Publikasi: 18/03/2005 08:28 WIB
eramuslim - Dalam sebuah pelatihan kepemimpinan, seorang instruktur mengajukan sebuah kasus yang kelihatannya sederhana kepada para peserta. Andaikan Anda seorang nelayan (modern) yang harus berminggu-minggu di tengah laut menangkap ikan, apa yang akan Anda lakukan agar sesampainya di darat ikan hasil tangkapan tetap segar? Beberapa peserta nampak tergugah dan terjadilah dialog yang makin lama makin seru dengan instruktur pelatihan.
"Masukkan saja ikan-ikannya dalam freezer," "Itu telah dilakukan. Tapi kesegarannya tetap akan berkurang, karena ketika sampai di darat ikan telah mati cukup lama," "Kalau begitu, supaya tetap hidup, perlu disediakan semacam tangki air untuk menyimpan ikan," "Itu pun telah dilakukan. Tapi karena terlalu lama berada dalam tangki, ikan-ikan itu tetap saja mati atau lemas dan tidak segar lagi ketika dijual ke konsumen. Padahal konsumen menginginkan ikan yang masih segar,"
Menit-menit berlalu, tak satu solusi pun tampak sesuai sasaran. Akhirnya instruktur memberikan suatu jawaban yang cukup mengejutkan, yang tak pernah terpikirkan sedikit pun di benak peserta, mungkin juga Anda.
"Solusi yang pernah dicoba dan ternyata berhasil adalah memasukkan seekor ikan hiu ke dalam tangki ikan,"
Peserta nampak keheran-heranan mendengar solusi yang bagi mereka tak masuk akal itu.
"Bukannya ikan hiu itu justru akan memakan habis ikan-ikan lainnya?" "Ya, memang ada ikan yang dimakan ikan hiu itu, tapi jumlahnya sangat sedikit. Ikan-ikan lainnya tetap hidup sampai saatnya tiba di darat dan dijual ke konsumen dalam keadaan tetap segar," "Mengapa demikian?" "Jawabannya adalah karena ikan-ikan itu mendapat tantangan dengan dikejar-kejar ikan hiu. Ternyata dengan adanya tantangan, kemampuan ikan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya semakin tinggi. Ikan-ikan tersebut justru mampu bertahan hidup lebih lama dengan adanya ikan hiu di sekitar mereka. Itulah hukum alam."
***
Ilustrasi di atas dapat dianalogikan pada manusia. Kita akan menjadi manusia yang lemah, malas bekerja keras bahkan segan beribadah, dan cenderung santai jika tidak mendapat tantangan yang besar dalam hidup ini. Tantangan akan meningkatkan kecerdasan, kompetensi atau kemampuan diri dalam berusaha menyelesaikan masalah. Bayangkan bila kita tidak merasa ditantang, kita tidak akan pernah terlatih untuk menghadapi masalah, apalagi mau menyelesaikannya. Namun demikian, kadang kala sebuah tantangan bisa menjadi suatu hambatan untuk maju, manakala kita tidak berani menghadapinya, sehingga menjadikan kita seorang looser. Dalam kasus di atas ibaratnya ikan kecil yang kurang gesit, sehingga dapat dimakan oleh ikan hiu.
Sesungguhnya Allah lah yang menciptakan tantangan kepada manusia di dunia ini dan sekaligus menyediakan balasannya (reward and punishment), sebagai sarana peningkatan kualitas ketaqwaan. Kadar tantangan-Nya sudah ditakar sangat akurat sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, sebagaimana tercermin dalam QS. Al Baqarah 286: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan/tindakan buruk) yang dikerjakannya".
Kemampuan dalam menghadapi masalah sebagian besar tidak kita dapatkan di bangku sekolah. Sekolah hanya mengajarkan alat dan metoda yang bisa kita gunakan untuk menyelesaikan masalah. However, a man behind the gun will mostly determine to win a war, kemampuan kitalah yang lebih menentukan. Kemampuan akan lebih meningkat jika kita terus mengasahnya di dunia nyata (pekerjaan, rumah tangga, lingkungan sosial). Semakin kita berhasil melewati tantangan akan menumbuhkan semangat baru untuk menyelesaikan tantangan-tantangan berikutnya
Suatu ketika umat Islam mendapat sebuah tantangan. Pada saat itu Rasulullah SAW dan kaum muslimin dikepung oleh pasukan kafir yang bersekutu sehingga jumlahnya berlipat ganda dalam perang Ahzab. Namun ketika sedang memecahkan batu dan menggali parit perlindungan, tiba-tiba dengan izin-Nya Rasulullah SAW mendapat 'gambaran' mengenai masa depan Islam. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW mengatakan:
"Allahu Akbar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan nampak olehku dengan nyata istana-istana negeri Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu. Allahu Akbar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak olehku dengan nyata istana-istana merahnya, dan bahwa umatku akan menguasainya." Pada saat itu Persi dan Romawi adalah dua imperium besar yang mengelilingi jazirah Arab dan menjadi simbol kekuatan tak terkalahkan selama berabad-abad.
Ini adalah sebuah tantangan Allah yang digulirkan oleh Rasulullah kepada kaum Muslimin. Dengan lecutan tantangan ini, Rasulullah dan para sahabatnya kembali bersemangat dan berhasil memenangkan perang Ahzab (Khandaq) walaupun jumlah pasukannya sangat sedikit. Dan tantangan yang dikatakan Rasulullah dalam hadits
tersebut juga menambah semangat syiar Islam dan kelak berhasil diwujudkan pada masa Khulafaur Rasyidin dan Kekhalifahan Utsmaniyah. Begitulah, apa yang pada masa itu tampaknya tidak mungkin terjadi, pada kenyataannya bisa terwujud di kemudian hari.
Suatu tantangan tidak harus datang dari luar, namun kita bisa menciptakannya dari diri kita sendiri. Tantangan dalam pekerjaan, keluarga, ataupun dakwah dapat diwujudkan sebagai suatu target pencapaian yang harus dibuat lebih tinggi dari kondisi sekarang. Jangan pikirkan itu sesuatu yang tidak bisa dicapai. Justru dengan tingginya suatu target, kita menjadi terpacu untuk lebih maju, bekerja lebih keras dan berfikir lebih kreatif. Tentu saja suatu target apakah akan dapat terwujud, tertunda untuk sementara waktu, atau bahkan tidak terwujud itu merupakan hak prerogatif Allah semata.
Wallahu 'alam bishshowab.
*** M. Asmeldi Firman asmeldi.firman@gmail.com Cikarang-Frankfurt am Main, Maret 2005
Pujian
Publikasi: 17/03/2005 08:10 WIB
eramuslim - Di sebuah ruang chatting internet, ada seorang teman menyampaikan kajiannya tentang pujian. Kajiannya ini diawali dengan kisah Imam Ali r.a. ketika mendapat teguran dari orang yang ia mintai pendapatnya mengenai ceramahnya itu. Seperti yang kita ketahui, Imam Ali r. a. sangatlah piawai dalam berpidato, sehingga setiap kali beliau berpidato selalu memberikan efek yang membuat para pendengarnya menangis. Mendapat pertanyaan itu, orang yang ditanya langsung menegurnya dan mengingatkannya bahwa jika saja ia (Imam Ali) tidak bertanya seperti itu maka amalannya itu tidak akan rusak. Begitulah kira-kira ceritanya.
Menurut makalah yang saya terima ketika saya menghadiri sebuah seminar Public Relation tahun lalu, senang memuji adalah salah satu dari nilai-nilai plus yang membentuk self-PR yang kuat. Bisa kita bayangkan bila orang sudah mau memuji orang lain berarti dia secara tidak langsung mengakui kelemahan diri dan mengakui kelebihan orang lain. Suatu tindakan yang menunjukkan kerendahhatian bukan? Dalam hal ini kita pasti sudah bisa membedakan mana pujian yang perlu dan tulus serta pujian yang menjilat.
Dulu saya pernah membaca sebuah kisah orang alim yang selalu dipuji orang karena kealimannya. Dia sungguh merasa tersiksa, karena dia khawatir dengan segala pujian itu
dirinya akan terjebak ke dalam perbuatan riya. Maka suatu hari dia melakukan perbuatan buruk seperti mencuri dan sebagainya yang membuat aneh dan kecewa orang-orang yang dulu suka memujinya. Setelah semua orang mencaci dirinya, barulah dia merasa aman karena setelah itu dia merasa tenang menjalankan ibadah tanpa gangguan ketakutan berbuat riya karena pujian.
Apa sebenarnya yang harus kita lakukan ketika kita dipuji agar kita tidak terjebak ke dalam kesombongan ataupun melecehkan orang yang memuji kita? Apalagi hanya karena ingin tenang beribadah sehingga kita rela membuat orang lain menjadi berburuk sangka (kotor hati) terhadap kita, bukankah itu merupakan suatu keegoisan?
Memang dalam menanggapi pujian, ucapan yang paling baik dan tepat adalah dengan mengucapkan 'Alhamdulillaah' (segala puji bagi Allah) karena memang Dialah yang pantas untuk dipuji. Kita pintar, kita cantik, kita ganteng, kita sukses dan sebagainya, tidak lain karena kepintaran,kecantikan, kegantengan dan kesuksesan itu adalah karena anugerah dari-Nya, semuanya itu adalah ciptaan-Nya.
Selain dari itu, ucapan Alhamdulillah menunjukkan rasa syukur kita kepada-Nya atas semua anugerah yang telah diberikan, juga merupakan wujud rasa terima kasih kita kepada orang yang memuji kita. Kita harus menghargai orang yang telah mau merendahkan hatinya memuji kita. Bisa jadi orang memuji kita malah lebih layak untuk dipuji. Seperti dalam firman Allah dalam surat An-Najm: 32, "Janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia Allah lebih mengetahui siapa yang bertaqwa." Juga dalam hadist riwayat Muslim, "Bertawadhulah (merendah dirilah) sehingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya."
Dalam beberapa hal pujian sangatlah bermanfaat, seperti pujian seorang ahli kepada orang yang sedang belajar, pujian seorang guru kepada muridnya, pujian orang tua kepada anak-anaknya atas perbuatan baik dan prestasi yang dicapai, juga pujian seorang teman kepada temannya yang selalu tidak percaya diri dan menganggap dirinya seorang "never do well" person. Semua pujian itu niscaya akan membangkitkan semangat mereka dan memandang dirinya sangatlah berharga, sehingga kepercayaan diri akan tumbuh untuk berbuat yang lebih baik.
Kalau pujian dianggap sebagai penyebab kesombongan, kita pun harus ingat bahwa penyebab kesombongan tidaklah hanya pujian. Banyak hal lain yang bisa membuat kita terjebak ke dalam perbuatan sombong, seperti hak jawab ketika mendapat kritikan terutama dari orang yang tidak kita sukai atau bersebrangan pandangannnya dengan kita lantas kita memamerkan segala kehebatan kita, merendahkan orang lain hanya karena mereka belum memakai busana muslimah, dan sebagainya. Dalam surat Al-A'raf: 47 Allah berfirman, "Apakah mereka yang kamu katakan tidak bakal mendapat rahmat, tiba-tiba kini diperintahkan : Masuklah kamu ke sorga, dengan tiada rasa takut atau sedih."
