INTELIGENCE TEST
A. Sejarah Pengukuran Psikologis
Pengukuran adalah bagian esensial kegiatan keilmuan. Psikologi sebagai cabang
ilmu pengetahuan yang relatif mash muda harus banyak berbuat dalam hal
pengukuran ini agar eksistensinya, baik dilihat dari segi teori maupun aplikasinya
makin mantap. Sebagai ilmu pengetahuan yang relatif muda, psikologi dalam
kegiatan dan perkembangannya terpengaruh oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang
lebih tua. Oleh karena itu uraian mengenai pengukuran dalam psikologi ini akan
disajikan melalui uraian mengenai pengukuran dalam ilmu pengetahuan, dan
setiap kali akan dikaitkan dengan psikologi.
Walaupun definisi tentang pengukuran yang pernah diajukan oleh para ahli itu
sangat beragam, namun menurut Nunnally (1987) intinya adalah bahwa
”pengukuran itu terdiri dari aturan-aturan untuk mengenakan bilangan kepada
objek sedemikian rupa guna menunjukkan kuantitas atribut pada obyek itu”.
Aturan itu harus secara eksplisit dirumuskan karena dalam banyak hal aturan itu
tidak secara intuitif dapat dimengerti. Dalam bidang psikologi aturan untuk
mengukur atribut-atribut psikologis boleh dikata semua tidak dapat dimengerti
secara intuitif. Penerapan aturan-aturan seperti tersebut di atas secara langsung
berkenaan dengan pembakuan. Pembakuan aturan ini perlu agar ilmuwan yang
berbeda yang bekerja terpisah menghasilkan hal yang sama atau sekurangkurangnya
setara.
Oleh karena kehidupan psikologis dan ciri-ciri psikologis tidak dapat diobservasi,
maka dengan asumsi bahwa ada hubungan sistematik antara ciri-ciri dan fungsi
psikologis dengan ciri-ciri dan fungsi fisiologis orang mempelajari kehidupan dan
ciri-ciri psikologis melalui pengkajian fungsi dan ciri-ciri psikologis. Demikian
pula pengukuran psikologis. Para peneliti di bidang ini pada tahap-tahap awal
umumnya berlatar belakang fisiologi atau fisika. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau karya mereka sangat dipengaruhi oleh kedua bidang ilmu
itu. Karya-karya mereka dalam bidang psikofisika pada umumnya mencari
hukum-hukum umum (generalisasi). Baru kemudian, terutama karena pengaruh
galton, gerakan ’testing’ yang mengutamakan ciri-ciri individual menjadi
berkembang.
Sir Francis Galton, seorang ahli biologi kenamaan, sangat berminat pada faktor
hereditas atau keturunan pada manusia. Dia melakukan penelitian secara luas
untuk mengetahui kesamaan orang-orang dalam satu keluarga, dan perbedaan
antara orang-orang yang tidak satu keluarga. Untuk keperluan itu, ia mendirikan
laboratorium antropometri guna melakukan pengukuran ciri-ciri dan fungsi
fisiologis, misalnya ketajaman pendengaran, ketajaman penglihatan, kekuatan
otot, waktu reaksi, dan lain-lain fungsi sensorimotor yang sederhana, serta fungsi
kinestetik. Galton yakin bahwa ketajaman diskriminasi sensoris bersangkutan
dengan kemampuan intelektual orang.
Galton juga merintis penerapan metode ”ranting” dan kuisioner. Kontribusi
Galton yang lain adalah upayanya mengembangkan metode-metode statistik guna
menganalisis data mengenai perbedaan-perbedaan individual.
B. Awal Gerakan Tes Psikologis
Orang yang dianggap mempunyai kontribusi penting dalam tes psikologis adalah
seorang ahli Psikologi Amerika, yaitu James McKeen Cattell. Melalui kontak
dengan Galton, minat Cattell terhadap perbedaan-perbedaan individu menjadi
kuat dan mewarnai karyanya. Dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1890 dia
memperkenalkan istilah ’mental test’, yang selanjutnya banyak digunakan dan
menjadi populer. Cattell sependapat dengan Galton bahwa ukuran fungsi
intelektual dapat dicapai melalui tes diskriminasi sensoris dan waktu reaksi.
Berbagai tes yang dikembangkan pada akhir abad XIX pada umumnya meliputi
kekuatan otot, sensitivitas terhadap rasa sakit, ketajaman pendengaran dan
penglihatan, waktu reaksi, ingatan, dan sejenisnya.rasi aritmatik
Tes yang dikembangkan di Eropa pada akhir abad XIX cenderung meliputi fungsi
yang lebih kompleks. Salah satu contohnya adalah tes Kraeplin. Tes Kraeplin
yang berupa penggunaan operasi-operasi aritmatik yang sederhana dirancang
untuk mengukur pengaruh latihan, ingatan, dan kerentanan terhadap kelelahan
dan distraksi. Awalnya tes ini dirancang untuk mengukur karakteristik pasienpasien
psikiatris. Oehr, mahasiswa Kraeplin, menyusun tes persepsi, ingatan,
asosiasi, dan fungsi motorik guna meneliti interrelasi fungsi-fungsi psikologis.
Ebbinghaus mengembangkan tes komputasi aritmatika, luas ingatan, dan
perlengkapan kalimat. Dalam pada itu di Perancis, Binet dan Henri mengajukan
kritik bahwa tes yang ada dewasa itu terlalu sensoris, berkonsentrasi pada
kemampuan khusus. Mereka menyatakan bahwa dalam pengukuran fungsi-fungsi
yang lebih kompleks, presisi kurang perlu karena perbedaan individual dalam
fungsi ini lebih besar. Yang diperlukan adalah tes yang mengukur fungsi yang
lebih luas, seperti ingatan, imajinasi, perhatian, pemahaman, kerentanan terhadap
sugesti, apresiasi estetik, dan lain-lainnya lagi. Gagasan inilah yang akhirnya
menuntun kepada dikembangkannya tes Binet, yang kemudian menjadi sangat
terkenal.
