ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN
Pelamaran adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan
untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya, sebelum terjun
membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada baiknya jika
kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan
keutamaan melamar, karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali
didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan
pernikahan, di antaranya:
1. Surah Ar-Rum ayat 21.
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدّةً وَرَحْمَةً إِنّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.
Ar-Rum: 21)
2. Surah Ar-Ra’d ayat 38.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرّيّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلّا بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلّ أَجَلٍ
كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap
masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
3. Surah Ali ‘Imran ayat 38.
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيّا رَبّهُ قَالَ رَبّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرّيّةً طَيّبَةً إِنّكَ سَمِيعُ الدّعَاءِ
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata:
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a”. (QS. Ali-‘Imran:
38)
4. Surah Al-Furqan ayat 54.
وَهُوَ الّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah
Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan: 54)
Adapun sabda Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam-, maka telah
datang dari beberapa orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu 'anhu-.
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang
sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan
meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah
pernikahan:
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنّتِيْ فَلَيْسَ مِنّي
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk
golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits 'Abdullah bin Mas'ud -radhiallahu 'anhu-.
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوّجْ فَإِنّهُ أَغَضّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصّوْمِ فَإِنّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah
memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal
tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya
dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya". (HR. Al-
Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya
memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita
mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk
melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah
terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah
pihak.
Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh
saudaranya sesama muslim.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-:
لَ يَخْطُبُ الرّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
"Tidak boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran
saudaranya"1.
Dalam sebuah riwayat:
حَتّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ, أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
"Kecuali jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau
dia (pelamar pertama) mengizinkan dirinya"2.
Batasan dari larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar
pertama telah meridhoi (baca: setuju dengan) wanita tersebut
dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh bagi orang lain
untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu atau
bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak
1 HR. Al-Bukhary (3/373-Al-Fath)
2 HR. Al-Bukhary (3/373- Al-Fath) dari hadits Ibnu 'Umar -radhiallahu 'anhumalainnya
maka boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita
tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sahabiyah
Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari 'iddah
thalaqnya, maka Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm
bersamaan melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar
wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang
fasik atau ahli bid'ah, wallahu A'lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kesholehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah
-radhiallahu 'anhu- bahwa Nabi -Shallallahu 'alaihi
wasallam- bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا, وَلْحَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا, فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدّيْنِ
"Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya,
karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya".
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat
kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya
baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah
-Shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau
ditanya tentang wanita yang paling baik:
اَلّتِيْ تُطِيْعُ إِذَا أُمِرَ، وَتَسُرّ إِذَا نُظِرَ، وَتَحْفَظُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ
"Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat,
serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya"4.
Bahkan Allah -Ta'ala- berfirman:
الرّجَالُ قَوّامُونمَ عَلَى النّسمَاءِ بِم اَ فَضّلَ اللّهمُ بَعْضَهُممْ عَلَى بَعْضمٍ وَبِم اَ أَنْفَقُوا مِنمْ أَمْوَالِهِممْ
فَالصمّالِحَاتُ قَانِتَاتمٌ حَافِظَاتمٌ لِلْغَيْبمِ بِم اَ حَفِظمَ اللّهمُ وَاللّات يِ تَخَافُونمَ نُشُوزَهُن فَعِظُوهُن وَاهْجُرُوهُنّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنّ سَبِيلًا إِنّ اللّهَ كَانَ عَلِيّا كَبِيًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang
ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
3 Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/1114) dan (4/2261).
4 Hadits shohih riwayat Imam Ahmad (4/341).
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, "Yakni
wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suamisuami
mereka"5.
Dan Imam Qotadah bin Di'amah berkata menafsirkan
"hafizhotun …", "Wanita-wanita yang menjaga hak-hak
Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanitawanita
yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada
di sisinya"6.
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang
tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya
tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya,
semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang
memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-
Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
لَ تَحِلّ مُسَافَحَةٌ وَلَ ذَاتُ خَدَنٍ لِمُسْلِمٍ
"Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) almusafahah7
dan dzati khadanin8"9.