Semoga kita semua bisa melatih diri kita menjadi orang yang selalu rendah hati, sehingga setiap pujian yang kita terima lebih membuat kita bertambah kagum kepada-Nya. Aamiin.
*** Iswanti onetea03@yahoo.com
Sebuah Kepergian
Publikasi: 16/03/2005 07:58 WIB
eramuslim - Kali itu Abu Bakar mengasingkan diri ke dalam rumah. Ia mengunci pintu akibat murung dan sedih yang sangat. Sesuatu yang nyeri terasa menusuk ulu hati. Pada saat yang nyaris sama, di jalan-jalan semua orang justru hiruk pikuk akibat gembira. "Agama kita telah sempurna!" seru mereka, sumringah luar biasa.
Hari itu Padang Arafah dilanda muram. Di atas untanya seorang lelaki di usia ke-63 terhenyak dikunjungi malaikat utusan. "Pada hari ini Aku (Allah) telah sempurnakan bagimu agamamu, Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu." Seayat wahyu terakhir telah disampaikan, dan Allah telah mengakhiri misi suci Jibril, sang penyampai firman.
Islam telah mencapai puncak kesempurnaan. Kabar gembira lekas tersebar. Tapi tidak bagi seorang Abu Bakar. Tergesa-gesa sekumpulan sahabat mendatangi Abu Bakar, mencari sebab terciderainya hati. Ia menjawab, "Kamu semua tidak tahu bencana yang kelak menimpa kita. Apakah kamu tidak paham, bahwa bila telah sampai titik kesempurnaan, maka telah bermula sebuah kemunduran dan kemerosotan. Telah terbayang perpecahan yang akan menimpa kita, dan nasib Hasan dan Husein yang menjadi yatim, serta para isteri Nabi yang menjadi janda."
Semua yang hadir tersentak oleh kesadaran yang datang tiba-tiba. Mereka kini paham, ayat itu menjadi isyarat sebuah kepergian. Dan sepenjuru Madinah lekas-lekas berubah, dari gembira menjadi gelanggang air mata. Cinta mereka yang tak berbatas kian menemui kedalamannya menjelang perpisahan.
***
Menginjak milenium ketiga yang miskin solidaritas, krisis kepemimpinan, dan demoralisasi yang kronis, membuat sosok seorang Muhammad SAW, lelaki agung itu lebih serupa dengan mitos. Padahal, ia sosok yang nyata, dari kalangan manusia biasa. Sukar untuk membayangkan, seorang penguasa yang duduk di singgasana tikar belukar.
Ia menjadi yang pertama di antara orang-orang yang lapar, dan terakhir untuk mencapai kenyang. Bajunya ia tambal sendiri, tungkunya kerap tak berasap, dan biasa menyapu sendiri lantai rumahnya. Tak alpa, bersama 'Aisyah, sang isteri, ia sering dijumpai berlari pagi. Kewibawaan besarnya tak membatasi diri dari kesediaan melimpahi kemesraan mengagumkan.
Sekali waktu iringan jenazah datang dari kejauhan. Muhammad SAW, berdiri dengan sikap penuh hormat. Ketika prosesi mendekat, seorang sahabat berujar memberi ingat, "Tapi, itu jenazah orang Yahudi!" Namun, sang Nabi tetap tegak. Lembut ia berucap, "Jika ada iringan jenazah lewat, berdirilah."
Kini, semua orang memang harus belajar dari sebuah keteladanan tentang penghormatan terhadap semua sisi kemanusiaan--sejauh apapun perbedaan ras, golongan, dan bahkan, agama. Kemanusiaan yang sama tanpa batas. Ia mendampingi peristiwa kematian, bencana, kesedihan, dan juga, mungkin, kegembiraan.
Kesadaran adalah matahari, demikian Rendra di suatu kali. Kesadaran seorang Muhammad, SAW, mewarisi benih yang indah tentang budi yang luhur--dalam pengertian reason dan moralitas. Sebuah Das Sein (realita) yang tak berbeda dari Das Sollen (idealita). Ia adalah kapital besar yang memiliki kesanggupan mengatasi benci dan amarah.
Dalam prasangka-prasangka yang keruh, sisi kemanusiaan yang diajarkan sang Nabi menjadi sumber terang profetik yang melegakan.
***
Ibnu Abbas mengisahkan. Menjelang wafatnya, Rasulullah memberi kesempatan pada semua yang pernah teraniaya olehnya untuk membalas. Seorang lelaki berdiri. 'Ukasyah ibn Mukhsin namanya. Ia bercerita bahwa dalam perang Badar Rasulullah pernah mencabuknya tak sengaja. Rasul pun memerintah Bilal mengambil cemeti di rumah Fatimah. Tapi itu tak cukup. 'Ukasyah menambahkan, saat itu pada badannya tak terlapisi kain sehelai benang pun. Maka sang Nabi pun menggelontorkan pakaian. Sebagian sahabat menjadi geram, dan sebagian lainnya menangis tak sanggup menatap orang yang dicintainya akan menerima cambuk. Tapi, sekelebat kemudian 'Ukasyah menubruk dan memeluk Rasulullah dalam tangis terisak, "Siapa pula yang tega hati meng-qishas engkau? Aku berbuat demikian hanya agar tubuhku dapat bersentuhan dengan tubuhmu."
Cinta agape dipentaskan jaman. Demikianlah kisah sang Nabi yang mencintai ummatnya begitu dalam. Menjelang mautnya, ia tak berpikir tentang diri sendiri dan kebahagiaan menjumpai Sang Penguasa Akhir Zaman. Dari bibir lelaki itu Anas bin Malik hanya mendengar sebuah gelisah, "Ummatku, ummatku, ummatku..."
***
Anggi Aulina Harahap Danka_center11@yahoo.com
Menjadi Pilar
Publikasi: 15/03/2005 08:22 WIB
eramuslim - Bukan tak mungkin ada seseorang yang tak bisa menjadi pilar. Keberadaannya yang diharapkan dapat menjadi penyangga yang tangguh bagi atap di atasnya, dan juga mengokohkan tiap jengkal bahan baku yang menyelimutinya, adalah sia-sia bila si pilar tak bersedia untuk berdiri.
Pilar itu adalah kekuatan. Bayangkan saja, ia harus berdiri tegak sepanjang bangunan itu ada. Bayangkan saja, bila sebuah pilar harus permisi dan mengundurkan diri barang sedetik, maka tak ayal bangunan itu harus rela kehilangan satu penopangnya dan perlahan menjadi rapuh. Mudah runtuh. Sebab, pilar adalah penahan segala dan penguat tegaknya.
Pilar adalah kegagahan. Walaupun keberadaannya tertutup oleh lapisan batu, semen, cat, dan sekian banyak lagi yang menyembunyikan perannya. Ia pun menyendiri, walau tak mungkin pula hanya sebuah yang berdiri, namun tetap sepi. Sebab tegaknya yang gagah itu tak berada berhimpitan. Hingga tak heran, bila ia kesepian. Tugasnya seolah ia laksanakan seorang diri, padahal tak sedikit pilar-pilar lain yang merasakan hal yang sama.
Tak semua orang bisa menjadi seorang pemimpin? Memang benar. Tapi ternyata tak juga semua bisa menjadi seorang anggota. Menjadi pemimpin yang memberikan instruksi dan perintah memang tak mudah, sebab ia pun harus mengatur dan mengendalikan sekian banyak orang di bawahnya. Tetapi, ternyata tak kalah sulitnya menjadi seorang yang tugasnya menjalankan perencanaan yang telah dibuat dan menguatkan barisan agar makin melangkah maju ke depan. Tak kalah sulitnya, bahkan untuk mengatasi sebuah kejenuhan akan tugas-tugas yang terasa membosankan, butuh sebuah kekuatan.
Menjadi pilar, adalah menjadi penentu kuat rapuhnya sebuah bangunan. Bila ia enggan berdiri, maka tak mungkin lah bangunan tersebut dapat berdiri gagah dan indah. Bila ia bosan dan memutuskan untuk lari, maka bangunan itu akan kehilangan keseimbangan, goyah, dan bisa-bisa hancur rubuh terpecah-pecah. Jadi, bukankah menjadi sebuah pilar adalah menjadi sebuah kekuatan besar? Pilar yang tak gentar melawan hingar bingar cobaan yang menghajar, akan dengan setia menyandang sampai bangunan itu tak
diperlukan lagi ada. Namun pilar yang selalu kalut dan takut menghadapi angin ribut, akan dengan mudah minggir atau terpinggirkan.
Setiap diri kita adalah seumpama sebuah pilar. Di manapun kita berada, pasti akan berhadapan dengan seseorang lain yang menjadi pemimpin dan bertugas mengarahkan gerak yang kita lakukan, juga bersinggungan dengan sekian aturan dan perencanaan-perencanaan untuk setiap aktivitas keseharian. Di rumah, di jalan, di sekolah, di kampus, di tempat kerja....
Menjadi pilar adalah bertahan. Ketika pondasi yang terletak menginginkan kekokohan penyangga, ketika rangka dan bahan baku lainnya membutuhkannya sebagai penunjang terwujudnya keindahan, ketika atap yang menaungi tak mungkin terbentang tanpa ditopang olehnya. Dan harus tetap tegak walau tak disokong oleh kualitas kulit luar dan bahan baku yang baik, walau kian banyak keropos yang menggerogoti tubuh bangunan.
Mengalami kejenuhan akan aktivitas keseharian yang lama-lama terasa monoton, adalah suatu hal yang biasa. Sukses mengatasinya dan tidak menyerah begitu saja terhadap kejenuhan, barulah luar biasa. Seringkali, seseorang yang tak memiliki daya tahan yang kuat terhadap rasa jenuh, memilih untuk pergi meninggalkan segala tugas-tugasnya atau rutinitas yang dirasa membosankan itu, untuk mendapatkan sesuatu hal yang baru. Bukan semata-mata untuk mencari sebuah tantangan, melainkan menyerah sebab tak menemukan cara untuk bertahan. Bila saja mau meluangkan waktu untuk mengasah diri ini menjadi lebih kreatif, maka tiap jenak kebosanan itu akan digantikan oleh berbagai ragam aktivitas lainnya, sebagai penawar. Menjadikan kegiatan-kegiatan sampingan selain aktivitas rutin, seperti mengikuti sebuah organisasi sosial dan melakukan aktivitas yang digemari, sebagai 'obat' bagi rasa jenuh yang selalu berusaha 'mematahkan' semangat diri kita untuk menyelesaikan tugas dengan baik.
Bertahan sebagai seorang anggota dengan berbagai keterbatasannya memang tidak mudah. Diri kita akan dibatasi oleh berbagai aturan, sejumlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, dan berbagai hal lain yang seakan mengekang kebebasan untuk berekspresi sekehendak hati. Tetapi, bukankah di setiap jalan kehidupan membutuhkan aturan untuk memastikannya berjalan lancar minim hambatan? Dan bukankah aturan-aturan tersebut akan membantu anggota yang satu dengan yang lainnya agar mudah berkomunikasi dan bekerja sama? Menjadi sebuah pilar, tidaklah ringan sebab ia memegang peranan penting. Dan sesungguhnya setiap diri kita adalah seorang pilar bagi setiap komunitas kecil maupun besar yang kita masuki.