C. Munculnya Tes Inteligensi
Binet dan rekan-rekannya melakukan penelitian mengenai cara-cara mengukur
inteligensi. Banyak sekali prosedur yang dicoba seperti pengukuran kepala, raut
muka, bentuk tangan, dan analisis tulisan tangan. Namun hasilnya menuntun
Binet kepada keyakinan bahwa pengukuran langsung, betapapun kasarnya,
mengenai fungsi-fungsi intelektual yang kompleks adalah yang paling
memberikan harapan. Kebetulan waktu itu Kementrian Pengajaran memerlukan
prosedur untuk mengidentifikasi anak-anak terbelakang agar mereka
mendapatkan pendidikan yang memadai. Dalam kaitan dengan kebutuhan inilah,
maka Binet dan Simon menghasilkan skala Binet-Simon yang pertama tahun
1905. Skala ini terkenal dengan skala 1905, terdiri dari 30 soal disusun dari yang
paling mudah ke yang paling sukar. Taraf kesukaran ditentukan secara empiris
dengan mengadministrasikan skala itu kepada 50 orang anak normal umur 3
sampai 11 tahun, dan kepada sejumlah anak-anak tuna grahita dan orang dewasa.
Tes itu dirancang meliputi suatu variasi fungsi yang luas, dengan tekanan khusus
pada pendapat, pemahaman, dan penalaran, yang oleh Binet dianggap sebagai
komponen-komponen esensial inteligensi. Walaupun tes-tes sensoris dan
perseptual juga termasuk pada versi pertama ini, namun sebagian besar isinya
adalah tes verbal.
Pada skala versi kedua yang diterbitkan tahun 1908, jumlah soalnya ditambah.
Soal-soal itu dikelompok-kelompokkan menurut jenjang umur berdasar atas
kinerja 300 orang anak normal berumur antara 3 sampai 13 tahun. Pada jenjang
umur 3 tahun ditempatkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab dengan
benar oleh 80-90% anak-anak berumur 3 tahun, pada jenjang umur 4 tahun
ditempatkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh anakanak
berumur 4 tahun, demikian seterusnya sampai umur (jenjang) 13 tahun. Skor
seorang anak pada seluruh perangkat tes lalu dapat dinyatakan sebagai jenjang
mental (mental level) sesuai dengan umur anak normal yang setara dengan kinerja
anak yang bersangkutan. Dalam berbagai adaptasi dan terjemahan kemudian
istilah jenjang mental diganti dengan umur mental (mental age) yang kemudian
menjadi populer.
Revisi ketiga skala Binet-Simon diterbitkan tahun 1911, beberapa bulan setelah
Binet meninggal dengan mendadak. Pada tahun 1912, dalam Konggres Psikologi
Internasional di Genewa, William Stern, seorang ahli psikologi dari jerman,
mengusulkan konsep kuosien inteligensi, yaitu IQ= MA/CA. Konsep ini
kemudian dipakai dalam skala Binet yang direvisi di Universitas Stanford, yang
terkenal dengan nama Skala Stanford-Binet diterbitkan tahun 1916, kemudian
revisinya terbit tahun 1937, dan revisi selanjutnya terbit tahun 1960. Skala
Stanford-Binet inilah yang selanjutnya diadaptasikan ke dalam berbagai bahasa
dan digunakan secara luas di mana-mana. Kecuali itu skala Stanford Binet juga
menjadi model pengembangan tes inteligensi lain.
PEMBAHASAN
A. Definisi Inteligensi
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Tes Inteligensi, ada baiknya kita lebih dulu
mengetahui definisi Inteligensi. Definisi yang pasti mengenai inteligensi sendiri
sampai sekarang masih diperdebatkan di kalangan ahli. Telah banyak ahli yang
memberikan definisi mengenai inteligensi. Kesemuanya berbeda dan saling
melengkapi satu sama lain serta memiliki landasan teoritis yang kuat. Pada akhirnya,
definisi mengenai inteligensi sendiri sampai saat ini masih membuka kesempatan
untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa di definisi yang banyak diakui antara lain;
Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi yang hidup antara
tahun 1857-1911, bersama Theodore Simon mendefinisikan intelegensi sebagai
terdiri atas tiga komponen, yaitu (a) kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau
mengarahkan tindakan, (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan
tersebut telah dilaksanakan, dan (c) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau
melakukan autocriticism.
Di tahun 1961 Lewis Madison Terman mendefinisikan inteligensi sebagai
kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak, sedangkan H.H Goddard pada
tahun 1946 mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman
seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
V.A.C. Henmon, salah seorang diantara penyusun Tes Inteligensi Kelompok Henmon
– Nelson, mengatakan bahwa inteligensi terdiri atas dua macam faktor, yaitu (a)
kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, dan (b) pengetahuan yang telah
diperoleh (Wilson, dkk., 1974, dalam Azwar, 1996). Definisi ini agak bersesuaian
maksudnya dengan definisi yang pernah diusulkan oleh Baldwin di tahun 1901 yang
mengatakan inteligensi sebagai daya atau kemampuan untuk memahami (Wechsler,
1958, dalam Azwar, 1996).
Edward Lee Thorndike (1913), seorang tokoh psikologi fungsionalisme yang hidup
antara tahun 1874-1949, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan dalam
memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta (Wilson, dkk.,
1974, dalam Azwar, 1996).