'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash -radhiallahu 'anhumaberkata:
أَنّ أَبَا مَرْثَدِ الْغَنَوِي رَضِيَ الُ عَنْهُ جَاءَ إِلَى النّبِيّ صَلّى الُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَسْتَأْذِنُهُ أَنْ يَنْكِحَ اِمْرَأَةً بَغِيّا
كَانَتْ صَدِيْقَتَهُ فِيْ الْجَاهِلِيّةِ تُدْعَى عَنَاقُ. فَسَكَتَ عَنْهُ النّبِيّ صَلّى الُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ, فَنَزَلَ قَوْلُ الِ
تَعَالَى: ))اَلزّانِيَةُ لَ يَنْكِحُهَا إِلَ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ((. فَدَعَاهُ النّبِيّ صَلّى الُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَرَأَهَا عَلَيْهِ،
وَقَالَ لَهُ: ))لَ تَنْكِحْهَا((
"Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu
'anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallammeminta
izin kepada beliau untuk menikahi seorang
wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya
saat jahiliyah yang bernama 'Anaq. Maka Nabi -Shallallahu
'alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah -Ta'ala-,
["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali
pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi
-Shallallahu 'alaihi wasallam- memanggilnya lalu
membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda,
5 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/38) dengan sanad yang shohih.
6 Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (5/39) dengan sanad yang shohih.
7 Al-Musafahah adalah pezina wanita.
8 Dzatul Khadanin adalah wanita yang mempunyai pacar atau teman dekat (TTM).
9 Dikeluarkan oleh Sa'id bin Manshur dalam As-Sunan (5/8) dengan sanad yang
shohih.
10 QS. An-Nur ayat 3
["Jangan kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli
bid'ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu
'alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
b. Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan
lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma'qil bin Yasar
-radhiallahu 'anhu-, beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النّبِيّ صَلّى الُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ, فَقََالَ: إِنّيْ أَحْبَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ، وَإِنّهَا لَ
تَلِدُ، أَفَأَتَزَوّجُهَا؟ قَالَ: ))لَ((. ثَمّ أَتَاَهُ الثّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمّ أَتَاهُ الثّالِثَةَ، فَقَالَ: ))تَزَوّجُوْا الْوَدُوْدَ
الْوَلُوْدَ، فَإِنّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ((.
"Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu
'alaihi wasallam- lalu berkata, "Saya menyenangi seorang
wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik
hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya
boleh menikahinya?", beliau menjawab, ["tidak boleh"].
Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada
beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau
melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya,
maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang
penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya
berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari
Kiamat"]12.
An-Nasa`iy -rahimahullah- memberikan judul bab untuk
hadits ini dengan ucapannya, "Bab: Makruhnya menikahi
orang yang mandul".
c. Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini
berdasarkan Jabir bin 'Abdillah -radhiallahu 'anhubahwasanya
Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- bertanya
kepadanya, "Wanita apa yang kamu nikahi?", maka dia
menjawab, "Saya menikahi seorang janda", maka Nabi
-Shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
فَهَلّ جَارِيَةً تُلَعِبُهَا وَتُلَعِبُكَ
"Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang
kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain
denganmu?!"13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan
lelaki yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan
wanita yang masih muda dengan lelaki yang sudah berumur.
Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu 'anhu- beliau berkata,
11 Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
12 HR. Abu Daud (2050) dan An-Nasa`iy (6/65).
13 HR. Al-Bukhary (3/240) dan Muslim (2/1078)
"Abu Bakr dan 'Umar -radhiallahu 'anhuma- pernah melamar
Fathimah (anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu 'alaihi
wasallam- bersabda:
إِنّهَا صَغِيْرَةٌ
"Sesungguhnya dia masih muda".
Kemudian Fathimah dilamar oleh 'Ali maka beliau (Nabi)
menikahkannya"14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau
saudarinya atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada
seorang lelaki yang sholih.
Akan datang keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia
wakili dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak
menikahkannya dengan orang yang jelek kecuali dengan seizin
wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
"Disunnahkan bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk
mencari pemuda yang indah rupanya, karena wanita juga
menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa keindahan
wajah-pent.)"15.
Demikian pula dia jangan menikahkan putrinya kepada orang
yang diduga kuat tidak akan memenuhi kewajibannya berupa
memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana
ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- tatkala
Fathimah bintu Qois dilamar oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan:
أَمّا مُعَاوِيَةَ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لَ مَالَ لَهُ
"Adapun Mu'awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin
lagi tidak mempunyai harta sama sekali".
Demikian halnya jika yang melamar anaknya adalah seorang
yang dianggap tidak baik pergaulannya dalam berkeluarga,
sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallamterhadap
Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
وَأَمّا أَبُوْ جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرّابٌ لِلنّسَاءِ
"Adapun Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering
memukuli istrinya"16.