Maka, seberapa kuatkah 'model' pilar yang kita mainkan bagi sebuah bangunan yang sedang kita topang?
***
Untuk teman-teman tersayang dan diri sendiri dh_devita@yahoo.com
Titik Terakhir
Publikasi: 14/03/2005 08:02 WIB
eramuslim - Adakah permasalahan yang membuat Anda gelisah, dan Anda tidak dapat tidur semalaman? Sedih, takut, kemarahan yang meluap-luap, itu semua sering memaksa kita susah tidur. Saya yakin setiap manusia dewasa pernah merasakan tidak bisa tidur semalam karena masalah-masalah itu. Tak terkecuali saya. Sayang, sering kali permasalahan yang membuat bola mata kita terus terjaga itu adalah permasalahan dunia : harta, wanita, saingan kerja, dan masih banyak lagi.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 3.00 pagi hari. Tapi matanya teramat jauh dari kantuk. Andai saat itu ada orang yang menjual rasa kantuk, tentu sangat mahal harganya. Sebenarnya ia biasa tidak tidur malam, karena malam-malam sebelumnya pun ia sibuk begadang. Tak jelas apa yang dikerjakannya? Namun malam ini lain, malam ini ia merasa bau kematian amat dekat dengan dirinya. Ya, saat itu ia sangat takut akan kematian. Ia sadar, penyebabnya ia baru saja berbuat dosa. Dosa yang ia tahu larangannya. Ia tidak menceritakan kepada saya dosa apa yang diperbuatnya. Baru pertama sepanjang hidupnya ia merasakan takut mati. Sehingga kasur empuk di kamarnya kosong ditinggal tuannya. Ia sibuk berzikir dan memohon ampun atas segala dosa-dosanya. Setelah sebelumnya ia shalat sunah dua rakaat. Ia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Airmata dan sajadah merahnya menjadi saksi pertaubatan itu.
Azan subuh pun menggema, segera ia melaksanakan shalat berjamaah di mesjid samping kos-nya. Usai shalat subuh ia berzikir lagi di atas sajadah dengan warna yang sama. Tapi kali ini, ia menyerah. Kelopak matanya menutup, tak lama suara dengkuran halus muncul dari tengorokannya yang sedikit tersumbat. Ia tidak ingat lagi apakah benar-benar ia telah di jemput oleh kematian.
Jam 8.00 pagi, alarm Casio di pergelangannya berbunyi. Ia tersentak dari duduknya, ia segera bersujud, bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan hidup. Bersama matahari yang menerangi jendela kamarnya. "Betapa bodohnya aku saat itu!" "Memangnya kenapa?" saya balik bertanya. "Jika Allah mau, bisa saja Ia mengambil nyawaku saat berbuat dosa itu."
***
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya untuk sering-sering mengingat pemutus kenikmatan. Yaitu mati. Sahabat dan Tabi'in mereka adalah orang-orang besar yang gemar melakukannya. Bahkan mereka pun mengadakan majlis-majlis zikir yang oleh Muhammad Ahmad Rasyid disebut 'madrasah kematian'. Khalifah ke empat Ali Bin Abi
Thalib menaruh perhatian besar dalam masalah ini, pada suatu hari di masa kepemimpinannya, ia mengumpulkan rakyatnya di mesjid ibukota Kufah. Kemudian ia berkata:
"Sungguh yang aku takutkan terjadi pada kalian hanya dua, panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan membuat lupa akhirat, sedang mengikuti hawa nafsu membuat orang menolak kebenaran."
Atau dengarkanlah kata-kata indah seorang zahid Tabi'in 'Uwais Al Qarni, "Hendaklah kalian berbantal kematian ketika tidur, dan jadikanlah kematian penyangga tubuh ketika kalian berdiri.
Hal paling nyata bagi orang-orang yang selalu mengingat kematian kata seorang ulama pergerakan DR. Abdullah Nashih 'Ulwan adalah ia akan merasakan manisnya iman. Karena dengan itu, ia akan berusaha terus menerus mengumpulkan bekal agar sampai ke negeri akhirat dengan selamat. Negeri yang di janjikan oleh pencipta jagat raya ini. Islam tidak melarang kita untuk kaya dalam hal dunia, bahkan itu dianjurkan. Karena kaidah agama ini adalah bekerja untuk dunia seakan kita hidup selamanya, dan beribadah untuk akhirat seperti kita akan menemui kematian esok hari.
Kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini memberi kita warna lain, tidak ada habisnya untuk terus-menerus kita teladani. Abu Hurairah r.a seorang sahabat terkemuka perawi hadist Nabi, ketika menjelang wafatnya ia menangis tersedu-sedu. Seseorang bertanya kepadanya: "Apa yang menjadikan Anda menangis?" "Aku tidak menangis karena dunia yang kalian tempati ini, tetapi karena jauhnya perjalanan yang aku tempuh dan sangat sedikit bekal yang aku bawa. Sungguh aku akan berjalan di suatu tempat yang tinggi, turunnya di surga atau neraka. Sedangkan aku tidak tahu surga atau neraka tempat kembaliku?" ***
"Anda di mana?" "Saya sedang di pemakaman Duwaiqah." Jawabnya singkat. Saya langsung berpikir, bahwa kawan yang bercerita di atas tadi sedang mencari hal-hal baru yang mengingatkannya akan kematian. Maka ia pergi ke pekuburan. Pekuburan yang setiap hari kami lewati dalam perjalanan ke kampus Al Azhar.
Ada banyak cara untuk selalu mengingat kematian. Salah satunya pergi ke pemakaman, bayangkanlah saat kita di tandu dan pelan-pelan diturunkan ke liang lahat. Lain dari itu, kisah seorang tabi'in Rabi' Bin Khaitsam sungguh unik, ia menggali lubang kubur dan masuk ke dalamnya setiap hari, lalu mengingat-ingat penuh perasaan apa yang dilakukannya itu.
Tapi, kita mungkin belum mampu untuk menirunya. Cukuplah saat-saat kita benar-benar sibuk, dan segala urusan telah melupakan kematian. Berhentilah sejenak, tarik nafas, dan
ingat bahwa semua yang Anda lakukan saat ini pasti ada akhirnya. Nafas yang tadi Anda tarik suatu saat akan berhenti tepat pada waktunya, saat itulah kita di jemput kematian.
Putaran waktu dan roda-roda perjalanan adalah lembaran hidup yang sedang kita tulis. Kita akan menemukan banyak 'tanda baca' di sana. Yakinkan dalam hati, kita akan menemui titik terakhir. Dimana kita tidak bisa lagi menulis lembaran itu. Titik terakhir itu adalah kematian. Dan semua makhluk bernyawa tidak ada satu pun yang tahu kapan akan menemui titik itu.
*** Negeri Para Nabi, 100305, M. Yayan Suryana gaizka_kaka@yahoo.com
Satu Pelajaran dari Pohon Kelapa
Publikasi: 10/03/2005 09:44 WIB
Sebuah pepatah dari Ranah Minangkabau berbunyi, "Alam takambang jadi guru". Ini bisa diterjemahkan bahwa alam semesta bisa berperan sebagai guru bagi kita, manusia. Dia mengajarkan kita akan banyak hal tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai hamba Allah. Alam semesta -salah satu wujud ayat kauniyah dari Ilahi- tidak tersurat seperti halnya ayat-ayat qouliyah yang kita baca dalam Al Quran. Pelajaran yang diberikannya tidak tertulis dalam bentuk jilid buku dan tidak pula disampaikan pada suatu komunitas belajar, tapi berupa hikmah tersirat yang diperlihatkan melalui fenomena-fenomena alam.
eramuslim - Ada satu jenis tanaman yang menjadi khas di daerah pesisir. Rasanya keelokan alam pesisir belum lengkap tanpa kehadirannya. Dia adalah pohon kelapa, Si Nyiur melambai di tepi pantai. Selain memberi keindahan, sebenarnya kelapa punya keunggulan tersendiri. Untuk mengetahui itu, mari kita kenali lebih dekat.
Ahli taksonomi mengklasifikasikan kelapa ke dalam kelas monokotil (tumbuhan biji berkeping satu) dan suku Palmae. Dengan demikian, ciri utama batang kelapa adalah tidak bercabang. Batangnya cukup kokoh dan luas penampangnya juga relatif besar.
Fakta inilah yang membuat batang kelapa menjadi pilihan utama sebagai tiang rumah atau bahan konstruksi jembatan tradisional yang masih sering kita temui di pedesaan.
Sekarang kita perhatikan bagian lainnya, yaitu daun. Ketika menghadiri resepsi pernikahan, kita sering melihat hiasan yang biasa disebut janur kuning pada gerbang gedung atau rumah tempat penyelenggaraan acara. Itu dibuat dari daun kelapa. Untuk menyambut hari raya atau acara besar lainnya, tidak jarang kita menemukan ketupat sebagai salah satu hidangan. Kemasan ketupat itu pun dianyam dari daun kelapa. Selain itu, para perangkai bunga juga sering menggunakan daun kelapa untuk melengkapi kesempurnaan kreasinya.
Tunggu dulu, masih ada bagian dari daun yang sering kita gunakan, lidi. Dalam keseharian, lidi bisa dijumpai sebagai tusuk sate, sapu lidi, ataupun sebagai salah satu bahan untuk membuat prakarya.
Beralih ke buah. Siapa yang tidak pernah merasakan segarnya es kelapa muda? Bahan bakunya adalah air dan daging buah dari kelapa yang masih muda. Dengan menambahkan es, susu, sirup, biji selasih, ataupun bahan makanan lain, kita bisa menghidangkan minuman yang nikmat ini. Di samping itu, air kelapa juga bisa diproses menjadi nata de coco atau ditambahkan ke dalam adonan cabe yang sedang digoreng untuk mendapatkan sepiring dendeng balado yang lezat.
Daging buah dari kelapa yang sudah tua bisa diparut kemudian diperas untuk mendapatkan santannya. Santan ini bisa digunakan sebagai salah satu bahan baku makanan dan bisa juga diolah menjadi minyak kelapa. Ampas dari perasan parutan kelapa tadi dapat digunakan untuk membersihkan lantai semen supaya lebih mengkilap.
Masih bagian dari buah, yaitu tempurung kelapa. Bagian ini bisa digunakan untuk membuat vas bunga, jepitan rambut, dan aneka kerajinan tangan. Bisa juga diolah menjadi arang yang dipakai untuk membakar sate atau sebagai sumber panas pada setrika tradisional. Tempurung kelapa ini bahkan juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan katalis sebuah reaksi hidrogenasi pada industri petrokimia.
Masih ada lagi, sabut kelapa! Lihatlah, dengan memintalnya kita bisa memperoleh seutas tali tambang yang kuat. Untuk menyalakan perapian, kita juga bisa menggunakan sabut kelapa ini bersama pelepah daun kelapa dan kulit terluar buah kelapa.
