NAJIS
Benda-benda yang merupakan najis
1. Segala yang keluar dari 2 kemaluan adalah najis,
kecuali mani
1. Kencing dan tinja manusia.
Menyucikan tanah yang terkena kencing
Najis yang berbetuk
Bahan bangunan dari bahan yang bercampur
kencing
2. Rautsah
3. Madzi
4. Wadi
5. Darah haid dan nifas
6. Basahan vagina
Mani tidak najis
Hadits tentang kesucian mani
Secara akal mani tidak najis
Aisyah mencuci mani
2. Bangkai
3. Anjing dan babi
Apakah babi najis?
Cara menyucikan bejana yang bercampur najis
anjing dan babi
Bila tidak menemukan debu
Istidlal
1. Membandingkan anjing dan babi dengan
bangkai atau darah
2. Membandingkan anjing dan babi dengan
keledai dan binatang buas lain
Yang menajiskan pada suatu hal tetap menajiskan,
baik di pedalaman atau perkotaan, sedikit atau
banyak.
4. Darah
Sedikit darah yang dimaafkan
73
1. Darah dari binatang yang tidak mengalir
darahnya
2. Darah bisul
3. Darah haidh dan mimisan
4. Darah di gusi
5. Segala sesuatu yang keluar dari lambung secara
yakin, seperti muntahan walaupun tidak mengalami
perubahan
6. Empedu dan susu dari binatang yang tidak boleh
dimakan
7. Cairan yang memabukkan
8. Cairan dari cacar
9. Anggota badan binatang yang terpotong
74
NAJIS
Membersihkan najis dari badan, pakaian dan tempat
shalat hukumnya adalah wajib berdasarkan firman Allah
Ta’ala, “Dan pakaianmu maka sucikanlah,” (QS. Al-
Muddatstsir: 4) dan juga berdasarkan hadits-hadits yang
akan datang.
Benda-benda yang merupakan najis
Berkata Asy Syaikh Asy Syirazi dalam Al Muhazzab :
Najis itu kencing, tinja, muntahan, madzi, wadi, mani dari
selain manusia, darah, nanah, cairan dari cacar, segumpal
darah, bangkai, khamr, nabidz, anjing, babi, keturunan dari
keduanya dan keturunan dari salah satunya, susu dari
binatang yang tidak dimakan dagingnya selain manusia,
basahan vagina dan segala sesuatu yang terkena najis
dengan semua itu.
75
1. Segala yang keluar dari 2 kemaluan adalah najis,
kecuali mani
1. Kencing dan tinja manusia.
[20] Dari Abu Hurairoh berkata : Seorang pedalaman
masuk masjid, katanya, "Ya Alloh, berilah rahmat kepadaku
dan Muhammad, janganlah Engkau berikan rahmat kepada
siapapun", maka Rosululloh SAW bersabda, "Sungguh
engkau telah menghalangi rahmat yang luas". Tidak lama ia
kencing di penjuru masjid. Rosululloh SAW memerintahkan
para shahabat untuk mengambil satu timba besar berisi air
lalu menuangkannya di atas kencing tersebut. 1
1 (20) Al Atsari : Shohih
Asy Syafi’i meriwayatkan dari Sufyan Ibn Uyainah dari Az Zuhri dari Said bin
Al Musayyab dari Abu Hurairoh.
Abu Dawud : Kitab Thoharoh, Bab Bumi yang terkena kencing dari jalur
Ahmad bin Amr bin As Sarh dan Ibn Abdah dari Sufyan.
At Turmudzi : Kitab Thoharoh, Bab berkaitan tentang kencing mengenai
bumi dari jalur Ibn Abi Umar dan Said bin Abdurrahman Al Makhzumi dari
Sufyan.
Berkata At Turmudzi : Di dalam bab ini ada juga dari Abdullah bin
Masud, Ibn Abbas dan Watsilah bin Al Asqo'. Ini adalah hadits hasan
shohih. Yunus telah meriwayatkan hadits ini dari Az Zuhri dari Ubaidullah
bin Abdullah dari Abu Hurairoh.
