Inteligensi merupakan suatu konsep yang dikenal oleh masyarakat awam walaupun demikian
tidak mudah untuk mendefinisikan inteligensi. Gage dan Berliner (1979 : 71) menyatakan :
“Teacher may not need to know the intelligence test score of their student, but they do need
to know about the concept of intelligence. Such knowledge will help them understand what has
long been seen as one of the major determiners of success in school and in life after
schooling”.
Pendapat yang dikemukakan oleh Gage dan Berliner ini dapat menjelaskan bahwa tes
inteligensi seorang siswa tidak memberikan informasi yang banyak kepada pendidik, bila tidak
disertai pemahaman tentang konsep intelgensi itu sendiri, serta aspek-aspek yang terukur oleh
sebuah alat ukur inteligensi. Untuk menunjang pembahasan di sekitar taraf inteligensi siswa,
berikut ini akan dikemukakan definisi inteligensi serta alat ukur inteligensi.
Definisi Inteligensi
Terdapat banyak definisi inteligensi yang dikemukakan oleh para ahli psikologi maupun ahli
pendidikan. Beberapa diantaranya akan dikemukakan di sini untuk mengarahkan pemahaman
terhadap penelitian ini.
Menurut Harriman (1963 : 82) istilah inteligensi (intelligency) berasal dari kata latin
“intelligere” yang berarti ‘menghubungkan’ atau ‘menyusun’ (to relate or organize). Istilah ini
sinonim dengan makna kata ‘cerdas’, ‘cerdik’, ‘cendekia’ atau pandai. Gage dan Berliner (1979
: 71) mengemukakan bahwa inteligensi adalah : It is brightness, “sharpness”, ability to solve
problems, speed in figuring thing out, capacity to learn from experience.
Inteligensi adalah kecemerlangan, “ketajaman”, kemampuan untuk menyelesaikan masalah,
kecepatan dalam menuntaskan suatu pekerjaan, dan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman.
Kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan baik tidak hanya ditentukan oleh
banyaknya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh orang tersebut. Woodworth dan
Marquis menjelaskan bahwa aktivitas inteligensilah yang menyebabkan orang itu kemudian
dapat menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalahnya. Lebih jelasnya, berikut
ini pernyataan yang dikemukakan oleh Woodworth dan Marquis. As a word, intelligence is
closely related to intellect, understanding, thinking, remembering and always of knowing and
of getting knoeledge. Intellektual activity yields knowledge. Intelligent activity does this and
something more. It is useful, helpful solving a problem and reaching a goal... intelligent means
intellect put to use. It is the use of intellectual abilities for handling a situation or
accomplishing any task.
Dari definisi ini terungkap adanya perbedaan antara aktivitas intelektual dan aktivitas
inteligensi. Aktivitas inteligensi memanfaatkan lebih jauh hasil yang diperoleh aktivitas
intelektual untuk memecahkan berbagai masalah ataupun kesulitan yang dihadapi.
Permasalahan yang dihadapi dapat berupa keinginan untuk memperoleh kepuasan di sekolah
atau tempat kerja, tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku, atau
permasalahan hidup lainnya, seperti masalah ekonomi, politik, hubungan keluarga, hubungan
dengan Tuhan dan masalah percintaan. Untuk menghadapi berbagai permasalahan ini,
Thorndike menyatakan bahwa terdapat tiga jenis inteligensi dengan fungsinya masing-masing,
yaitu inteligensi abstrak (abstract intelligence), inteligensi mekanis (mechanical intelligence)
dan inteligensi sosial (social intelligence). Inteligensi abstrak didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memahami dan memanipulasikan (to understand and manage) gagasan dan simbol,
seperti kata, angka atau bilangan, rumus fisika atau kimia, peraturan atau ketentuan hukum,
dan prinsip-prinsip ilmiah (scientific principles). Gagasan dan simbol tadi sangat berhubungan
erat dengan apa yang disebut bakat akademik (scholastic aptitude). Inteligensi abstrak
dibutuhkan oleh para ilmuwan, sarjana, guru dan para pemimpin dalam bidang bisnis dan
pemerintahan.