6.
Adab-Adab Melamar
14 HR. An-Nasa`iy (6/62) dengan sanad yang hasan.
15 Ahkamun Nisa` hal. 203. Dan telah diriwayatkan sebuah atsar dari 'Umar bin
Khoththob dalam masalah ini, hanya saja dalam sanadnya ada kelemahan.
16 Hadits ini dan sebelumnya dari hadits Fathimah bintu Qois riwayat Muslim
(2/1114) dan (4/2261).
Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki
kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk
menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan
baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi
antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, 'Abdullah bin
'Umar -radhiallahu 'anhuma- bercerita:
أَنّ عُمَرَ بْنَ الْخَطّابِ حِيْنَ تَأَيّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السّهْمِي -وَكَانَ مْنْ أَصْحَابِ رَسُوْلُ الِ
صَلّى ال عَلَيْهِ وَسَلّمَ، فَتَوَفّى بِالْمَدِيْنَةِ-. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ: "أَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفّانَ فَعَرَضْتُ عَلِيْهِ حَفْصَةَ،
فَقَالَ: " سَأَنْظُرُ ف يِ أَمْرِي". فَلَبِثْ تُ لَيَالِ يَ ثُم لَقِيَن يِ، فَقَالَ: "قَدْ بَدَا لِي أَ نْ لَ أَتَزَوّ جَ يَوْم يِ هَذَا". فَلَقِيْ تُ أَب اَ بَكْرٍ
الصِدّيْقَ فَقُلْتُ: "إِنْ شِئْتَ زَوّجْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ", فَصَمِتَ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَيّ شَيْئًا, وَكُنْتُ أَوْجَدَ عَلَيْهِ مِنْ
عَلَى عُثْمَانَ، فَلَبِثْتُ لَيَالِي, فَخَطَبَهَا رَسُوْلُ الِ صَلّى الُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَأَنْكَحْتُهَا إِيّاهُ
"Tatkala Hafshah bintu 'Umar ditinggal mati oleh suaminya yang
bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka
'Umar ibnul Khoththob berkata, "Saya mendatangi 'Utsman bin 'Affan
lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, "Saya
pertimbangkan dulu", maka sayapun menunggu hingga beberapa
malam lalu dia mendatangiku dan berkata, "Telah saya putuskan, saya
tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini". Kemudian saya menemui
Abu Bakr dan berkata, "Jika engkau mau saya akan menikahkan
engkau dengan Hafshah bintu 'Umar", maka Abu Bakr diam dan tidak
membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku
daripada penolakan 'Utsman. Maka sayapun menunggu selama
beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallammelamarnya
(hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan
beliau".17
Imam Al-Bukhary memberikan judul bab untuk kisah ini dengan ucapan
beliau, Bab: (Bolehnya) seseorang menawarkan putri atau saudara
perempuannya (untuk dinikahi) kepada orang-orang yang baik".
Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada
lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut
mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya. Imam
Al-Bukhary -rahimahullah- berkata, "Bab: Seorang wanita menawarkan
dirinya kepada seorang lelaki yang sholeh", lalu beliau membawakan
hadits Anas bin Malik -radhiallahu 'anhu- bahwa beliau berkata:
جَائَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلُ الِ صَلّى الُُُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعْرَضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا ....
"Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu 'alaihi
wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi)
…"18.
Sisi pendalilan dari kisah ini adalah adanya taqrir (persetujuan) Nabi
17 (HR. Al-Bukhary (9/481-Al-Fath)
18 HR. Al-Bukhary (2/246)
-Shallallahu 'alaihi wasallam- terhadap perbuatan wanita ini.
Peringatan:
Hendaknya hal ini19 tidak dilakukan kecuali oleh seorang wanita yang
merasa aman dari fitnah demikian pula pihak lelakinya, sebagaimana
amannya Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- dan shahabiyah di atas
dari fitnah. Dan di zaman yang penuh kerusakan seperti ini
dimanakah kita bisa mendapatkan lelaki dan wanita yang
merasa aman dari fitnah terhadap lawan jenisnya?! Karenanya,
walaupun asal hal ini dibolehkan, akan tetapi di zaman ini hendaknya
seorang wanita meninggalkan perbuatan seperti ini karena tidak jarang
-bahkan inilah kenyataannya- kedua belah pihak terjatuh ke dalam
fitnah yang besar tatkala seorang wanita menawarkan dirinya kepada
lelaki yang dianggap sholih. Fitnahnya bisa terjadi dari beberapa sisi:
1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat
-bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan
berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan
mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email
dan selainnya. Di sinilah awal kerusakan akan muncul.