Di tahun 1941, George D. Stoddard menyebut inteligensi sebagai bentuk memampuan
untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan (a) mengandung kesukaran, (b)
kompleks, yaitu mengandung bermacam jenis tugas yang harus dapat diatasi dengan
baik dalam arti bahwa individu yang inteligen mampu menyerap kemampuan baru
dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah dimiliki untuk kemudian
digunakan dalam menghadapi masalah, (c) abstrak, yaitu mengandung simbol-simbol
yang memerlukan analisis dan interpretasi, (d) ekonomis, yaitu dapat diselesaikan
dengan menggunakan proses mental yang efisien dari segi penggunaan waktu, (e)
diarahkan pada suatu tujuan, yaitu bukan dilakukan tanpa maksud melainkan
mengikuti suatu arah atau target yang jelas, (f) mempunyai niali sosial, yaitu cara dan
hasil pemecahan masalah dapat diterima oleh nilai dan norma sosial, dan (g) berasal
dari sumbernya, yaitu pola fikir yang membangkitkan kreativitas untuk menciptakan
sesuatu yang baru dan lain.
David Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi Wechsler yang sangat popular
sampai waktu ini, mendefinisikan inteligensi sebagai kumpulan atau totalitas
kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara
rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif (Wechsler, 1958; Bernard,
1965, dalam Azwar, 1996).
Walter dan Gardner pada tahun 1986 mendefinisikan inteligensi sebagai suatu
kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu
memecahkan masalah, atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya
tertentu. Kemudian Flynn mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
berfikir secara abstrak dan kesiapan untuk belajar dari pengalaman.
Sternberg dan Berg dalam sajian suatu reviu terhadap definisi inteligensi dengan
membandingkan atribut yang terdapat dalam berbagai definisi inteligensi yang pernah
dihimpun pada tahun 1921 dan tahun 1986, dalam definisi berselang lebih dari enam
dekade itu tampak bahwa sekalipun rumusan definisi inteligensi itu mengalami
berbagai perubahan dari waktu ke waktu akan tetapi sejak dulu tidak pernah
mengurangi penekanan pada aspek kognitifnya. Istilah yang digunakan mungkin
berbeda namun tetap mengacu pada makna kognitif.
B. Pengembangan Spesifikasi Tes Inteligensi
Walaupun di dalam praktek selama ini belum tentu ada hubungan yang serasi antara
teori tentang inteligensi dan tes inteligensi yang dimaksudkan untuk mengukurnya,
namun secara teori spesifikasi tes inteligensi itu harus disusun berdasarkan bangunan
teoritis (theoritical construct) tentang inteligensi tertentu. Rekaan teoritis tentang
inteligensi itu pada umumnya merupakan hasil dari upaya untuk menjawab
pertanyaan ”Apakah inteligensi itu?”. Rekaan-rekaan atau konsep-konsep teoritis itu
secara garis besar dapat digolongkan menjadi lima kelompok yaitu;
a) Rekaan-rekaan yang bersifat spekulatif
b) Rekaan-rekaan yang bersifat pragmatis
c) Rekaan-rekaan yang didasarkan atas hasil analisis faktor, yang kiranya dapat
disebut rekaan-rekaan faktor
d) Rekaan-rekaan yang bersifat operasional
e) Rekaan-rekaan fungsional
a. Rekaan-rekaan yang bersifat spekulatif
Spearman (1927) menggolong-golongkan rekaan-rekaan spekulatif-filsafati ini
menjadi tiga kelompok, yaitu; (1) yang memberikan definisi mengenai inteligensi
umum, (2) yang memberikan definisi mengenai daya-daya jiwa (Vermögens)
khusus yang merupakan bagian inteligensi, dan (3) yang memberikan definisi
inteligensi sebagai taraf umum daripada sejumlah daya-jiwa khusus.
b. Rekaan-rekaan pragmatis
Dasar rekaan ini adalah apa yang dinyatakan Boring (1923), bahwa inteligensi
adalah apa yang dites oleh tes inteligensi. Ia menulis antara lain: ”Intelligence is
what test tests. This is narrow definition, but it is the only point of departure for a
rigorous discussion”.
c. Rekaan-rekaan Faktor
Rekaan atau konsep ini dinamakan demikian karena rekaan-rekaan tersebut
disusun berdasar hasil analisis faktor. Dirintis oleh Spearman, rekaan-rekaan
faktor ini dengan cepat berkembang, terutama di Inggris dan Amerika Serikat.
Secara ringkas rekaan-rekaan itu disajikan di bawah ini:
1. Teori Spearman, teori Dwi-Faktor
Dengan teknik analisis faktor Spearman menemukan bahwa setiap
perilaku manusia itu dimungkinkan oleh dua faktor, yaitu (a) faktor umum
(general factor), dan (b) faktor khusus (special factor). Faktor umum atau
general factor, yang dilambangkan dengan huruf g, merupakan faktor yang
mendasari semua perilaku orang, sedangkan faktor khusus atau special
factor, yang dilambangkan dengan huruf s, hanya berfungsi pada perilakuperilaku
khusus saja. Uraian di atas dapat diberi ilustrasi sebagai berikut:
Perilaku 1 = Pl1 = g + s1
Perilaku 2 = Pl2 = g + s2
Perilaku 3 = Pl3 = g + s3
Perilaku 4 = Pl4 = g + s4
Perilaku 5 = Pl5 = g + s5
Selanjutnya, Spearman berpendapat bahwa faktor g itu tergantung kepada
dasar, sedangkan faktor s dipengaruhi oleh pengalaman (lingkungan)
2. Teori Thomson
Thomson tidak menyetujui pendapat Spearman tersebut. Menurut dia, apa
yang disebut faktor g oleh Spearman itu tidak ada. Betul secara statistik
Spearman telah menunjukkan adanya faktor g itu, tetapi menurut Thomson
hal tersebut tidak dapat dibuktikan. Menurut Thomson, apa yang disebut
Spearman sebagai faktor g hanyalah bermacam-macam faktor khusus
(faktor s).