An Nasai : Kitab tentang lupa, Bab berbicara dalam sholat dari jalur
Sufyan.
76
[21] Dari Yahya bin Sa'id berkata : Aku mendengar
Anas bin Malik berkata, "Seorang pedalaman kencing di
masjid. Rosululloh SAW bersabda, "Tuangkan padanya
setimba air". 2
Berkata Al Baihaqi untuk menta'liq hadits ini menurut Asy Syafi’i :
Demikian diriwayatkan Ali bin Al Madini dan Al Humaidi dari Sufyan dan
diriwayatkan oleh Syuaib bin Abu Hamzah dari Az Zuhri dari Ubaidullah
bin Abdullah bin Atabah dari Abu Hurairoh dalam kisah kencing di masjid.
Dan dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairoh dalam kisah doa.
Dari sisi ini Al Bukhori telah mentakhrijnya :
Al Bukhori : Kitab wudhu, Bab menuangkan air ke kencing di masjid dari
jalur Abul Yaman dari Syuaib dari Az Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah
bin Atabah dari Abu Hurairoh tentang kisah kencing. Dan dari jalur
Abdan dari Abdullah dari Yahya bin Said dari Anas. Hadits dari Abu
Hurairoh merupakan riwayat Al Bukhori secara sendirian.
2 (21) Al Atsari : Shohih
Asy Syafi’i meriwayatkan dari Sufyan Ibn Uyainah dari Yahya bin Said berkata
: Aku mendengar Anad bin Malik berkata....
Muslim : Kitab Thoharoh, Bab wajibnya mencuci kecing dan najis-najis
lain bila ada di masjid dan bahwa bumi disucikan dengan air tanpa perlu
menggalinya, dari jalur Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas dengan
ringkas. Dan dari jalur Yahya bin Said Al Anshori dari Anas dengan ringkas.
Dan dari jalur Ikrimah bin Ammar dari Ishaq bin Abu Tholhah dari Anas. Di
dalamnya ada sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya masjid ini tidak baik untuk
sesuatu berupa kencing dan kotoran. Ini hanyalah untuk dzikir kepada Alloh,
sholat dan membaca Al Quran".
Kisah orang badui ini juga diriwayatkan oleh Ibn Majjah, Kitab
Thoharoh, Bab bumi yang terkena kencing,dari jalur Ubaidullah Al Hadzli dari
Abul Malih dari Watsilah bin Al Asqo, tetapi isnadnya dhoif karena
kesepakatang pada dhoifnya Ubaidullah Al Hadzli.
77
Menyucikan tanah yang terkena kencing
Imam Asy Syafi’i berkata : Bila tanah dikencingi, dan
tanah tersebut kering, lalu dituangkan air yang
menggenanginya hingga kencing meresap ke dalam tanah
dan air mengalir ke tempat kencing tersebut dan
menghilangkan baunya, sehingga tak ada bentuknya, tak
ada pula baunya, maka tanah menjadi suci.
Bila seseorang kencing pada kencing orang lain, maka
tidak dapat disucikan kecuali dengan dua timba. Bila ada
dua orang bersamanya, maka dapat disucikan dengan tiga
timba. Bila mereka banyak, maka tempat kencing tidak
dapat disucikan hingga dituangkan padanya air dengan
timba yang besar.
Bila pada tempat kencing dituangkan khmar, seperti
dituangkan juga kencing, keduanya tidak berbeda dalam
jumlah air yang harus dituangkan. Bila warna dan baunya
hilang dari tanah, maka sucilah tanah tersebut.
Bila hilang warnanya, namun baunya tidak hilang,
maka dalam hal ini ada dua pendapat :
Pertama, tanah tak akan suci hingga hilang baunya. Yaitu
bila bau khamr masih ada, maka dia seperti halnya warna
dan bentuk, tanah tidak menjadi suci kecuali dituangkan air
sampai hilang baunya. Bila hilang baunya tanpa
menuangkan air, maka tidak menjadi suci sampai
78
dituangkan air sebanyak air yang dapat menyucikan
kencing.