2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya
ketika berbicara dengan laki-laki.
3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak
oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap
melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati
antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na'udzu
billahi min dzalik.
Berikut penyebutan adab-adab dalam pelamaran yang harus
diperhatikan oleh kedua belah pihak:
1. Disunnahkan nazhor (memandang/melihat) kepada calon
pinangan.
Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk
menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan
mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia
boleh untuk membatalkan pelamarannya. Imam Ibnu Qudamah
berkata, "Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan
para ulama akan bolehnya seseorang yang mau menikahi seorang
wanita untuk memandang kepadanya".20
Berikut beberapa dalil yang menunjukkan disunnahkannya bagi
kedua belah pihak untuk saling melihat sebelum meneruskan
pelamaran:
1. Hadits Jabir bin 'Abdillah -radhiallahu 'anhuma- secara marfu':
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
19 Yakni seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholih.
20 Al-Mughny (9/489)
"Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita,
maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat
dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan".
Jabir berkata, "Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya
melihatnya dengan sembunyi-sembunyi (tanpa
sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa
yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun
menikahinya".21.
2. Hadits Al-Mughirah bin Syu'bah -radhiallahu 'anhu-.
Beliau berkata, "Saya mendatangi Nabi -Shallallahu 'alaihi
wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang
wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:
اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
"Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu
akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng"22.
Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan
hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi
seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu
muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga
berlaku bagi kedua belah pihak.
3. Hadits Abu Humaid -radhiallahu 'anhu- secara marfu':
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً, فَلَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ, وَإِنْ كَانَتْ لَ تَعْلَمُ
"Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita,
maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika
memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun
wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)"23.
Beberapa perkara penting yang berkaitan dengan nazhor:
1. Syarat-syarat dibolehkannya nazhor:
a. Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak
ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal
mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di
atas, yang mana Nabi bersabda, "jika memang dia melihatnya
hanya untuk pelamarannya".
b. Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai
dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk
menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut
sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau
sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya
tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya,
21 HR. Abu Daud (2082) dengan sanad yang hasan.
22 HR. At-Tirmidzy (1087), An-Nasa`iy (6/69), dan Ibnu Majah (1866). Potongan
pertama dari hadits dikuatkan dalam riwayat Muslim (2/1040) dari hadits Abu
Hurairah.
23 HR. Ahmad (5/424) dengan sanad yang shohih.
maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan
pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.
Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh
(keringanan) yang syari'at berikan bagi orang yang mau
melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau
sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka
hukum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali
kepada hukum asal, yaitu haram. Allah -Subhanahu wa Ta'alaberfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيَ يَغُضّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنّ اللّهَ خَبِيٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِ نْ أَبْ صَارِهِنّ وَيَحْفَظْ نَ فُرُوجَهُن وَلَا يُبْدِي نَ زِينَتَهُن إِلّا م اَ ظَهَرَ مِنْه اَ وَلْيَضْرِبْ نَ
بِخُمُرِهِنّ عَلَى جُيُوبِهِنّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنّ إِلّا لِبُعُولَتِهِنّ أَوْ ءَابَائِهِنّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنّ أَوْ أَبْنَائِهِنّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنّ أَوْ إِخْوَانِهِنّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنّأَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنّ أَوْ نِسَائِهِنّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنّ
أَوِ التّابِعِي غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِ نَ الرّجَالِ أَوِ الطّفْلِ الّذِي نَ لَ مْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النّ سَاءِ وَلَا يَضْرِبْ نَ
بِأَرْجُلِهِنّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيَ مِنْ زِينَتِهِنّ وَتُوبُوا إِلَى اللّهِ جَمِيعًا أَيّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلّكُمْ تُفْلِحُونَز
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudarasaudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS.
