KECERDASAN EMOSIONAL
OLEH : jamri dafrizal,S.Ag.S.S,M.Hum
Pendahuluan
Jika kita simak penelitian-penelitian awal tentang orang-orang berbakat dan apa yang menjadikan
seseorang unggul atau 'jenius', kira lihar bahwa peneliti-peneliti tersebut terutama mengutamakan
faktor inreligensi dan faktor heredirer (pembawaan).
Galtom, misalnya, yang dapat disebut sebagai pionir dalam hal penelitian atau studi psikologis
rentang perbedaan-perbedaan individual dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menekankan
bahwa ralenta dan 'jenius' mempunyai dasar generis. Artinya, kegeniusan itu terutama disebabkan
oleh faktor turun-remurun dan cenderung mengabaikan pengaruh dari asuhan keluarga dan
pengaruh-pengaruh lain.
Terman dan Cox menunjukkan bias yang sama dalam tulisan mereka Genetic studies of genius.
Namun mereka lebih mengakui peran dari faktor kepribadian, dari lingkungan yang menguntungkan
dan kondisi-kondisi sekolah dalam perkembangan talenta. Studi mereka tentang tokoh-tokoh
yang unggul dan dari anakanak dengan IQ tinggi menunjukkan bahwa kemampuan unggul lebih
banyak berkairan dengan karakteristik kepribadian daripada dengan abnormalitas emosional.
Adapun studi-studi jangka panjang dari Terman terlalu mengandalkan pada tes
inteligensi dan penilaian guru dalam menemukenali keberbakataun apa yang dinamakan 'jenius'
didasarkan pada IQ yang tinggi. Bagaimanapun, baik Galton maupun Terman kemudian
berdasarkan hasil penelitian mereka mengakui pentingnya ciri-ciri kepribadian dalam
menentukan tingkat dan atau dari prestasi. Data dari Cox mengesankan bahwa mereka yang
mencapai prestasi unggul tidak hanya memiliki kemampuan intelektual superior, tetapi juga
keuletan dari motif dan usaha, percaya pada kemampuan diri dan kekuataun karakter (dalam
Vernon, 1982).
Dalam perkembangan historis selanjurnya, teori Guilford tentang 'Struktur Intelek' (1956)
menekankan bahwa di samping intelegensi sebagai kemampuan untuk berpikir konvergen,
kreativitas sebagai kemampuan untuk berpikir divergen juga berperan dalam mencapai presrasi
ringgi.
Selanjurnya konsep Renzulli dkk (1981) rentang keberbakatan mempersyaratkan tiga tandan
(cluster) yang saling berkaitan menentukan keberbakatan, yaitu kemampuan intelektual umum,
kreativitas dan pengikataun diri rerhadap tugas atau morivasi internal. Tandan yang terakhir jelas
termasuk ranah afektif. Kreativitas pun tidak hanya memerlukan kemampuan berfikir krearif
tetapi juga sikap kreatif
Gardner (1993) dengan teorinya "Multiple Intelligences" memaparkan bahwa kompetensi
kognitif manusia merupakan serangkaian kemampuan, talenta, atau ketrampilan mental. Semua
individu memiliki ketrampilan mental dalam belajar tertentu. Individu berbeda dalam belajar
ketrampilannya dan dalam corak kombinasinya.
Ia membedakan 'inteligensi musikal, fisik-kinestetik, logis matematik, linguistik, spasial
(keruangan), interpersonal dan intrapersonal. Setiap peran kultural menuntut kombinasi dari
macam-macam inteligensi ini. Untuk menjadi pemain biola yang berhasil, di samping inteligensi
musikal diperlukan kerangkasan fisik-kinesrerik, ketrampilan inrerpersonal dalam berhubungan
dengan penontonnya, maupun ketrampilan intrapersonal dalam memilih manajernya. Menari
menuntut kerrarnpilan fisik-kinesterik, musikal, spasial, dan interpersonal dalam belajar yang
berbeda-beda. Keragaman dari kemampuan manusia terbentuk dari perbedaan-perbedaan dalam
profil kemampuan inteligensi.
Kecerdasan emosional
Dari paparan di muka kiranya tidak diragukan lagi bahwa untuk mencapai keunggulan dalam
prestasi diperlukan apa yang oleh Goleman (1995) disebut "Emotional Intelligence" atau
Kecerdasan Emosional.
Apa sebetulnya yang dimaksud dengan kecerdasan emosinal?
Menurut Goleman, EmotionaL InteLLigence (EI) adalah kemampuan seseorang mengatur
kehidupan emosinya dengan inteligen, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui
ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial
(dikutip Sri Lanawati, 1999).
Siswa yang telah mengikuti program 'Emotional Literacy' (untuk meningkatkan kecerdasan
emosonal) mengalami kemajuan/peningkatan dalam keberdayaan emosional sebagai berikut
(Golman, 1995):
· Peningkatan dalam mengenal dan menyebut emosi-emosi diri
· Lebih mampu memahami alasan/sebab dari perasaan-perasaan
· Mengenal perbedaan antatau perasaan dan tindakan.
Mengelola Emosi
· Toleransi terhadap frustasi dan pengelolaan kematauhan lebih baik
· Lebih mampu mengungkapkan kematauhan, tanpa perkelahian
· Perilaku agresif dan destruktif kurang
· Lebih banyak perasaan positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga
· Lebih baik dalam mengelola stres
· Kurang kecemasan dan perasaan kesepian.