Inteligensi mekanik (mechanical intelligence) didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mempelajari, memahami dan memanipulasi benda-benda dan alat-alat mekanik, seperti :
pisau, senapan, gunting rumput, mobil atau perahu. Inteligensi mekanis ini diperlukan oleh
para ahli mekanik/mesin, bangunan dan tukang reparasi. Inteligensi sosial (social intelligence)
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memimpin pria dan wanita, pemuda
dan pemudi, untuk bertindak dalam hubungan antar manusia. Jenis inteligensi ini diperlukan
oleh para politikus, penjual dan pemimpin masyarakat.
Thorndike (Muchkiar, 1990 : 54) menjelaskan pula bahwa ketiga jenis inteligensi ini terdapat
pada setiap orang, walaupun tarafnya tidak sama antara orang yang satu dengan lainnya, dan
setiap orang harus mengintegrasikan ketiganya agar dapat bertingkah laku sesuai dengan
tuntutan lingkungannya.
Amthauer (Polhaupessy, 1993 ; 3 - 4) berpendapat bahwa inteligensi merupakan suatu kesatuan
dari seluruh kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Intelligenz wird aufgefaszt als eine
Sonderstruktur im gesamt der Persönlichkeitsstruktur eines menschen. Intelligenz ist – für uns –
eine Struktureite ganzheit von Seelisch – geistigen Fähigkeiten, die in Leistungen wirksam
werden un den Menschen befähigen, als Handelnder in seiner Welt bestehen zu können.
Erkannt werden kann die Intelligenz nur an ihren auszerungen, nämlich dann, wenn sie in
Leistungen sichtbar wird.
Inteligensi ditanggapi sebagai sesuatu struktur tersendiri, di dalam keseluruhan struktur
kepribadian seorang manusia. Inteligensi – bagi kami – merupakan suatu keseluruhan terstruktur
yang terdiri dari kemampuan-kemampuan jiwa dan rohani yang berfungsi sedemikian rupa
sehingga memberikan kemampuan bagi manusia, untuk bertindak sebagai pelaksana dalam
dunianya.
Sekarang kita dapat membedakan inteligensi itu secara terpisah (dari kepribadian), yaitu
apabila inteligensi itu menjadi jelas melalui “keberhasilan” / “prestasi” yang dicapai.
Melalui definisinya mengenai inteligensi ini, Amthauer menjelaskan bahwa inteligensi seseorang
dapat dilihat melalui prestasi yang dicapainya.
Teori Faktor
Sebenarnya ada beberapa macam teori inteligensi, namun yang akan dibahas di sini, sebagai
pendukung alat ukur, hanya teori Faktor. Teori Faktor tentang inteligensi pada hakekatnya
merupakan penerapan analisis faktor dari metoda statistik korelasi atau regresi multipel
dengan tujuan mendapatkan variabel-variabel atau faktor-faktor utama yang sama dan yang
berbeda dari sejumlah faktor yang beraneka ragam, seperti yang dijelaskan oleh Berliner dan
Pedhazur.
Faktor-faktor yang terdapat dalam inteligensi itu dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
· Faktor Umum (general factor), yaitu faktor-faktor yang sama yang terdapat pada semua
bagian tes dari suatu tes baterai.
· Faktor Kelompok (group factor atau common factor), yaitu faktor-faktor yang sama
yang terdapat pada dua atau lebih bagian tes dari suatu tes baterai
· Faktor Khusus (special factor), yaitu faktor-faktor khusus yang hanya terdapat pada
suatu subtes tapi tidak terdapat pada subtes yang lain.
Dari uraian diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menurut teori ini untuk mengukur
inteligensi seseorang diperlukan suatu rangkaian baterai tes yang terdiri dari subtes-subtes.
Antara subtes satu dengan lainnya, ada yang salaing berhubungan karena mengukur faktor yang
sama (general factor atau group factor), tapi ada juga yang tidak berhubungan karena masingmasingnya
mengukur faktor khusus (special factor). Sedangkan kemampuan seseorang itu
merupakan penjumlahan dari seluruh skor subtes-subtes. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hoevinger yang menyatakan bahwa penggunaan analisis faktor ini didasarkan atas asumsi,
bahwa skor tes seseorang merupakan jumlah skor dari seluruh bagian yang terukur oleh tes itu
(an individual’s score on a psychological is the weighted sum of his score in the separate
mental ‘factor’ or abilities which enter into performance on that test).
