat dianggap sebagai bahasa kedua karena
bahasa tersebut digunakan siswa dalam berbagai aktivitas komunikasi keseharian selama
berada di dalam lingkungan pondok, lingkungan yang secara sengaja diciptakan
sedemikian rupa sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan bahasa
lain sebagai alat komunikasi. Seluruh kegiatan yang dialami oleh siswa, baik di dalam
maupun di luar kelas, dilakukan dalam bahasa Inggris (dan bahasa Arab).
Di PMG, lingkungan kebahasaaan dibedakan menjadi dua, yakni lingkungan
kebahasaan formal dan lingkungan kebahasaan informal. Lingkungan kebahasaan formal
lebih dikenal sebagai pengajaran bahasa formal yang terjadi di kelas-kelas. Sebaliknya,
lingkungan kebahasaan informal yang dapat terjadi, baik di dalam kelas maupun di luar
kelas, lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkomunikasi dengan
bahasa sasaran secara alamiah daripada memahami struktur bahasa (Huda, 1999: 18).
Lingkungan kebahasaan formal di PMG meliputi beberapa lingkungan, seperti di dalam
kelas pagi; di dalam kelas sore; di kursus atau klub-klub bahasa Inggris; dan di dalam
kegiatan latihan pidato. Pada lingkungan itu terjadi kegiatan belajar bahasa Inggris formal
yang terencana dan disengaja melalui penggunaan kurikulum dan penjadwalan. Proses
formal tersebut terjadi karena dilakukan melalui suatu perencanaan dan program yang
mengede-pankan aspek formalitas bahasa atau struktur bahasa. Siswa hanya diberi
kesempatan yang sangat sedikit untuk menggunakan bahasa sasaran dalam interaksi
komunikatif yang sesungguhnya, sehingga mereka cenderung kurang atau bahkan tidak
memiliki pengalaman yang berarti bagaimana menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan
konteks yang sesungguhnya.
Berbeda dengan lingkungan kebahasaan formal, di PMG lingkungan kebahasaan
informal meliputi berbagai situasi di luar kelas pagi dan sore, seperti situasi pada waktu
belajar bersama di kamar; di koperasi pelajar, di kafetaria, di lapangan olah raga, di
dapur, dan lain-lain. Di dalam lingkungan kebahasaan tersebut terjadi proses belajar
bahasa Inggris yang tidak terencana dan disengaja. Proses itu terjadi karena seluruh
aktivitas kehidupan yang melibatkan interaksi komunikatif dilakukan dengan
menggunakan bahasa Inggris sehingga siswa memiliki kesempatan yang luas sekali untuk
menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan kesehariannya. Ellis (1999: 214)
13
menamakan lingkungan kebahasaan informal yang ditandai dengan proses belajar bahasa
yang berlangsung secara tidak terencana atau melalui interaksi komunikatif yang
sesungguhnya dengan istilah latar natural, sedangkan lingkungan kebahasaan formal
dengan latar edukatif.
Menyadari betapa penting peran lingkungan kebahasaan di dalam pengajaran bahasa
Inggris yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan komunikatif siswa, PMG
berusaha memadukan antara lingkungan formal dengan lingkungan informal sehingga
tercipta suatu lingkungan yang sangat kondusif bagi siswa untuk menguasai bahasa
Inggris secara komunikatif. Perpaduan antara kedua lingkungan tersebut, tidak bertolak
belakang dengan pandangan Nunan (1991: 173) yang mengatakan bahwa agar para siswa
memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Inggris secara komuni-katif, pengajaran
bahasa Inggris yang dilakukan di dalam kelas atau pada lingkungan kebahasaan formal
harus diiringi dan didukung oleh pelibatan seluruh siswa dalam konteks komunikasi yang
sebenarnya atau lingkungan kebahasaan informal. Pandangan itu seirama dengan
pandangan Huda (1999: 22) yang menerangkan bahwa penggunaan dua lingkungan
kebahasaan formal dan informal merupakan tuntutan yang harus dipenuhi bila tujuan
belajar bahasa Inggris yang ingin dicapai adalah pengembangan kemampuan komunikatif;
tetapi apabila tujuannya hanya untuk mengembangkan kemampuan reseptif saja,
penggunaan lingkungan kebahasaan formal lebih diutamakan.