Menggunakan Emosi dengan Produktif
· Lebih bertanggung jawab
· Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas
· Kurang impulsif, lebih banyak pengendalian diri
Peningkatan skor tes prestasi.
Empati: Membaca Emosi
·Lebih mampu melihat perspektif orang lain
·Peningkatan empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain
·Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
Menangani Hubungan-hubungan
·Peningkatan kemampuan untuk menganalisa dan memahami hubungan
·Lebih baik dalam memecahkan konflik dan mempertimbangkan
saling penyesuaian dalam ketidaksepakatan
·Lebih asertif dan terampil dalam komunikasi
·Lebih populer, terbuka, dan ramah terhadap ternan sebaya
·Lebih memperhatikan dan mempertimbangkan
·Lebih 'pro-sosial' dan harmon is dalam kelompok
·Lebih dapat berbagi, kooperatif dan membantu
·Lebih demokratis dalam berurusan dengan orang lain.
Bagaimana di Indonesia
Kecuali itu program "emotionaL Literacy" juga meningkatkan skor siswa pada prestasi akademis
dan kinerja sekolah. Menurut Goleman penelitiann tentang hubungan EI dengan prestasi belajar
sudah banyak dilakukan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna. Namun penelitiann seperti ini
setahu penulis belum pernah dilakukan di Indonesia. Mungkin penelitiann pertama ialah dari Sri
Lanawati (1999) yang telah melakukan penelitiann untuk melihat hubungan antatau "Emotional
InteLLigence (EI)" dan mtelegensi (IQ) dengan prestasi belajar siswa SMU di Jakarta. Ia
menggunakan tes intelegensi CuLture Fair Intelligence Test (CFIT), dan untuk prestasi belajar yang
tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil ujian catur wulan III tahun ajaran 1997 - 1998.
Sedangkan EI adalah skor yang diperoleh siswa pada alat Emotional Intelligence Inventory (ElI)
yang telah diadaptasi oleh peneliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu kesadaran diri, pengendalian
diri, motivasi diri, empati, dan ketrampilan sosial.
Hasil yang diperoleh ialah:
· Ada hubungan bermakna antatau IQ dan prestasi belajar siswa.
· Tidak ada hubungan bermakna antatau kecerdasan emosional (EI) dan inteligensi (IQ).
· Tidak ada hubungan yang bermakna an tatau kecerdasan emosional (E1) dan prestasi
belajar. Hasil penelitiann di Indonesia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitiann
Goleman di sejumlah sekolah di Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EI
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Mungkin perbedaan ini dapat disebabkan
antara lain karena: (Sri Lanawati, 1999):
a. Sistem pendidikan di Indonesia yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan
rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses
belajar mengajar.
b. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah
kemampuan rasional, seperti kemampuan berbahasa dan berhitung. Basic life skills atau
kemampuan seperti mengatasi suatau konflik, bersikap asertif, mengendalikan matauh,
mengatauhkan diri, berempati dan ketrampilan sosial cenderung tidak dinilai.
c. Banyak tenaga pendidik yang belum mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi
emosi yang dialami siswa.
d. Dalam proses belajar-mengajar di Indonesia salah satu ranah pendidikan yang
dikembangkan adalah ranah afektif Tujuan pendidikan afektif adalah untuk membentuk
suatu sikap yang positif terhadap satu atau beberapa komponen pendidikan. Sikap itu
akan mempengaruhi pengembangan kognitif dalam bidang studi tersebut (Winkel, 1987:
16). Namun menurut Goleman pendidikan afektif itu sangat berbeda dengan pendidikan
emosi. Pendidikan emosi bukan menggunakan perasaan untuk mendidik, melainkan
mendidik perasaan itu sendiri (Goleman, 1995: 262).
e. Siswa bel urn pernah memperoleh pendidikan pengenalan e~osi sendiri, baik di sekolah
maupun dalam keluarga, sehmgga mereka .cenderung buta emosi (emoftionaf illiteracy),
atau merasa asmg dengan emosi sendiri, tidak sadar akan emosi yang muncul dan tidak
tahu bagaimana mengendalikan emosi serta bagaimana mengungkapkan emosi secatau
benar.
Menurut Goleman peran keluarga sangat penting dalam pendidikan emosional. Bagaimana cara
orangtua memperlakukan anaknya sejak. kecil berakibat mendalam dan permanen bagi
kehidupan emosional anak (Lanawati, 1999, 102 - 104).
Penutup
Dari pengalaman di luar negeri maupun di Indonesia dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik, orangtua
serta guru secepatnya diberi kesempatan untuk mengikuti program yang membamu mereka
bagaimana dapat menemukenali dan memaham emosi-emosl diri emosi-emosi orang lain,
terutama dari generasi, penentu masa depan bangsa dan negara.
· Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences, The Theory In Practice. NY: Basic Books/Harper
Collins.
· Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. Guilford, ].P. (1959)
Traits of Creativity. Dalam P.E.Vernon, Ed. (1982), Creativity. Connecticut: Creative
Learning Press.
· Renzulli, J.S. Reis, S.M., Smith, L.H. (1981). The Revolving Door Identification Model.
Connecticut: Creative Learning Press.
· Sri Lanawati (1x999). "Hubungan antatau Emotional Intelligence (EI) dan Inteligensi (IQ)
dengan Prestasi Belajar Siswa SMU Methodist di Jakarta". Tesis Magister Psikologi.
Program Pascasarjana, Program Studi Psikologi, Universitas Indonesia.
· Vernon, P.E. (1982, Ed.) Creativity. Great Brittain: Penguin Books.