Obat Cemburu
Sudah seminggu ini, letupan api cemburu membara dalam hatiku.
Perasaanku tidak mau kompromi dengan akal sehatku. Entah mengapa
dan datangnya darimana, api cemburu ini hadir secara tiba-tiba. Seperti
serangan jantung yang merenggut nyawa Mbah Surip. Mendadak! Tanpa
diduga-duga.
Demikian juga dengan perasaanku. Mendadak, aku tidak rela
menyaksikan sikap Rini yang akrab dengan Andre. Padahal rasa cemburu
ini sebelumnya tidak ada. Aku percaya pada Andre. Sangat-sangat
percaya. Aku juga yakin bahwa keakraban mereka lantaran kegiatan di
OSIS. Tidak lebih.
Andre, pacarku, adalah ketua OSIS di sekolahku. Sementara Rini
menjabat sekretarisnya. “Jadi wajar kan kalau mereka akrab,” demikian
kalimat penghibur yang bertahta dalam benakku selama 3 bulan ini.
Tapi, sudah seminggu ini kalimat penghibur itu tiba-tiba lenyap.
Hilang tak berbekas. Kini digantikan dengan api cemburu yang berkobarkobar.
Aku tidak rela menyaksikan keakraban mereka. Aku tidak rela
melihat mereka berdiskusi, meski dalam sebuah rapat OSIS. Bahkan, yang
lebih gila lagi, aku tidak rela kalau Andre jadi ketua OSIS. Aku ingin
menginginkan seutuhnya. Waktu, tenaga, pikirannya hanya untukku.
Ini benar-benar gila!
Aku sadar ini sebuah tindakan kegilaan, namun anehnya rasa
cemburuku lebih menguasaiku. Rasa cemburuku lebih kuat dibanding
kesadaranku. Perasaanku lebih perkasa dibanding akal pikiranku.
“Kamu butuh obat!” suara hatiku memberi nasihat.
“Obat cemburu? Dimana aku bisa membelinya?” suara lirih dari
bibirku menimpali.
Obat cemburu?
Adakah obat cemburu? Bila ada, lalu dimana aku bisa membelinya?
Siapa yang bisa kutanyai? Apakah aku harus bertanya pada Bu Heni, guru
BP? Atau bertanya pada ayah atau ibuku?
Ahhh… semakin kupikir justru semakin membikinku bingung. Dan
juga membuatku semakin cemburu. Pada Andre dan Rini.
* * *
Tubuhku hinggap di atas tempat tidur. Harum aroma melati yang
menguap dari sprei membelai-belai hidungku. Merangsang pikiranku
mengembara. Melayang. Menembus batas keberadaan tubuhku.
Pikiranku ada di Bukit Cinta. Obyek wisata yang berada di tepi
Rawa Pening. Aku menikmati hamparan air tenang yang tepat berada di
depanku. Sambil sesekali kurasakan hembusan angin sepoi-sepoi dari
puluhan pohon pinus yang ada di sekitarku.
Oh… Bukit Cinta. Oh… Rawa Pening. Seandainya dirimu berada di
Amerika, tentu engkau akan dikenal di seluruh penjuru dunia.
Keindahanmu akan disebut-sebut oleh para penulis novel dari negeri
Paman Sam. Kecantikanmu akan menghiasi film-film Holywood. Dirimu
akan dipuja-puja. Dinas Pariwisata kabinet Obama akan mendadani dirimu
agar semakin menarik, semakin memesona, dan semakin seksi.
Tak mau kalah, segenap begawan marketing akan mengemas
promosi tentang dirimu sedemikian menarik. Daya magnetis dirimu
semakin membesar. Daya tarikmu semakin hebat. Dahsyat! Sehingga
puluhan juta wisatawan dari segala penjuru dunia datang kepadamu
setiap tahunnya. Bahkan ada ratusan juta penduduk dunia lainnya yang
mengimpikan datang menghampirimu.