Kedua, bila dituangkan air sekedar bisa menyucikannya dan
hilang warna dan bau, maka sucilah tanah itu.
Bila khamr yang dituangkan ke tanah banyak, maka
itu seperti banyaknya kencing sebagaimana telah dijelaskan,
jumlah air ditambah sebagaimana terhadap kencing bila
banyak. Bila ada bangkai di atas tanah, lalu ada yang
mengalir dari bangkai itu, sehingga bentuknya hilang, maka
dituangkan air pada yang keluar itu seperti halnya pada
kencing dan khmar.
Bila dituangkan ke tanah sesuatu yang cair seperti
kencing, khamr, nanah dan yang serupa, lalu hilang bekas,
warna dan baunya, baik dijemur di bawah matahari atau
tidak, maka sama saja, tidak menjadi suci kecuali dtuangkan
air padanya. Bila hujan turun mengenai tanah itu dan lebih
banyak dari jumlah air yang dapat menyucikannya, maka
hujan menyucikannya.
Fukaha Syafi'iyyah : Kencing itu najis berdasarkan :
() Sabda Rosululloh SAW, "Bersihkan diri kalian dari kencing,
karena kebanyakan adzab kubur disebabkan kencing"
79
() Dari Anas bin Malik bahwa seorang pedalaman kencing di
masjid, lalu Nabi SAW memerintahkan untuk mengambil
setimba pebuh air lalu menyiramnya"
Berkata An Nawawi dalam Al Majmu : Adapun hukum
kencing, maka ada empat macam, yaitu kencing manusia
dewasa, kencing anak kecil yang belum makan, kencing
binatang yang boleh dimakan dan kencing binatang yang
tidak boleh dimakan. Semua itu najis menurut kami dan
menurut mayoritas ulama. Kencing manusia dewasa najis
berdasarkan ijma muslimin yang telah dinukil oleh Ibnul
Mundzir, sahabat-sahabat kami dan lain-lain. Dalilnya adalah
hadits-hadits. Adapun kencing anak kecil yang belum makan,
maka itu najis menurut kami dan menurut mayoritas ulama,
tetapi Al Abdari dan penulis Al Bayan menceritakan dari
Dawud bahwa ia berkata bahwa itu suci. Dalil kami adalah
keumuman hadits-hadits dan qias kepada kencing orang
dewasa. Telah tsabit bahwa Rosululloh SAW memerciki
pakaian yang terkena kencing anak kecil dan merintahkan
untuk memercikinya. Bila itu tidak najis, maka tidak akan
diperciki.
() Nabi SAW bersabda, “Kencing anak lelaki disirami air dan
kencing anak perempuan dicuci.”
() Dari Abus Samah berkata : Aku melayani Nabi SAW, lalu
diberikan kepada beliau Al Hasan atau Al Husain, lalu
kencing di dada beliau, maka datang untuk mencucinya,
80
tetapi beliau bersabda: "Bekas air kencing anak perempuan
harus dicuci dan bekas air kencing anak laki-laki cukup
diperciki".
() Dari Ali bin Abi Tholib berkata : Rosululloh SAW bersabda
tentang bayi yang masih menyusu, "Bekas air kencing anak
laki-laki diperciki dan bekas air kencing anak laki-laki cukup
dicuci".
() Berkata Ibn Syihab : Telah berlaku Sunnah memerciki
kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan.
