KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.1)
Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama. Itulah kenapa
ibuku dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang
agamamu: Islam. Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum
yang menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari
sekedar petuah-petuah yang membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko,
bertasbih, kadang berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara
menghadap kamera. Membuat dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat
Quran. Ah, tidak terbayang olehku sebuah film agama. Tapi aku tidak begitu
saja lantas menyerah. Aku coba berangkat dari apa yang aku kenal:
Muhammadiyah. Lalu merentet ke sebuah nama: Ahmad Dahlan. Hmm, aku memang
menyukai film yang mengangkat satu tokoh: Gandhi, Erin Brokovich, Henry V,
Shakespeare, Baghad Sigh, Malcom X, dan mungkin juga nanti Sukarno (kalau
memang jadi difilmkan oleh Hollywood). Film yang mengangkat tokoh bisa
membuat penonton bercermin. Dan Agama adalah cermin bagi manusia untuk
senantiasa melihat kembali dirinya: Kotor atau bersih?
Lalu aku membuat proposal Ahmad Dahlan untuk aku tawarkan ke PP
Muhammadiyah. Ditolak! Muhammadiyah tidak ada uang, katanya . Aku cuma
bengong saja. Tidak ada uang? Kataku dalam hati. Ah, sudahlah. Mungkin waktu
itu aku belom dipercaya. maklum masih kuliah di IKJ semester Akhir.
Lalu kutinggalkan itikadku membuat film Agama. Aku terjun membuat film
Cinta: Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku
tetap yakin bahwa suatu saat akan datang masa aku membuat film tentang
agama.
Alhamdulillah, benar. MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat
Cinta (AAC).
'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku
'Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk
indonesia 80 persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka?
Kalau saya minta 1 persen dari 80 persen masak tidak bisa.'
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton.
dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet
produksinya 10 milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar.
Aku jadi berfikir, kenapa Muhammadiyah tidak berfikiran begitu ya? Kalau
cuma mengumpulkan 2 juta penonton, masa Muhammadiyah tidak sanggup? Bukankah
dari 80% tersebut 40% adalah warga Muhammadiyah? Ah, dasar stupid pikirku.
Banyak orang Islam tidfak berfikir luas seperti orang-orang Yahudi. Oleh
sebab itu Islam selalu dimarjinalkan, mudah diadu domba, dibohongi ...
diakali.
Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.
Wallohu ... Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo,
aku menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university,
aku mencium bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki
roman muka bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka saat bersujud
diatas sajadah buluk. Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin
hawa Kairo, tetapi dibalik bibir pecah itu terlantun dzikir panjang
menyebut: Alloh ... Alloh ...
Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan murid-muridnya.
'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al
quran di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan
bacaan novel. Allohu Akbar ... Allohu Akbar. Inikah caramu membuatku dekat
dengan agamaku, Ibu?
Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam
sangat eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti semua itu.
Orang-orang Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa daripada ke
Kairo.
'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.
Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca
buku-buku tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk
mendampingiku. Aku sangat hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang
tertulis dalam novel dengan indah pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah
film yang lembut, yang indah, yang suci tergambar di depan mataku dan aku
yakin sekali bisa mewujudkannya.
Namun semua impianku itu tidak begitu saja mudah diwujudkan.
Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar, halangan
pertama datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka
juga menyangsikan, sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah,
sayang sekali novel sebagus ini akan difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada
juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel yang di filmkan hasilnya
bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'
Pada suatu hari ada sekelompok orang datang ke kantor MD, mereka bilang
dari organisasi Islam. Mereka datang dengan membawa seorang lelaki berwajah
putih dan seorang gadis berjilbab. Mereka bilang ...
'Ini calon pemain Fahri dan ini calon pemain Aisha' sambil menunjuk ke
lelaki berwajah putih dan gadis berjilbab itu.
'Kami dari organisasi Islam' lanjutnya 'Kami sangat concern terhadap
dakwah islamiah. Kami tidak ingin film Ayat-Ayat Cinta melenceng dari novel
dan ajaran Islam. Kang Abik (Nama panggilan Habiburrahman El Shirasy) sudah
tahu tentang ini.'
Kami hanya saling pandang dan tersenyum. Aku ... malu sekali.
Tentu saja kami menolaknya. Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan
hati-hati sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya
semata-mata ganteng dan 'menjual'. Karena itu kami menggandeng ketua PP
Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat kami.
Sebelum aku melakukan casting, aku berdiskusi dulu dengan kang Abik.
Kang abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih
tokoh Fahri. Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren . Tetapi
hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada yang ganteng dan pintar
seperti fahri. Tetapi banyak diantara mereka sudah menganggap 'Film' adalah
produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara mereka tidak mau ikut
casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan membuat film, menggambar
manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar yang kita buat
harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita
dengan cambuk api.
Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting
adalah pemain-pemain terkenal. Tapi diantara mereka banyak terjebak pada
tuntutan atas 'Kesucian Fahri'. Banyak diantara mereka beracting 'sok suci'
dengan melantunkan ayat-ayat dan menyebut asma Alloh dengan berlebihan,
mirip seperti ustadz-ustadz di TV-TV. Pernah aku menemukan seorang yang
menurutku pas bermain sebagai Fahri. Tetapi lelaki itu tidak beragama Islam.
Kang Abik tidak setuju. Lalu ditengah keputusasaan kami datang seorang
lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng). Sering
kita lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya
ganteng. Tetapi lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun santun.
Ketika berucap Alloh, dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih seperti
ustadz. Pada saat dia sholat aku melihat gerakannya jauh dari sempurna.
Tetapi lelaki itu punya mata yang didalamnya mengandung semangat belajar.
Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik. Terjadi tarik ulur
dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang main
sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang
membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak sempurna.
Keputusan Fedi Nuril sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian di
kalangan pembaca fanatik AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril
sebelumnya menampilkan Fedi ciuman dengan perempuan bukan muhrim. Fedi pun
mengakui itu. Yang membuat aku terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai
media dia buat dekat dengan Islam. Belajar kembali tentang Islam. Karena
film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku tentang Islam. Bahkan Fedi
menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini setelah
memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu
besar mempengaruhi keimanan seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih
Ibu.
Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat
untuk mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami melakukan riset disana,
sangat mengagetkan. Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya. Aku
mengcasting seorang perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai
Aisha. Tidak hanya cantik, tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di
sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda lebih pas sebagai kakaknya
daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun dari Fedi Nuril.
Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi. Pada saat
kami sejajarkan, sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan,
tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak. Alias belum matang. Kami
bingung dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja.
Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah.
Pak Din Syamsudin berpesan kalau bisa pemain Aisha kesehariannya ber jilbab.
Lihatlah siapa artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya
Zaskia Meca saja yang berjilbab dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara
itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat sunda. Pernah kita meng casting
Nadine Candrawinata. Dia sangat cantik dan bermain bagus. Dangat cocok pula
berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim. Padahal Nadine
sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi panjang
dengan kang abik soal itu. Aku bilang padanya ...
'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh
seorang muslim, sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen.
Ini akan memperlihatkan sikap toleransi dan demokratisasi dalam Islam
seperti di India.'
Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk jangan bertaruh
terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan
India. Di India, masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat
kedewasaan dalam toleransi, sementara di Indonesia belum. Akhirnya
dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan Carrisa Putri sebagai Maria.
Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami
kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu
harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya.
Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku
sangat keteter ketika berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang
memiliki beban berat. Sementara Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu tampak
riang dan ringan. Sering sekali benturan itu membuat proses pendalaman
karakter tidak sempurna. Aku frustasi sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di
Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan keindahan dan
kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang,
Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran
melihat kenyataan penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda
yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas
ingin mengubah karakterr film AAC menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch
Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film ini ...
Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan
Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa
adegan yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan
menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara
yang absurd (dalam novel digambarkan sebagai seorang professor agama bernama
Abdul Rauf), Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya
liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam
melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi
dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai
...
Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!!
begitulah yang aku dapatkan di film ini. Film ini tidak hanya mampu
merobah pandanganku tentang Film. Film ini mampu dan sudah merobah pandangan
hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan ... cinta.
Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah
memberikan aku jalan menuju kedewasaan. Berkali-kali aku berucap terima
kasih kepada Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku
menyutradarai film ini, dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan
Islam yang indah, bersahaja dan penuh dengan toleransi. Dan terakhir,
berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang telah berpesan untuk
membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau berpesan
begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu dekat dengan Islam
...
La haula wa kuwwata illa billahi ...
KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.2)
Kairo adalah kota dimana manusia-manusia Fahri, Aisha, Maria, Noura, Nurul,
dan segudang manusia-manusia ciptaan Kang Abik bertebaran, hidup, saling
bicara dan saling mencinta. Kairo sangat indah kata kang Abik. Sudut-sudut
pasar El Khalili, jalanan di Down Town, Menara-menara masjid termasuk
didalamnya Masjid Al Azhar dan University of Azhar Cairo. Sangat detil kang
Abik menggambarkan itu dalam novelnya, yang membuat aku tertantang untuk
mewujudkan dalam gambar: Bangunan-bangunan tua peninggalan 3 Dinasti
(Firaun, kesultanan dan Penjajah Perancis), Kios-kios berdempetan berhadapan
dengan trotoar-trotoar sempit yang penuh dengan pejalan kaki, terkadang
diisi kursi-kursi rotan café pinggir jalan yang meletakkan seorang tua
sedang menyedot shisa. Lalu 5 jam dari tempat itu, menuju matahari terbit,
kita melihat kampung tua El Giza dengan aroma kotoran unta yang . hmmm,
sekilas menjijikkan, tetapi . tertutup oleh eksotisnya lingkungan khas
kairo. Bangunan itu berdiri dari tumpukan bata-bata merah yang dipoles
campuran semen dan pasir. Menjadikan warna coklat muda dominan, berpadu
selaras dengan warna tanah, warna kain-kain yang dipakai membalut tubuh
gadis-gadis kairo, dan warna kulit unta. Bangunan itu ada banyak.
Bertebaran. Saling berdiri begitu saja. Tidak begitu rapi seperti
bangunan-bangunan kuno di Itali atau paris, tapi sangat menarik bagiku.
Apalagi dengan latar belakang sepasang pyramid yang gagah menjulang
menyentuh langit.
Kairo . ah, Kairo. Di kota ini aku akan meletakkan kamera, melukis dengan
cahaya, membangun set dan meletakkan pemain-pemain didalamnya. Pemain
Indonesia yang bergaya selayaknya orang kairo asli.
Aku datang bersama tim kecil, menjalin kerjasama dengan local production
house, Egypt Production. Mereka sangat senang menyambut kedatangan kami.
Kata mereka, tidak mudah membuat film di kairo. Skenario film harus dapat
ijin dari sensor film. Tidak seperti di Indonesia. Bisa dengan gampang
membuat film apa aja. Karena waktu yang kita punya sangat sempit, ijin yang
seharusnya 3 bulan, bisa diurus dalam 2 minggu oleh seorang local producer
bernama Tammer Abbas; seorang muslim kairo, cerdas, berpengalaman di bidang
film dan kharismatis. Tammer mem-provide apa yang kita butuhkan: Hunting
Lokasi, akomodasi dan transportasi hingga penyewaan alat. Di benankku,
sedemikian jelas tergambar film ini akan sedetil seperti yang kang abik
tuliskan di novel.
Setelah riset selesai dan scenario jadi, 20 tim dari Jakarta datang
untuk melakukan hunting lokasi sekaligus test kamera. Kami melakukan
shooting di sebuah tempat di El Giza. Alat-alat yang di sediakan buat kami
jauh lebih bagus dari yang sering kita pakai di Indonesia. Kami sangat di
support disana. Kami melakukan persiapan di kairo selama 2 minggu. Tammer
akan mensupport semua shooting di Kairo berikut kostum, lokasi, crew dan
pemain pendukung. Film ini benar-benar akan menjadi film Indonesia yang
shooting total di Luar Negeri. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah
perkembangan film nasional. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaanku waktu
itu. Ibu, aku akan persembahkan yang terbaik buatmu . sebuah film agama yang
indah dan bersahaja. Yang akan kau kenang . dan semua umat muslim Indonesia
dan dunia tentunya .
`Mendadak semua berhenti begitu saja. Impian itu kandas. Producer
membatalkan shooting di Kairo dengan alasan bujet produksi yang ditawarkan
Egypt Production tidak masuk akal. Tammer Abbas menawarkan angka 3 kali
lipat produksi standart Film Indonesia. 1 Film AAC di produksi sama saja
memproduksi 3 film layar lebar di Jakarta. Siapapun producer di negeri ini
akan berfikiran sama: Membatalkan produksi Film.
Seakan runtuh bangunan mimpi yang sudah aku bangun. Satu persatu
menimpaku.
Tapi producerku tidak begitu saja berniat membatalkan produksi film ini.
'Kita sudah terlanjur berjanji dengan banyak orang.' Katanya .
Bersama-sama kita mulai memikirkan bagaimana AAC bisa diproduksi sesuai
dengan apa yang kita inginkan. Kemudian kita mencari sponsor untuk bisa
tetap shooting di Kairo. Kita menjalin kerjasama dengan The Embassy of Egypt
di Jakarta. Lewat hubungan baik dengan ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin,
mereka setuju dengan tawaran ini. Kata Dubesnya, Film ini akan dikelola oleh
dua Negara: Indonesia dan mesir. Sebelum di putar di bioskop, film ini harus
diputar dihadapan presiden Negara-Negara Islam di Asia dan Timur Tengah,
begitu kata Dubes. Betapa senangnya aku mendengar kabar ini. Impianku
bangkit. Ku kabarkan berita ini ke teman-teman crew dan pemain. Mereka
kembali semangat. Akhirnya dibuatkan kesepakatan antara dua Negara melalui
Dubes Mesir-DepBudPar- PP Muhammadiyah. Bersama-sama kita melakukan pers
conference, mengabarkan berita gembira ini ke masyarakat.
Namun lagi-lagi semua itu tidak ada artinya. Pemerintah mesir, sekalipun
memberikan dukungan buat kerjasama ini, tidak bisa melakukan intervensi
terhadap harga-harga termasuk di dalamnya Equiptment, lokasi, property. Itu
adalah hak perusahaan swasta. Artinya, sekalipun di dukung pemerintah, tetap
tidak bisa mempengaruhi harga. Harapan shooting di Kairo akhirnya kandas.
Terlebih lagi pihak Egypt Production tiba-tiba mengirimkan tagihan atas
hunting, pelayanan persiapan dan test kamera selama di kairo sebesar 500
juta rupiah. Angka yang tidak masuk akal buat producer untuk harga test
kamera dan hunting. Biasanya di Jakarta kami melakukan hunting sekitar 5
juta sampai 10 juta. Test kamera gratis kita lakukan karena itu salah satu
fasilitas perusahaan penyewaan alat.
Akhirnya producer tidak mau membayarnya. Terjadilah perselisihan antara
keduanya. Pihak Egypt Production melayangkan surat gugatan ke pihak KBRI di
Kairo. Pihak KBRI kairo mengirimkan surat ke Departemen Luar Negeri
Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang isinya terjadi
penipuan pihak MD kepada perusahaan Kairo. Berita ini membuat Deplu dan
Depbudpar menarik kembali dukungannya. Begitu juga dengan pihak Dubes Mesir.