Faktor-faktor s ini tdak tergantung kepada keturunan atau dasar,
melainkan tergantung kepada pendidikan. Adanya anak-anak dari
golongan atas atau lebih cerdas daripada anak-anak golongan rendah itu
bukan karena dasar melainkan karena mereka lebih banyak mempunyai
kesempatan untuk belajar.
3. Teori Cyrill Burt
Pendirian Burt sangat dekat dengan pendirian Spearman. Dia sependapat
dengan Spearman bahwa pada manusia terdapat faktor g yang mendasari
semua perilakunya. Sependapat dengn Spearman pula, menurutnya faktor
g ini tergantung kepada dasar dan dibawa sejak lahir. Ia juga berpendapat
bahwa setiap orang memiliki banyak faktor s. Tetapi di samping kedua
macam faktor itu, menurut Burt, masih ada lagi faktor yang ketiga, yaitu
faktor kelompok (group factor atau common factor), yang biasanya
dilambangkan dengan huruf c. Faktor c ini adalah faktor yang berfungsi
pada sejumlah perilaku, tetapi tidak pada semua perilaku. Jadi faktor c itu
lebih luas daripada faktor s, tetapi lebih sempit dari faktor g.
Jadi tiap perilaku itu menurut Burt dimungkinkan oleh ketiga macam
faktor itu, yaitu faktor g, faktor c, dan faktor s. Untuk jelasnya, mungkin
juga dapat diberikan ilustrasi seperti tadi, jadi:
Perilaku 1 = Pl1 = g + cx + s1
Perilaku 2 = Pl2 = g + cx + s2
Perilaku 3 = Pl3 = g + cx + s3
Perilaku 4 = Pl4 = g + cy + s4
Perilaku 5 = Pl5 = g + cy + s5
4. Teori Thurstone
Thurstone adalah tokoh Chicago. Ia sependapat dengan Burt bahwa ada
faktor c yang berfungsi pada sejumlah perilaku. Juga sependapat dengan
Burt mengenai adanya faktor s yang jumlahnya banyak sekali, sebanyak
perilaku khusus yang dilakukan oleh manusia yang bersangkutan. Akan
tetapi, Thurstone berpendapat bahwa faktor g itu tidak ada. Menurutnya
hanya ada dua faktor saja, yaitu faktor c dan faktor s.
Adapun faktor c itu menurut Thurstone benyaknya ada tujuh macam,
yaitu:
a. Faktor ingatan, kemampuan untuk mengingat, memory, diberi lambang
huruf M
b. Faktor-faktor verbal, kecakapan untuk menggunakan bahasa, verbal
factor, dilambangkan dengan huruf V.
c. Faktor bilangan, kemampuan untuk bekerja dengan bilangan, misalnya
kecakapan berhitung, dan sebagainya (numerical factor), dilambangkan
dengan huruf N.
d. Faktor kelancaran kata-kata, word fluency, dilambangkan dengan huruf
W, yaitu seberapa lancar seseorang mempergunakan kata-kata yang sukar
ucapannya. Faktor ini dianggap pula merupakan petunjuk daripada
kelancaran dalam kerja mental, yaitu mudah tidaknya seseorang
mengubah pikirannya atau mengalihkan pikirannya sesuai dengan
kebutuhan.
e. Faktor penalaran atau reasoning, yang diberi lambang huruf R. Faktor
ini mendasari kecakapan berfikir logis.
f. Faktor persepsi atau perseptional factor, yang diberi lambang huruf P.
Yaitu kemampuan untuk mengamati dengan cepat dan cermat.
g. Faktor keruangan atau spatial factor, yang diberi lambang huruf S. Ialah
kemampuan untuk mengadakan orientasi dalam ruang. Kalau sekiranya
ada kecakapan umum, itu bukan karena adanya faktor g, melainkan karena
kombinasi faktor c tersebut.
5. Pendapat Guilford
Guilford (1961, 1967), orang yang dewasa ini sangat terkenal dalam
lapangan psikometri sependapat dengan Thurstone bahwa yang pokok
ialah faktor c. Bahkan pada hakekatnya hanya inilah faktor-faktor
inteligensi itu. Menurut dia faktor c itu banyaknya tidak hanya 7,
melainkan 120. Banyaknya jumlah tersebut disebabkan karena variasi
dalam inteligensi dapat dilihat dari tiga dasar, yaitu; (1) proses psikologis
yang terlibat, (2) isi atau materi yang diproses, dan (3) bentuk informasi
yang dihasilkan. Secara garis besar, pendapat Guilford tersebut dapat
diikhtisarkan sebagi berikut:
a. Berdasar atas prosesnya (operation) terdapat lima macam;
1. Cognition
2. Memory
3. Divergent production
4. Convergent production
5. Evaluation
b. Berdasar isi (content) yang diproses ada empat macam;
1. Figural
2. Symbolic
3. Semantic
4. Behavioral
c. Berdasar atas bentuk informasi yang dihasilkan (product) ada empat
macam;
1. Units
2. Classes
3. Relations
4. System
5. Transformations
6. Implication
Dengan demikian dalam keseluruhan ada 5 X 4 X 6 = 120 macam faktor
inteligensi.
d. Rekaan Operasional
Apakah inteligensi itu? Jawaban terhadap pertanyaan ini dengan
memberikan definisi yang disusun secara sekehendak umumnya
dianggap tidal memuaskan oleh para ahli psikolog. Jalan inilah yang
ditempuh oleh mereka yang memakai pendekatan filsafati. Kaum
pragmatik membalik jalan yang ditempuh oleh para ahli pemakai
pendekatan filsafati itu. Mereka tidak menentukan definisi mengenai
inteligensi dan berusaha mengukurnya, melainkan mereka menyusun tes
dan mengatakan ”Inteligensi adalah apa yang diukur oleh tes ini”. Tetapi
cara pendekatan secara pragmatis ini saja tidak memuaskan, dan
sebenarnya juga sekehendak atau semau-maunya.