Asy Syaikh Al Bantani dalam Al Kasyifah berkata :
Najis ringan (mukhoffafah) adalah kencing anak laki-laki
yang belum memakan makanan kecuali susu dan belum
memcapai usia dua tahun. Kencing anak kecil disucikan
dengan memercikan air ke najis itu dan menghilangkan
bentuknya, namun mencuci lebih utama. Ketentuannya
adalah bila najis itu tidak bercampur dengan basahan di
tempat najis itu. Bila tidak demikian, maka wajib mencuci
karena basahan tersebut menjadi najis dan itu bukanlah
kencing. Dalam percikan disyaratkan mengenai semua
tempat kencing, meratai dan mengalahkan kencing, tetapi
tidak disyaratkan mengalir. Mengalir dan menetas
merupakan pembeda antara mencuci dan memerciki. Karena
itu tidak cukup dengan percikan yang tidak meratai dan
tidak mengalahkan najis. Bersamaan dengan percikan itu
wajib menghilangkan sifat-sifat najis seperti juga najis-najis
81
lain setelah menghilangkan bentuknya. Wajib memeras
tempat najis atau mengeringkannya hingga tidak tersisa
basahan yang masih dapat diperas.
Bila terkena kencing anak kecil, tetapi ragu apakah
belum dua tahun atau sudah, maka wajib mencucinya,
karena memerciki merupakan rukhshoh, sehingga tidak
diberikan kecuali dengan yakin.
Najis yang berbetuk
Imam Asy Syafi'i berkata : Adapun semua najis yang
berbentuk, seperti bangkai, darah, tahi dan yang serupa,
maka tanah tidak menjadi suci kecuali dibuang lalu
dituangkan air pada yang basah. Bila bentuknya hilang dari
tanah hingga bercampur, sehingga tidak dapat dibedakan
seperti halnya kuburan, maka tidak boleh sholat di atasnya
dan tidak suci, karena tanah tidak bisa dibedakan dari
sesuatu yang haram yang bercampur.
Fukaha Syafi'iyyah : Tinja manusia itu najis
berdasarkan :
82
() Sabda Rosululloh SAW kepeda Ammar, "Engkau hanyalah
harus mencuci pakaianmu karena tinja, kencing, mani, darah
dan nanah"(3)
Dan ijma tentang kenajisan tinja. Tak ada perbedaan antara
tinja orang dewasa dan tinja anaka kecil berdasarkan ijma
Bahan bangunan dari bahan yang bercampur kencing
Bila dibuat batu bata dari bahan yang di dalamnya
ada kencing, maka tidak boleh sholat di atasnya, hingga
dituangkan air padanya, seperti halnya tanah yang
dikencingi. Aku memakruhkan masjid dibangun dengan
bahan itu. Bila dibangun masjid dengan itu atau temboknya,
maka aku memakruhkannya. Namun bila seseorang sholat
menghadapnya, aku tidak memakruhkannya dan tidak wajib
mengulangi.
2. Rautsah
[22] Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Nabi SAW
mendatangi tempat buang hajat. Maka beliau
3 Berkata An Nawawi dalam Al Majmu : Hadits Ammar ini diriwayatkan
oleh Abu Ya'la Al Maushuli, Ad Darquthni dan Al Baihaqi. Berkata Al Baihaqi :
Ini hadits batil tak ada asalnya. Ad Darquthni dan Al Baihaqi telah
menjelaskan kelemahannya.
83
memerintahkan saya mengambil tiga batu untuknya. Maka
saya hanya mendapatkan dua batu dan tidak menemukan
yang ketiga. Lalu saya mengambil rautsah, maka beliau
mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan rautsah
dan berkata: “Ini adalah riksun (najis)”.
Imam Asy Syafi’i berkata : Tahi burung, baik yang boleh
dimakan dagingnya ataupun yang tidak, bila mencampuri
air, maka air menjadi najis.
Fukaha Syafi'iyyah : Rautsah dan kencing najis
walaupun berasal dari burung, ikan, belalang dan binatang
yang darahnya tidak mengalir, atau dari binatang yang
dagingnya boleh dimakan. Berdasarkan hadits Ibnu Masud.
[23] Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Nabi SAW mendatangi
tempat buang hajat. Maka beliau memerintahkan saya
mengambil tiga batu untuknya. Maka saya hanya
mendapatkan dua batu dan tidak menemukan yang ketiga.