Seperti sebuah drama tragedy saja, nasib produksi Ayat-Ayat cinta tidak
terselamatkan.
Terbayang olehku bangunan-bangunan bersejarah, menara-menara masjid
Azhar yang tinggi menjulang, kios-kios berjajar, pasar-pasar tradisional,
pyramid, guran sahara, pantai Alexandria yang indah . hilang . hilang
ditelan angin begitu saja. Lalu pesan ibu terngiang : . Kalau kamu sudah
bisa membuat film, buatlah film agama .
Ana aasif . ya ummi .
KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.3)
Bukan sekali ini aku mendapatkan persoalan pada saat membuat film.
Persoalan buatku adalah sahabat karib. Di Dapur Film aku menekankan ke
teman-teman, jika mau terjun ke dunia film, persoalan adalah bagian hidup
kita. Bukan berarti kita mencari persoalan, tapi persoalan harus kita sikapi
sebagai tantangan. Akan tetapi persoalan yang menimpaku sekarang ini seolah
tak berujung. Menangis sudah bukan suatu yang luar biasa lagi.
Sejak kabar kita bakal sulit shooting di kairo aku jadi tidak bergairah.
Tapi kabar film AAC bakal diproduksi sudah beredar. Posisiku sulit.
Bersamaan dengan itu film produksi pertama MD yang berbujet besar drop di
pasaran. Sebuah film yang dianggap idealis, bahkan tidak mampu menembus
angka 100 ribu penonton. Keyakinan producer mulai goyah.
'Apakah kamu masih yakin AAC akan diproduksi?' Kata producer padaku,
'Iya' jawabku yakin. Sekalipun aku sendiri tidak tahu apakah keyakinan
itu sekuat dulu.
'Apakah AAC adalah film yang bakal di tonton?' tanyanya kemudian.
Aku lalu ingat pernyataannya tentang 80% penduduk Indonesia adalah muslim.
Kemudian aku membalikkan pernyataan itu kepadanya. Jawabnya .
'Ya, tetapi setelah melihat realitas, penonton kita masih belum bisa
menerima film-film berat.'
Beberapa detik aku sempet bingung dengan istilah film berat. Aku tahu pada
waktu itu kondisi psikologis producerku sedang drop. Tidak hanya satu-dua
juta kerugian yang dia tanggung di film pertama. Wajar jika sudah
menggoyahkan keyakinannya. Aku berusaha meyakinkan dia lagi kalau AAC adalah
film yang ditunggu penonton. Aku juga meyakinkan kalau kita di dukung oleh
Muhammadiyah. Tapi alasan itu tidak cukup buat dia. Sebuah dukungan bisa
dengan gampang dicabut. Tetapi sebuah produk yang sudah diproduksi tidak
bisa diuangkan. Investor tetap menanggung beban besar. Intinya, dia butuh
keyakinan kalau AAC adalah film yang bakal ditonton lebih dari 1 juta
penonton. Jumlah tersebut diperhitungkan secara bisnis untuk balik modal,
mengingat bujet yang dipersiapkan untuk memproduksi AAC duakali lipat bujet
standart Film Indonesia. Yah, sekitar 7 Milyar.
Lalu produk seperti apa yang ditonton oleh satu juta penonton?
Pertanyaan itu yang akan merobah karakter Film Ayat-Ayat Cinta yang
selanjutkan menjadi persoalanku kemudian.
Pertama yang dilakukan untuk menset-up produk agar ditonton oleh satu juta
penonton adalah mengubah scenario menjadi light. Scenariopun dirombak total.
Producer sempat menghubungi Musfar Yasin untuk menggantikan Salman Aristo,
karena pada saat itu Nagabonar jadi 2 meraih 1,3 juta penonton. Musfar
menolak dengan alasan tidak etis. Salman Aristo kemudian bersedia merubah
scenario dengan catatan sedikit keluar dari novel. Kita sepakat. Dalam hal
ini Kang Abik sedikit kita abaikan dengan maksud segalanya berjalan lancar.
Mengingat kang Abik kondisinya waktu itu tidak di Jakarta, sehingga untuk
melakukan diskusi scenario harus menghadirkannya dari semarang.
Skenario dibuat dalam 2 minggu. Selama 2 minggu itu kegiatan persiapan
menjelang shooting dihentikan. Di minggu ketiga seharusnya kita sudah
melakukan shooting, terpaksa dilakukan persiapan lagi. Jadwal akhirnya
mundur satu bulan. Keberatan muncul dari para pemain. Sebagian pemain
Ayat-Ayat Cinta adalah pemain dengan jadwal ketat. Fedi Nuril sibuk dengan
album dan tour Garasi. Ryanti sibuk dengan jadwal MTV, Carissa dan tante
Marini sibuk dengan sinteron striping, Melanie putria dan Surya Saputra
sibuk dengan presenter. Kalau produksi ini mundur schedule pemain yang akan
sulit. Di bulan kedepan para pemain tersebut sudah masuk schedule lain
diluar Ayat-Ayat Cinta. Hal itu membuat Iqbal Rais, asistenku kelabakan
mengatur schedule. Dalam 2 minggu itu pekerjaan Iqbal berkali-kali melakukan
revisi schedule dan breakdown shooting. Sedangkan Amelia Oktavia (amek) dan
Ruth Damai Pakpahan (Iyuth) yang bertugas sebagai casting director me-loby
pemain kembali. Itu tidak mudah tentunya. Schedule di luar AAC sudah
terlanjur di booking oleh para manajer. Malah beberapa ada yang sudah
kontrak.
Seperti yang disepakati bersama, scenario rampung dalam 2 minggu. Tapi
bukan berarti persoalan selesai disitu. Tahap berikutnya adalah menentukan
dimana shooting dilakukan, mengingat kairo sudah tertutup buat MD. Oh,ya .
Hal mendasar yang membuat produksi ini mengalami kendala kreatif adalah
producer mulai menekan bujet produksi akibat kerugian di film pertama.
Pemindahan shooting di Indonesia dilakukan dengan asumsi bujet produksi
tidak semahal di Kairo. Padahal kenyataan di lapangan tidak semudah asumsi
itu. Sesuatu yang diciptakan dengan set akan lebih mahal dibanding kita
menggunakan set yang sudah jadi. Kalau toh ditemukan rumah yang mirip dengan
yang ada di Kairo, perabot didalam rumah itu tidak bisa dipakai.
Menjelang shooting aku dan producer banyak bertengkar soal itu.
Pengajuan bujet untuk tata artistic di potong. Begitupun dengan pengajuan
lampu. Aku seperti berada dalam ruang isolasi yang semakin lama dinding itu
bergerak menghimpit. Pada awal persiapan, konsep film AAC adalah
menghadirkan keindahan kota kairo dengan memotret lansekap sebagaimana
tertulis di novelnya kang Abik. Kini, terpaksa harus aku persempit mengingat
lokasi shooting tidak memadai dan peralatan pendukung dikurangi. Aku dan
Salman Aristo memutuskan memperkuat dramatik cerita daripada keindahan
gambar. Oleh sebab itu beban jatuh pada para pemain. Pemain harus mampu
secara meyakinkan membawakan karakter yang diperankan. Disini muncul
persoalan baru. Sekalipun Amek dan Iyuth berhasil me-loby pemain untuk
mundur shooting, tapi tidak bisa dapat waktu untuk latihan. Jangankan untuk
melakukan riset dan observasi peran, untuk melakukan reading scenario saja
waktunya terbatas. Kepalaku mendadak berat sekali. Hari-hari shooting
tinggal beberapa hari, tapi permainan mereka masih jauh dari harapanku. Ya
Alloh, selamatkan aku. Selamatkan film ini .