Subhanallah! Betapa mengagumkan si kelapa ini. Setiap bagian kecil tubuhnya pun bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Uraian di atas hanyalah sedikit bukti manfaat kelapa bagi manusia, belum termasuk kegunaannya bagi hewan dan tumbuhan lain. Perjalanan waktu selanjutnya akan melahirkan bukti-bukti lain betapa bermanfaatnya makhluk Allah yang bernama kelapa ini. Dan sadarilah, ini pelajaran penting yang diberikan kelapa kepada kita, yaitu menjadi makhluk yang bermanfaat banyak bagi makhluk lain.
Teman, Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (ahsani taqwim). Masing-masing kita dikaruniai keunikan yang dijadikan modal untuk bergelut di lahan yang diminati. Yang patut digarisbawahi, bagaimanakah kita menggunakan semua titipan-Nya itu selama ini?
Memang, kita mungkin tidak pernah menyia-nyiakan semua pemberian-Nya itu. Kita bahkan selalu bekerja keras untuk menggunakan semua potensi yang kita miliki itu seoptimal mungkin. Namun, seringkali kita memanfaatkannya untuk menghasilkan karya-karya yang hanya berorientasi pada diri sendiri. Tak jarang kita hanya berkutat dengan kepentingan diri sendiri dan merasa tidak perlu untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak, apalagi untuk alam semesta dalam skala yang lebih besar.
Bukankah Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah kamu diutus melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam" (QS. Al Anbiyaa [21] : 107) Menjadi rahmat bagi semesta alam adalah peran yang diamanahkan oleh Allah kepada seluruh manusia. Dan Allah takkan memberi amanah tersebut jika kita tak mampu melaksanakannya. Masing-masing kita sebenarnya sudah dibekali-Nya modal dan potensi untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi makhluk lain. Entah itu berupa harta, tenaga, ilmu, pikiran atau yang lainnya. Dengan izin-Nya, semua itu bisa kita kelola supaya memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi makhluk yang lain.
Renungkanlah perkataan Sayyid Quthb ketika ia menghadapi kematiannya di tiang gantungan, "Kebahagiaan yang sesungguhnya aku rasakan adalah ketika aku merasa yakin bahwa aku telah meninggalkan sesuatu yang berharga bagi penerusku". Perkataannya bukan tiada bukti. Lihatlah, begitu banyak orang yang memperoleh manfaat banyak dari karya-karyanya, terutama Tafsir Fi Zhilalil Quran yang kerapkali dijadikan rujukan untuk mendalami Islam.
Ingatlah Asy-Syahid Yahya Ayyash, sang insinyur elektro kelahiran Rafat, Palestina. Dengan kecerdasannya, lulusan Universitas Beir Zeit ini mampu merakit bom yang susah dicari tandingannya. Bisa dikatakan bahwa ia adalah otak di balik aksi bom syahid HAMAS. Semangat jihadnya yang menggebu-gebu memberi dukungan psikologis yang besar untuk rekan-rekan seperjuangannya. Pada waktu syahidnya 5 Januari 1996 silam, Palestina menangis. Diperkirakan seperempat juta rakyat Palestina turun ke jalanan menyusun iring-iringan sepanjang 40 km untuk mengantar jenazahnya. Mereka tentu tidak akan merasa kehilangan sampai seperti itu jika sepak terjang sang insinyur tidak memberi arti yang sangat penting bagi perjuangan mereka.
Dan teladanilah Rasulullah SAW. Penduduk Makkah tidak akan melupakan solusi jeniusnya ketika meletakkan Hajar Aswad kembali pada tempatnya setelah perbaikan Ka'bah. Pertumpahan darah antar kabilah Quraisy terhindarkan. Bukan hanya itu! Gelar Al Amin juga membuat tetangga sekitarnya mempercayakan harta mereka kepada beliau untuk dijaga. Kepiawaiannya dalam memimpin tidak hanya dirasakan oleh ummat Islam, tapi juga oleh orang beragama lain yang merasa nyaman dengan kebijaksanaannya.
Menjelang akhir hayatnya, beliau masih sempat berpesan pada istrinya, Aisyah ra. untuk menginfakkan uangnya yang berjumlah 7 dinar kepada fakir miskin di kalangan Muslimin. Dan sampai saat ini, segala perilakunya dijadikan contoh teladan bagi kita semua.
Saudaraku, Hidup sebagai manusia adalah sebuah takdir. Tapi menjalani hidup yang bermanfaat bagi orang lain adalah sebuah pilihan. Bukanlah sembarang pilihan, tapi pilihan yang sangat disukai Allah. Kita-lah yang memilih apakah kita hanya akan berjibaku dengan diri sendiri atau memiliki orientasi yang diridhai-Nya, yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam. Kita juga yang menentukan jalan penggunaan tenaga, harta benda, ilmu, pikiran, dan nikmat-nikmat lainnya sebagai sesuatu hal yang bermanfaat banyak, tidak hanya untuk diri kita, tapi juga bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Dan tidakkah kita berkeinginan untuk masuk ke dalam golongan terbaik dari ummat Nabi Muhammad SAW?
"Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kelapa saja bisa memberi manfaat banyak bagi sekitarnya, apalagi kita, makhluk yang diciptakan-Nya dengan sebaik-baik bentuk?
Allahu a'lam bish-showab,
*** Sri Susanti Sri.Susanti@gmail.com Taktakan, 9 Januari 2005
Anugerah Hikmah di Balik Musibah
Publikasi: 08/03/2005 08:41 WIB
eramuslim - Parno, begitu kami biasa memanggilnya, tetangga saya waktu kecil dulu. Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana. Anak ke empat dari enam bersaudara. Seperti kebanyakan anak-anak lain, hidupnya biasa-biasa saja. Sekolah dan bermain dilalui dengan suka cita bersama teman-teman sebayanya. Selepas pulang sekolah, bersama teman-temannya pula dia membantu orang tua mencari rumput di lapangan desa untuk seekor lembu yang dipelihara keluarganya. Setelah itu dia bermain bola atau layang-layang kesukaannya sampai sore.
Seingat saya dia anak yang tidak pernah absen pergi ke masjid sebelum adzan Magrib berkumandang dengan atributnya yang khas, sarung batik sedikit kedodoran dan peci yang agak kebesaran. Pulang selepas Isya. Waktu antara Magrib dan Isya dilaluinya untuk belajar membaca Al quran atau hanya dihabiskan dengan bermain petak umpet di halaman masjid yang luas.
Malang tak dapat di tolak untung tak dapat diraih. Jika Allah sudah berkehendak tak ada satupun manusia yang bisa berdalih. Hidupnya jadi luar biasa ketika tiba-tiba sebuah musibah menghampirinya. Umurnya 12 tahun waktu itu. Pada suatu malam di bulan Ramadhan telapak tangan kanannya hancur karena petasan yang dinyalakannya. Dengan berbekal uang seadanya segera dia dilarikan oleh kakak tertua dan bapaknya ke rumah sakit di kota.
Satu bulan, dua bulan lukanya tak kunjung mambaik. Bau yang menyengat menandakan lukanya sudah mulai membusuk. Seiring dengan berjalannya waktu, pembusukan mulai merambat ke atas. Teman-temannya mulai mengejeknya dengan memanggilnya si bacin yang dalam bahasa Indonesia berarti busuk, bahkan ada yang tidak mau bermain lagi bersamanya. Beberapa kali saya melihat dia berlari sekancang-kencangnya ketika hinaan temannya sudah kelewatan. Dia selalu berusaha untuk tidak menumpahkan mendung di matanya di depan teman-teman yang mengejeknya. Hingga pada akhirnya dia sama sekali tidak mau sekolah lagi kerena merasa malu meskipun guru dan kepala sekolahnya berkali-kali datang membujuk.
Diantara keterbatasan akan biaya, untuk menghindari semakin meluasnya pembusukan di tangannya, akhirnya orang tuanya setuju dilakukan amputasi sebatas siku. Sedih sekali ketika dia tahu satu tangannya telah hilang. Bahkan dia sempat mengamuk meminta tangannya dikembalikan seperti semula. Dengan perlahan orang-orang di sekitarnya membesarkan hatinya yang terguncang hingga akhirnya dia bisa menerima keadaan meskipun terpaksa.
Setelah sembuh, dia kembali lagi bersekolah karena usaha keras dari orang-tua, saudara, guru dan teman-teman yang berusaha membujuknya. Terbayang bagaimana dia berusaha mengoperasikan tangan kirinya untuk mengerjakan semua tugas tangan kanannya yang sudah hilang. Menulis, makan, menyabit rumput dan lain sebagainya. Terbayang bagaimana dia pertama kalinya melangkahkan kaki ke sekolah hanya dengan satu tangan, hampir semua mata memandang satu tangannya yang telah hilang. Dan bagaimana dia menyiapkan hati untuk mendengar ejekan teman-temannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, dia berusaha bangkit kembali membangun rasa percaya diri yang terkoyak oleh keadaan. Ejekan teman-temannya yang memanggil namanya dengan buntungpun tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan berusaha. Prestasi akademisnya tidak berubah, masih tetap ranking satu di kelasnya hingga tamat SD.
Seperti kakak-kakaknya yang lain, setelah tamat SD diapun tidak berencana melanjutkan sekolah ke SMP karena keterbatasan biaya. Namun salah satu guru SD-nya yang bisa
membaca potensi yang ada dalam dirinya meminta ijin kepada orang tuanya untuk membiayai sekolahnya di kota. Dia juga dikirim ke Rehabilitation center (RC), yang menangani anak-anak cacat, di kota Solo. Di RC itulah dia menemukan dunia baru, keluarga, orang tua, guru, saudara dan teman-teman senasib. Bermain, belajar, olahraga dilakukan dalam kebersamaan. Saling membantu dan menguatkan disaat masalah melanda dan ketika krisis percaya diri menghampiri.
Ejekan, cemoohan, cibiran dan pandangan sinis akan kecacatan dirinya menjadi santapan sehari-hari, yang semakin mencambuk semangatnya untuk terus berusaha. Terbukti rangking pertama di sekolah masih terus dipegangnya.
Masalah serius timbul ketika kelas satu SMA di akhir semester pertama. Entah karena apa, orang yang selama ini manopang hidupnya tidak bersedia lagi membantunya. Otomastis setelah itu tidak ada lagi yang membiayai hidupnya. Dia berencana bekerja sepulang sekolah. Keluar masuk toko, bengkel dan restoran mulai dijalaninya untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi mana ada orang yang percaya dengan hasil kerja seorang anak bertubuh kurus yang hanya mempunyai tangan satu seperti dirinya. Semua menjawab "Sedang tidak butuh tambahan tenaga" atau "Tidak ada lowongan kerja". Untuk minta pada orang tuanya tak mungkin dilakukan. Sawah satu petak yang dijadikan tumpuan harapan hidup sekeluarga sudah terjual separohnya untuk biaya amputasi tangan kanannya.
Dalam kepasrahan, pada Yang Kuasa dia berdoa. Mohon diberikan jalan untuk mengatasi persoalan hidupnya. Di batas ambang putus asa, dia bercerita pada seorang teman baiknya di sekolah, mengutarakan niatnya untuk pulang ke kampung kembali kepada orang tua dan saudara-saudara yang dicintainya, meninggalkan sekolahnya. Dia ceritakan juga masalah yang sedang menghimpitnya.
