EKPLOITASI SEKSUAL
Oleh. M. Yunis
‘’Tetapi jelaslah bahwa nilai-nilai perempuan sangat sering berbeda dengan
dengan niali yang telah diciptakan oleh jenis kelamin lain, sebenarnya begitulah,
sebenarnya nilai-nilai maskulinlah yang berkuasa (Viiginia dalam Poole, 1983;
67)’’
Menarik apa yang dikemukan Virginia di atas bahwa telah terjadi
pendustaan yang diawali dengan penciptaan kode terhadap bahasa. Maskulin
menganggap feminim lemah, pesimis, tidak berdaya terhadap alam. Namun,
wacana itu jelas sekali diciptakan oleh laki-laki dan demi kepentingan laki-laki
saja. Alhasil, perlawanan yang mengatasnamakan dirinya femin isme unjuk
keadilan, sehingga merambah ke ranah seksual yang tabu sekalipun.
Sejalan dengan itu, Focoult dalam Ritzer (2003: 109) menyatakan bahwa
seksualitas adalah pemindahan pemahaman yang padat terhadap seksual. Awal
abat ke- 17 victorinisme membatasi seksual hanya sebatas di dalam rumah dan
perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu
pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan
melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan
untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya.
Penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu mengasikan.
Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan
berusha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang
sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah
UU pornografi dan porno aksi. Artinya, kekuasaan tidak berusaha tidak
menyembunyikan hasil dari peningkatan pandangan tetapi lebih tertarik kepada
kenikmatan seks. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas
untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata,
mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan
mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian pasca pelacur melahirkan postfeminisme, yang mana banyak
kalangan menuntut untuk melegalkan prostitusi, lesbian, homoseksual dan
heteroseksual. Prostitusi, lesbi ataupun homo pernah dibicarakan tuhan pada masa
Nabi Lut, yang mana para umatnya dilaknat kerena laki-laki telah menyerupai
perempuan, perempuan menyerupai laki-laki, seks sesama jenis. Kemudian Dorse
yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai
laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai lakilaki.
Ini adalah sebuah fenomena yang nyata ditawarkan oleh budaya pop yang
sudah dimamah oleh masyarakat komsumer kita. Memang betul isunya berangkat
dari jender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki
dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau
pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi
sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rumah atau
Lokalisai Doly, setiap belun puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para
pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa.
Nah apa yang terjadi di dunia media, sesuai dengan apa yang dinyatakan
Focoult tersebut di atas, seks dicumbu dengan mata, televisi menyuguhkan
kemolekan tubuh wanita, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala
macamnya. Inilah yang yang dinginkan oleh kekuasaan, memanajemen seks untuk
kenikmatan dan kepuasan birahi melalui sarana media, sebab tidak bisa ditolak
bahwa semua mata masyarakat konsumen sudah tertuju pada dunia maya, antologi
citraan (istilah Piliang). Sangat menggiurkan ketika iklan sampo mampu
membersihkan kotoran rambut hingga keakar-akarnya, dan sangat menjanjikan
ketika memakai biore, nivea mampu membuat wajah bersih dan putih. Meminum
pil rapet wangi membuat perempuan terasa virjin. Sejalan juga denga apa yang
dikemukan Piliang (2004: 322) bahwa kesucian telah digantikan oleh mesin, yang
suci adalah yang sesuai dengan apa yang dibicarakan dalam ontologi citraan. Ini
adalah suatu usaha bagaimana membuat kaum adam senang, dan matanya tertuju
kepada virjinitas kaum perempuan.
Alhasil, moral-moral seperti ini mampu menciptakan mitos baru bahwa
yang virjin itu adalah perempuan yang suca meminum pil rapet wangi, dan secara
tidak langsung sudah menghancurkan mitos lama bahwa yang virgin itu adalah
yang suci dan belum tersentuh. Di sini moral yang diajarkan agama samawi
terbuang dan hancur seiring timbulnya mitos yang dibuat oleh kekuasaan.