Pernah suatu kali aku minta mundur lagi karena pemain belum siap,
terutama Rianti dan Carrisa. Producer tidak memberikan ijin. Aku bingung.
Aku melihat Rianti dan Cariisa masih jauh dari harapanku. Pada awalnya tokoh
Aisha diperankan Carrisa dan Rianti sebagai Maria. Saat latihan berlangsung,
aku merasa keduanya tidak pernah mencapai klimaks. Selalu saja ada yang
salah. Kemudian mas Whani Darmawan selaku acting coach (Penata laku) mencoba
merobah posisi. Rianti sebagai Aisha dan Carrisa sebagai Maria. Aku melihat
ada perubahan ke lebih baik. Mungkin tepatnya: Lebih pas . Tapi aku masih
belum yakin dengan itu, dikarenakan banyak persoalan kreatif lain yang
menghimpitku. Aku tidak bisa dengan jernih memutuskan. Lalu Aku minta
bantuan Salman Aristo untuk ikut memutuskan. Setelah melewati test kamera,
aku, Salman Aristo dan Producer bersama-sama melihat dan memutuskan siapa
yang pantas menjadi Aisha. Aku ingat waktu itu rapat untuk memutuskan siapa
yang pantas menjadi Aisha dilakukan 10 menit sebelum acara pers conference
yang menghadirkan PP Muhammdiyah Din Sayamsudin dan wartawan dari media
cetak dan TV. Di ruang lain, Rianti dan Carisa menunggu keputusan itu,
karena berhubungan dengan siapa yang akan memakai cadar dan jilbab pada saat
acara pers conference. Akhirnya, kami memutuskan Rianti yang menjadi Aisha.
Cadarpun terpasang menutup sebagian wajah cantik Rianti
Ketika hari Shooting ditentukan, pemain sudah disiapkan secara schedule,
Set sudah dibangun, mendadak ada kabar Ryanti akan di deportasi karena masa
tinggalnya sudah habis (Rianti masih menjadi warag Negara Inggris saat ini),
sehingga dia harus kabur ke Singapura beberapa hari sambil mengurus
perpanjangan masa tinggalnya di Indonesia. Shooting yang sudah kita tentukan
harus mundur lagi. Set yang sudah dibangun harus dibongkar. Kepalaku mulai
berat. Mataku mulai kabur. Allohu akbar! Apa lagi yang harus aku hadapi?
Berapa tetes lagi air mataku kutumpahkan dan berapa lapang lagi dadaku aku
rentangkan? Ingin rasanya aku lari dari semua ini. Tapi aku selalu ingat
pesan ayahku, wong lanang kui kudu mrantasi . (Lelaki itu harus
menyelesaikan segala persoalan). Aku melihat sisi positif dari kemunduran
ini. Aku bisa focus latihan buat pemain. Akhirnya kamipun mundur. Karena set
yang sudah dibuat tidak bisa dibongkar, kita terpaksa shooting satu hari
tapi setelah itu break seminggu.
Pada saat shooting, aku melihat kairo berdiri di Jakarta dan semarang. Aku
melihat metro yang dibangun bangsa Prancis di stasiun Manggarai. Aku melihat
perpustakaan Al Azhar dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga
Jakarta Kota. Flat Fahri, Flat Maria dan Pasar El Khalili di kota lama dan
Gedung Lawang Sewu Semarang. Ruang sidang pengadilan Fahri di Gereja Imanuel
Jakarta. Apa yang dibangun Allan, art directorku, berhasil meski dengan
berbagai kendala keuangan yang tidak lancar. Untuk membangun set dan
menyediakan property, Allan sering mengeluarkan uang pribadinya untuk
menutup aliran uang yang tidak lancar. Gajinya yang seharusnya di
bagi-bagikan kepada krunya, habis buat belanja property dan membangun set.
Karenanya banyak krunya pada marah-marah dan kabur.
Pada saat shooting berlangsung, tidak begitu saja mulus dan on schedule.
Hari-hari pertama kami berhasil menghadirkan suasana kairo dengan menyewa
orang-orang arab sebagai extras. Karena shooting selalu selesai tengah
malam, orang-orang arab lama-lama tidak mau diajak shooting lagi. Maklumlah,
mereka bukan berprofesi sebagai pemain. Kebanyakan dari mereka pedagang,
mahasiswa, karyawan bahkan ada yang dokter. Suatu kali pernah si dokter
marah-marah karena shooting sampai malam, padahal sebagai dokter dia tidak
pernah berpraktek sampai malam. Di hari-hari menjelang akhir shooting AAC,
bahkan untuk mengajak gembel Arab pasar Tanah Abang pun tidak bisa. Masya
Alloh!!
Di Kota lama dan Lawang sewu Semarang, kami menghadapi persoalan kamera
terbakar, hujan, berhadapan dengan preman Kota Lama, ruang sempit dan lapuk
karena tua yang membuat set lampu lama. Dengan begitu scene yang seharusnya
diambil jadi banyak terhutang. Untuk membayarnya, kita menunggu jadwal
pemain kosong, Amek dan Iyuth kembali me-loby, iqbal rais kembali membongkar
break down. Hal itu terus menerus mereka lakukan sampai-sampai Amek dan
Iyuth kehilangan muka di hadapan manajer dan pemain. Tidak jarang aku
melakukan improvisasi demi efisiensi. Banyak adegan aku sederhanakan. bahkan
dibuang. Tapi aku cukup senang karena aku bisa merobah salah satu sudut kota
lama semarang menjadi pasar di El-Giza. Aku menghadirkan unta dari Kebun
Binatang Gembiraloka Jogjakarta. Penduduk kota lama Semarang dibikin heboh
dengan munculnya unta secara tiba-tiba di sana.
Shooting paling berat yang aku rasakan pada saat adegan sidang Fahri.
Aku memilih gereja Imanuel Jakarta untuk di set sebagai ruang pengadilan.
Aku menghadirkan lebih dari 300 ekstrass. Semua pemain utama kumpul jadi
satu. Penata kostum, penata make up kewalahan menghadapi banyaknya pemain.
Ini salah satu scene dengan jumlah pemain paling banyak. Aku melihat hal
yang unik di sana. Banyak pemain memakai Jilbab bahkan bercadar, tapi mereka
berada di dalam gereja. Tanda salib bertebaran di atas kepala mereka. Suatu
yang lucu dan menarik aku lihat. Lalu aku ingat, pada saat aku masuk masjid
Al Azhar, bahkan untuk ijin memotret saja tidak mudah. Apalagi shooting.
Tapi di gereja Imanuel ini, aku tidak hanya membawa kamera dan lighting. Aku
bahkan memasukkan teralis penjara sebesar 3 meter persegi didalamnya. Aku
tertawa kalau memikirkan itu .
Tidak terasa, persoalan sudah menjadi bagian dari produksi ini. Malah,
ketika persoalan tidak muncul aku merasa ada yang aneh. Terlepas dari semua
itu, aku senang bisa terlibat dalam persoalan. Terlebih lagi, persoalan itu
bisa terpecahkan sekalipun dengan air mata. Semoga kedepan, aku bisa lebih
dewasa.
Robbana afrigh alaina shabran wa tsabit aghda mana fanshurnaa ala qaumil
kafiriin ...
( ...Ya Alloh, limpahkan kami kesabaran. tegakkanlah kaki kami kembali.
Lindungilah kami
atas orang-orang yang membenci kami ...)
Hingga shooting ini selesai, kami masih berhadapan dengan puluhan
persoalan lagi. Nantikan di bagian IV (AAC hijrah ke India untuk
menghadirkan Sungai Nil, Padang Pasir dan kota) ...
KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.Akhir)
Shooting di Jakarta sudah selesai. Aku puas dengan kerja tim AAC yang solid.
Sekalipun berat, tetap commit untuk menyelesaikan film ini apapun
hambatannya. Padahal secara legal, kontrak crew sudah habis 1 bulan
sebelumnya. Artinya, mereka bekerja tanpa ikatan kontrak lagi. Ini yang
membuat aku terharu atas commitment mereka. Terlebih lagi, banyak diantara
mereka non-muslim. Tapi tidak satupun dari mereka yang mengkaitkan
keyakinan itu dengan kualitas kerja mereka.
Sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya, meski Allan bisa menyulap
Semarang dan Jakarta jadi kairo. Secara geografis, tidak akan tergambar jika
tidak ada shooting di Kairo. Awalnya producer sudah puas dengan hasil
shooting di Indonesia tanpa perlu shooting di Kairo. Saya sangat keberatan.
Sebenarnya, dari hasil sisa adegan yang belum diambil, hanya membutuhkan
waktu 5 hari saja shooting di kairo. Akhirnya producer mengerti dan menjalin
hubungan dengan local production lain di kairo. Local producer itu sering
menangani film-film asing yang shooting di Cairo. Sebuah perusahaan yang
juga berpengalaman d bidang produksi film. Setelah melihat konsep film AAC,
dia menawarkan harga untuk shooting disana selama 5 hari. Jumlah yang
diajukan sebesar 3 Milyar untuk shooting 5 hari. Nilai yang bahkan di
Indonesia bisa membuat satu film.
'Angka yang tidak masuk akal' kata producerku.
Aku sepakat dengan producerku, meski aku tahu konsekwensi membuat film
sesuai dengan novel Kang Abik memang berbujet besar. Tapi aku tetap tidak
percaya degan penawaran itu. Setelah kita cek quote yang diajukan, aku
melihat item-item yang tidak rasional. Misalnya, makan per orang dia budjet
kan 100 US$ sehari. Padahal pada saat riset di sana, aku bisa makan dengan
25 ribu sehari. Bujet penawaran itu tidak bisa ditawar kecuali kita
mengurangi jumlah hari dan kru. Negosiasi tertutup.
Kemudian muncul gagasan shooting di India dari salah seorang staf
perusahaan MD yang orang India. Dia berjanji bisa menyediakan lokasi yang
kita butuhkan mirip Cairo. Semula aku ragu, tapi setelah ditunjukkan
foto-foto lokasi di India, saya jadi yakin. Dalam foto itu tergambat Sungai
Nil, sudut kota kairo, Taman Al azhar University, Padang Pasir lengkap
dengan unta-unta dan kafilah. Hanya pyramid saja yang tidak ada. Tapi itu
bisa dibuat di studio menggunakan Computer Graphics Imagery (CGI) yang lebih
dikenal dengan special effect.
Disaat persiapan menuju India, tercetus ide untuk tetap bisa shooting di
Kairo dengan dibarengi workshop film buat mahasiswa Indonesia-Al Azhar. Lalu
aku menghubungi PCIM (Pimpinan Cabang Islam Muhammadiyah) . Mereka setuju
dengan ideku. Kita bahkan dibantu KBRI. Di Kairo, aku dan PCIM berencana
menggelar workshop dengan peserta anggota PCIM (mereka adalah mahasiswa
Indonesia yang sekolah di Azhar Univ yang menjadi anggota Muhammadiyah) dan
akan Shooting mengambil suasana kota dengan kamera kecil bersama dengan
mahasiswa peserta workshop tersebut. Biasanya, kegiatan yang mengatasnamakan
mahasiswa tidak perlu ijin berbelit-belit. Maka segala sesuatu dipersiapkan.
Dari Jakarta, tim yang berangkat ke India 20 orang termasuk pemain, tetapi 6
diantaranya berangkat duluan ke Kairo selama 4 hari. 6 orang tersebut
adalah, Fedi Nuril, Faozan Rizal (Kamera), Kasnan (Asisten Kamera), seorang
pengawal alat, Adi molana (tata suara) dan aku.
Producer setuju dengan rencana tersebut. Tapi ditengah persiapan itu,
muncul kendala di pengurusan Visa. Karena hari shooting di India dan Kairo
berurutan, membuat pengurusan visa tarik-tarikan antara keduanya. Waktu kita
hanya 1 minggu sebelum keberangkatan shooting, sementara mengurus Visa di
India membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari karena jumlah orang yang akan
berangkat banyak. Begitupun mengurus Visa Kairo. Akhirnya aku minta tolong
pihak PCIM dengan bantuan KBRI menguruskan visa on arrival. KBRI setuju dan
sudah menghubungi pihak emigrasi cairo bahwa akan datang tim dari Indonesia
berjumlah 6 orang untuk workshop. Kamipun senang dengan kabar tersebut.
Terbayang eksotisnya kota kairo, kios-kiosnya, menara-menara masjid yang
menjulang, jalan raya yang macet, kampung- el giza. Bahkan pihak KBRI bisa
menyediakan fasilitas khusus masuk kawasan pyramid dengan bebas. Rasa
optimisku bangkit lagi. Akhirnya . aku bisa shooting di Kairo .
Tapi, lagi-lagi semua itu cuma mimpi. Sesampainya di bagian Check In
Bandara Sukarno-Hatta, aku dan 5 kru lainnya tidak boleh berangkat. Waktu
itu kami berencana terbang ke Kairo dengan Sinagpore Airlines (SQ). Pihak SQ
tidak bisa memberangkatkan kami dengan alasan tidak ada visa. Aku
menjelaskan, bahwa kita dapat fasilitas Visa on Arrival dari KBRI Cairo.
Mereka minta bukti tertulis dari pihak KBRI sebagai pegangan. Aku tunjukkan
undangan dari PCIM untuk workshop atas nama Muhammadiyah ke pihak SQ. Mereka
tidak mau terima. Yang mereka minta adalah surat tertulis yang menjamin 6
orang yang diterbangkan SQ bisa diterima di Kairo. Itu tanggungjawab
Airlines atas keselamatan penumpang. Aku segera telpon pihak PCIM untuk
menghubungi KBRI. Ternyata hari itu kantor KBRI libur. Sekalipun bisa
terhubung secara pribadi dengan bagian konsulat KBRI, tapi untuk urusan
administrasi harus melalui kantor. Akhirnya, kami tidak jadi berangkat.
Kamera yang sudah kita sewa, tiket yang sudah kita beli dan segala harapan
untuk bisa shooting di Kairo buyar . Dada ini terasa sakit sekali. Dalam
perjalanan meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, tanpa sadar, air mataku
meleleh lagi. Ya Alloh, Apakah aku terlalu kotor memproduksi film ini, maka
kau berikan hambatan buatku untuk yang terbaik?
Tidak ada harapan lagi kecuali shooting ke India saja. Untuk saat ini,
sebuah kemewahan bisa membayangkan film ini sesuai dengan harapan Kang Abik
dan pembaca fanatik AAC. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyelesaikan film
ini semaksimal yang aku bisa.
Pesawat Malaysia Airlines take off dari Jakarta membawa 20 Kru dan
pemain AAC beserta dua kopor berisi Kostum pemain, 3 kopor berisi property
keperluan Artistik dan dua kopor lain berisi bahan baku film 35mm serta
kabel-kabel. Kira-kira 8 jam perjalanan, kami mendarat di Banglore untuk
transit. Saat itu malam hari. Udara agak dingin. Pesawat yang membawa kita
ke Bombay baru besok pagi sekitar jam 10 take off dari bandara. Menurut
travel agent di Jakarta, di Banglore kita disediakan penginapan. Tetapi
kenyataannya bukan penginapan sebagaimana layaknya sebuah hotel transit di
bandara international. Kita disediakan satu apartement dengan 6 kamar.