Sungguh Allah Maha Pengatur atas segalanya. Hanya selisih tiga jam sejak dia bercerita, tiba-tiba temannya tadi datang menemuinya di rumah kos, tidak jauh dari RC. Mengikuti langkahnya seorang laki-laki setengah tua berbadan tegap yang akhirnya diketahui sebagai penyelamat masa depannya. Seorang pengusaha kaya yang tidak lain adalah bapak dari sahabatnya itu. Sujud syukur tanpa ditunda dilakukannya. Tak kuasa menahan haru di hatinya hingga butir-butir bening menetes dari kedua sudut matanya. Segera dia jabat dan cium tangan kedua laki-laki di hadapannya. Tak ketinggalan dia sampaikan rasa terimakasih yang teramat sangat atas kebaikannya.
Begitulah. Hingga akhirnya dia lulus dari SMA dengan nilai yang sangat memuaskan. Masuk perguruan tinggi negeri favorit di kota Yogykarta tanpa tes. Proses untuk mendapatkan gelar sarjana dilaluinya dengan lancar, hampir tidak ada hambatan yang berarti. Cemoohan, ejekan dan cibiran berganti dengan decak kagum akan prestasi yang diraihnya.
Selepas kuliah, setelah melewati jalan yang berliku, akhirnya dia diterima bekerja di salah satu perusahan swasta di kota kami. Sekarang dia tahu kenapa Allah mengambil kembali tangan kanannya hingga dia bertemu orang-orang dermawan yang
menghantarkan langkahnya mengejar masa depan. Sudah saatnya dia menikmati buah atas penderitaan dan usaha kerasnya selama ini. Memetik hikmah atas musibah yang telah menimpanya.
Kini dia menjadi tumpuan hidup keluarga, Bapak, ibu, adik-adik dan seorang kakaknya yang sudah menjanda beserta anak tunggalnya. Dia juga yang menanggung biaya sekolah adik-adik dan keponakannya. Ada satu keinginan yang belum didapatkannya, anak yang banyak dari istri yang setahun lalu dinikahinya. Kepada mereka akan diajarkan bagaimana cara bersyukur, menghargai dan menghormati orang lain tanpa melihat status sosial dan juga kelengkapan fisik. Bukankan Allah Yang Maha Penyayang tidak pernah membeda-bedakan umatnya hanya karena hal tersebut. Hanya iman di dadalah yang membedakan kita di mataNya.
*** Fitri Budiadi fitribudi@yahoo.com
Ia yang Selalu Berbagi Kasih
Publikasi: 07/03/2005 08:26 WIB
The origin of the child is a mother and is a woman. One shows a man what love, sharing and caring its all about
Asal mula seorang anak adalah seorang ibu yang juga merupakan seorang wanita, seseorang yang mengajarkan seorang anak manusia tentang makna kasih sayang, sosok manusia yang senantiasa membagi dan menjaga seluruh kasihnya.
eramuslim - Untaian kalimat yang kubaca dalam sebuah majalah sekitar delapan atau sepuluh tahun yang lalu itu masih terpatri dalam ingatan meskipun aku sudah lupa siapa wanita yang mengucapkannya. Kalimat itu kuanggap penting karena kalimat singkat itu telah mengajarkanku betapa berartinya sosok seorang ibu.
Keberartian sosok seorang ibu juga telah berulang kali digambarkan dalam beberapa buah hadits. Sebuah hadits Muttafaq Alaihi menggambarkan situasi pada saat Asma' binti Abi Bakar R.A menanyakan perihal kedatangan ibunya yang masih musyrik pada masa Rasulullah. Lalu Asma meminta petunjuk kepada Rasulullah seraya berucap, "Ibuku telah datang dengan penuh harapan kepadaku, apakah aku harus menyambung hubungan
dengan ibuku itu?" Beliau menjawab, "Benar sambunglah hubungan dengan ibumu!"
Pada suatu ketika pernah datang kepada Ibnu Abbas R.A seorang laki-laki dengan mengatakan , "Aku telah melamar seorang wanita, tetapi wanita itu menolak untuk menikah denganku. Lalu dia dilamar oleh laki-laki lain dan dia senang untuk menikah dengannya, kemudian aku cemburu dengannya dan membunuh wanita itu. Apakah aku masih dapat bertaubat?" Beliau bertanya, "Apakah ibumu masih hidup?" Dia menjawab, "Tidak!" Selanjutnya beliau mengatakan , "Bertaubatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya semampu kamu!". Atha' bin Yasar berkata, "Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas" lalu aku menemui Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya, "Mengapa engkau menanyakan mengenai hidup ibunya?" Ibnu Abbas pun menjawab, "Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu amalan yang lebih dekat dengan Azza wa Jala selain berbakti kepada ibu" (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad).
Seorang psikoanalis barat bernama Erich Fromm pun tidak melepaskan pembahasan tentang cinta kasih ibu dalam beberapa bagian bukunya. Ia dengan indahnya mengungkapkan bahwa cinta ibu adalah peneguhan tanpa syarat terhadap hidup dan kebutuhan seorang anak. Cinta ibu akan mengajarkan tentang makna pemeliharaan dan tanggung jawab yang tentunya sangat penting bagi kelanjutan hidup dan perkembangan anak. Cinta ibu pulalah yang akan menanamkan rasa syukur pada Tuhan dalam diri setiap anak atas kehidupan yang diterimanya, atas jenis kelaminnya, dan atas kelahirannya di muka bumi. Rasa syukur setiap anak tersebut pada akhirnya akan membuat ia mencintai kehidupan dan bukan hanya berkeinginan untuk tetap hidup.
Ibu seringkali dilambangkan sebagai tanah atau alam, oleh karena itu muncul istilah, mother land atau mother nature. Hal ini terjadi karena ibu adalah sosok yang subur seperti halnya tanah dan alam yang menawarkan kelimpahan susu dan madu. Susu merupakan simbol pemeliharaan dan peneguhan kasih ibu. Sedangkan madu melambangkan kecintaan dan kebahagiaan dalam kehidupan. Banyak ibu yang dapat memberikan susu pada anak-anaknya, namun hanya sedikit yang mampu memberikan madu. Untuk dapat memberikan madu, seorang ibu tidak hanya harus menjadi ibu yang baik, namun harus menjadi sosok pribadi yang penuh kasih sayang. Yakni sosok perempuan yang lebih berbahagia dalam memberi dibandingkan menerima, serta sosok yang betul-betul kukuh berakar pada eksistensinya. Sehingga ia tidak lagi menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri.
Al-Quran juga telah mengingatkan keutamaan ibu dengan menggambarkan penderitaan yang dirasakannya dalam dua periode kehidupan (mengandung dan menyusui).
"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kamu kembali." (Luqman:14)
Cinta kasih ibu memang sulit untuk dicapai, karena cintanya yang bersifat sangat altruis dan tanpa syarat. Cinta dalam keadaan di mana satu pihak memerlukan segala bantuan dan pihak lainnya memberikan segalanya. Namun ketulusan dan kesabaran ibu dalam mencintai semua anak-anaknya telah membuat cintanya dikategorikan sebagai jenis cinta yang tertinggi dan sebagai suatu ikatan emosional yang paling luhur.
Dan jika saja ada yang bertanya apakah yang ingin kusampaikan pada ibu, mungkin penggalan kalimat dari Gus TF Sakai, seorang penulis dari Sumatera Barat ini dapat sedikit mewakili perasaanku "...Bu kupandang hidup ini dari segala sesutu yang pernah kudengar dari mulutmu. Kuterjemahkan ia dalam langkahku, dan kususun dalam baris-baris kalimat di mana aku belajar memahami sesuatu. Sesuatu yang harus kutemui dan yang bisa mengantarkanku, bukankah begitu?..."
*** Sri Rahayu Special for my dearest mother
Resolusi
Publikasi: 04/03/2005 10:40 WIB
eramuslim - Saya punya kebiasaan baru saat bangun pagi hari. Mengambil selembar (atau berlembar-lembar) Post It, menulisinya dengan kalimat pendek dan menempelkannya di lemari kayu, di sebelah kepala tempat tidur saya. Kertas berwarna kuning itu cukup mencolok dengan tulisan tangan menggunakan pulpen warna warni dan ber-glitter.
"No more complaining on every thing!" "No more telling every body about your misery!" "Staying cool in any situation!"
Aha, tiga kalimat itu sudah beberapa hari bertengger disana dan saya senang membacainya kembali setiap kali. Kalimat-kalimat itu menjadi resolusi harian saya, yang saya usahakan pegang kuat-kuat dan semaksimal mungkin saya laksanakan. Resolusi. Apa sih artinya? Selama ini kata ini tersebut lebih kita kenal sebagai sebuah istilah untuk sikap resmi yang diambil badan dunia PBB terhadap situasi dunia atau negara yang diawasi PBB. Menurut Concise Oxford Dictionary, Resolusi atau resolution adalah a firm decision that is a formal expression of opinion or intention agreed on by a legislative body. Hmm, tidak jauh beda.
Tapi dalam banyak hal, resolusi biasa digunakan sebagai istilah personal yang dapat kita terapkan bagi diri kita pribadi untuk mendapatkan suatu capaian tertentu. Biasanya resolusi dibuat saat tahun baru, ulang tahun atau momen-momen khusus lainnya. Namun bisa juga dibuat resolusi harian. Misal, "tahun ini saya harus Lulus dengan rata-rata nilai A". Atau "Saya tidak akan merokok lagi hari ini". Dan saya lebih suka menggunakannya untuk membuat resolusi harian, terutama untuk menghentikan kebiasaan/karakter negatif.
Pagi kemarin resolusi saya adalah "No more complaining on everything" karena selama ini saya sering mengeluh dan menggugat banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan saya. Setiap kali saya mulai mengeluh, saya teringat dan diingatkan oleh resolusi itu sehingga saya berhenti mengeluh. Pagi yang lain resolusi saya adalah "stay cool ini any situation" karena selama ini saya gampang sekali panik jika ada hal yang tak beres. Resolusi itu mengingatkan saya untuk tetap bersikap kalem dan tenang meskipun ada masalah besar di depan mata.
***
Rasulullah mengajarkan kita untuk memuhasabah diri setiap malam atau kapan pun dalam kehidupan kita. Melihat mana yang buruk untuk ditinggalkan dan mana yang baik untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Rasulullah juga menyatakan bahwa orang-orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia beruntung. Yang hari ini sama dengan kemarin maka dia merugi. Dan yang hari ini lebih buruk daripada kemarin maka dia terlaknat. Resolusi dapat kita tetapkan setelah kita memuhasabah diri. Dan insya Allah ia akan membantu kita tampil lebih baik hari dibanding kemarin.
Pagi ini, tempelan di lemari kayu saya bertambah lagi: "Easy Going aja lah. Jangan terlalu serius menyikapi segala hal!"
