HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMA
SKRIPSI
Oleh :
FRANSISKUS E. TAPING
NIM : 06610008
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GAJAYANA
MALANG
2009
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja,
teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang
diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai
macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang
sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan
pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi
belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan
proses belajar.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang
penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan
proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu
tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk
mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian.
Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan
selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar
3
seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah
yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178)
adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana
dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa
dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan
menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang
tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang
tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam
belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut
Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk
menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian
dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan
objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan
siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan
inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi
memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun
kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif
tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20%
bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain,
4
diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni
kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati,
mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak
dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata
pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling
melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar
siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu
mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya
dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence
siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur
neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan
bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului
intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam
prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri
yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja
(Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami
keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu
mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun
fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang
berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli
5
prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu
dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian
orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel
Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata
cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun
beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah
penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya
(the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki
kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak
beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung
sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung
dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering
menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi
namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai
orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada
orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila
mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf
IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
6
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMU Lab School
Jakarta Timur, yang berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai
ulangan umum murni cawu 2 kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah
satu faktor penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi
ini penulis tertarik untuk meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan
Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur”.
B. Rumusan masalah dan Pokok-pokok Bahasan
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
masalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan Prestasi belajar pada siswa SMU ?”
Pada makalah ini yang menjadi pokok-pokok bahasan adalah sebagai berikut:
1. Prestasi belajar
Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh seorang siswa dari kegiatan
belajar mengajar dalam bidang akademik di sekolah dalam jangka waktu tertentu.
2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memantau dan
mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaanperasaan
itu untuk memandu pikiran dan tindakan ke arah yang positif.
7
C. Tujuan
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa SMU
D. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
psikologi pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan
dapat memberi gambaran mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar.
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
informasi khususnya kepada para orang tua, konselor sekolah dan guru dalam
upaya membimbing dan memotivasi siswa remaja untuk menggali kecerdasan
emosional yang dimilikinya.
8
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan
mengenai pengertian belajar dan prestasi belajar, fator-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar, pengertian emosi dan kecerdasan emosional, indikator kecerdasan
emosional, keterkaitan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari berbuatan belajar, karena belajar
merupakan suatu proses, sedangkan prestasi belajar adalah hasil dari proses
pembelajaran tersebut.
Bagi seorang siswa belajar merupakan suatu kewajiban. Berhasil atau tidaknya
seorang siswa dalam pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh
siswa tersebut.
Menurtut Logan, dkk (1976) dalam Sia Tjundjing (2001:70) belajar dapat
diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan latihan . Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997:193) berpendapat
bahwa belajar pada manusia dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental atau
psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
relatif konstan dan berbekas.
9
Belajar tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, namun dapat dilakukan
dimana-mana, seperti di rumah ataupun dilingkungan masyarakat. Irwanto (1997:105)
berpendapat bahwa belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi
sudah mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Mudzakir
(1997:34) belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan
perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap,
kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
Di dalam belajar, siswa mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu,
karena itu menurut Cronbach (Sumadi Suryabrata,1998:231) :
“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami
itu pelajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya
indera pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera yang lain.”
Belajar dapat dikatakan berhasil jika terjadi perubahan dalam diri siswa,
namun tidak semua perubahan perilaku dapat dikatakan belajar karena perubahan
tingkah laku akibat belajar memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibbidin
Syah, 2000:116) antara lain :
a. Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses berlajar adalah karena pengalaman atau praktek
yang dilakukan secara sengaja dan disadari. Pada ciri ini siswa menyadari
bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan,
kebiasaan dan keterampilan.
b. Perubahan Positif dan aktif
10
Positif berarti perubahan tersebut baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta
sesuai dengan harapan karena memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih
baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif artinya perubahan tersebut terjadi
karena adanya usaha dari siswa yang bersangkutan.
c. Perubahan efektif dan fungsional
Perubahan dikatakan efektif apabila membawa pengaruh dan manfaat
tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan yang fungsional artinya
perubahan dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan apabila dibutuhkan
perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut
relatif menetap serta membawa pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Pengertian prestasi belajar
Untuk mendapatkan suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan,
karena memerlukan perjuangan dan pengorbanan dengan berbagai tantangan yang
harus dihadapi.