Hingga dirimu bisa mengalirkan devisa yang besar. Lebih besar dari
gundukanmu, Bukit Cinta. Dan, tentu saja engkau bisa mengalirkan
kesejahteraan bagi penduduk yang tinggal di sekitarmu.
Oh… Bukit Cinta, oh… Rawa Pening.
Ya… seandainya saja. Tapi, kenyataannya engkau tinggal di
Indonesia, Bukit Cinta. Kenyataannya engkau berada di kisaran
Ambarawa, Rawa Pening. Semoga engkau bisa menerima kenyataan ini.
Siapa yang mau menulis tentangmu? Siapa yang mau lebih peduli untuk
mempercantik dirimu? Siapa yang mau menjadikanmu sebagai lokasi
shooting filem? Siapa yang peduli kepadamu? Ah… aku tidak tahu!
Tiba-tiba aku melihat ada dua orang di atas perahu. Mendayung
perahu. Semakin mendekat ke arahku, semakin jelas raut wajah mereka.
Ha… Andre dan Rini?
Pengembaraan pikiranku terhenti. Dadaku sesak. Aku tersadar
masih di atas tempat tidur. Aku hanya berimajinasi, yang membuat rasa
cemburuku semakin meluap. Banjir memenuhi sekujur tubuhku. Derasnya
seperti air yang berlari akibat tsunami di Aceh beberapa tahun lalu.
Kini, adegan dalam pikiranku berubah drastis. Indahnya menikmati
pesona Bukit Cinta berubah jadi gempuran rasa cemburu. Kini, ada
puluhan pertanyaan yang melompat-lompat di pikiranku. Saling tumpah
tindih. Semua dalam bentuk tanya. Belum ada setitik jawaban. Serba
membingungkan!
Oh… apakah ada obat cemburu? Kalau ada, dimana aku bisa
menemukannya? Kepada siapa aku harus bertanya? Bentuknya seperti
apa? Berapa harganya? Apakah benar-benar mujarap? Kapan aku bisa
memperolehnya? Bagaimana cara memperolehnya? Mengapa aku jadi
memikirkannya? Ah, jadi tambah pusing aku dibuatnya. Benar-benar
pusing!
Mendadak, pertanyaan-pertanyaan itu buyar. Dering hape
membuatku kaget. Ada sms. Dari siapa ya?
Kugapai hape berwarna perak yang ada di meja belajar.
“O… dari tante Agnes.”
“Na, apakah kamu pernah cemburu? Apakah kamu percaya bahwa
cemburu adalah bukti cinta? Kalau kamu mau tahu jawabannya, silakan
kamu baca buku Love Freak. Aku baru saja mengirimnya, mungkin besok
sudah nyampe. Oke? O ya, selamat ulang tahun ya. Ingat, besok kamu
sudah 17 tahun lho! Jadi, kamu sudah boleh …. ~Agnes~”
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Hukum ketertarikan ala buku Low of
Attraction bekerja! Benarkah? Atau hanya kebetulan? Tetapi buku
Becoming a Money Magnet bilang Kebetulan yang Tidak Kebetulan.
Ah… entahlah!
Yang penting inikah obat cemburu yang disebutkan oleh suara
hatiku itu? Buku Love Freak!
Secepat kilat jempol menari-nari di kipet hapeku. Segera ingin
kebalas sms dari Tante yang tinggal di Yogyakarta itu.
“Sudah boleh nonton filem 17 tahun ke atas kan? :-) Terima kasih
ya, dan pasti aku tunggu. Tante Agnes, selalu tahu yang kumau.
~Anna~”
“Hus… Jadi, kamu sudah boleh mengendarai motor. Kamu sudah
boleh punya SIM. Oke? Tambah cerdas ya! Dan nitip salam buat ayah dan
ibumu. ~Agnes~”
“Oke!” balasku singkat. Khusus sms dengan Tante Agnes, aku tidak
berani memakai bahasa gaul. Apalagi nyingkat-nyingkat sms. Huh… bisabisa
dapat petuah bijak. Maklum, Tante Agnes kerja sebagai editor di
salah satu penerbit terbesar di kota Gudeg.