Lalu saya mengambil rautsah, maka beliau mengambil kedua
batu tersebut dan melemparkan rautsah dan berkata: “Ini
adalah riksun (najis)”.
Dan berdasarkan perintah untuk menuangkan air ke
kencing dalam hadits tentang orang badui yang kencing di
pojok masjid. Diqiaskan dengan ini semua kencing, namun
dikecualikan kencing Nabi SAW, karena kencing Nabi SAW itu
84
suci, sebagaimana ditetapkan oleh Al Baghowi dan
dishohihkan oleh Al Qodhi dan lain-lain.
Al Istokhri dan Ar Ruyani mengatakan bahwa rautsah
dan kencing dari binatang yang halal dimakan itu suci.
Dalam Al Majmu dinyatakan : Kencing binatang yang tidak
boleh dimakan dagingnya itu najis menurut kami, Malik, Abu
Hanifah, Ahmad dan sekalian ulama, tetapi Asy Syasyi dan
lain-lain menceritakan dari An Nakh'I perihal kesuciannya.
Adapun kencing binatang yang boleh dimakan dan
rautsahnya, maka itu najis menurut kami, Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan lain-lain. Berkata Atho', An Nakh'I, Az Zuhri, Malik,
Sufyan Ats Tsauri, Zufar dan Ahmad bahwa kecning dan
rautsahnya suci. Ini juga merupakan suatu pendapat di
antara sahabat-sahabat kami, yaitu Al Istokhri, Ar Ruyani,
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Orang yang
mengatakan suci berhujjah dengan hadits Anas katanya,
"Orang-orang dari kabilah Ukl dan Urainah dating karena
merasa tidak sehat, lalu Nabi SAW memerintahkan mereka
untuk meminum kencing unta dan susunya", hadits marfu
dari Al Baro bahwa tidak apa-apa dengan kecing binatang
yang dimakan dagingnya dan hadits marfu dari Anas
semisalnya. Jawaban terhadap hadits Anas adalah bahwa itu
untuk berobat dan hal itu boleh dengan semua najis selain
khamr. Adapun hadits Al Baro dan Anas, maka keduanya
dhoif.
85
Berkata An Nawawi : Dalam hadits orang pedalaman
terdapat penetapan najisnya kencing manusia. Hal itu
disepakati. Tak ada perbedaan antara kencing anak kecil dan
orang dewasa berdasarkan ijma dari orang yang
dipertimbangkan ijmanya.
Adapun tentang tinja, maka hujjahnya berserta ijma
adalah sabda Rosululloh SAW.
() sabda Rosululloh SAW kepada Ammar,"Engkau hanya
harus mencuci pakaianmu dari kencing, tinja, madzi dan
muntahan"
Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan ditakhrij oleh Ad
Darquthni dan Al Bazzar.
Bila binatang mengeluarkan biji atau muntah biji,
maka bila keras yang sekiranya ditanam akan tumbuh, maka
biji itu hanya mutanajjis (terkena najis), dicuci dan boleh
dimakan. Tetapi para ulama tidak menjelaskan hukum selain
biji, seperti telur, buah pala, buah badam dan lain-lain, yang
dikeluarkan atau dimuntahkan. Dalam An Nihayah
dinyatakan : diqiaskan pada biji adalah telur bilamkeluar
dalam keadaan masih baik yang sekiranya ada potensi
menjadi anak burung, maka itu hanya mutanajjis bukan
najis. Dalam Fathul Jawad dinyatakan : bila berubah
keadaannya dari keadaan sebelum ditelan, maka telur najis.
Bila telur tidak berubah, maka hanya mutanajjis.