Alat ukur inteligensi yang disusun oleh Amthauer menggunakan prinsip ini. Alat tes inteligensi
Amthauer yang diberi nama Intelligenz Struktur Tes (IST) merupakan tes baterai yang terdiri
dari 9 subtes. Teori inteligensi yang disusun atas dasar analisis faktor ada lima macam, yaitu
Teori Dua Faktor, Teori Bifaktor, Teori Multifaktor, Model Struktur Intelek Guilford dan Teori
Hierarki Faktor.
a) Teori Dua Faktor
Teori Dua Faktor ini dikembangkan oleh Spearman (1904). Menurut Spearman, inteligensi
terdiri dari dua faktor, yaitu faktor umum (general factor, disingkat faktor G) dan faktor
khusus (special factor, disingkat faktor S). Faktor G merupakan kemampuan umum yang
terdapat dalam setiap macam aktivitas intelektual, sedangkan faktor S merupakan
kemampuan khusus yang memberikan kekhasan pada aktivitas intelektual dalam situasi
tertentu. Menurut Spearman masing-masing faktor ini memiliki karakteristik tersendiri.
Karakteristik faktor G adalah :
1. Merupakan kemampuan umum bawaan lahir,
2. Merupakan energi umum mental,
3. Bersifat konstan,
4. Jumlah faktor G setiap individu berbeda,
5. Dipergunakan dalam setiap kegiatan individu,
6. Makin besar jumlah G yang ada pada seseorang makin besar kemungkinan kesuksesan
hidupnya.
Sedangkan karakteristik faktor S adalah :
1. Dipelajari dan diperoleh dari lingkungan,
2. Bervariasi dari kegiatan yang satu dengan yang lainnya dari individu yang sama,
3. Jumlah muatan S tiap-tiap individu berbeda.
Jadi, menurut Teori Dua Faktor Spearman ini, yang menjadi indikator inteligensi adalah
faktor G. Tes inteligensi yang baik adalah tes inteligensi yang seluruh bagian dari tes itu
soal-soalnya bermuatan faktor G, terutama tes-tes kemampuan berpikir abstraksi.
Korelasi positif antara dua fungsi dapat merupakan atribut akan adanya faktor G. Makin
tinggi taraf korelasi antara dua fungsi itu, makin besar faktor G terkandung dalam tes
tersebut, makin rendah taraf korelasi di antara kedua fungsi, menunjukkan makin besar
muatan faktor S dalam tes itu.
Pada alat tes inteligensi IST yang dibuat oleh Amthauer (IST), interkorelasi antar
subtesnya rendah, yaitu r = 0,25 (Polhaupessy, 1994 : 5). Hal ini menunjukkan bahwa alat
ukur tersebut lebih cenderung mengukur kemampuan-kemampuan spesifik inteligensi
individu. Model korelasi antara faktor G dan faktor S menurut teori dua faktor ini
dilukiskan dalam bagan berikut :
Persegi panjang yang bertanda 1, 2 dan 3 adalah tes-tes inteligensi. Bagian persegi
panjang yang terkena arsir melambangkan besar kecilnya muatan faktor G dari ketiga
macam tes inteligensi tersebut, sedangkan bagian-bagian persegi panjang yang tidak
terkena arsir melambangkan besar kecilnya muatan faktor S dari tiga macam tes
inteligensi tadi. Bila melihat contoh pada bagan, maka tes 1 dan 2 memiliki korelasi yang
tinggi dengan muatan G, sedangkan tes 3 memiliki korelasi yang paling rendah dengan
muatan G.
Woodworth (1974 : 72-73) mengatakan bahwa tes inteligensi yang mengandung faktor Gnya
besar adalah tes inteligensi yang soal-soalnya berkenaan dengan masalah kebahasaan
(verbal), keangkaan (numerikal) dan keruangan (spatial).