Selanjutnya para penganut teori faktor mengikuti jalan pikiran demikian;
pertama-tama kita menyusun peta atau gambar objektif mengenai
organisasi mental, dengan cara menganalisis tes-tes yang telah kita
miliki sampai dewasa ini. Selanjutnya pada langkah yang kedua kita
menyusun tes yang murni mengeni kemampuan-kemampuan yang
didefinisikan secara objektif dalam analisis faktor.
Ahli-ahli yang mengikuti operasionalisme mengajukan keberatankeberatan
terhadap pendapat para pengikut teori faktor itu, yaitu petama
mendefinisikan, dan kedua mengukurnya. Keberatan yang pertama ialah
karena tindak (operation) pengukuran itu sendiri sebenarnya secara
implisit telah pula mendefiniskan. Selanjutnya keberatan yang kedua,
ditujukan pada jalan pikiran ini: dengan menganalisis hasil tes-tes, ahliahli
yang mengikuti teori faktor berpendapat telah mengetahui faktorfaktor
inteligensi itu, tetapi kata pengikut operasionalisme ” di manakah
letak faktor itu?”. Cara yang demikian secara operasional tidak dapat
diterima.
e. Rekaan fungsional
Rekaan ini disusun atas dasar pemikiran atau analisis mengenai
bagaimana berfungsinya inteligensi itu, lalu dirumuskan sifat-sifat
hakekatnya atau definisinya. Salah satu teori yang disusun atas dasar
cara seperti itu adalah teori Binet. Binet menyatakan sifat hakekat
inteligensi itu ada tiga macam;
1. Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan
(memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seeorang, makin
cakaplah ia membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak
menunggu perintah saja. Dan makin cerdas seseorang, maka dia akan
makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain dan
suasana lain.
2. Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksimal untuk
mencapai tujuan itu. Jadi makin cerdas seseorang, ia akan makin dapat
menyesuaikan cara-cara mengahdapi sesuatu dengan semestinya. Ia
semakin dapat bersikap kritis.
3. Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri
sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya.
Makin cerdas seseorang makin dapat ia belajar dari kesalahan dan tidak
mudah melakukan kesalahan lagi.
Kisi-kisi tes akan disusun berdasar atas rekaan teoritis yang dijadikan
dasar pengembangan tes inteligensi tertentu.
C. Beberapa Macam Tes Inteligensi
a. Stanford – Biner Intelligence Scale
Materi yang terdapat dalam Skala Stanford – Binet berupa sebuah kotak berisi
bermacam-macam benda mainan tertentu yang akan disajikan kepada anak-anak,
dua buah buku kecil yang memuat cetakan kartu-kartu, sebuah buku catatan untuk
mencatat jawaban dan skornya, dan sebuah manual/petunjuk pelaksanaan
pemberian tes.
Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbagai level usia mulai dari
Usia-II sampai dengab Usia Dewasa-Superior. Diantara Usia-II dan Usia-V,
tesnya meningkat dengan interval setengah tahunan, sedangkan diantara Usia-V
dan Usia-XIV, level usia mengingkat dengan interval satu tahunan. Level-level
selanjutnya dimaksudkan sebagai level Dewasa-Rata-rata dan level Dewasa-
Superior I, II, dan III. Setiap level usia dalam skala ini berisi enam tes, kecuali
untuk level Dewasa-Rata-rata yang berisi delapan tes. Dalam masing-masing tes
untuk setiap level usia terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh
berbeda. Berdasarkan perbedaan taraf kesukaran yang kecil itulah disusun urutan
soal dari yang paling mudah sampai yang paling sukar.
Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan
secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu, pemberian tes haruslah orang yang
mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat
terlatih dalam penyajian tesnya, dan mengenal betul isi berbagai tes dalam skala
tersebut. Penyajian tesnya sendiri mengandung kerumitan yang spesifik bagi
masing-masing individu yang dites. Tidak ada individu yang dikenai semua soal
dalam tes karena setiap subjek diberi hanya soal dalam tes yang berada dalam
cakupan level usia yang sesuai dengan level intelektualnya masing-masing.
Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa (Anastasi, 1976 dalam
Azwar 1996) sekalipun terdapat level usia Dewasa Superior dalam tesnya, karena
level tersebut merupakan level intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batasbatas
usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak. Untuk memperoleh
angka IQ skor pada skala Stanford-binet diubah atau dikonversikan dengan
bantuan suatu tabel konversi. IQ yang dihasilkan oleh skala ini merupakan IQdeviasi
yang mempunyai rata-rata (mean) sebesar 100 dan deviasi standar sebesar
16. Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan pada tahun 1986. Dalam revisi
terakhir ini konsep inteligensi dikelompokkan menjadi emat tipe penalaran yang
masing-masing diwakili oleh beberapa tes, yaitu penalaran verbal (kosakata,
keganjilan), penalaran kuantitatif (tes kuantitatif, rangkaian angka), penalaran
visual abstrak (melipat kertas, mengkopi), memori jangka pendek (memori
kalimat, memori sajian urutan benda).
b. The Wechlser Intelligence Scale for Children – Revised (WISC – R)
Revisi skala WISC yang dinamai WISC-R diterbitkan tahun 1974 dan
dimaksudkan untuk mengukur inteligensi anak-anak usia 6 sampai dengan 16
tahun.