Ah… buku Love Freak? Seperti apakah engkau? Apakah engkau
bisa jadi obat untuk virus cemburu yang sedang menyerangku ini?
Sms dari tante Agnes membuatku senang sekaligus menancapkan
virus baru di batinku. Virus penasaran. Penasaran ingin segera menyantap
buku itu. Ah… betapa tidak enak merasakan cemburu bercampur
penasaran.
Sebel!
* * *
Aku menyobek amplop berwarna coklat yang ada di genggamanku.
Kugapai isi yang tersembunyi di dalamnya. Satu buku: Love Freak.
Warna pink mendominasi judul buku Love Freak, dengan bingkai
berwarna putih. Sedang sampul buku didominasi warna kuning. Segar!
Benar-benar perpaduan warna yang memacu adrenalinku. Aku ingin
segera mengunyahnya. Melumatnya sampai habis. Tak tersisa.
“Ngebongkar mitos-mitos Cinta secara Radikal,” demikian sederet
kata-kata yang tertera di sampul buku. Menemani tulisan Love Freak.
Membaca sub judul buku yang ada di genggamanku ini, membuatku
semakin penasaran. Semakin membuatku segera melumat seluruh isinya.
Segera kubuka dan kubaca buku yang ditulis oleh S. Rahoyo ini.
Aku ingin segera membuktikan sms dari Tante Agnes kemarin, ” Na,
apakah kamu pernah cemburu? Apakah kamu percaya bahwa cemburu
adalah bukti cinta? Kalau kamu mau tahu jawabannya, silakan kamu baca
buku Love Freak.”
Kubaca Love Freak dengan serius. Aku benar-benar membutuhkan
obat cemburu. Kubuka lembar demi lembar. Kubaca kata demi kata.
Kukunyah, kucerna. Tiba-tiba, mataku terbelalak. Hatiku bergetar. Saat
aku mulai membaca halaman 16. Ada getaran semakin membesar saat
kubaca halaman 17, apalagi halaman 18.
Inilah yang aku cari selama seminggu ini.
Aku membaca ulang halaman 16 dan 17. Kalau tadi hanya
membaca dalam hati, kini aku ingin mendengar bacaan lewat nada dari
mulutku.
“Jauh-jauh sebelumnya kamu perlu tahu bahwa (praktik) cinta
sama sekali tidak identik dengan pengetahuan tentang cinta. Maksud
saya, boleh jadi seseorang tahu banyak tentang cinta, tapi hidupnya
sama sekali tidak menunjukkan cinta. Sebaliknya, ada seseorang yang
mungkin sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang cinta, tetapi
hidupnya mampu membuktikan bahwa ia adalah seseorang yang penuh
cinta.
Kalau begitu, mana yang lebih penting: praktik cinta atau
pengetahuan tentang cinta? Kalau saya harus memilih salah satu di
antara keduanya, saya memilih untuk tidak memilih. Bagi saya, keduanya
penting dan saling melengkapi. Tentu saja saya sepakat bahwa
pengetahuan tentang cinta sangat tidak cukup tanpa praktik cinta. Tapi,
praktik cinta tanpa pengetahuan hakiki tentang cinta, juga bisa
menyesatkan!
Contohnya, kamu cemburu ketika pacarmu berjalan bersama orang
lain. Dan, kamu mengira cemburu itu merupakan tanda cintamu
kepadanya. Kesimpulan berikutnya, semakin besar rasa cemburumu, itu
pertanda semakin besar pula cintamu kepadanya. Kesimpulan berikutnya
lagi, kalau begitu kamu perlu terus-menerus memperbesar rasa cemburu
itu. Kenapa? Ya, itu tadi … karena semakin besar rasa cemburumu dikira
semakin besar pula cintamu padanya.