Padahal kami berjumlah 20 orang dimana tidak semuanya laki-laki. Kopor kami
juga banyak. Tidak layak buat kami untuk menempati satu apartement. Malam
itu sudah jam 12 malam. Pihak administrasi apartement sudah tutup untuk
meminta tambahan satu apartement lagi. Kami kebingungan sendiri. Setelah
beberapa lama terkatung-katung, salah seorang pembantu apartement lain
menawari bisa memakai apartementnya kalau cuma buat semalam, karena
pemiliknya sedang keluar kota. Akhirnya kami patungan menyewanya. Apartement
itu untuk crew dan pemain perempuan. Aku bersama crew laki-laki lainnya
saling tumpang tindih di apartement satunya. Aku dan Rajish (Make up artist)
tidur di sofa depan. Faozan Rizal dan tim kamera tumpuk-tumpukan satu kamar.
Fedi, Oka dan Iqbal tidur satu ranjang bertiga. Lainnya tidur sekenanya.
Tepat jam 11 siang kami meninggalkan Banglore menuju Bombay. Kami sudah
dijemput sebuah bis yang akan membawa kami 15 jam menuju Jodhpur. Bayangan
kami, Jodhpur adalah kota kecil yang tidak ada bandaranya disana. Tapi
ternyata Jodhpur adalah kota wisata. Banyak turis eropa-Amerika datang
kesana menggunakan pesawat, apalagi di bulan-bulan November. Bandaranya-pun
lebih bagus dari Halim Perdanakusuma. Jadi penggunaan bis semata-mata buat
ngirit bujet produksi, mengingat harga tiket Bombay-Jodhpur di bulan-bulan
libur naik. Kami cuma menghela nafas. 15 jam perjalanan, bayangan kami,
seperti perjalanan Jakarta Surabaya. Tidak apalah, aku bisa istirahat di
bis, pikirku.
Setelah keluar dari bandara Bombay dengan tumpukan kopor-kopor, kami
melihat bis yang disediakan kami kecil. Warnanya kuning. Bis tersebut bukan
selayaknya kendaraan tempuh Jakarta-Surabaya. Bis itu seperti bis
Jakarta-Sukabumi yang diberi AC. Tempat duduknya sempit hanya memuat 20
orang saja. Sedangkan kopor-kopor kami banyak. Aku komplain dengan orang
india (staff MD) yang mengurusi kami disana. Dia bilang, bis ini disediakan
berdasarkan bujet dari producer. Kami tetap tidak mau naik. Aku melihat
wajah teman-teman kusut. Tika (line producer AAC) marah dan meminta local
unit menyediakan tiket pesawat. Sayangnya, tiket pesawat ke jodhpur habis
sampai 3 hari kedepan. Setelah berdebat lama, akhirnya kami disediakan satu
mobil kijang khusus untuk kopor-kopor. Allan menyertai kopor-kopor itu di
mobil Kijang. Yang lainnya naik bis. Fedi yang berkaki panjang menduduki
bagian belakang tepat di selasar tengah bis diapit Rianti, Prita (Pencatat
Script), dan Clarissa. Ditengah diisi Oka, Pao, Tarmiji, Kasnan (tim
kamera), Adi molana dan pak Rajish. Di depan ada Aku, Retno Damayanti
(kostum), mbak Tia (asisten Retno) dan Tika. Seorang supir bernama Ganesh
membawa kami membelah negeri India melintasi Gujarat. Sebuah perjalanan
panjang dan melelahkan terbayang .
Perjalanan Bombay-Jodhpur mirip seperti perjalanan Jakarta-Surabaya.
Padang Ilalang terbentang di kiri kanan. Rumah-rumah gubuk, warung-warung
tempat mangkal bis dan Container berderetan sepanjang jalan seperti di film
Iran Café Transit, jajaran rumah-rumah pedesaan diselingi pohon-pohon besar
dan sawah-sawah tandus berseliweran. Pemandangan luar biasa buatku. Eksotis.
Bis kami melaju bersama dengan puluhan bahkan ratusan truk-truk. Kadang bis
kami berhenti sekedar minum teh hangat India yang dicampur susu bersama
sopir-sopir berkulit hitam. Di perbatasan Gujarat. Kami mendapat persoalan.
Bis kami dilarang melintasi perbatasan karena dokumen tidak lengkap. Selama
2 jam kami dicuekin, sementara Ganesh mondar-mandir dari post satu ke post
lainnya yang jaraknya 1 km untuk menyelesaikan administrasi. Terlihat dia
begitu stress, dia meminjam Hp Tika untuk menghubungi seseorang. Terlihat
dari cara bicaranya, Ganesh sedang bertengkar. Mungkin orang itu yang
menyebabkan Ganesh mendapat persoalan. Kami nyaris balik ke Bombay karena
tidak ada ijin melintas. Ditengah situasi panik itu Rianti, Clarrisa, Oka
dan Fedi didatangi militer bersenapan karena mereka foto-foto.
'Ini bukan tempat wisata!' kata Militer itu.
Terlihat wajah Rianti pucat karena takut. Akhirnya Ganesh menjelaskan
ketidaktahuan kami. Merekapun mengerti. Setelah 2 jam lewat dengan perasaan
tidak menentu, kami bisa melintasi perbatasan, melanjutkan perjalanan atas
perjuangan Ganesh. Malam yang panjang terasa. Sekalipun sulit buat kami
tidur di tempat sempit seperti itu, kami tidak bisa melewatkan rasa ngantuk.
Pagi berikutnya kami berhenti di sebuah kota kecil. Kami menyewa losmen
kecil buat mandi dan sarapan. Kami istirahat selama 4 jam memberikan
kesempatan Ganesh tidur. Di tempat itu kami diliatin penduduk sekitar.
Apalagi Rianti dan Clarissa. Orang-orang India memiliki keramahan berbeda
dengan Indonesia. Apalagi bukan di kota besar seperti Bombay, Delhi atau
Madrass. Suara mereka yang keras membuat kami mengira mereka marah. Tetapi
sebenarnya tidak. Di tempat itu kami baru sadar bahwa kami sudah menempuh 15
jam perjalanan. Tetapi kami masih berada setengah perjalanan menuju Jodhpur.
Setelah membuka peta baru kami sadar berapa jarak sebenarnya dan berapa
waktu tempuh sebenarnya antara Bombay-Jodhpur. Bombay-Jodhpur berjarak
850km, Kira-kira 24 jam waktu perjalanan darat jika ditempuh secara
non-stop. Kami merasa ditipu. Fedi yang biasanya diam, kini marah-marah, dia
protes ke producer atas perlakuan ini. Jawab producerku, pihak MD tidak tahu
menau soal ini. Mereka juga minta maaf. Pak Rajish, salah satu karyawan MD
dari India bagian make up artis banyak membantu kami. Setidaknya membantu
kami berkomunikasi. Ternyata, dibalik semua itu ada yang tidak jujur,
memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Aku marah, tetapi aku
tahu itu tidak ada gunanya. Akibat dari kesalahpahaman ini kami kehilangan
waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat Shooting. Kami cuma
bisa pasrah .
Jam 8 malam, tepat 30 jam perjalanan dari Bombay, kami masuk Hotel.
Alhamdulillah, akhirnya kami bisa merebahkan diri di tempat yang layak.