Sejak tahun 1927, faktor G tidak lagi diartikan sebagai “general factor”, tetapi berubah
menjadi ”group factor”. Yang termasuk ke dalam faktor kelompok ini menurut Spearman
adalah kemampuan mekanik, aritmatik, musik, berpikir logis, kemampuan psikologis, dan
termasuk tiga kemampuan lainnya yang disebut dengan istilah ‘preservation’,
’oscillation’, dan ‘will’.
b) Teori Bifaktor
Teori Bifaktor dikemebnagkan oleh Holzinger, yakni teori inteligensi yang mencoba
menggabungkan antara pandangan bahwa inteligensi itu terdiri atas faktor umum dan
faktor khusus dengan pandangan bahwa inteligensi itu terdiri dari faktor kelompok dan
faktor khusus.
Teori inteligensi Bifaktor Holzinger ini sesungguhnya merupakan pengembangan lebih
lanjut dari teori inteligensi dua faktor Spearman; disebut pula teori Spearman-Holzinger.
Inteligensi yang menurut Spearman terdiri dari dua faktor, yaitu faktor umum atau faktor
kelompok dan faktor khusus, oleh Holzinger dikembangkan sehingga menjadi delapan
faktor, yaitu faktor-faktor umum (general), matematika (mathematical), mekanik
(mechanical), verbal, keruangan (spatial), ingatan, pengambilan keputusan (deduction),
dan kemampuan motorik (motor speed).
c) Teori Multifaktor
Teori Multifaktor dikembangkan oleh Thurstone. Metoda analisis faktor yang
dipergunakan untuk menganalisa faktor-faktor inteligensi adalah metoda centroid dan
metoda rotasi. Metoda centroid dipergunakan untuk meringkaskan faktor-faktor yang
terdapat dalam tes tabel korelasi. Sedangkan metoda rotasi dipergunakan untuk
melukiskan faktor-faktor yang terdapat dalam tes, sehingga mudah dimengerti
(Loevinger, Helson, 1951 : 572-573). Multifaktor disini dimaksudkan sebagai faktor-faktor
inteligensi yang dianalisis dengan mempergunakan metoda analisis faktor itu, terdiri dari
lima faktor atau lebih. Apabila banyak sekali, faktor-faktor itu dikelompok-kelompokkan
sehingga akhirnya faktor-faktor itu tidak lebih dari sepulah buah.
Model korelasi antar faktor-faktor inteligensi itu digambarkan dalam bagan berikut :
Misalkan, tes inteligensi yang dimaksud terdiri dari 5 subtes, yang dilambangkan dengan
persegi empat yang diberi angka 1, 2, 3, 4 dan 5. subtes 1, 2 dan 3 berkorelasi, samasama
mengandung faktor spatial (keruangan), dan subtes 4 dan 5 berkorelasi, sama-sama
mengandung faktor numerical (bilangan). Lingkaran bulat telur melambangkan korelasi
antara faktor-faktor dari subtes-subtes tersebut.
Teori Multifaktor ini tidak lagi mempermasalahkan jenis-jenis faktor, seperti faktor
umum, faktor kelompok atau faktor khusus, tetapi lebih memperhatikan faktor-faktor
apa yang termuat di dalam sebuah tes inteligensi. Di dalam teorinya ini, Thurstone
mengemukakan 6 faktor utama yang terdapat dalam tes inteligensi, yaitu : faktor verbal
(V), faktor bilangan (N = numerical), faktor keruangan (S = spatial), faktor kefasihan
kata-kata (W = words fluency), faktor ingatan (M = memory), faktor pikiran ( P =
perceptual speed). Keenam faktor inteligensi ini disebut “primary mental abilities”.
Sedangkan enam faktor di dalam inteligensi menurut Witherington adalah : faktor
kemudahan penggunaan bilangan, faktor efisiensi pemakaian bahasa, faktor kecepatan
pengamatan, faktor kemudahan pemahaman ruang dan waktu, faktor kemudahan
mengingat-ingat dan faktor khayal yang rekonstruktif (Witherington, 1952 : 135).
Kesembilan subtes IST memuat keenam faktor utama ini.
d) Model Struktur Intelek Guilford
Model Struktur Intelek ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Guilford, yang pada
dasarnya merupakan teori inteligensi multifaktor dengan tiga dimensi, yaitu dimensi isi,
proses dan produk.
