Inteligensi dan IQ
http://gudanginformasipengetahuan.blogspot.com
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir
secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan
dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara
2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang
diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya
0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan
secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah
saling kenal.
Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup
menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak.
Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan
arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari
Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan
demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak
menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur
kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang
disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada
pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian
dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah
otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi
penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu
alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas
khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian
direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes
Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan
sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes
Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang
bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-
Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum.
Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri
dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik.
Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut
teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC
(Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai
dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang
amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu
latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk
menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes
inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes
bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic
Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest
Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate
Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory
adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan
manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi
tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas
mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari
berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas
yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula.
Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata
tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas
adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan
berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya
dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk
memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini
merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan
proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang
dicapai oleh ilmu pengetahuan.