86
3. Madzi
Robi' bin Sulaiman berkata : Asy Syafi’i mendiktekan :
Semua yang keluar dari kemaluan, berupa kencing, madzi,
wadi, sesuatu yang dikenal atau tidak, maka itu semua najis,
kecuali mani. Mani adalah sesuatu yang kental yang
mempunyai bau seperti bau adonan, tak ada sesuatupun
yang keluar dari kemaluan mempunyai bau yang wangi
selain mani.
Imam Asy Syafi'i berkata : Bila seorang laki-laki
mendekati istrinya, lalu keluarlah madzi, maka wajib
berwudhu, karena itu adalah hadats yang keluar dari
dzakarnya. Bila dia menjulurkan tangannya ke badan
istrinya, maka wajib berwudhu karena dua hal, tetapi cukup
ia wudhu sekali. Demikian juga orang yang wajib berwudhu
karena semua hal yang mewajibkan wudhu, lalu ia berwudhu
setelah semua itu dengan satu kali wudhu, maka itu
mencukupi. Tidak wajib mandi baginya karena madzi.
Fukaha Syafi'iyyah : Madzi adalah air yang keluar
dari kemaluan lelaki dan perempuan yang sifatnya tipis,
putih, keluar ketika adanya syahwat, tidak terpencar
sehingga keluarnya kadang tanpa disadari serta tidak
merasa lelah setelah keluarnya. Definisi ini disebutkan oleh
87
An-Nawawi dan Ibnu Hajar . Najisnya berdasarkan kisah Al-
Miqdad yang bertanya kepada Nabi tentang madzi.
[24] Dari Al Miqdad, Rosululloh SAW menjawab,
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
Perintah mencuci kemaluan menunjukkan najisnya, dan yang
dicuci hanyalah bagian kemaluan dan bagian pakaian yang
terkena madzi saja.
Berkata Ibnush Shollah : Madzi di musim dingin
berwarna putih kental, sedangkan di musim panas kuning
encer, sering tidak terasa keluarnya, lebih umum pada
wanita dibandingkan laki-laki terutama saat bangkitnya
syahwat.
4. Wadi
Fukaha Syafi'iyyah : Wadi adalah cairan putih kental
yang umunya keluar setelah kencing atau membawa sesuatu
yang berat.
5. Darah haid dan nifas
[25] Fatimah binti Al Mundzir berkata, aku mendengar
nenekku Asma binti Abu Bakar bertanya kepada Rosululloh
88
SAW tentang darah haidh yang mengenai pakaian, jawab
Rosul SAW, " Hendaknya dia menggosoknya kemudian
mengoreknya kemudian memercikinya dengan air kemudian
dia baru boleh shalat dengan pakaian itu.” 4
4 (25) Al Atsari : Shohih
Asy Syafi’i meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah dari Hasyim bin Urwah
bahwa mendengar istrinya Fatimah binti Al Mundzir berkata ….
Musnad Asy Syafi’i : Kitab Thoharoh, Bab 2. Najis-najis dan
menyucikannya dari jalur Sufyan bin Uyainah.
Sunan An Nasai : Kitab Thoharoh, Bab darah haidh yang mengenai
pakaian dari jalur Yahya bin Habib bin Arabi dari Hammad bin Zaid dari
Hasyim bin Urwah.
Sunan At Turmudzi : Kitab Thoharoh, Bab berkenaan dengan mencuci
darah haidh dari pakaian dari jalur Ibn abi Umar dari Sufyan bin Uyainah.
Berkata Abu Isa : Di dalam bab ini ada juga dari Abu Hurairoh dan
Ummu Qois binti Mihshon. Hadits Asma tentang mencuci darah
merupakan hadits hasan shohih. Ahli ilmu berselisih tentang darah haidh
yang ada di pakaian, lalu sholat dengan pakaian itu sebelum
memcucinya. Sebagian ahli ilmu dari tabiin mengatakan : Bila darah
sebesar satu dirham, lalu tidak mencucinya dan sholat dengan
memakainnya, maka ia harus mengulangi sholatnya. Sebagian mereka
mengatakan bila darah lebih dari satu dirham, maka ia harus
mengulangi sholatnya. Ini merupakan pendapat Sufyan bin Uyainah dan
Ibul Mubarok. Sebagian ahli imu tabiin dan lain-lain tidak mewajibkan
mengulangi sholatnya, walalupun lebih besar dari satu dirham. Hal ini
dikatakan oleh Ahmad dan Ishaq. Asy Syafi’i mengatakan : wajib dicuci,
walaupun lebih kecil dari satu dirham.