Aha, saya juga senang membacanya. Menyimpannya dalam benak dan berusaha memaksimalkannya. Resolusi itu saya tetapkan setelah seorang teman berkomentar saya terlalu serius dan mendramatisir masalah yang sebenarnya (mungkin) sederhana. Selamat mencoba memberi resolusi bagi diri sendiri!
***
(Azimah Rahayu jelang makan siang) azi_75@yahoo.com
Laksana Ragam Bunga
Publikasi: 03/03/2005 07:48 WIB
eramuslim - Lihatlah betapa indahnya taman bunga. Beragam jenis warna dan bau wewangian ada di sana. Ada yang merah, putih, kuning, ungu, dan lain sebagainya. Ada pula yang besar namun banyak juga yang kecil. Semuanya mempesona untuk menghiasi dunia. Betapa Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan dengan menciptakan taman bunga justru dari beragam hal-hal yang berbeda. Berpadu menyemburatkan nuansa indah, menggoda mata untuk meliriknya.
Coba pula amati keindahan kuntum bunga yang sedang berkembang. Mekar mewangi menengadahkan kelopaknya ke langit. Dengarlah simfoni alam yang mengalunkan tasbih dan tahmid, tatkala bulir-bulir embun di ujung daun jatuh ke tanah. Rasakan juga kelembutan sinar mentari yang diselingi tiupan semilir angin.
Indah... Semua begitu indah mempesona. Mengalunkan untaian senandung kesyukuran kepada Sang Pencipta.
Hmm... Bukankah kehidupan kita pun laksana ragam bunga di taman? Penuh dengan segala fitrah perbedaan. Namun itulah yang membuat hidup ini menjadi penuh warna dan makna. Bahkan, mestinya sebuah perbedaan justru harus menjadi pelajaran. Tentang bagaimana kita menghadapi, dan memetik hikmah dari semua perbedaan yang terjadi.
Namun sayang... Terkadang kita semua bukanlah laksana taman bunga yang dengan segala perbedaannya menimbulkan keindahan. Masing-masing kita seumpama sekuntum bunga yang ingin menyeruak sendirian. Berupaya agar kuntumnya saja yang terlihat cantik, indah dan menawan. Padahal, andaikan semua kuntum bunga itu mekar bersama, tentu akan menimbulkan keindahan yang lebih menakjubkan.
Betapa di zaman sekarang ini umat Islam sedang dalam kehinaan, sedangkan kita masih saja larut dengan kesibukan mempermasalahkan perbedaan khilafiyah. Bahkan, tak jarang hingga melepaskan ikatan tali persaudaraan. Kadang kita pun lupa dengan saudara kita sendiri yang juga berjuang untuk kemuliaan Islam. Buruk sangka dan saling menjatuhkan, sehingga yang terjadi adalah perpecahan.
Sesungguhnya, ide dan gagasan dakwah yang beragam itu adalah kekuatan. Semua akan menjadi sebuah gerakan terorganisir, rapih, solid dan militan yang Insya Allah mengubah kondisi ummat hingga tak ada lagi fitnah atas Islam. Menciptakan sebuah taman yang indah, dari beragam bunga, sehingga bukan kita saja yang menikmatinya. Namun, akan menjadi taman bunga yang mengundang semua orang dari segala penjuru dunia untuk bersama menikmati keindahannya. Bukankah seorang mujahid Islam, Hasan Al-Banna, pun pernah mengatakan bahwa perbedaan itu bukanlah suatu kemustahilan. Tetapi yang diharapkan, walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi kepentingan bersama untuk menegakkan qalam illahi di muka bumi.
Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah!
Kita lah ruh dan jiwa baru itu. Yang mengalir di tubuh ummat, menghidupkan tubuh yang mati dengan Al-Quran. Siap menjadi anak-anak panah yang dilepaskan dari sebuah busur, pedang-pedang tajam untuk menebas musuh, atau laksana dahsyatnya butir peluru yang ditembakkan dan melaju.
Wujudkan seluruh kemampuan untuk kemuliaan Islam hingga jihad fi sabilillah menemui kita. Karena setiap dirimu pun laksana sekuntum bunga dari sekian banyak ragam bunga di dunia. Tumbuh dan mekarlah dengan khas wewangian-mu. Sirami selalu dengan aqidah dan akhlak terbaik, hingga tiba saatnya kita bersama menghiasi dunia ini dengan keindahan ajaran Islam.
Kemenangan yang dijanjikan itu akan tiba, percayalah!
Semoga tak akan ada lagi di antara kita yang merasa jamaahnya saja yang terbesar, paling benar, terbanyak pengikutnya atau telah banyak berbuat untuk Islam. Siapkan diri, rapatkan barisan, luruskan shaf, rajut ukhuwah Islamiyah di antara kita.
Siapapun engkau, apapun namanya dirimu, jangan pedulikan. Karena yang terpenting kita semua adalah bunga-bunga Islam yang siap sedia menyebarkan wanginya ke segala penjuru dunia.
Galang persatuan dan kesatuan, bersama tegakkan Al-Islam.
Allahu Akbar!
Wallahu a'lamu bish-shawaab.
*** -Abu Aufa-
Berjuang Melawan Nafsu Diri
Publikasi: 02/03/2005 08:17 WIB
eramuslim - Beberapa waktu lalu, pembantu rumah tangga, sebelah majikan saya, disuruh pulang oleh majikan perempuannya. Padahal ia belum genap dua tahun bekerja di Brunei. Permasalahan yang saya dengar, dia menjalin hubungan asmara dengan majikannya yang laki-laki.
Seminggu kemudian, seorang pekerja restoran, yang setiap hari saya kirimi mie, tidak kelihatan bekerja. Dari temannya saya tahu jika ia ternyata sudah pulang. Saya kaget lagi. Informasi selanjutnya yang saya peroleh, dia baru saja menggugurkan kandungan di sebuah rumah sakit. Dan tubuhnya terlalu lemah. Hingga akhirnya terpaksa ia pulang.
Rupanya selama bekerja di negeri orang, ia berpacaran lagi dengan seorang lelaki restoran sebelah. Padahal di rumah ia sudah punya suami dan satu anak.
Terakhir, teman saya, seorang sopir di sebuah warung makan, terpaksa harus cepat-cepat kawin, karena perempuan yang dipacarinya sudah dua bulan tidak haid. Dan lagi-lagi, terpaksa, keduanya harus pulang ke tanah air.
Belum lupa dengan tiga kabar tersebut, suatu malam, majikan saya memberi tahu, kabar yang dibacanya di koran memberitakan, polisi menangkap dua pekerja Indonesia. Mereka seorang lelaki dan perempuan. Keduanya tertangkap basah ketika sedang bercinta di suatu tempat.
Satu persatu peristiwa-peristiwa yang menimpa sahabat-sahabat saya bermunculan. Dan itu akan terus disusul dengan berita-berita lain tentunya. Ada yang lucu, unik, tapi ada juga yang sangat serius jika kita lihat dari sudut pandang keimanan. Mengapa tidak? Seorang muslim, yang sedang merantau jauh ke negeri orang, ternyata harus terhempas oleh pernik-pernik nafsu setan.
Akhir-akhir ini, saya sering mendapat surat, telepon dan juga email, dari sahabat, tetangga dan juga saudara-saudara saya. Mereka menanyakan pada saya bagaimana caranya bekerja di luar negeri. Atau beberapa teman malah ingin dicarikan kerja di Brunei, karena katanya di Jakarta gajinya hanya cukup untuk makan dan bayar kontrakan.
Saya berusaha menerangkan kepada mereka dan sedikit memberi rambu-rambu. Sebab proses bekerja di luar negeri tidak seperti yang dibayangkan. Saya juga memberikan saran agar hati-hati berhubungan dengan PJTKI, atau orang-orang yang mencari tenaga kerja di kampung-kampung. Sebab jika tidak berhati-hati bisa terjerumus sendiri. Banyak sahabat-sahabat kami yang terlunta-lunta di perbatasan, karena ternyata visa kerjanya belum ada. Seperti di sebuah kota kecil di perbatasan Indonesia-Malaysia, Singkawang.
Bekerja di luar negeri sah-sah saja. Mereka mungkin tergiur dengan kesuksesan tetangganya. Yang setelah bekerja di luar negeri mampu memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, beli tanah dan bisa membeli kebutuhan lainnya. Sehingga kerja di luar negeri seolah sangat indah. Seperti indahnya sebuah gunung yang dilihat dari kejauhan. Atau mungkin karena betapa susahnya mencari penghidupan di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Sebab bagi sebagian orang, seperti saya, bisa diandaikan seperti ayam yang sekarat di dalam lumbung padi. Permasalahannya, negeri yang makmur, kata para komponis lagu kebangsaan, negeri belahan sorga, kata Cak Nun, itu masih belum bisa memberikan semacam kesejahteraan pada sebagian rakyatnya. Sehingga mereka beranggapan, bahwa di luar negeri sedang hujan emas, sedang di tanah air sendiri sedang hujan batu.
Dan tak lupa saya juga tekankan pada sahabat saya, jika proses medical check sudah selesai, bukanlah selesai segala-galanya. Ada sesuatu yang maha penting di samping kesehatan fisik, yaitu kekuatan iman. Sebab di luar negeri banyak godaan, seperti saya ceritakan di atas tadi.
Sebelum kita berjuang melawan hal-hal lain, seperti mungkin akan menemui majikan keras, mungkin gaji tak terbayar, job kerja tidak sesuai, atau masa kerja yang tidak sesuai dengan aturan buruh, maka hal terpenting yang harus diperhatikan adalah sejauh mana kekuatan iman untuk melawan diri sendiri. Kata Rasulullah, justru perjuangan melawan diri sendirilah yang terberat sebelum terjun ke kancah perjuangan yang lain. Bahkan lebih berat dari perang Badar.
Saya bukan lagi sok alim. Atau sedang bergaya kesufi-sufian. Sama sekali tidak. Bahkan saya pun tentu masih belepotan dengan daki-daki dosa. Saya hanya tergerak dengan firman Allah: Bahwa kita harus saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran. Kenapa ini penting? Karena banyak sekali kejadian-kejadian di sekitar saya, yang intinya sebenarnya adalah lemah iman.
Berbekal iman, saya yakin tidak akan rugi. Bahkan akan menuai keuntungan yang sangat besar.
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, orang-orang shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al Baqarah 62)
Sebab belum lama ini, saya juga mendapat suatu kejadian juga. Seorang teman, memberi saya nomor HP. Setelah saya hubungi, tenyata nomor itu milik seorang perempuan. Sebelum saya bicara banyak, ia telah nyerocos bicara terlebih dahulu. Ia menawari saya untuk jumpa di mana. Jam berapa. Ia siap bertemu kapan dan di mana saja. Dan terakhir ia juga siap diajak ke mana saja jika saya mau. Termasuk tidur bersama. katanya. Na 'udzubillahi mindzalik.
Saya kaget. Pikiran saya menerawang. Ternyata di negeri yang orangnya hampir semua haji ini, ada juga praktek 'jual diri'. Selama ini saya tidak pernah membayangkan. Sebab memang tidak terang-terangan seperti di negeri saya, Indonesia.