An-Nur: 30-31)
Imam Ibnul Qoththon Al-Fasy berkata, "Jika sang pelamar
wanita (pihak lelaki) telah mengetahui bahwa wanita tersebut
tidak mau menikah dengannya dan bahwa wali wanita
tersebut tidak menerima lamarannya, maka tidak boleh
ketika itu dia (melanjutkan) memandang, walaupun dia tadi
telah melamar. Karena dia hanya diperbolehkan untuk
memandangnya sebagai sebab dari berlangsungnya
pernikahan, maka jika dia sudah yakin akan penolakannya
(wanita atau walinya) maka kembalilah (hukum) memandang
(wanita yang bukan mahram) kepada hukum asal".24
c. Tentunya nazhor ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan
berkhalwat (berdua-duaan), akan tetapi sang wanita wajib
ditemani oleh mahramnya yang laki-laki. Hal ini berdasarkan
keumuman hadits-hadits yang melarang dari khalwat, seperti
sabda Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-:
لَ يَخْلُوَنّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، فَإِنّ ثَالِثَهُمَا الشّيْطَانُ
"Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan
seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan"25.
2. Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat.
Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu 'anhu- berkata, "Tidak ada
perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat
kepada wajahnya"26.
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang
paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam
satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat
aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut
bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan
yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu
'alaihi wasallam- tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang
boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, "melihat apa yang
bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya".
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar
'Umar ibnul khoththob dan 'Ali bin Abi Tholib -radhiallahu
'anhuma-. Diriwayatkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf
(6/163) dan Sa'id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa
'Umar pernah melamar putri Ali, maka 'Ali berkata,
"Sesungguhnya dia masih kecil", maka ada yang mengatakan
kepada Umar bahwa 'Ali tidak menginginkan dengan ucapannya
kecuali untuk menahan putrinya. Maka 'Ali berkata, "Saya akan
menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia
adalah istrimu". Maka diapun mengutus putrinya lalu 'Umar
mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari 'Ali
berkata, "Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin
(pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar
24 An-Nazhor fii Ahkamin Nazhor karya beliau hal. 391.
25 Riwayat At-Tirmidzy (2165) dari 'Umar bin Khoththob -radhiallahu 'anhu- dan Ibnu
Majah (2/64) dari Jabir bin Samurah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-
Shohihah (430).
26 Al-Mughny (9/490)
lehermu".
3. Hukum nazhor tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.
Yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Malik
bahwasanya boleh melakukan nazhor kepada calon pinangan
dengan seizin atau tanpa izin dari wanita tersebut, hal ini dinukil
oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu'27. Imam Ibnu Qudamah
berkata, "Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan
izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu 'alaihi
wasallam- memerintahkan untuk melihat dan
memutlakkannya".28
2. Berpenampilan sederhana dalam melamar.
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri)
dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang
sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk
dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua
belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah
dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkaraperkara
yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak
oleh salah satu pihak.
Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah
sebagaimana yang diceritakan oleh 'Abdullah bin Thowus bahwa
ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi
oleh anaknya, "Pergilah engkau melihatnya". 'Abdullah berkata,
"Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai
minyak dan bergaya", maka tatkala Thowus melihat anaknya
berpenampilan seperti itu, dia berkata, "Duduklah kamu", beliau
benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan
seperti itu29.
3. Boleh bagi wanita yang akan dinazhor untuk berhias
sekedarnya.
Dari Subai'ah Al-Aslamiyah -radhiallahu 'anha- bahwa dulunya
beliau adalah istri dari Sa'ad bin Khaulah lalu suaminya wafat30
dalam haji wada' dan beliau (suaminya) adalah badry (pasukan
perang badar). Dan beliau melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari
hari wafatnya suami beliau. Maka setelah itu, beliau ditemui oleh
Abus Sanabil bin Ba'kak tatkala beliau sudah selesai nifas dalam
keadaan beliau (Subai'ah) memakai celak mata -dalam sebagian
riwayat, maka salah seorang dari kerabat suamiku menemuiku
dalam keadaan saya sudah memakai khidhob dan berhias"-. Maka
27 (16/138) cet. Darul Fikr.
28 Al-Mughny (9/489)
29 Riwayat 'Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/157) dengan sanad yang shohih.
30 Suami beliau wafat sedangkan beliau dalam keadaan hamil, sebagaimana yang
nampak dari kisah.
dia (Abus Sanabil) berkata kepadanya, "Kuasailah dirimu -atau
ucapan semisalnya- mungkin kamu sudah mau menikah lagi,
sesungguhnya waktunya adalah 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya
suamimu. Beliau (Subai'ah) berkata, "Maka saya mendatangi Nabi
-Shallallahu 'alaihi wasallam- dan saya ceritakan kepada beliau apa
yang dikatakan oleh Abus Sanabil bin Ba'kak, maka beliau
bersabda:
قَدْ حَلَلْتِ حِيْنَ وَضَعْتِ حَمْلَكِ
"Engkau telah halal (untuk menikah) ketika engkau melahirkan"31.