Diatas tempat tidur aku melepaskan pikiran. Sepanjang hidupku, tidak pernah
aku membayangkan melintasi negeri Gujarat naik bis. Tanpa asuransi, tanpa
perlindungan apapun. Untung tidak ada teroris menghadang kami. Sungguh, aku
sudah tidak kuat. Aku ingin lari saja dari produksi. Toh, tidak ada jaminan
apapun buatku untuk menyelesaikan film ini? Uang? Demi Alloh, gajiku tidak
sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau orang mengira aku
melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan? Wallohi, orang itu
benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di film ini.
Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya
diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota. Tapi apa itu idealisme? Apakah
Kang Abik dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang
mereka bisa berikan buat mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka
tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau
membanding-bandingk an Film dengan Novelnya. Lantas jika tidak sama dengan
Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang
membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak terasa.
Lagi-lagi dadaku sesak. Tapi aku tidak bisa lari. Aku sudah berjanji
kepada diriku, anakku dan ibuku untuk memberikan yang terbaik.
'Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu.' Kata
ibuku yang terus menerus terngiang.
Pagi harinya aku mulai shooting. Dan persoalan seperti tidak selesai.
Dari mulai peralatan yang kami pakai sudah ditinggalkan industri India 5
tahun yang lalu alias butut: Lampu-lampu yang fliker (menghasilkan cahaya
kelap-kelip seperti neon yang habis watt nya), Kamera tua yang ketika
dipakai mengeluarkan bunyi berisik, generator kami yang lebih layak dipakai
buat menyalakan mesin pemarut kelapa dibanding buat shooting. Lalu kru-kru
India yang disediakan untuk membantu kami bukan kru profesional. Di bagian
akomodasi makanan kami selalu datang telat sehingga banyak yang protes.
Tidak hanya kru Jakarta saja yang protes, kru India juga begitu. Suatu kali
pernah mereka mogok kerja tidak shooting karena hanya di kasih makan sekali
sehari. Padahal shooting sampai jam 12 malam. Di lokasi gurun, kami harus
mendaki gunung pasir dengan jalan kaki sebelum menuju lokasi utama. Kami
menggunakan Unta buat mengangkat Kamera dan perlengkapannya. Kaki-kaki kami
sakit tertusuk tanaman duri. Bibir kami banyak yang pecah karena panas
matahari. Sebelum mencapai tempat lokasi, kami istirahat mirip
kafilah-kafilah yang kehausan ditengah sahara.
Tapi dari semua kesulitan itu, Alhamdulillah aku bisa menyelesaikannya
dengan baik. Lokasi yang aku dapatkan luar biasa. Kecuali lokasi Gurun,
lokasi Nil, Taman, Rumah Sakit berada di satu hotel peninggalan Kasultanan
Pakistan. Lokasi gurun Pasir kami tempuh 4 jam perjalanan dari Jodhpur.
Melelahkan tapi juga menyenangkan.
3 hari kami melakukan shooting dan 2 hari sisanya adalah perjalanan. Di
hari ketiga, rombongan kembali ke Jakarta. Aku bersama 20 cann film hasil
shooting di Jodhpur terbang menuju Madras untuk editing dan processing lab.
Sastha Sunu, editor Ayat-Ayat Cinta sudah menungguku disana. Sampai tulisan
ini dikirim, aku masih menyelesaikan proses film Ayat-Ayat Cinta yang
semakin lama semakin rumit secara teknis. Sehingga mengakibatkan jadwal
Tayang Ayat-Ayat Cinta mundur di bulan Januari. Aku tidak berani menjelaskan
kerumitan itu, karena sifatnya technical sekali. Pendeknya, produksi
Ayat-Ayat Cinta adalah produksi yang penuh dengan cobaan dibandingkan 6
filmku sebelumnya.
Semoga Cobaan ini membuktikan Cinta Alloh masih bersama Kami semua .
December 14, 2007 | Permalink
AYAT-AYAT CINTA
TENTANG KARAKTER FAHRI
Ini Film ketujuh setelah 'Get Married' dan ' Ledhek'. Dua-duanya akan rilis
lebaran ini. Ayat-ayat Cinta di proyeksikan untuk Idul Adha, Natal dan Tahun
Baru. Bisa kebayang bukan siapa yang akan menonton film ini.
Membaca Novel Ayat-Ayat Cinta, membuat saya mengantuk hingga setengah buku.
Kantuk itu hilang pada saat bab mulai mengarah ke konflik. Yaitu ketika
Fahri difitnah, masuk penjara dengan vonis mati, lalu seorang gadis kristen
koptik bernama Maria datang menyelamatkan dengan 'syarat' kalau dia harus
dinikahi dulu. Padahal Fahri saat itu sudah beristeri seorang gadis
Turki-Jerman, Kaya dan cantik bernama Aisha. Kenapa mendadak saya tidak
mengantuk? Buat saya disitulah letak religiusnya. Buat saya, religius bukan
semata-mata mulut berucap doa dan puja-puji kepada Tuhan; religius juga
bukan aktifitas menyeru tentang kebaikan di atas mimbar, di TV, Radio atau
majalah sambil berdendang asik dengan ayat-ayat Quran dan Hadist. Bagi
saya, religius adalah ketika manusia berada dalam kesadaran penuh atas
ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan itu membuat manusia merasa dirinya
tolol, merunduk, bersujud dan ... bertawaqal. Saya merasa pada saat itu
Fahri menjadi tokoh yang sangat saya cintai. Sebelumnya, Fahri adalah
malaikat. Fahri adalah lelaki sempurna, yang menurut saya, tidak ada di
dunia ini. Sekalipun Habiburrahman bilang sosok Fahri banyak kita temui di
Cairo, saya tetap tidak percaya. Saya memang melihat banyak Fahri disana.
Seorang dengan pengetahuan agama Islam tinggi. Seorang rendah hati, pejuang
hidup, sederhana dan pintar. Sekalipun saya meragukan kemampuan menguasai 4
bahasa (Inggris, Jerman, Arab dan Indonesia) sekaligus. Keraguan saya juga
bertambah ketika dirinya dicintai oleh 4 orang gadis cantik dengan
karakteristik berbeda-beda: Maria, seorang gadis cantik, pintar, kritis,
sekalipun seorang kristen tetapi sangat mengagumi Al quran. Nurul, seorang
gadis Indonesia, anak kyai besar di Jombang, seorang ketua Widah (sebuah
perkumpulan anak-anak Al Azhar di Cairo), cantik, sederhana dan tentunya
pintar. Lalu Noura, seorang gadis mesir yang dianiyaya ayahnya, dipaksa
dijual menjadi pelacur. Juga seorang gadis cantik dan pintar. Terakhir,
Aisha, seorang gadis keturunan Jerman-Turki- Palsetina. Sebuah paduan
sempurna yang saya tidak perlu menjelaskan seperti apa bentuknya. Pastinya
Cuantiik nemen rek, begitu kata orang jawa timur. Tidak hanya itu, dia juga
kaya raya, setia, pintar dan solehah. Bahkan Aisha juga seorang perempuan
yang merelakan suaminya untuk poligami. Duhai, lelaki mana yang tidak jatuh
hati sama perempuan macam Aisha? Dan Fahri, tokoh ciptaan kang Abik yang
mendapatkan hidayah itu. Bagi kang Abik, Aisha adalah bidadari yang pantas
buat Fahri yang 'sempurna'. Sungguh, saya tidak tahan melihat sosok Fahri
yang tanpa cacat itu.
Seorang kreator adalah Tuhan bagi ciptaannya. Tidak hanya di film, dalam
ranah sastra, apalagi sastra modern, seorang penulis memiliki hak penuh
(sebagaimana Tuhan) untuk menciptakan karakter, set dan cerita. Tapi
masalahnya kreator bukan sepenuhnya Tuhan. Kreator punya tanggungjawab
meyakinkan penonton atau pembaca perihal karakternya. Ada logika
'Ruang-Lingkup' yang dihadirkan untuk mewujudkan kesinambungan dunia
realitas karakter dengan dunia realitas penonton ataupun pembaca. Dalam hal
ini, Kang Abik menciptakan tokoh Fahri yang jauh dari logika 'Ruang-Lingkup'
tersebut, setidaknya cuma bab-bab awal sampai tengah. Selebihnya, Fahri
menjadi manusia biasa. Hal itu yang membuat saya tertarik.