Sunan Ad Darimi : Kitab Thoharoh, Bab perempuan haidh sholat dengan
pakaiannya bila telah suci dari jalur Amr bin Aun dari Sufyan bin
Uyainah, dengan lafadz : Keroklah, lalu perciki dengn air.
89
[26] Dari Asma berkata, "Seorang perempuan
bertanya kepada Rosululloh SAW, katanya, 'Ya Rosululloh
SAW, bagaimana menurutmu bila salah seorang dari kami
pakaiannya terkena darah haidh, apa yang harus
diperbuat?', jawab Nabi SAW, 'Bila pakaian kalian terkena
darah haidh, hendaklah ia mengoreknya, lalu perciki dengan
air dan sholatlah dengan pakaian itu'"5
Sunan Al Kubro Al Baihaqi : Kitab Thoharoh, Bab menghilangklan najis
dengan air bukan cairan lain dari jalur Abu Zakariyya bi Abu ishaq dari
Muhammad bin Yaqub dari Ar Robi dari Asy Asy Syafi’i.
Dan dari jalur Yahya bin Muhammad bin Yahya Al Isfaraini dari
Muhammad bin Al Hasan dari Bisyr bin Musa dari Al Humaidi dari Sufyan
bin Uyainah.
Al Muntaqo : Kitab Thoharoh, Bab haidh dari jalur Ibnul Muqri dan
Mahmud bin Adam dari Sufyan.
5 (26) Al Atsari : Shohih
Asy Syafi’i meriwayatkan dari Malik dari Hasyim bin Urwah dari Fatimah binti
Al Mundzir dari Asma.
Sunan Abu Dawud : Kitab Thoharoh, Bab perempuan mencuci pakaian
yang dipakai saat haidh dari jalur Abdullah bin Salamah dari Malik.
Sunan An Nasai : Kitab Thoharoh, Bab darah haidh yang mengenai
pakaian dari jalur Yahya bin Habib bin Arabi dari Hammad bin Zaid dari
Hasyim bin Urwah.
Berkata Ibul Mulaqqin : Hadits ini diriwayatkan dari dua jalur shohih :
1. Dari Asma bahwa seorang perempuan bertanya.
2. Bahwa Asma bertanya.
Berkata Al Baihaqi dalam kitab Al Marifah dan Bayan Khotho' Man
Akhthoa Alasy Syafi’i : Demikianlah Ar Robi meriwayatkan hadits ini dari Asy
Syafi’i dalam kitab thoharoh dan diriwayatkan oleh Harmalah bin Yahya di
kitab Sunan dari Asy Syafi’i dengan isnadnya dari neneknya Asma binti Abu
90
6. Basahan vagina
Bakar bahwa seorang perempuan bertanya kepada Nabi SAW tentang darah
haidh yang mengenai pakaian. Ini merupakan hadits shohih. Demikianlah
diriwayatkan oleh Al Humaidi dan lain-lain dari Sufyan bin Uyainah. Demikian
juga diriwayatkan oleh Malik, Yahya bin Said, Abdullah bin Numair, Waki dan
lain-lain dari Hisyam. Itu ditakhrih dalam Shohihain dari hadits Malik.