· Dimensi Isi, terdiri dari 4 faktor, yaitu : figural, symbolic, semantic, dan
behavioral.
· Dimensi proses atau operasi, terdiri atas 5 faktor, yaitu : cognition, memory,
divergent production, convergent production dan evaluation.
· Dimensi produk, terdiri dari 6 faktor, yaitu : units, classes, relation, system,
transformation dan implication.
Jadi, menurut Guilford seluruhnya ada 15 faktor inteligensi. Kelimabelas faktor itu jika
disusun berdasarkan struktur menurut dimensinya masing-masing akan menghasilkan 120
macam model tingkah laku intelegen, yaitu 4 x 5 x 6. bagi Guilford tingkah laku intelegen
itu merupakan fungsi-fungsi dari intelek (Anastasi, 1997 : 315).
Struktur intelek Guilford tersebut digambarkan sebagai berikut :
e) Teori Hierarki Faktor
Teori yang dikembangkan oleh Burt, Vernon dan Humpreys ini adalah teori inteligensi
yang menggambarkan hubungan hierarkis faktor-faktor inteligensi menurut struktur
organisasinya. Dengan perkataan lain, teori hierarkis faktor-faktor inteligensi ini
merupakan integrasi (jika tidak dikatakan meniadakan pertentangan) faktor-faktor
umum, kelompok atau bersama dan khusus yang dikemukakan dan dijadikan prinsip oleh
teori dua faktor, teori bifaktor dan teori multifaktor. Susunan faktor inteligensi menurut
Vernon adalah sebagai berikut ; faktor yang tertinggi adalah faktor umum (faktor G).
Setelah faktor G ini menurun kepada faktor kelompok, dan yang tebawah dalah faktor
khusus. Faktor kelompok terbagi menjadi dua macam, yaitu faktor kelompok mayor dan
faktor kelompok minor. Faktor kelompok mayor terdiri dari faktor verbal pendidikan
(v:ed) dan faktor praktek mekanik (k:m). Faktor v:ed terbagi atas faktor-faktor kelompok
minor, yaitu faktor verbal dan faktor bilangan. Faktor k:m terbagi atas faktor kelompok
minor pula, yaitu faktor mekanik, keruangan dan faktor keterampilan tangan (manual).
Faktor-faktor kelompok minor ini terbagi lagi atas faktor-faktor khusus.
Amthauer sendiri menyusun alat ukur inteligensinya dengan suatu hipotesis kerja, bahwa dalam
suatu keterikatan tertentu, maka kemampuan-kemampuan intelektual itu menunjukkan suatu
struktur tertentu. Struktur itu mengikuti suatu hierarki tertentu pula (Polhaupessy, 1994 :
4). Pengukuran Inteligensi Pengukuran inteligensi telah dimulai pada abad XIX oleh Galton. Ia
meyakini bahwa secara biologis keluarga tertentu lebih kuat dan lebih cerdas dibandingkan
keluarga lainnya. Inteligensi, menurut Galton, adalah masalah keterampilan perseptual motorik
yang luar biasa, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena semua
informasi diperoleh melalui indera, semakin peka dan semakin akurat alat persepsi seseorang,
semakin cerdas orang tersebut. Namun, serangkaian tes yang dilakukannya memberikan
kesimpulan bahwa para ilmuwan Inggris tidak berbeda dengan warga negara biasa dalam hal
ukuran kepala dan bahwa kekuatan genggaman tidak berkaitan dengan ukuran inteligensi yang
lain (Atkinson, Atkinson dan Hilgard, 1991 : 107 – 108).
Meskipun tesnya tidak terlalu bermanfaat, namun Galton menemukan koefisien korelasi yang
memainkan peranan penting dalam psikologi, dan mulai saat itu psikologi muncul sebagai ilmu
pengetahuan yang objektif. Psikologi mulai menyarankan bahwa proses-proses mental itu dapat
diamati di bawah kondisi-kondisi tertentu menurut kemauan eksperimenter. Observasi ilmiah
muncul sebagai pelengkap menggantikan kedudukan spekulasi-filosofis, sehingga dapat
memberikan deskripsi yang eksak mengenai hubungan antara dunia mental dan dunia fisik.