Penilaian terhadap hasil belajar siswa untuk mengetahui sejauhmana ia telah
mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Seperti yang
dikatakan oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa
menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan dan pemahaman,
dalam bidang nilai, sikap dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut tampak dalam
prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, persoalan atau tugas
11
yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi belajar siswa dapat mengetahui kemajuankemajuan
yang telah dicapainya dalam belajar.
Sedangkan Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) berpendapat
bahwa prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta
didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya
perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi
belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar
siswa.
Menurut Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996 : 206) yang dimaksud
dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh
seseorang. Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang
dicapai oleh seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor
sekolah.
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar
merupakan hasil usaha belajar yang dicapai seorang siswa berupa suatu kecakapan
dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang
dicatat pada setiap akhir semester di dalam buki laporan yang disebut rapor.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu
diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami
kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi
dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang
dihasilkan di bawah kemampuannya.
12
Untuk meraih prestasi belajar yang baik banyak sekali faktor-faktor yang perlu
diperhatikan. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan Stone
(Winkle, 1997 : 591), secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.:
a. Faktor internal
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu :
1). Faktor fisiologis
Dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang
berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera
a) Kesehatan badan
Untuk dapat menempuh studi yang baik siswa perlu
memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik
yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam
menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan
fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk
memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk
memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan
fisik dibutuhkan olahraga yang teratur.
13
b) Pancaindera
Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapatnya belajar itu
berlangsung dengan baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini di
antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam belajar
adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena sebagian besar hal-hal
yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui penglihatan dan
pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat
fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam
menangkap pelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi
prestasi belajarnya di sekolah.
2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa, antara lain adalah :
a) Intelligensi
Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa
mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki
siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529) hakikat inteligensi adalah
kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan,
untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan
itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Taraf
inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa, di
mana siswa yang memiliki taraf inteligensi tinggi mempunyai peluang
lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi.
Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah
14
diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun
bukanlah suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi
rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya .
b) Sikap
Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat
merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan
prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233) sikap adalah
kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal
tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah
merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di
sekolah.
c) Motivasi
Menurut Irwanto (1997 : 193) motivasi adalah penggerak
perilaku. Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar.
Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan
dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar karena ia ingin
belajar. Sedangkan menurut Winkle (1991 : 39) motivasi belajar adalah
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar
dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang
dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi belajar merupakan faktor
psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam
hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan
mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
15
b. Faktor eksternal
Selain faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar
diri yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain
adalah :
1). Faktor lingkungan keluarga
a) Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih
berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik, mulai
dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah
b). Pendidikan orang tua
Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi
cenderung lebih memperhatikan dan memahami pentingnya
pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang mempunyai
jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c). Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga
Dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat
berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara
langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung,
seperti hubugan keluarga yang harmonis.
2). Faktor lingkungan sekolah
a). Sarana dan prasarana
Kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan
membantu kelancaran proses belajar mengajar di sekolah; selain bentuk
16
ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat
mempengaruhi proses belajar mengajar
b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi,
kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para
penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya
untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan
tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas , yang dapat
memenihi rasa ingintahuannya, hubungan dengan guru dan temantemannya
berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim
belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk
terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.
c). Kurikulum dan metode mengajar
Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materi
tersebut kepada siswa. Metrode pembelajaran yang lebih interaktif sangat
diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran serta siswa dalam
kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994:122) mengatakan bahwa
faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan
arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat
siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akan
cenderung tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti
pelajaran.
17
3). Faktor lingkungan masyarakat
a). Sosial budaya
Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan
mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik. Masyarakat yang
masih memandang rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya
ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan guru/pengajar
b). Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung kegiatan
pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran) sampai
pada masyarakat bawah, setiap orang akan lebih menghargai dan berusaha
memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4. Pengukuran prestasi belajar
Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak
dapat ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di
Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah
dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor dapat diketahui
sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal
dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Sumadi Suryabrata (1998 : 296)
bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai
kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa tertentu.