WISC-R terdiri atas 12 subtes yang dua diantaranya digunakan hanya sebagai
persediaan apabila diperlukan penggantian subtes. Keduabelas subtes tersebut
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu skala Verbal (verbal) yang terdiri
dari information (informasi), comprehension (pemahaman), arithmetic (hitungan),
similiarites (kesamaan), vocabulary (kosakata), dan digit span (rentang angka).
Golongan kedua adalah skala performansi (performance) yang terdiri dari picture
completion (kelengkapan gambar), picture arrangement (susunan gambar), block
design (rancangan balok), object assembly (perakitan objek), coding (sandi),
mazes (taman sesat).
Subtes Rentang Angka merupaka subtes pelengkap yang hanya dipergunakan
apabila salah satu diantara subtes verbal lainnya, karena sesuatu hal semisal
kekeliruan pemakaian, tidak dapat digunakan. Subtes Taman sesat dapat pula
digunakan sebagai pengganti subtes Sandi atau dapat pula digunakan sebagai
pengganti subtes performasi manapun yang tidak dapt dipakai. Dengan demikian,
skor subjek tetap didasarkan atas lima subtes dari skala Verbal dan lima subtes
dari skala Performasi.
Pemberian skor pada subtes WISC-R didasarkan atas kebenaran jawaban dan
waktu yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar
tersebut. Melalui prosedur pemberian skor yang telah ditentukan, setiap subjek
akan memperoleh skor pada masing-masing subtes. Skor tersebut kemudian
diterjemahkan ke dalam bentuk angka standar melalui tabel norma sehingga
akhirnya diperoleh suatu angka IQ –deviasi untuk skala verbal, satu angka IQdeviasi
untuk skala verbal dan satu angka IQ-deviasi untuk skala performansi, dan
satu angka IQ-deviasi untuk keseluruhan skala.
c. The Wechsler Adult Intelligence Scale-Revised (WAIS-R)
Skala Weschler pertama kali diterbitkan pada tahun 1939 dengan nama Weschler-
Bellevue (W-B). Sasaran utama test ini adalah untuk menyediakan test intelegensi
bagi orang dewasa. Test ini dirancang untuk anak-anak sekolah dan diadaptasikan
untuk orang dewasa dengan menambahkan beberapa soal yang lebih sulit.
Penekanan berlebihan pada kecepatan yang tidak menguntungkan bagi orang
dewasa, manipulasi yang relatif rutin atas kata-kata, dan tidak dapat
diterapkannya norma umur pada orang-orang dewasa membuat test W-B
dikembangkan.
Dalam bentuk dan isi, skala ini menetapkan pola dasar untuk semua skala
Weschler, yang masing-masing akan menambah penyempurnaan. W-B itu sendiri
ditambahkan paada tahun 1955 oleh WAIS, yang memperbaiki sejumlah
kekurangan teknis skala terdahulu dalam kaitan dengan ukuran representativitas
sampel normatif dan reliabilitas subtes-subtes.
WAIS telah mengalami revisi, dan diberi nama Weschler Adult Scale-Revised
(WAIS-R) yang mencakup jangkauan umur 16 sampai 74 tahun. Sebagaimana
versi WAIS sebelumnya, WAIS-R terdiri dari skala Verbal dan skala Performansi.
Kedua skala tersebtu masing-masing menghasilkan IQ-verbal dan IQperformansi,
sedangkan kombinasi keduanya menjadi dasar untuk perhitungan IQ
deviasi sebagai IQ keseluruhan. Masing-masing test memiliki minimal 5 subtes
dan maksimal 7 subtes.
Secara lebih terperinci, isi masing-masing subtes dalam skala Verbal, yaitu subtes
Informasi, berisi 29 pertanyaan mengenai pengetahuan umum yang dianggap
dapat diperoleh oleh setiap orang dimana ia berada. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut disusun menurut taraf kesukaran yang semakin meningkat. Sedapat
mungkin jenis pertanyaan yang diajukan tidak berkaitan dengan pengetahuan
khusus yang dipelajari di sekolah.
Subtes Rentang Angka berupa rangkaian angka-angka yang terdiri atas tiga
sampai sembilan angka yang disebutkan secara lisan dan kemudian subjek
diminta mengulanlg menyebutkannya dalam urutan yang benar. Pada bagian
kedua subtes ini pemberi tes menyebutkan rangkaian angka yang lain dan subjek
diminta mengulang menyebutkannya dalam urutan yang terbalik.
Subtes Kosa Kata berisi 40 kata yang disajikan dari yang paling mudah
didefinisikan sampai kepada yang paling sulit. Pemberi tes menyebutkan secara
lisan kata yang disajikan pada kartu kecil dan subjek diminta memberikan artinya.
Subtes Hitungan berupa problem hitungan yang setaraf dengan soal hitungan di
sekolah dasar , karena itu sedikit sekali memerlukan kecakapan menghitung yang
rumit. Empatbelas soal hitungan diberikan secara lisan dan harus dijawab oleh
subjek secara lisan pula.
Isi subtes Pemahaman dirancang untuk mengungkap pemahaman umum. Subtes
ini terdiri atas 14 soal yang menghendaki subjek untuk menjelaskan apa yang
harus dilakukan pada situasi tertentu, mengapa aturan tertentu harus diikuti, apa
arti peribahasa tertentu, dan sebagainya. Subtes Kesamaan berisi 13 soal yang
menghendaki subjek untuk menyatakan pada hal apakah dua benda memiliki
kesamaan.
