Konsep Pernikahan dalam Islam
Juli 1, 2007
Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.
KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun
masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah
Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari
kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi
menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak
melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan
pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan
dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa
yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong
untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi
mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri
dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin
semarak.
Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara
perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan
tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang
berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah
pernikahan ..?
Na’udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta’an.
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan,
karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja
tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena
lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang
luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak
mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini.
Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi
sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar.
‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON
GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri,
memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam
telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari
anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan),
bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah
tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan
detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah
dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus
Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan
maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat
kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa
persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam,
Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini,
karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah
agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas
fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena
nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi
dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak
menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).
A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap
ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh
agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist
Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik
radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan
berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits
Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin
meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang
masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan
kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku
berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini
perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan
kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup
membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai
makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada
umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari
semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya
sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian
semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya,
kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus
menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya
tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak
menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin
mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah
kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah
ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah
sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di
alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia
berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan
seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah
menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang
mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang
yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 :
251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu
Hurairah radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak
suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku
tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah
sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia,
maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang
perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan
meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan
keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam
membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk
(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam
dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang
Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang
ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang
tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu
mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara
pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya
diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan,
dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka
usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud.
Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq
seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat
seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari
keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya.
Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan
mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena
agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”.
(Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki
yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila
suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya
dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32),
Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang
Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain
sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai
tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang
peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk Meningkatkan
Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik
kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur
bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampaisampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar
sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang
suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi
shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para
suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para
shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh
dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits
Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang
Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan
bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan
Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin
tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami
istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang
benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga
itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi
berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an
dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat
penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih
dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang
seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi).
Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan
Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah
hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262
dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun
miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan
makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu
Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG
WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu,
hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap
sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan
seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa
dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan
terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan,
melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2.
Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran
Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal.
Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang
menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar
wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal.
347-348).
4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat
istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam
dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga
sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan
dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan
melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak
akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi,
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat
kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan
banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan
seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’
Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan
demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para
tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah
memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah
ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih
Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lainlain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai
ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a :
(Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudahmudahan
Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan
keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam
kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183,
Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh
menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki
dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. 7.
Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar
bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah
(ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga)
telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-
Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan
dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk
mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir,
akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan,
sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan
yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan
percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-
Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu
“perceraian”.
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah
tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat
yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
(Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang
menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”.
(Al-Furqaan : 74)
Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.
Konsep Pernikahan dalam Islam
Juli 1, 2007
Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.
KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun
masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah
Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari
kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi
menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak
melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan
pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan
dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa
yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong
untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi
mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri
dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin
semarak.
Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara
perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan
tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang
berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah
pernikahan ..?
Na’udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta’an.
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan,
karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja
tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena
lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang
luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak
mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini.
Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi
sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar.
‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON
GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri,
memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam
telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari
anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan),
bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah
tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan
detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah
dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus
Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan
maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat
kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa
persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam,
Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini,
karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah
agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas
fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena
nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi
dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak
menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).
A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap
ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh
agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist
Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik
radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan
berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits
Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin
meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang
masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan
kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah,
sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku
berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini
perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan
kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup
membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai
makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada
umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari
semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya
sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian
semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya,
kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus
menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu
kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya
tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak
menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin
mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah
kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah
ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah
sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di
alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia
berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan
seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah
menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang
mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang
yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 :
251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu
Hurairah radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak
suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku
tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah
sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).
TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia,
maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang
perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan
meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan
keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam
membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk
(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang
disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam
dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah
WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang
Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang
ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang
tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu
mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara
pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya
diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan,
dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka
usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud.
Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq
seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat
seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari
keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya.
Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan
mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena
agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”.
(Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki
yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila
suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya
dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32),
Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang
Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain
sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai
tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang
peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat. 4. Untuk Meningkatkan
Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik
kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur
bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampaisampai
menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar
sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang
suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi
shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para
suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para
shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh
dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits
Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang
Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk
melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan
bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan
Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin
tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami
istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang
benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga
itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi
berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan
mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an
dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat
penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih
dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang
seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi).
Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan
Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah
hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262
dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun
miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan
makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu
Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).
SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG
WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN 1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu,
hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap
sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan
seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa
dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan
terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan,
melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram. 2.
Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran
Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal.
Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang
menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar
wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal.
347-348).
4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat
istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam
dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga
sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan
dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan
melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak
akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi,
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat
kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan
banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan
seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’
Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan
demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para
tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah
memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah
ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih
Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lainlain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai
ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a :
(Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudahmudahan
Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan
keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam
kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183,
Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh
menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki
dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya. 7.
Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar
bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah
(ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga)
telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-
Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan
dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk
mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir,
akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan,
sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan
yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan
percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-
Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu
“perceraian”.
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah
tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat
yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
(Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang
menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”.
(Al-Furqaan : 74)
Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.