'Amr bin 'Abdil Mun'im berkata menjelaskan batasan dari berhias,
"Telah berlalu dalam hadits Subai'ah penjelasan mengenai sifat
berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak
mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias
untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan
make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan
wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab:
mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak
mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat
terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya"32.
4. Beristikhoroh.
Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya
untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk
dari Allah -Subhanahu wa Ta'ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah
pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu 'alaihi
wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu 'anha-, maka Zainab
berkata:
مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتّى أَوَامِرِ رَبّي
"Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan
perintah Tuhanku".
Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di
mesjidnya"33.
Imam An-Nasa`iy memberikan judul bab untuk hadits ini dalam
Sunannya (6/79), "Sholatnya seorang wanita jika dia dilamar dan
dia beristikhoroh kepada Tuhannya".
Adapun kaifiat dan do'a sholat istikhoroh, maka hal ini disebutkan
dalam hadits Jabir bin 'Abdillah -radhiallahu 'anhu- secara marfu':
إِذَا هَمّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِِ الْفَرِيْضَةِ، ثُمّ لَيَقُلْ: ))اَلّلهُمّ إِنّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ
بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنّكَ تَقْدْرُ وَلَ أَقْدِرُ, وَتَعْلَمُ وَلَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلّمُ الْغُيُوْبِ. الَلّهُمّ إِنْ
كُنْتَ تَعْلَمُ أَنّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلَ أَمْرِيْ وَآجِلَهُ- فَاقْدُرْهُ لِي،
وَيَسّرْهُ لِي, ثُمّ بَارِكْ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلَ أَمْرِيْ وَآجِلَهُ- فَاصْرِفْهُ عَنّي،
31 Riwayat Ahmad (6/432) dengan sanad yang shohih.
32 Adabul Khitbah waz Zifaf hal. 23.
33 Riwayat Muslim (2/1048) dari sahabat Anas bin Malik -radhiallahu 'anhu-.
وَاصْرِفْنِي عَنْهُ, وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرِ حَيْثُ كَانَ، ثُمّ أَرْضِنِيْ بِهِ.
"Jika salah seorang di antara kalian sudah berniat melakukan suatu
perkara, maka hendaknya dia melakukan sholat 2 raka'at yang
bukan sholat wajib, setelah sholat hendaknya dia bedo'a, ["Ya Allah,
saya beristikhoroh kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta
kemampuan kepad-Mu dengan kemampuan-Mu, dan saya meminta
keutamaan-Mu yang Maha Agung. Karena sesungguhnya Engkaulah
yang menakdirkan dan saya tidak menakdirkan, Engkau Maha
Mengetahui sedang saya tidak mengetahui, dan Engkau Maha
Mengetahui yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa
perkara ini baik bagiku untuk agamaku, untuk kehidupanku, dan
untuk akhir perkaraku -atau beliau berkata, "untuk perkaraku cepat
atau lambat"- maka takdirkanlah hal itu untukku, permudahlah
untukku, kemudian berkahilah aku di dalamnya". Jabir berkata,
"Kemudian dia menyebutkan keperluannya"34.
5. Sederhana dalam mahar.
Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling
meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya
dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut
berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara
mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target
mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang
wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- sangat membenci
dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu
tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan
menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada
Nabi bahwa maharnya 4 'awaq. Maka beliau bersabda:
عَلَى أَرْبَعَةٍ أَوَاقٍ؟! كَأَنّمَا تَنْحِتُوْنَ الْفِضّةَ مِنْ عُرْضِ هَذَا الْجَبَلِ
"Engkau menikahinya dengan mahar 4 'awaq?!, seakan-akan kalian
memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …"35.
Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat
menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah
dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman
bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan
sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi
-Shallallahu 'alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang
wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan
mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut36.
6. ???