Sejurus, saya ingat kata-kata Umar bin Khattab: "Seandainya tidak ada akhirat, saya akan nikmati dunia ini sepuas-puasnya."
Kalimat dari sahabat nabi yang gagah berani itu, seolah menyiram tubuh saya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tentu saja, kalimat itu sangat menyejukkan. Karena keluar dari seorang manusia yang roh imannya sudah begitu kuat. Sehingga menambah sedikit benteng pertahanan nafsu dunia saya.
Maka kepada sahabat saya yang ingin kerja di luar negeri itu, saya menyarankan agar berlatih terus menerus untuk berjuang melawan diri. Melawan nafsu pribadi. Sehingga kelak setelah di luar negeri akan menang melawan siapapun. Apalagi hanya sekedar tawaran manis dari bibir-bibir perempuan. Sebab maaf-maaf saja, Depnaker maupun PJTKI, saat ini belum mengingatkan hal semacam itu. Kecuali hanya "Kuatkan Fisik
Anda Sebelum Kerja di Luar Negri". Itu saja yang terpampang di kantor-kantor Depnaker, maupun kantor-kantor PJTKI.
*** Sus Woyo woyo72@yahoo.com (Sebuah catatan kecil untuk seorang sahabat yang ingin kerja di negeri seberang, Brunei Darussalam)
Waktu Seperti Pedang
Publikasi: 01/03/2005 08:16 WIB
eramuslim - Zaman semakin modern, banyak orang merasa sangat sibuk. Baginya, waktu adalah uang. Kontras dengan itu, tidak sedikit pula manusia yang menghambur-hamburkan waktunya. Mereka memiliki motto: "Waktu muda hura-hura, waktu tua kaya raya, kalau mati masuk surga". Namun pandangan mereka mungkin akan berubah kalau saja mereka bisa meresapi makna sebuah sya'ir Arab yang menggambarkan karakter sang waktu: Al-Waqt ka al-saif. Fa in lam taqtha'haa qath'aka (Waktu laksana pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya maka ia akan menebasmu).
***
Waktu adalah salah satu dimensi dalam hidup manusia. Karakternya, waktu senantiasa berpacu secara cepat, tanpa terasa, dan tiba-tiba menghujam. Tidaklah heran mengapa masyarakat Arab mengkiaskan cepatnya waktu dengan kilatan pedang menyambar. Agar dapat meresapi cara mengatur waktu yang baik agaknya kita perlu belajar dari seorang ksatria mengenai teknik memainkan sebilah pedang. Saya teringat kisah kepiawaian sahabat nabi, Khalid bin Walid dalam bermain pedang. Begitu piawainya ia sampai-sampai dijuluki Saifullah (pedang Allah).
Suatu saat Khalid memimpin pasukan Islam bertempur sengit di Yarmuk (wilayah perbatasan dengan Syria) melawan pasukan Romawi di bawah panglima Gregorius Theodore. Berkat kepandaiannya bermain pedang, banyak pasukan musuh terbunuh. Lalu terjadilah sebuah peristiwa yang mengesankan.
Gregorius ingin menghindari jatuhnya banyak korban di pihaknya dengan menantang Khalid untuk berduel. Dalam pertempuran dua orang itu, tombak Gregorius patah terkena sabetan pedang Khalid. Gregorius lalu mengambil sebilah pedang besar. Ketika
berancang-ancang perang lagi, Gregorius bertanya pada Khalid tentang motivasinya berperang dan kaitannya dengan Islam. Terkesan oleh jawaban Khalid, di hadapan ratusan ribu pasukan Romawi dan Muslim, Gregorius akhirnya menyatakan diri masuk Islam. Ia lalu belajar Islam sekilas, sempat menunaikan salat dua rakaat, bertempur di samping Khalid dan akhirnya mati syahid di tangan mantan pasukannya sendiri.
Apa rahasia kesuksesan Khalid? Ternyata kepandaiannya mengibaskan pedang dilandasi dengan iman kepada Allah SWT. Akibatnya lawan yang berhasil ditebasnya hanya musuh-musuh Islam. Sama halnya dengan waktu, berbagai aktivitas untuk mengisinya perlu juga didasari dengan iman yang kuat sehingga menjadi amal shaleh. Sebuah pelajaran yang menarik, bahwa berbuat baik saja ternyata tidak cukup tanpa dilandasi dengan iman dan sesuai dengan syariat-Nya.
Allah SWT pun sering mengingatkan manusia dalam berbagai firman-Nya mengenai pentingnya kedua kunci manajemen waktu tersebut. Bahkan dalam QS. Al-Ashr, Dia menambahkan dua kriteria lagi untuk menghindari kerugian yaitu saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan ajak-mengajak dalam kesabaran.
Manusia yang bisa memanfaatkan karunia waktu secara fitrah akan mencapai kesuksesan seperti Khalid bin Walid. Namun jika manusia lengah barang sedetik pun, pedang lawan bisa menghunusnya dan berakhir dengan penyesalan.
***
Sikap seorang Muslim terhadap waktu dapat diibaratkan dengan sikap seorang ksatria terhadap pedang andalannya. Semakin sering berlatih dan bertempur, maka ia akan semakin berpengalaman dan semakin berkualitas permainannya, akhirnya semakin sulit dikalahkan. Namun demikian menjadi ksatria andalan tidak menjadikannya terlena, lengah, sombong, dan mengurangi latihan. Justru sebaliknya, ia makin meningkatkan kewaspadaan dan tekun berlatih di waktu senggang agar selalu tangguh.
Ia tidak segan-segan mengevaluasi dirinya agar kualitas permainannya terus teruji. Seorang ksatria yang berilmu padi justru mempergunakan kepiawaiannya sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, mengikuti aturan yang digariskan-Nya untuk membela Diennullah. Itu semua ia lakukan karena sangat paham bahwa kepandaiannya akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Yang Maha Kuasa di akhirat kelak.
Sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Mu'adz bin Jabal, "Tidak akan tergelincir (binasa) kedua kaki seorang hamba di hari kiamat, hingga ditanyakan kepadanya 4 perkara, usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan pada siapa ia keluarkan, ilmunya dan apa-apa yang ia perbuat dengannya." (HR. Bazzar dan Thabrani).
Demikianlah, seorang muslim harus menyatukan sang waktu ke dalam jiwanya yang beriman sebagaimana pedang Khalid bin Walid yang berpadu dengan kemahirannya.
Bukankah motto hidup seorang muslim seharusnya adalah "Hayatuna kulluha 'ibadah." (Hidup seluruhnya untuk ibadah).
***
Vita Sarasi vitasarasi@yahoo.com Morfelden-Walldorf, Jerman, 19 Februari 2005
Manusia-Manusia Malam
Publikasi: 28/02/2005 08:34 WIB
eramuslim - Malam bagi sebagian orang yang merasakannya, ada nuansa tersendiri untuk jiwa. Dalam waktu dua belas jam itu segala aktivitas yang biasa terjadi siang hari terhenti. Dan ketika kegelapan menutupi jagat maha luas berdiameter 4,9 exp 9 pc ini, saat itulah keluar binatang malam pertanda dimulai kehidupan lain. Kehidupan malam. Saat terindah bagi sang zahid menghitung-hitung, dan menimbang-nimbang potongan-potongan kehidupannya.
Pukul 15.30 menit waktu Kairo ketika ia dihubungi via SMS. Usai shalat Ashar di perempatan mesjid Rab'ah El Adawea. Fisiknya masih lelah, ia baru saja pulang kuliah. Tapi, percikan air wudhu tadi cukup memberinya kesegaran baru, dan shalat Ashar yang baru ditunaikannya menambah energi jiwanya. Sendi-sendinya kembali segar untuk melakukan aktivitas baru.
"Nanti malam usai shalat Isya, kita bertemu untuk qiyamul lail" begitu bunyi SMS itu.
Ia menghela nafas panjang. Sesaat memutar otaknya ke janji pertemuan yang lain. Ia teringat, tadi di kuliah ia bertemu kawannya satu grup sepak bola. Olah raga rutinnya setiap minggu. Kawannya itu mengajak bertanding di stadion Syabab, Abbasea. Dekat asrama internasional Al-Azhar. Sebuah stadion yang biasa disewakan kepada pelajar asing. Tawaran itu begitu menggiurkannya, karena akan bertanding di malam hari. Usai shalat Isya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya, bermain di bawah lampu tembak dengan ribuan watt. Selama ini hanya melihatnya di layar televisi, ketika ada pertandingan yang benar-benar bagus. Dan besok libur akhir pekan.
Pikiran jernihnya lebih memilih untuk ikut acara perkumpulan itu. Acara yang sederhana, tapi dari sana ia menemukan kenikmatan seperti malam-malam yang lalu. "Main bola bisa lain waktu, yang ini lebih penting," gumamnya pelan menjawab protes hawa nafsunya untuk datang ke stadion.
Dalam ruang berukuran cukup luas itu berkumpul beberapa anak muda. Dari berbagai aktivitas dan hobi. Mereka duduk bersama, wajah-wajah mereka terlihat cerah. Seakan beban-beban siang yang menghimpit hilang begitu saja. Mereka akan menjumpai menit-menit yang mahal itu.
Seseorang diantara mereka berkata halus, sepertinya yang mengetuai anak-anak muda itu. Ia mengutip perkataan Muhammad Ahmad Rasyid seorang da'i pergerakan dari Irak : "Sujud dalam mihrab, beristigfar ketika menjelang subuh, dan air mata saat munajat merupakan ketinggian yang harus dikumpulkan orang-orang yang beriman. Jika ada kecenderungan dengan gemerlap surga dunia berupa uang, wanita, atau sebuah istana yang megah. Ketahuilah, sungguh surga seorang mukmin itu berada di mihrabnya"
***
Suatu waktu ia membaca kisah pemimpin besar yang dicatat sejarah. Biografi Al Faruq Umar Bin Khattab. Otaknya bertanya-tanya apa yang dilakukan lelaki tegas itu di waktu malam, disimaknya beberapa riwayat Umar dalam qiyamul lail.
Seorang imam ahli tafsir Al Hafidz Ibnu Katsir berkisah tentang malamnya Umar: "Ia sholat Isya berjamaah, lalu masuk ke rumahnya dan melanjutkan shalat sampai waktu fajar tiba."
Ia terdiam. Kagum, haru, dan dalam diam ia bertanya, sanggupkah aku menirunya? Umar sebagai kepala negara, suami, murabbi, dan ayah untuk anak-anaknya, masih menyempatkan diri untuk shalat malam. Ia yakin kesibukan dirinya bukan apa-apa dibanding kesibukan khalifah kedua itu. Ia belum puas, ia simak lagi riwayat lain.
Umar pernah berkata kepada sahabat Mu'awiyah Bin Khadij-yang heran karena melihat dirinya jarang tidur: "Jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku, dan jika aku tidur di malam hari aku menelantarkan diriku. Bagaimana aku bisa tidur dengan dua keadaan ini?" inilah jawaban sederhana dari sosok pemimpin besar, yang setan pun takut berjumpa dengannya.