Syaifuddin Azwar (1998 :11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi
penilaian dalam pendidikan, yaitu :
18
a. Penilaian berfungsi selektif (fungsi sumatif)
Fungsi penilaian ini merupakan pengukuran akhir dalam suatu program dan
hasilnya dipakai untuk menentukan apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak
dalam program pendidikan tersebut. Dengan kata lain penilaian berfungsi untuk
membantu guru mengadakan seleksi terhadap beberapa siswa, misalnya :
1). Memilih siswa yang akan diterima di sekolah
2) Memilih siswa untuk dapat naik kelas
3). Memilih siswa yang seharusnya dapat beasiswa
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Fungsi penilaian ini selain untuk mengetahui hasil yang dicapai siswa juga
mengetahui kelemahan siswa sehingga dengan adanya penilaian, maka guru dapat
mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing siswa. Jika guru dapat
mendeteksi kelemahan siswa, maka kelemahan tersebut dapat segera diperbaiki.
c. Penilaian berfungsi sebagai penempatan (placement)
Setiap siswa memiliki kemampuan berbeda satu sama lain. Penilaian dilakukan
untuk mengetahui di mana seharusnya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan
kemampuannya yang telah diperlihatkannya pada prestasi belajar yang telah
dicapainya. Sebagai contoh penggunaan nilai rapor SMU kelas II menentukan
jurusan studi di kelas III.
d. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif)
Penilaian berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu program dapat diterapkan.
Sebagai contoh adalah raport di setiap semester di sekolah-sekolah tingkat dasar
19
dan menegah dapat dipakai untuk mengetahui apakah program pendidikan yang
telah diterapkan berhasil diterapkan atau tidak pada siswa tersebut.
Raport biasanya menggambil nilai dari angka 1 sampai dengan 10, terutama
pada siswa SD sampai SMU, tetaapi dalam kenyataan nilai terendah dalam rapor yaitu
4 dan nilai tertinggi 9. Nilai-nilai di bawah 5 berarti tidak baik atau buruk, sedangkan
nilai-nilai di atas 5 berarti cukup baik, baik dan sangat baik.
Dalam penelitian ini pengukuran prestasi belajar menggunakan penilaian
sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif), yaitu nilai-nilai raport pada akhir
masa semester I.
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak
menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal
mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada
suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan
untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan
dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana
hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi
merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat
20
merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu
perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain
Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci),
Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan).
Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan
beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri,
putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu
mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus
yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat
21
tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai
kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan
memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup
kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu
seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas,
melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman,
2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya
khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam
dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi
setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih
bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku
terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
2. Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh
psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of
New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya
penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering
disebut EQ sebagai :
22
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama
orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif,
namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun
di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.
(Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan
oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan
tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-
53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang
penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan
yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial,
kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh
Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai
kecerdasan emosional.
23
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi
yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan.
Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah
ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri
sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan
modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 :
52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi
itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat
suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar
pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses
menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan
perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”.
(Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey
(Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal
untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri
individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan
orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya
24
(the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah
kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
3. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan
kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang
dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama,
yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai
metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer
(Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati
maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi
mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang
belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat
penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
25
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan
agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali
merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat
dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman,
2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibatakibat
yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaanperasaan
yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif,
yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut
Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia
lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang
lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu
membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara
26
emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 :
136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu
membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa
frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang
lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada
emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang
tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman,
2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar
dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses
dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu
berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam
lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya
berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai
orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina
hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat
dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen
utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk
mengembangkan instrumen kecerdasan emosional
27
C. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa
SMU
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini,
merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami
kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut
tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar
agar menjadi yang terbaik seperti mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu
jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam
mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor
tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak
memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun
kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu
mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu
membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu
dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia
akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan
individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan
mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan
perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992)
menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta
seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-
28
ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu
pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan
hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada
guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul
dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut
laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini
(tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif
seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di
Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu
menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis
lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah
belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi
pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya
(dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat
menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular
penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan
dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis
di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi
membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk
kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila
anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih
cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak
29
pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja
akan lebih banyak sukses disekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan
sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan,
kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional
merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang
memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah..
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Hipotesis alternatif (Ha) : “Ada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan Prestasi belajar”
2. Hipotesis nihil (Ho) : “Tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan Prestasi belajar”
30