Karena PMG merupakan lingkungan yang sengaja diciptakan untuk kepentingan
kegiatan belajar, lingkungan tersebut diberdayakan sedemikian rupa sehingga siswa
memiliki kesempatan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Salah
satu upaya yang dilakukan PMG dalam pemberdayaan lingkungan kebahasaan itu adalah
penegakan disiplin. Penegakan disiplin berbahasa bertujuan untuk pembiasaan diri siswa
untuk menggunakan bahasa Inggris se-bagai media komunikasi dilakukan dengan
penerapan disiplin berbahasa Inggris. Disiplin berarti penegakan aturan-aturan tertentu
dengan maksud untuk melahir-kan prilaku tertentu yang diinginkan bersama (Cotton dkk,
2001: 2). Karena terdapat dua bahasa yang harus digunakan dibuatlah peraturan perduamingguan
untuk memudahkan pemantauannya. Dua minggu pertama seluruh siswa
diwajibkan untuk menggunakan bahasa Inggris dalam berbagai aktivitas yang dilakukan,
dan dua minggu berikutnya dalam bulan yang sama seluruh siswa diwajibkan untuk
menggunakan bahasa Arab dalam berbagai aktivitas yang dilakukan. Peraturan tersebut
mengikat seluruh siswa PMG tanpa terkecuali, baik pengurus organisasi siswa maupun
bukan. Kapan pun dan di mana pun siswa berada di lingkungan kampus PMG, siswa
dituntut untuk menegakkan disiplin berbahasa sesuai dengan waktunya.
Agar penegakan disiplin berbahasa berjalan lancar, PMG membentuk lembaga
penggerak bahasa yang berasal dari siswa, yaitu CLI (centre for language improvement);
dan guru-guru, yaitu LAC (Language advisory council). Selain itu, kedua lembaga tersebut
bertanggung terhadap perkembangan bahasa Inggris dan bahasa Arab di PMG. Dalam
penegakan disiplin berbahasa Inggris, CLI dan LAC menyelenggarakan persidangan
bahasa, pemberian hukuman dan sanksi yang mendidik yang dapat berupa pembuatan
karangan dan lain-lain. Adapun berkaitan dengan pengembangan kemampuan berbahasa
siswa, kedua lembaga tersebut menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang dapat
dilakukan siswa, baik secara individual maupun berkelompok, seperti pengenalan
kosakata dan ujaran bahasa Inggris di asrama setelah sholat shubuh; penyelenggaraan
lomba kebahasaan antar asrama; penyelenggaraan latihan percakapan; penerbitan buletin
berbahasa Inggris; dan penyelenggaraan diskusi berbahasa Inggris.
Kesimpulan
14
Pondok Modern Gontor merupakan lembaga pendidikan berasrama yang
mengembangkan pengajaran bahasa Inggris terpadu. Selain menyelenggarakan kegiatan
belajar secara formal di kelas-kelas, lembaga tersebut juga menyediakan lingkungan
kebahasaan informal yang memungkinkan siswa memperoleh pngalaman menggunakan
bahasa Ingris secara alami. Secara spesifik, beberapa hal penting yang membedakan Model
Gotor dengan model lain dalam pengajaran bahasa Inggris terpadu, dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Pengajaran bahasa Inggris terpadu di PMG dilandasi oleh teori bahasa
fungsional dan interaksional yang dipadukan dengan teori belajar bahasa
kognitivisme, behaviorisme, dan humanisme.
2. Tujuan utama pengajaran bahasa Inggris terpadu di PMG adalah pengembangan
kemampuan komunikatif bahasa Inggris yang dicapai melalui pengembangan
silabus penekanan beragam Untuk merealisasikan hal tersebut, dikembangkan
berbagai macam kegiatan belajar dengan bahan pelajaran autentik dan
nonautentik, sehingga siswa yang memiliki peran yang lebih dominan daripada
guru dapat memperoleh pengalaman berbahasa Inggris yang sebenarnya.
3. Secara umum proses pengajaran bahasa Inggris di dalam kelas dapat dibedakan
menjadi tiga tahap. Kegitan pendahuluan dimaksudkan untuk melihat kesiapan
siswa dalam belajar; kegiatan inti digunakan untuk menyampaikan materi
pelajaran; dan kegiatan akhir digunakan untuk melihat sejauhmana siswa
menguasai materi yang telah dipelajari.