Pemuda ini pemimpin sebuah persatuan pelajar asing. Ia juga seorang yang mandiri dalam ekonomi. Masih muda, baru dua puluh dua tahun. Dengan antrian aktivitas yang panjang. Tapi ia selalu merasa bukan apa-apa. Bukan pujian dari orang-orang yang ingin ia terima karena sukses sebagai aktivis, atau sorak sorai penonton sepak bola saat ia mencetak gol. Bukan, bukan itu kemuliaan. Dulu memang ia sangat menikmati 'fasilitas dunia' itu, tapi ia merasa berjalan sendiri. Hampa seperti kapas yang ditiup angin. Ia merasa lemah untuk memimpin diri sendiri. Cukuplah ia merasa bahagia jika di malam yang gelap gulita ia terbangun, lalu mendirikan shalat untuk mengadukan segala kepenatan hidup.
"Anda di sini juga?" tanyanya setengah percaya. Kawan yang disapanya itu adalah yang tadi mengundangnya bertanding sepak bola.
"Iya. Ini lebih penting." Sambil memutarkan pandangannya mengenali seluruh yang ada dalam ruangan itu. Ia merasa kecil sendiri. Malu. Pemuda-pemuda yang ada bersamanya sekarang adalah orang-orang yang kesibukannya lebih banyak darinya. Tapi mereka masih menyempatkan untuk datang.
Seribu empat ratus tahun lalu Rasulullah SAW bersabda, "Kenikmatan seorang hamba Allah adalah ketika ia shalat di waktu malam." Dan katanya lagi, "Shalat yang terbaik adalah shalat Daud AS, tidur sampai pertengahan malam dan bangun di sepertiganya."
Setiap muslim mengenal Nabi Daud AS, pemimpin kerajaan terbesar Bani Israel sepanjang sejarah. Kelak ia pun mendapat keturunan pemimpin besar yang rakyatnya bukan saja manusia, namun dari bangsa Jin dan binatang-binatang patuh kepadanya. Seorang Nabi juga, Sulaiman AS.
Lamat-lamat dalam keheningan malam di temani bau debu gurun dan samar cahaya rembulan, terdengar seseorang melantunkan Ayat Quran. "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan-nya. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (Adz Dzariyat 15-18)
***
Seribu Menara, 250205 M. Yayan Suryana,gaizka_kaka@yahoo.com Untuk siapa saja yang pernah 'kehilangan' malam.
Saat Bintang Meredup
Publikasi: 25/02/2005 08:20 WIB
Bukan karena ku berubah lemah, Saat aku menangis di pangkuanmu ibu Bukan pula ku jadi pengecut, Saat aku adukan semua kesal dalam dadaku Bukan pula ku tlah munafik, Saat aku tak mampu jadi pahlawan...
eramuslim - Benar apa yang dikatakan ustadz Anis Matta, tak selamanya pahlawan berkubang dalam keemasan di setiap detik hidupnya. Bahkan mungkin hanya ada satu momen besar dalam hidupnya. Sisanya... berkisar kesedihan, jatuh, tertekan atau mungkin hidup yang datar saja. Karena itulah manusia. Hamba yang diciptakan Allah
penuh dengan keluh kesah dalam hidupnya. Bila ujianNya berhasil dilalui layaklah dia menjadi bintang, atau paling tidak tergores namanya di sudut-sudut langit.
Seorang penulis terkenal misalnya. Dengan lentik-lentik jemarinya yang menari diatas tuts keyboard komputer, dia bisa merayu manusia menuju kebaikan, dia mampu kobarkan semangat jihad para pejuang, bahkan diapun dapat meruntuhkan jiwa-jiwa pendosa. Tapi, suatu ketika kelak mungkin, dalam hidupnya hamba hadir cobaan hingga jiwa yang begitu tinggi di mata pembaca menjadi lemah di hadapan seorang teman sejati. Naifkah?
Apakah kita hendak mengukur kehebatan pahlawan dari sisi manusianya? Bila kita memandangnya sebagai manusia, itu adalah sebuah kewajaran karena manusia adalah seorang hamba. Seorang yang kadar keimanannya bisa naik bisa turun.
Apakah kita hendak mengukur kehebatan pahlawan dari sisi ilmunya? Bila kita memandangnya sebagai seorang ulama, itu adalah sebuah kewajaran karena ulama adalah manusia. Makhluk yang bernama manusia yang adalah seorang hamba.
Dari sisi manapun pahlawan adalah manusia, hamba yang penuh dengan sisi-sisi kekurangan yang di bekali Allah Subhanallahu Wa Ta'ala sebagai saudara dari kelebihan. Begitu pula dengan kadar keimanan makhluk yang jiwanya ada diantara jemariNya, mudah berubah.
Lalu, saat kita hendak mengadili bintang karena sinarnya yang tak lagi terang, sebenarnya sudah adilkah kita hingga pantas untuk mengadilinya?
Saat cahaya bintang itu meredup mungkin kabut terlalu tebal melingkupinya hingga dia perlukan pundak seorang sahabat untuk meluruhkan mendung dalam hatinya. Ataukah bintang itu sebenarnya hanya butuh waktu bertapa sejenak dari kebisingan dunia hingga jiwanya kembali tersucikan setelah khalwat dengan pemilik cahaya abadi. Barangkali bintang itu sebenarnya ingin mengungkapkan semua rahasia tapi malu karena dia adalah bintang, hingga hanya goresan-goresan kalimat tidak jelas menghiasi buku hariannya.
Di balik itu dalam Al-quran disebutkan bahwa setiap muslim adalah bersaudara. Atau ada ungkapan di balik lelaki yang sukses ada seorang istri yang hebat. Intinya semua hasil tidak bisa terwujud hanya karena satu, diri. Apalagi tanpa melibatkan pemilik semesta. Selain Allah Subhanallahu Wa Ta'ala, tempat memohon pertolongan dan berharap, hamba butuh seorang teman sejati yang mengingatkan ke mana harus berjalan menuju tempat pelabuhan hakiki. Sahabat sejati dapat berwujud suami/istri, orang tua, sahabat ataukah bahkan buku/ilmu.
Merekalah penyelamat saat bintang tak mampu berdiri sendiri, saat lelah menyapa hingga saat kesedihan membunuhnya. Merekalah jiwa-jiwa yang diturunkah Allah sebagai Tangan-tanganNya yang penuh kasih.
...bukan karena apa ataukah apa hanya saja ini adalah masanya ...
***
Fatiya Al qudsy Batu Aji, 20 feb 05 alqudsy_muhajirin@yahoo.ie
Dialektika Cinta
Publikasi: 22/02/2005 07:57 WIB
"Samudera kan ku sebrangi" "Gunung-gunung kan ku daki" "Belantara kan ku jelajahi" "Bara Api kan ku tapaki" "Tuk buktikan, Cinta ini padamu jua"
eramuslim - Inikah gerangan ungkapan sosok arjuna yang sedang mabuk kepayang dengan unga-bunga kehidupan bernama cinta?
Kekuatan cinta senantiasa menjadi misteri, karena yang lemah tiba-tiba menjadi kuat, yang penakut tiba-tiba menjadi berani, yang bercerai-berai tiba-tiba menjadi bersatu dan yang tadi-nya mahal seketika menjadi murah.
Inilah kekuatan cinta, ketika semua mata mengarah memandang, ketika suasana hati menjadi terwarnai, tidak mengenal negara dan bahasa, kekuatan cinta adalah milik semua.
Ketika Aceh bergetar dan lautan meluap, segenap cinta pun tercurah, mengundang pejuang cinta dari berbagai pelosok bumi untuk menumpah ruahkan bahasa cinta mereka di bumi rencong.
Entah muslim dari Turki, Mesir, Saudi, Eropa, Pakistan, India, Amerika, Kanada, Malaysia dan pelosok lainnya , walaupun tak fasih mereka mengucap "Aku Cinta Kamu Karena Allah" (dalam bahasa indonesia) tapi cita rasa-nya tetap terasa, rasa-nya rasa cinta!
Karena memang cinta tak melulu harus diungkapkan dengan verbal, terkadang lebih pekat rasa-nya jika cinta dibuktikan dengan amal.
Gustav Le Bon, seorang filusuf dan ahli psikologis dari perancis menyimpulkan bahwa manusia pada umum-nya kesulitan mencerna sesuatu yang abstrak dibanding sesuatu yang nyata.
Jadi, jika ungkapan verbal cinta adalah abstrak, maka amal cinta adalah nyata! Subhanallah wa Allahmdulillahi wa la Ilaha ila Allah wa Allahu Akbar!!
Di ujung barat bumi pertiwi, Allah buktikan cinta-Nya dengan nyata, disyahidkan-Nya sekian banyak mujahid dan mujahidah da'wah. Dibuktikan cinta-Nya kepada para syuhada dengan jasad tetap terjaga rapih aurat-nya hingga bersamayam ke dalam lahat, ditebarkan wangi kesturi keluar dari jasad mereka, dan dibiarkan masjid-masjid itu tetap kokoh berdiri.
Sebagai bukti cinta, bagi para pencari cinta sejati.
Namun inilah yang disebut suka duka dalam bercinta, tak selama-nya cinta bersambut, terkadang hanya bertampuh di sebelah tangan, sebuah cinta yang tak berbalas, tak berbalas oleh bukti cinta. Sebuah ironi cinta.
Entah mengapa cinta itu mudah terucap, ketika diperlihatkan kebesaran Allah, "Alhamdulillah, Subhanallah" semua bahasa verbal cinta menjadi teramat mudah terucap, namun sayang bukti cinta-nya tak kunjung ada. Hampa! layak-nya baris-baris jama'ah di masjid-masjid yang tersisa.
Entah mengapa warung-warung kopi dan kedai-kedai mie goreng itu bisa menjadi lebih menarik, padahal seumur-umur kedai-kedai tersebut tak pernah mengungkapkan cinta kepada para pengunjungnya, apalagi hingga (mampu) membuktikannya.
Rupa-nya cinta telah berlari ke lain hati, ironi cinta, cinta yang tak berbalas.
Layak-nya dialektika cinta Syaikh Abdul Mu'iz Abdus Sattar, ketika beliau diutus Al Ikhwanul Muslimin pada tahun 1946 selama 2 bulan penuh ke Palestina untuk menyadarkan bahaya zionis bagi eksistensi muslim Palestina.
Didapati oleh Syaikh Abdul Mu'iz kondisi Masjidil Aqsha yang senyap dari para pencari cinta, ketika situasi ini ditanya kepada para jama'ah, jawab mereka kepada Syaikh Abdul Mu'iz. "Sholat itu berat bagi mereka, tapi bila mereka diseru untuk berperang mereka pasti segera memenuhi seruan secepat kilat."
***
Renungan cinta yang tak pupus oleh waktu,
"76 tahun berjalan sudah..." "59 tahun Indonesia mengisi kemerdekaannya" "57 tahun sejarah perjuangan Palestina" "20 tahun lebih bunga tarbiyah bersemi" "Aceh.... 6 tahun berjalan sudah..." "Sayang Aceh?... 2 bulan berlalu sudah"
bagai dialektika cinta kekal Sang Khaliq kepada mahluk...
"Mohonlah pertolongan dengan sabar dan sholat" (QS Al Baqarah: 45)
***
Syamsul Bachri