Sedangkan untuk skala Performansi, subtes Kelengkapan Gambar berupa 21 kartu
yang masing-masing berisi gambar. Pada setiap gambar terdapat bagian penting
yang sengaja dihilangkan. Subjek diminta untuk menyebutkan bagian yang hilang
tersebut.
Subtes Susunan Gambar berupa delapan seri cerita gambar yang masing-masing
terdiri atas beberapa kartu yang disajikan dalam urutan tidak teratur. Subjek
diminta mengatur kartu-kartu tersebut kedalam urutan yang benar sehingga
menunjukkan jalan cerita yang logis. Subtes Rancangan Balok terdiri atas suatu
pola yang masing-masing tersusun atas pola merah-putih. Setiap macam pola
diberikan di atas kartu sebagai soal. Untuk setiap macam pola, subjek diminta
menirunya dengan menggunakan beberapa buah balok kecil berukuran 2,5x2,5
cm yang sisi-sisinya dicat merah, putih, dan merah putih. Subtes Perakitan Objek
terdiri dari potongan-potongan atau bagian-bagian lengkap bentuk benda yang
dikenal sehari-hari yang disajikan dalam susunan tertentu. Subjek diminta
menyusun potongan-potongan bentuk tersebut sehingga membentuk gambar yang
benar dari benda yang dimaksudkan. Empat macam bentuk benda disajikan dalam
urutan kesukaran yang semakin meningkat.
Subtes Simbol Angka berupa sembilan angka yang masing-masing mempunyai
simbolnya sendiri-sendiri. Sebjek diminta menulis simbol untuk masing-masing
angka dibawah deretan angka yang tersedia sebanyak yang dapat ia lakukan
dalam waktu 90 detik. Soal-soal dalam setiap subtes dirancang sesuai dengan
tujuan penggunaan skala ini, yaitu sebagia ukuran inteligensi orang dewasa yang
dimaksudkan untuk digunakan pada subjek yang berusia antara 16 sampai dengan
64 tahun. Dalam memberikan skor untuk subtes Hitungan, Simbol Perakitan
Angka, Rancangan Balok, Susunan Gambar, dan Perakitan Objek, kebenaran
jawaban dan kecepatan menjawab sangat diperhitungkan. Jawaban yang benar
akan tetapi diberikan setelah batas waktu yang dibolehkan tidak akan mendapat
skor. Semakin cepat penyelesaian diberikan, skornya akan semakin tinggi.
Sebagaimana WISC-R, skala WAIS-R menghasilkan tiga macam IQ-deviasi yang
diperoleh melalui suatu konversi skor dengan menggunakan tabel norma
penilaian/ pada skala ini. IQ-deviasi terdistribusi dengan nilai rata-rata sebesar
100 dan deviasi standar sebesar 15.
Sejak publikasi W-B, sejumlah besar skala yang diperpendek atau bentuk yang
pendek telah diusulkan untuk skala-skala Weschler. Sasaran dari skala-skala yang
dipersingkat adalah untuk mengurangi cukup banyak waktu penyelengaraan
sambil mendapatkan IQ skala penuh yang diperkirakan dapat dievaluasi dalam
kaitannya dengan norma-norma yang diterbitkan.
Sampel-sampel standarisasi skala Weschler paling akhir dipilih dengan sangat
hati-hati untuk menjamin representativitasnya. Sampel-sampel normatif
mencakup kurang lebih 2000 kasus untuk tiap skala, dengan jumlah pria dan
wanita sama yang didistribusikan pada kelompok-kelompol umur yang sesuai
untuk masing-masing. Skor-skor mentah pada masing-masing skala Weschler
ditransformasikan ke dalam skor-skor standar dengan rata-rata 10 dan standar
deviasi 3 Skala-skala Weschler memberikan koefisien reliabilitas belah separuh
untuk tiap kelompok umur pada tiap skor subtes. Reliabilitas belah separuh IQ
skala penuh merentang dari 0,90 sampai 0,98. Data rentang reliabilitas (atau
stabilitas) retest skor-skor skala Weschler telah diperoleh lebih mendalam tiap
revisi. Koefisien stabilitas cenderung menjadi lebih tinggi untuk orang-orang
dewasa daripada anak-anak.
Ketika WAIS-R diterbitkan pada tahun 1981, pegangan itu sendiri tidak memiliki
data validitas tentang instrumen selain sepasang telaah korelasional antara telaah
itu dengan skal-skala Weschler terdahulu. Penanganan Weschler pada dasarnya
mencerminkan orientasi deskripsi-isi, meskipun penganan itu memiliki nada
tambahan dari pendekatan deskripsi-isi, dengan sedikit data pendukung.
d. The Standard Progresive Matrices
SPM merupakan salah satu contoh bentuk skala inteligensi yang dapat diberikan
secara individual maupun secara kelompok. Skala ini dirancang oleh J. C. Raven
dan diterbitkan terakhir kali oleh H. K. Lewis & Co. Ltd. London pada tahun
1960.
SPM merupakan tes yang bersifat nonverbal, artinya materi soal-soalnya
diberikan tidak dalam bentuk tulisan ataupun bacaan melainkan dalam bentuk
gambar-gambar. Karena instruksi pengerjaannya diberikan secara lisan maka
skala ini dapat digunakan untuk subjek yang buta huruf. Diciptakan pertama kali
di tahun 1936, diterbitkan pertama kali di tahun 1938, SPM telah mengalami
berbagai revisi sampai revisi terakhir yang dijumpai di Indonesia yaitu revisi
tahun 1960.
Penyusunan SPM didasari oleh konsep inteligensi Spearman, yaitu konsepsinya
mengenai eduksi hubungan dan eduksi korelasi. Raven sendiri menyebut skala ini
sebagai tes kejelasan pengamatan dan kejelasan berfikir, bukan tes inteligensi
umum (Raven, 1960 dalam Azwar 1996).