34 Riwayat Al-Bukhary (3/58-Al-Fath)
35 Riwayat Muslim (2/1040) dari sahabat Abu Hurairah -radhiallahu 'anhu-.
36 Hal ini disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa'ad As-Sa`idy -radhiallahu 'anhumariwayat
Al-Bukhary (3/369) dan Muslim (2/1041)
Kemungkaran-Kemungkara dalam fase pelamaran
Sebagai pelengkap pembahasan, kami akan menyebutkan beberapa
kemungkaran yang biasa terjadi dalam fase pelamaran. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan, mengingat kemungkaran-kemungkaran ini
sangat sering terjadi dan tidak diragukan merupakan wasilah menuju
perzinahan -wal'iyadzu billah-. Di antara kemungkaran-kemungkaran
tersebut adalah:
1. Seorang lelaki menazhor seorang wanita tanpa seizin dari wali
wanita tersebut.
2. Terjadinya khalwat dalam proses nazhor, dimana sang wanita
berduaan dengan lelaki yang akan melihatnya.
3. Mengadakan ritual saling mengikat antara seorang lelaki dan
wanita sebelum pernikahan, yang ini sering dikenal dengan ritual
'tunangan'.
4. Mondar-mandirnya seorang lelaki ke rumah wanita yang sudah
dia lamar, berduaan dengannya dan keluar bersamanya.
Telah berlalu dalil akan haramnya seorang lelaki berkhalwat
(berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya. Karena
seorang wanita, walaupun dia telah dilamar oleh seorang lelaki
dan telah disetujui oleh kedua belah pihak tetap lelaki tersebut
bukanlah mahramnya sampai mereka berdua menikah, walaupun
lelaki tersebut adalah keluarga dekatnya, seperti sepupunya.
5. Terjadinya perbincangan antara keduanya tanpa ada hal yang
mengharuskan mereka untuk berbincang, terlebih lagi jika
perbincangannya dilakukan melalui telepon dan yang
semisalnya, karena kebanyakan isi perbincangan mereka
merupakan perkara yang tidak halal mereka perbincangkan
sebelum keduanya menikah. Hal ini diperparah jika sang wanita
melembutkan suara dan cara berbicaranya, karena dari sinilah
awal munculnya berbagai macam bentuk perzinahan. Allah
-Subhanahu wa Ta'ala- berfirman memerintahkan kaum
mu`minah:
يَانِسَاءَ النّبِيّ لَسْتُنّ كَأَحَدٍ مِنَ النّسَاءِ إِنِ اتّقَيْتُنّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (QS. Al-
Ahzab: 32)
6. Seorang lelaki mengunjungi wanita yang telah dia
lamar/tunangannya dengan alas an mau mengajarinya Al-Qur`an
atau ilmu-ilmu agama lainnya.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya dengan
nash pertanyaan sebagai berikut, "Saya telah melamar seorang
wanita, dan saya telah membantunya menghafal 20 juz dari AlQur`
an -walhamdulillah- selama fase pertunangan. Saya duduk
bersamanya (mengajarinya) dengan keberadaan mahram di
sisinya, dan dia juga konsisten dengan hijab yang syar'iy
-walhamdulillah-. Pembicaraan kami tidak pernah keluar dari
masalah agama atau membaca Al-Qur`an, waktu kunjunganpun
singkat. Maka apakah dalam perbuatan saya ini adalah perkara
yang dilarang secara syar'iy?".
Maka Syaikh menjawab, "Ini tidak boleh (dilakukan), karena
perasaan seorang lelaki ketika dia duduk bersama wanita yang
telah dia lamar/tunangannya biasanya akan menimbulkan
kejolak syahwat, sedangkan (perasaan) bergejolaknya syahwat
kepada selain istri dan budak adalah diharamkan. Dan semua
perkara yang bisa mengantarkan kepada yang haram maka dia
juga haram".
7. Mengundur pernikahan setelah proses pelamaran selesai dan
disetujui oleh kedua belah pihak atau panjangnya waktu
pertunangan. Baik dikarenakan masih ada syarat yang belum
dipenuhi oleh pihak lelaki, atau karena menunggu selesainya
pendidikan salah satunya atau keduanya atau dengan alasan
yang sering dilontarkan oleh kebanyakan orang yakni "sampai
keduanya sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya".
Semua ini adalah alasan yang tidak syar'iy, karena bisa
menimbulkan kerusakan di kemudian hari. Maka yang wajib
diperhatikan adalah hendaknya setiap lelaki yang mau melamar
seorang wanita haruslah sudah memiliki persiapan berkenaan
dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan sebelum dan
setelah pernikahan, sehingga dia tidak menunggu lagi setelah
disetujuinya pelamaran kecuali langsung mengadakan
pernikahan, wallahul muwaffiq.