Sejalan dengan itu, ekploitasi terhadap seksual semakin dibicarakan, budaya
seksual yang menjadi pembahasan cultural studies mengkategorikannya ke dalam
budaya populer yang sudah seharusnya dinikmati oleh masyarakat moderen.
Setidaknya itulah yang diciptakan dan yang dinginkan Hagemoni Barat,
membangun sebuah tatanan baru, feminisme perempuan dunia ketiga ke dalam
sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau
perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah
saepatutnya kesetaraan jender menjadi kajian yang menarik. Padahal
sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk
menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur.
Di pihak perempuan Timur itu sendiri malah tidak menyadari bahwa
penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai
anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai
kondom dalam transaksi seksual, atau diperbolehkan berhubungan seks dengan
menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Sekarang, transaksi seksual
sering dilarang, kalau memang benar ini dilaksanakan maka kerugian yang utama
terletak pada kekuasaan, jika pelcuran ditutup maka berkuranglah devisa.
Salahnya kekuasaan sendiri, bagi kaum lelaki dituntut mempunyai istri 1 supaya
bisa bersifat adil dan setia, kekuasanlah yang menciptakan UU, akibatnya si lakilaki
bebas jajan di pinggiran jalan dari pada menyantap hidangan yang terjamin
dan bersih di dalam rumah.
Dalam bebearapa waktu ini kekuasan lengah dalam mengomandoi seksual,
sehingga seks mengganas merambah gedung suci DPR, instansi dan lembagalembaga
terdidik, sehinngga mental para pemangku kekuasan perlu
dipertanyakan. Perselingkuhan, pelecehan seksual, dan istri simpanan, telah
menghanguskan apa yang dianggap aturan yang ideal bagi bangsa Timur dan
memberantas habis feminisme ketimuran. Media yang sarat dengan informasi
telah berubah menjadi pemangsa yang ganas, memangsa budaya, moral hingga
masyarakat akar rumput, pelecehan terhadap anak di bawah umur, perkosaan yang
dilakuakan oleh ayah rutiang adalah fenomena yang tidak asing lagi, beginilah
feminisme yang dinginkan oleh kaum Neo Imprelisme. Memang wanita karir
adalah sebuah profesi yang sangat menjajikan dalam dunia moderen tetapi secara
radikal keluar, suami terabaikan, anak-anak kehilangan idolanya yang pertama,
sejak kecil hidup dengan bebi sister, kemudian bebi sister jadi ibu tiri. Selera
suami lebih ditentukan oleh pembantu, mulai dari pakaian, masakan hingga seks.
Sekurang-kurangnya usaha imprealisme sudah mulai sukses untuk
menanamkan ideologinya, sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan
menjadi suambangan hangat bagi perempuan timur, tetapi sesunggunya
perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk
kembali menjajah dengan sistem.
Namun, apa tindakan yang seharusnya dilakukan? Kita tidak mesti menolak
teknologi, kita tidak harus memnuat tembok pemisah antara Barat dengan Timur.
Tetapi yang harus dipikirkan adalah cara dan bukanlah tujuan, sebab sampai
sekarang orang Timur lebih menghargai cara dibandingkan hasil, jika caranya
menyentuh maka strategi yang ditawarkan akan diterima oaleh rakyat. Jangan
berjanji tetapi lakukan segera, jangan beretorika jka hanya untuk meninabobokan
orang-orang yang lapar dan haus. Indonesia sebagai negara yang kaya perlu
menciptakan sosok pemimpin yang punya loyalitas, komando strategi sehingga
rkayat benar-benar percaya akan perubahan nasib.
Pertama ciptakan sistem yang bersahabat dengan masyarakat, kedua ciptakan
strategi yang mengangakat hajat hidup secara keseluruhan, ketiga serahkan
kepada ahlinya.
Mahasiwa Pasca Linguistik Budaya Unand