Tes SPM terdiri atas 60 buah soal yang berupa gambar-gambar. Setiap soal
berupa sebuah gambar besar yang berlubang dan di bawah gambar besar tersebut
terdapat 6 atau 8 buah gambar kecil sebagai pilihan jawaban. Subjek diminta
memilih salah satu gambar kecil yang dapat dipakai untuk menutup lubang pada
gambar besar sehingga terbentuk pola yang benar berdasarkan penalaran tertentu.
Keenampuluh soal terbagi dalam lima seri yang masing-masing berisi 12 soal
yang disajikan dalam sebuah buku. Seri pertama, yaitu Seri A, merupakan seri
yang paling mudah dicari dasar penalarannya. Selanjutnya taraf kesurakaran soal
akan semakin meningkat dan masing-masing seri menuntut pengerahan kapasitas
intelektual yang lebih, agar dapat menemukan dasar penalaran yang berlaku bagi
setiap seri soal.
Setiap subjek diberi soal yang sama dan menuliskan jawabannya pada suatu
lembar jawaban khusus yang disediakan. Subjek harus bekerja dengan cepat dan
teliti sejak awal hingga akhir tes. Bagi setiap jawaban yang benar, subjek
mendapat skor 1. Skor total pada skala ini adalah banyaknya soal yang dapat
dijawab dengan benar oleh subjek yang kemudian akan diintepretasikan secara
normatif menurut sebuah tabel norma penilaian. Dari lima seri yang masingmasing
terdiri atas 12 buah soal, keseluruhan tes memuat 60 soal, akan tetapi skor
maksimal yang dapat diperoleh oleh subjek adalah 58 dikarenakan dua soal
pertama pada Seri A merupakan soal contoh yang tidak diberi skor. SPM tidak
memberikan suatu angka IQ akan tetapi menyatakan hasilnya dalam tingkat atau
level intelektualitas dalam beberapa ketegori, menurut besarnya skor dan usia
subjek yang dites, yaitu grade I (kapasitas intelektual superior), grade II (kapasitas
intelektual di atas rata-rata), grade III (kapasitas intelektual rata-rata), grade IV
(kapasitas intelektual di bawah rata-rata), grade V (kapasitas intelektual
terhambat).
Disamping SPM, terdapat satu versi progressive matrices yang disajikan dalam
gambar berwarna dan diberi nama The Coloured Progressive Matrices (CPM).
Soal-soal dalam skala CPM diberikan dalam bentuk gambar berwanra karena
memang diperuntukkan bagi subjek yang berusia sangat muda atau justru yang
sudah berusia tua. Raven sendiri mengatakan bahwa CPM cocok untuk tujuan
studi antropologis atau studi klinis serta cocok bagi subjek yang mempunyai cacat
jasmani, atau yang kapasitas intelektualnya di bawah normal. Bagi mereka yang
memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata disediakan versi lain, yaitu The
Advanced Progressive Matrices (APM) yang dibuat dalam dua seri, yaitu Seri I
dan Seri II.
e. The Kaufman Assessment Battery for Children (K-ABC)
Tes inteligensi K-ABC merupakan baterai (rangkaian) tes yang relatif baru yang
diperuntukkan bagi anak-anak usia 2,5 sampai 12,5 tahun (Kaufman, kamphaus,
& Kaurman, 1985, dalam Azwar 1996). Tes ini diciptakan oleh Alan S. Kaufman
dan Nadeen L. Kaufman dari the University of Alabama.
Skala-skala inteligensi dalam baterai ini adalah Sequal Processing Scale dan
Simulation Processing Scale. Sequal Processing Scale yaitu skala yang
mengungkap abilitas atau kemampuan untuk memecahkan permasalahan secara
bertahap dengan penekanan pada hubungan serial atau hubungan temporal
diantara stimulus. Stimulus ini, baik verbal maupun visual harus ditangni secara
berurutan agar tercapai performansi yang optimal. Dalam K-ABC kemampuan ini
diungkap antara lain oleh subtes Word Order dimana subjek harus menunjuk pada
bayangan gambar dalam urutan sama dengan urutan nama yang disebut oleh
penguji. Simulation Processing Scale yaitu skala yang bertujuan mengungkap
kemampuan anak dalam memecahkan permasalahan dengan cara
mengorganisasikan dan memadukan banyak stimuli sekaligus dalam waktu yang
sama. Permasalahan yang diajukan sering kali bersifat analogi atau mengandung
aspek spasial. Baik berwujud perseptual maupun berujud konseptual, stimulusnya
menghendaki pengerahan daya sintesis simultan agar tercapai penyelesaian yang
benar. Dalam K-ABC, stimulus bentuk ini mencakup tugas pengenalan bercak
tinta yang disajikan separuh selesai (Gestalt Completion) dan analogi visual yang
umumnya abstrak (Matrix Analogies).
Baterai dalam skala ini juga menyajikan kombinasi Sequantial dan Simultaneous
Processing yang masing-masing disebut Mental Processing Composite Scale,
Achievement Scale, dan non-Verbal Scale.
Skor pada kesemua skala dalam K-ABC dibuat memiliki mean 100 dan unit
deviasi standar sebesar 15 agar dapat dibandingkan langsung satu sama lain dan
dengan ukuran inteligensi lain. Skala nonverbal dalam K-ABC merupakan bentuk
pendek dari Mental Processing Scale yang dikhususkan bagi anak usia 4 sampai
13,5 tahun dan mencakup pula subtes yang dapat disajikan secara pantomim serta
direspon secara motorik.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 1996. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suryabrata, Sumardi. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta:
Penerbit Andi.