Itulah tujuan Wundt dengan laboratorium psikologinya di Leipzig. Di sini ia bersama rekan
rekannya mengadakan penelitian kuantitatif mengenai teknik pengukuran fungsi-fungsi mental
yang sangat terbatas. Akhirnya Wundt sampai kepada usaha untuk menciptakan suatu hukum
yang berlaku bagi setiap jiwa (mind), tanpa melihat perbedaan-perbedaan individual yang ada.
Prosedur laboratoris dan penelitian secara kuantitatif yang dilakukan oleh Wundt ini ternyata
sangat berpengaruh atas gerakan tes mental selanjutnya.
Pada tahun 1881, pemerintah Perancis meminta Binet untuk menyusun suatu tes yang dapat
mendeteksi anak yang secara intelektual terlalu lamban untuk mengikuti kurikulum sekolah
biasa. Alat ukur yang diciptakan oleh Binet ini merupakan alat ukur inteligensi pertama yang
menyerupai alat ukur seperti pada masa ini. Ia mendasari pembuatan alat ukurnya pada asumsi
bahwa inteligensi harus diukur melalui tugas-tugas yang membutuhkan penalaran serta
kemampuan memecahkan masalah dan bukan keterampilan perseptual motorik (Atkinson,
Atkinson dan Hilgard, 1991 : 108).
Pada tahun 1905, Binet menerbitkan suatu skala yang merupakan hasil kerja samanya dengan
salah seorang pakar psikologi Perancis yang lain, yaitu Theodore Simon (1873-1961). Ia
menyusun skala usia mental untuk mengukur inteligensi dipandang dari segi jenis perubahan
yang biasanya berkaitan dengan pertumbuhan. Binet merumuskan perbandingan antara skor
usia mental rata-rata (mental age = MA) dengan usia kronologis (cronological age = CA), yang
ditentukan dari tanggal kelahiran. MA anak yang cerdas berada di atas CA-nya; MA anak yang
lamban berada dibawah CA-nya (Atkinson, Atkinson dan Hilgard, 1991 : 108). Skala ini
kemudian direvisi pada tahun 1908 dan kemudian direvisi lagi pada tahun 1911.
Pada tahun 1916, Lewis Terman dari Universitas Stanford melakukan revisi kembali terhadap
tes Stanford-Binet. Ia kemudian menggunakan indeks inteligensi yang dikemukakan oleh pakar
psikologi Jerman, William Stern (1871 – 1938). Indeks ini adalah intelligence quotient, yang
mengambarkan inteligensi sebagai rasio antara usia mental (MA) dan usia kronologis (CA) :
IQ =
Angka 100 digunakan sebagai bilangan pengali supaya IQ bernilai 100, bila MA sama dengan CA.
Jika MA lebih kecil dari CA, maka IQ kurang dari 100; jika MA lebih besar dari CA, maka IQ lebih
dari 100 (Atkinson, Atkinson dan Hilgard, 1991 : 111). IQ kemudian diinterpretasikan dengan
cara membuat kurva distribusi normal. Kurva distribusi normal tersebut diinterpretasikan ke
dalam beberapa kata sifat untuk menjelaskan berbagai taraf inteligensi (Atkinson, Atkinson dan
Hilgard, 1991 : 112).