Oleh sebab itu pertama kali yang saya dan Salman Aristo lakukan sebelum
membuat film Ayat-Ayat Cinta, adalah membongkar tokoh Fahri. Itikad ini saya
lakukan bukan saya tidak respect dengan tokoh Fahri ciptaan kang Abik.
Melainkan justru saya ingin Fahri menjadi representasi lelaki muslim.
Representasi penonton.
Di dalam Novel digambarkan, Fahri adalah seorang lelaki yang tidak hanya
soleh. Tapi juga seorang pemimpin Flat, panutan, kakak bagi
yunior-yuniornya, seorang yang optimistik dan percaya diri, ganteng dan
pintar (menguasai 4 bahasa). Apabila tokoh seperti ini dijabarkan lewat
tulisan, akan dengan mudah menarik simpatik pembaca. Tapi jika di visualkan?
Mari kita lihat Ongky Alexander di Catatan si Boy, atau Sakhru khan di
film-film India. Apakah saya akan membuat film yang meletakkan karakter
dalam dunia mimpi seperti sinetron-sinetron Indonesia? Tentu saja Tidak.
Fahri di Film Ayat-Ayat Cinta adalah sosok yang lugu, ragu dan tidak terlalu
percaya diri. Lugu mencerminkan sifat sederhana dan apa adanya. Tidak
neko-neko. Ragu lebih kepada sikap yang selalu hati-hati. Karena itu Fahri
selalu dekat dengan Quran dan Hadist. Setiap menghadapi persoalan, Fahri
bukan seperti superman yang mendadak menjadi jagoan. Justru sebaliknya,
Fahri sangat hati-hati dan tidak show off. Hal ini tampak nanti pada saat
adegan di Metro. Di Novel, saya mendapatkan kesan Fahri seorang jagoan,
seorang Nabi yang sedang memberikan wejangan umatnya. Saya tidak bisa
membayangkan jika itu di filmkan. Pasti jadinya akan seperti sinetron
religius yang berisi ceramah-ceramah secara verbal. Karena Film adalah
bahasa Visual, maka saya menghindari verbalitas. Di Film, Fahri menjadi
lelaki sederhana yang terlibat pertengkaran hanya karena membela seorang
perempuan. Quran dan Hadist menjelaskan itu yang memberikan alasan Fahri
bertindak. Tentu saja tidak menjadi pendekar Silat. Melainkan sebagaimana
dirinya yang sekolah di Azhar, Fahri mencoba menjelaskan perihal adab
seorang Muslim menghadapi Tamu (ahlul zimah) yang senantiasa dilindungi
kehormatannya. Tapi karena sikap Fahri yang lugu menghadapi lelaki Arab
besar yang emosional, Fahri justru mendapatkan pukulan karena dianggap SOK
TAHU dan SOK PINTAR. Bibir Fahri sedikit berdarah akibat pukulan itu. Pada
saat itulah Fahri justru mendapatkan simpatik dari Aisha-Alicia dan
penumpang Metro. Simpatik itu bukan karena Fahri bisa meredamkan emosi orang
Arab sebagaimana di Novel. melainkan karena keberanian fahri menghadapi
persoalan sekalipun kalah. Adegan itu juga meletakkan sosok Fahri sebagai
manusia yang tidak sempurna, bisa berdarah dan lemah. Buat saya, ini lebih
realistis.
Oleh sebab itu pemilihan Fedy Nuril menjadi Fahri adalah hal yang menurut
saya tepat. Dalam diri Fedy ada keraguan dan kepolosan. Fedy bahkan tidak
mengerti bagaimana meletakkan kakinya pada saat tahiyat akhir. Tapi justru
dengan begitu, Fedy terlihat berusaha. Fedy yang tidak sempurna mencoba
belajar menjadi sempurna. Kebanyakan yang casting menjadi Fahri, salah
menafsirkan Fahri sebagai sosok religius. Mereka menampilkan diri mereka
sangat suci. bahkan ketika melantunkan satu ayat, terlalu over dramatic
sebagaimana ustadz-ustadz yang ada di TV dan Radio. Padahal tanpa mereka
berbuat begitupun, sesungguhnya ayat Quran sangat Indah dan menyentuh hati.
Di Flatnya, dalam Novel ditulis kalau Fahri seorang pemimpin sekligus abang
bagi yunior-yuniornya. Terus terang saya sangat risih dengan tingakatan
Senior-Junior. Hal ini menampakkan sisi feodalisme yang justru bukan ciri
Islam. Padahal saya kerap menemui itu di pesantren-pesantren . Di Film, saya
menempatkan Fahri tetap seorang pemimpin Flat yang bertanggungjawab atas
kebersihan dan kelangsungan aturan di Flat. Tapi bukan seorang Senior yang
men jadi panutan seperti seorang kyai menjadi panutran Santri. Sosok Saiful
yang di gambarkan kang Abik sebagai Yunior, justru saya tempatkan menjadi
sparing partner Fahri. Tingkat pendidikan Saiful sama dengan Fahri. Keduanya
sama-sama belajar agama. Bedanya, Fahri terlihat sebagai karakter yang
konservatif, Saiful justru lebih moderat. seperti Gus Dur dan Gus Solah
(solahudin Wahid). Gus Dur yang kadang nyeleneh dan berani adalah Saiful,
Gus Solah yang hati-hati dan cenderung lurus adalah Fahri. Dengan demikian,
Fahri tidak menjadi sosok paling benar di Flatnya. Saiful menjadi teman
tidak hanya dalam diskusi Islam, tetapi teman curhat ketika Fahri
mendapatkan masalah. Pada saat Syeh Ustman menawari talaqi ke Fahri. Saiful
yang diajak bicara. Begitu juga saat Fahri di fitnah dan masuk penjara.
Saiful menjadi sahabat setia.
Perobahan karakter tersebut didasari atas berbagai pengamatan kami terhadap
penonton Indonesia. Sudah jarang kita temukan film-film sekarang yang
menempatkan sosok seperti si Boy dalam Catatan Si Boy. Film paling laris
Indonesia Ada Apa Dengan Cinta yang melahirkan idola Nikolas Saputra, juga
bukan seorang yang sempurna. Lelaki tanpa teman, sinis, terkesan kasar sama
perempuan, hanya punya seorang ayah yang hidup dalam idealismenya, tetapi
memiliki kelembutan dan cinta yang tulus. Kesempurnaan di era paska
reformasi justru menjadi pertanyaan. Bahkan di negara berkembang sekalipun.
Saya mempunyai harapan film ini tidak hanya sekedar film alternative di
tengah bombardir Horor dan roman cinta remaja. Film ini saya harapkan
menjadi citra muslim di Indonesia bahkan Internasional. Bahwa Islam adalah
agama penuh cinta kasih. Penuh perenungan atas ketidaksempurnaan
manusia-manusia muslim didalamnya. Bukan justru sebaliknya, radikal, terlalu
meyakini atas kebenaran, dan tidak toleran.
'Wala tusho'ir khaddakallinas, wa la tansyi fil ardhi maroha, Innalloha la
yuhibbu kulla mukhtalin fakhur' (Lukman 18)
... Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia, dan janganlah
berjalan di bumi dengan Angkuh. Sungguh Alloh tidak menyukai orang yang
sombong dan membanggakan diri ...
August 22, 2007 in Film