Benarkah cemburu adalah tanda cintamu kepadanya? Omong
kosong! Cemburu 100% membuktikan bahwa kamu hanya ‘mencintai’
dirimu sendiri dan bukan mencintainya! Renungkan baik-baik: Si dia
(pacarmu tadi) berjalan bersama orang lain. Kamu pun mulai khawatir
atau curiga bahwa dia akan mengkhianatimu. Bahkan, mungkin kamu
mulai takut akan ditinggalkannya. Atau, dalam bahasa yang sangat
disukai para cewek, kamu mulai takut kehilangan dia. Jauh di lubuk
hatimu, takut kehilangan itulah yang menjadi asal-muasal munculnya
rasa cemburu itu.”
Aku berhenti sejenak. Kucoba mencerna kalimat-kalimat yang baru
saja kubaca tersebut. Aku tidak ingin sekedar membaca. Aku ingin
memperoleh manfaat yang paling optimal dari membaca buku. Terutama
membaca buku Love Freak ini. Aku mulai merasakan obat cemburunya.
Lalu, aku lanjutkan membaca, “Seandainya kamu memercayainya
bahwa dia tidak akan mengkhianatimu atau kamu tidak punya rasa takut
akan ditinggalkannya, niscaya rasa cemburu itu tidak akan muncul. Nah,
jelas bukan, bahwa cemburu 100% demi kepentinganmu atau bukan
kepentingannya? Jadi, bagaimana kamu bisa bilang, “Aku cemburu karena
aku mencintaimu”? Para cewek (cowok juga!), berhati-hatilah katika
pacarmu bilang, “Aku cemburu karena aku mencintaimu!” Kalau itu
bukan kalimat gombalan perayu kelas wahid, yakinlah bahwa dengan
mengungkapkan kalimat itu pacarmu sedang berperan sebagai serigala
berbulu domba! Tampaknya saja kalimatnya manis-manis: “Aku
mencintaimu…”, tapi seseungguhnya ia sedang ingin menerkam dan
menguasaimu! Ya… tentu saja pada akhirnya semua terserah
kepadamu.”
Aku terpana!
Tiga kalimat terakhir membuatku terkejut! Serasa ada orang yang
menamparku. Keras sekali.
Jadi selama seminggu ini, aku telah berperan sebagai serigala
berbulu domba bagi Andre? Ups… maafkan aku ya Dre.
Aku harus segera minta maaf ke Andre. Aku ingin buktikan bahwa
aku benar-benar mencintainya. Aku ingin buktikan bahwa tidak ada hasrat
mau menguasainya. Aku bukan serigala berbulu domba. Aku benar-benar
domba! Dan akan kubuktikan ucapanku ini.
Tunggu ya Dre. Aku punya kado istimewa buatmu. Kalimat
berenergi tinggi yang kudapat dari buku Love Freak ini.
Terdengar bel berdenting nyaring. Jernih. Sejernih suara Ruth
Sahanaya.
Tanda waktu istirahat telah habis.
* * *
“An, aku makin cinta kepadamu. Met Ultah ya!” ucap Andre.
Aku tersenyum. Kuberikan senyuman yang paling manis.
Senyuman, yang menurut Andre semanis es teller Sruni Ambarawa.
Kami berjalan beriringan. Meninggalkan gedung sekolah.
“O ya, nanti sore aku kan ada latihan basket. Jadi, gimana kalau
ngrayain ultahmu besok aja? Sepulang sekolah, terus kita langsung
menuju ke Istana Idola,” sambung Andre.
“Oke. Deal!” sahutku mantap.
“Sms permintaan maafmu manis sekali. I like it!”
Andre tersenyum. Aku merasa lega. Senyum yang seminggu ini
tidak kulihat. Lantaran api cemburuku yang meledak-ledak kepadanya.
“Dre, tahukah kamu kalau kata-kata permintaan maaf yang kukirim
lewat sms tadi, kucuplik dari buku. Buku Love Freak. Aku ambil kalimat
permintaan maaf yang menyentuh jiwaku dari halaman 18 buku itu. Ah…
moga-moga aja kamu tidak tahu,” gumanku dalam hati.
Terima kasih Tante Agnes. Engkau telah mengirim obat cemburu
buatku.
Terima kasih Love Freak. Aku semakin bersemangat untuk segera
membacamu, sampai tetes terakhir.