Taraf Inteligensi Uraian Verbal Persentase
di atas 139 sangat superior 1
120 - 139 Superior 11
110 - 119 di atas rata-rata 18
90 - 109 Rata-rata 46 80 – 89
di bawah rata-rata 15
70 – 79 Borderline 6
di bawah 70 Terbelakang secara mental 3
Ketika terjadi Perang Dunia I, tes inteligensi yang telah ada sebelumnya ternyata tidak
memenuhi syarat untuk dipergunakan secara massal, guna merekrut dan menyeleksi caloncalon
tentara Amerika Serikat. Untuk keperluan tersebut maka disusunlah Army Alpha Test dan
Army Beta Test oleh Otis dan kawan-kawan untuk keperluan klasikal. Sedangkan hubungan
taraf inteligensi dengan kemungkinan belajar atau bekerja dapat dilihat pada tabel berikut :
No. Taraf Inteligensi Kemungkinan Belajar atau Bekerja
1 130 Dapat mencapai gelar Doktor
2 120 Dapat mencapai gelar Sarjana
3 115 Dapat mencapai gelar Sarjana Muda
4 110 Dapat menamatkan SMU; kemungkinan 50 – 50 dapat menamatkan Perguruan Tinggi/gelar
Sarjana
5 105 Kemungkinan 50 – 50 dapat menyelesaikan pelajaran akademik SMU
6 100 Rata-rata seperti kebanyakan orang/penduduk pada umumnya
7 90 Sebagaimana kebanyakan anak-anak dari golongan yang berpenghasilan rendah; setelah
dewasa dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pertimbangan/pikiran,
seperti menjahit dan pertukaran
8 75 Kemungkinan 50 – 50 dapat mencapai SMP, setelah dewasa dapat menjadi pelayan toko,
atau pemain musik
9 60 Setelah dewasa dapat memperbaiki alat-alat rumah tangga/mebeler, tukang kebun, atau
pembantu montir
10 50 Setelah dewasa dapat mengerjakan pekerjaan; pertukangan kayu yang sederhana,
pembantu rumah tangga
11 40 Setelah dewasa dapat mengerjakan pekerjaan membabat rumput dan mencuci pakaian
Pengertian Belajar dan Prestasi Belajar
Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak melakukan kegiatan yang sebenarnya merupakan
“gejala belajar”. Contohnya, menggunakan pakaian, makan dengan menggunakan alat-alat
makan, berkomunikasi satu sama lain. Kemampuan itu belum ada pada awalnya, oleh karena
itu terjadilah proses perubahan dari belum mampu ke arah sudah mampu dan proses perubahan
itu terjadi selama jangka waktu tertentu. Adanya perubahan dalam pola perilaku inilah yang
menandakan telah terjadi belajar. Makin banyak kemampuan yang diperoleh sampai menjadi
milik pribadi, makin banyak pola perubahan yang telah dialami. Untuk mudahnya kemampuankemampuan
itu digolongkan menjadi kemampuan kognitif, yang meliputi pengetahuan dan
pemahaman, kemampuan sensorik-motorik yang meliputi keterampilan melakukan rangkaian
gerak-gerik badan dalam urutan tertentu, kemampuan dinamik-afektif yang meliputi sikap dan
nilai, yang meresapi perilaku dan tindakan penggolongan ini sepadan dengan penggolongan atas
tiga bidang belajar kognitif, belajar sensorik-motorik dan belajar dinamik-afektif, semua
perubahan di bidang-bidang itu merupakan suatu hasil belajar dan mengakibatkan manusia
berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.
Para ahli biasanya merumuskan hasil belajar, secara relatif, bersifat konstan dan berbekas.
Dikatakan “secara relatif” karena ada kemungkinan suatu hasil belajar ditiadakan atau dihapus
dan diganti dengan hasil yang baru, ada kemungkinan pula suatu hasil terlupakan (Winkel, 2000
: 50-51). Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang
sedang terjadi di dalam diri seseorang yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara
langsung hanya dengan mengamati orang tersebut. Bahwa hasil belajar orang itu tidak langsung
keliharan tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah
diperoleh melalui belajar. Maka berdasarkan perilaku yang disaksikan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa seseorang telah belajar. “Kepandaian” merupakan kemampuan internal yang bersifat
kognitif. Hasil belajar tidak sama dengan dengan “prestasi” (performance), hasil belajar baru
dapat dilihat jika sudah muncul dalam suatu prestasi (performance). Hasil belajar yang dituju,
boleh jadi merupakan kemampuan baru sama sekali boleh juga merupakan penyempurnaan
atau pengembangan suatu kemampuan yang telah dimiliki. Oleh karena itu perumusan tentang
belajar yang dikemukakan diatas dapat dilengkapi dengan menambahkan “Perubahanperubahan
itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau pula penyempurnaan terhadap hasil
yang telah diperoleh”. Hasil belajar dapat berupa hasil yang utama, dapat juga sebagai efek
samping. Proses belajar dapat berlangsung dengan penuh kesadaran dan dapat juga tidak
demikian. Telah dikatakan bahwa belajar menghasilkan perubahan, perubahan itu meliputi
hasil yang bersifat internal seperti pemahaman dan sikap, serta mencakup hal-hal yang bersifat
eksternal seperti keterampilan motorik dengan berbicara dalam bahasa asing. Yang bersifat
internal tidak dapat langsung diamati, sedangkan yang bersifat eksternal dapat diamati
(Winkel, 2000 : 54-55). Adapun definisi belajar dari beberapa ahli diantaranya :
1. Hilgard & Bower dalam bukunya Theories of Learning (1975) mengemukakan bahwa belajar
berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang
disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang dalam situasi tersebut dimana perubahan tingkah
laku itu dapat merupakan kecenderungan respon bawaan, kematangan atau keadaan-keadaan
sesaat seseorang.