4. Lingkungan kebahasaan di PMG merupakan kunci keberhasilan lembaga
tersebut dalam mengembangkan pengajaran bahasa Inggris terpadu. PMG
menciptakan lingkungan kebahasaan sedemikian rupa, sehingga siswa tidak
memilliki kesempatan sedikitpun untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasi, tetapi bahasa Inggrislah satu-satunya alat komunikasi yang
digunakan.
Daftar Rujukan
Bolitho, Rod. “An Eternal Triangle? Roles for teachers, Learners, and Teaching Materials
in a Communicative Approach.” Language Teaching Methodology for Nineties,
ed. Sarinee Anivan. Singapore: Seamo Regional Language Centre, 1990.
Brumfit, Christopher. Language and Literature Teaching: From Practice to Principle.
Oxford: Pergamon Press Ltd., 1985.
Cotton, Kethleen, Schoolwide and Classroom Discipline, http:/www.nwrelorg/
scpd/sirs/5/cu9.html, Tanggal 1 Maret 2001.
Dubin, Fraida dan Olshtain Elite. Course Design. Cambridge: CUP, 1986.
Ellis, Rod. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: OUP, 1994.
Finocchiaro, Marry. “The Functional-Notional Syllabus: Promise, Problems, Practices”, A
Forum Anthology, ed. Anne Covell Newton. Washington D.C: English Language
Programs Division Bureau of Educational and Cultural Affairs United States
Information Agency, 1988.
15
Hadley, Alice Omaggio, Teaching Language in Context. Boston: Heilnle & Heinle
Publisher, 1993.
Halliday, M. A. K. Language as a Social Semiotic. London: Edward Arnold, 1978.
Harmer, Jeremy. The Practice of English Language Teaching. London: Longman Group
UK Limited, 1991.
Huda, Nuril. Language learning and Teaching: Issues and Trends. Malang: IKIP Malang
Publisher, 1999.
______. “Metode AudioLingual VS. Metode Komunikatif: Suatu Perbandingan.” Pelba I,
ed. Soejono Dardjowidjojo. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, 1989.
Hymes, D. H. “On Communicative Competence,” The Communicative Approach to
Language Teaching, eds. C. J. Brumfit dan K. Johnson. Oxford: OUP, 1979.
Larsen-Freeman, Diane. Techniques and Principles in Language Teaching. Oxford:
Oxford University Press, 1986.
Lightbown, Patsy M. dan Spada, Nina. How Languages are learned. Oxford: OUP, 1993.
Littlewood, William. Communicative Language Teaching. Cambridge: CUP, 1981.
Marshal, Catherine and Gretghen B. Rossman. Designing Qualitative Research. Newbury
Park: Sage Publication, inc., 1989.
Milne, John. “Teaching Adult Beginner.” Communication in the Classroom, eds. Keith
Johnson dan Keith Morrow. Essex: Longman Group Limited, 1981.
Nunan, David. Language Teaching Methodology. London: Prentice Hall International Ltd.,
1991
______. Syllabus Design. Oxford: Oxford University Press, 1988.
Purwo, Bambang Kaswanti. “Pragmatik dan Pengajaran Bahasa”, PELBA I, ed. Soejono
Dardjowidjojo. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, 1988
Richards, Jack C. dan Rodgers, Theodore S. Approaches and Methods in Language
Teaching. Cambridge: Cambridge University Press, 1986.
Rodgers, Theodore S. “Syllabus Design, Curriculum Development, and Polity
Determination.” The Second Language Curriculum. Ed. Robert Keith Johnson
Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
Spradley, James P. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1980.
_______. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979.
16
Stern, H. H. Issues and Opinions in Language Teaching. Oxford: OUP, 1992.
Tomlinson, Brian. “Introduction.” Material Development in Language Teaching, ed. Brian
Tomlinson. Cambridge: CUP, 1998.
Yalden, Janice. “An Interactive Approach to Syllabus Design: The framework project.”
The Practice of Communicative Teaching, ed. Christopher Brumfit. Oxford:
Pergamon Press Ltd., 1986.
______ . Communicative Syllabus: Evolution, design, & implementation. Oxford:
Pergamon Press Ltd., 1983.
17