2. Gagne dalam bukunya Conditions of Learning (1977) mengatakan bahwa belajar terjadi
apabila suatu stimulus bersamaan dengan isi ingatan yang mempengaruhi seseorang sedemikian
rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu ia sebelum ia mengalami situasi sampai
sesudah ia mengalami situasi.
3. Morgan dalam bukunya Introduction to Psychology (1980) mengemukakan bahwa belajar
adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu
hasil dari latihan atau pengalaman.
Dari beberapa pengertian tentang belajar yang beraneka ragam maka dapat disimpulkan
beberapa hal yang menyangkut pengertian belajar sebagai berikut:
· Belajar merupakan suatu proses yaitu merupakan suatu kegiatan yang
berkesinambungan dimulai sejak lahir dan terus berlangsung seumur hidup.
· Dalam belajar terjadi adanya perubahan tingkah laku yang bersifat relatif permanen.
· Hasil belajar ditunjukkan dengan aktivitas-aktivitas tingkah laku secara keseluruhan.
· Dari proses belajar akan diperoleh pola-pola respon yang baru yang akan memperbaiki
pola-pola tingkah laku secara keseluruhan.
· Adanya peranan kepribadian dalam proses belajar antara lain aspek motivasional,
emosional, dan sikap.
Manifestasi perbuatan belajar dinyatakan dalam bentuk perubahan tingkah laku mengenai jenis
tingkah laku yang berubah dalam proses belajar, Crow dan Crow (Burton, 1952 : 5-6 dalam
Surya, 1979 : 35) menyatakan bahwa perbuatan belajar akan menghasilkan perkembangan:
a. Kecakapan
b. Keterampilan mental
c. Sikap-sikap atau generalisasi
d. Sikap-sikap respon-respon emosional, serta
e. Fakta-fakta dan Pengetahuan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Prestasi yang dicapai individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang
mempengaruhinya baik internal maupun eksternal. Identifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya dapat
dipandang dari sudut pelajar, proses belajar atau situasi belajar. Secara umum Prestasi belajar
dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor yang ada di dalam diri individu dan faktor
eksternal yaitu faktor yang berada di luar diri individu.
Faktor internal terdiri dari :
1. Faktor fisiologis atau jasmaniah individu yang bersifat bawaan (herediter) seperti
penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, cacat tubuh.
2. Faktor psikologis, baik bersifat bawaan maupun herediter, yang tergolong atas :
· Faktor Intelektual yang terdiri atas :potensi yaitu inteligensi dan bakat
- faktor aktual atau kecakapan nyata yaitu achievement atau prestasi.
- Faktor Non intelektual yaitu komponen-komponen kepribadian
tertentu sepertisikap, minat, kebiasaan, kebutuhan, motivasi, konsep diri,
penyesuaian diri, emosional.
3. Faktor kematangan
Sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah :
1. Faktor sosial yang terdiri atas :
a. Faktor lingkungan keluarga
b. Faktor lingkungan sekolah
c. Faktor lingkungan masyarakat
d. Faktor lingkungan kelompok
2. Faktor budaya seperti; adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.
3. Faktor lingkungan fisik seperti; fasilitas rumah, fasilitas belajar.
Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung atau tidak langsung dalam
mempengaruhi prestasi belajar yang dcapai oleh individu, karena adanya faktor-faktor
tersebut maka terjadilah perbedaan individual dalam prestasi yang dicapai dalam jenis,
sifat, ruang lingkup dan bentuknya.