Berkata Ibnul Mulaqqin : Sanad-sanad ini yang telah Asy Syafi’i sebutkan
tambahanya, yaitu bahwa Asmalah yang bertanya, merupakan sanad-sanad
shohih, tak ada celaan pada seorangpun dalam hal muttasilnya, tsiqoh para
perowinya, seluruhnya para imam yang alim, yang menitakhrij dalam Shohih,
sehingga ini merupakan isnad shohih berdasarkan syarat ahli ilmu
seluruhnya. Aku heran terhadap perkataan Muhyiddin An Nawawi dalam
syarh Al Muhazzab bahwa Asy Syafi’i meriwayatkan di dalam Al Umm bahwa
Asma yang bertanya dengan isnad dhoif.
Al Albani dalam As Silsilah : Seluruh orang yang meriwayatkan dari
Hisyam bin Urwah sepakat dalam hal ketiadaan menyebut nama penanya,
kecuali Sufyan bin Uyainah di dalam riwayat Asy Syafi’i dan Amr bin Aun
pada Ad Darimi, karena keduanya mengatakan : Dari Asma berkata : Aku
bertanya kepada Rosululloh SAW, sehingga keduanya menjadikan riwayat
Asmalah yang bertanya, tetapi berbeda dengan keduanya Al Humaidi
menurut Al Baihaqi dan Ibn Abi Umar menurut At Turmudzi, maka mereka
berdua berkata : Dari Sufyan bin Uyainah seperti riwayat jamaah. Tak ada
keraguan bahwa itualh yang mahfudzoh. Riwayat Asy Syafi’i dan Ibn Aun
syadz, karena berbeda dengan riwayat jamaah dari Hisyam dan riwayat Al
Humaidi dan Ibn Abi Amr dari Sufyan. Karena itu An Nawawi
mendhoifkannya, maka ia benar, tetapi ia tidak menjelaskan ilatnya, lalu ia
mewahamkan apa yang tidak ia inginkan. Karena itulah Al Hafidz dalam Al
Fath menyalahkannya, katanya setelah menyebutkan riwayat Asy Syafi’i ini :
Paling aneh An An Nawawi, sehingga ia mendhoifkan riwayat ini tanpa dalil,
91
Fukaha Syafi'iyyah : Dalam Al Muhazzab dinyatakan
: Basahan vagina itu menurut yang dinyatakan oleh Asy
Syafi'I najis, karena itu adalah basahan yang terbentuk di
dalam tempat najis, sehingga najis. Berkata An Nawawi :
Basahan vagina adalah cairan putih antara madzi dan urat,
sehingga diperselisihkan. Asy Syiakh Asy Syirazi menyatakan
kenajisannya dan dirajihkan oleh Al Bandaniji. Al Baghowi, Ar
Rofi'I dan lain-lain mengatakan bahwa pendapat yang paling
shohih adalah suci. Penulis Al Hawi berkata : Asy Syafi'I
menyatakan di sebagian kitab-kitabnya tentang kesucian
basahan vagina. Dapat disimpulkan bahwa ada dua
pendapat yang dinyatakan oleh Asy Syafi'I, namun pendapat
yang paling shohih adalah suci. Dalam Al I'anah dinyatakan
secara terperinci bahwa basahan vagina yang keluar dari
bagian dalam vagina yang tidak wajib dicuci itu suci
berdasarkan pendapat yang paling shohih. Berbeda dengan
basahan yang keluar dari vagina yang wajib dicuci, maka itu
suci secara pasti, sedangkan yang keluar dari bagian vagina
yang lebih dalam itu najis secara pasti.
Kesimpulannya basahan yang keluar dari vagina ada
tiga macam :
1. pasti suci, yaitu yang keluar dari tempat yang wajib
dicuci ketika istinja, yang kelihatan saat duduk
2. pasti najis, yaitu yang keluar dari bagian vagina yang
lebih dalam, yang tidak dapat dicapai oleh penis
padahal itu shohih isnadnya tak ada ilat.
92
3. suci menurut pendapat yang lebioh shohih, yaitu yang
keluar dari tempat yang tidak wajib dicuci, tetapi tidak
dapat dicapai oleh penis.
Tidak wajib mencuci penis karena terkena basahan
vagina, baik yang najis maupun yang suci, karena hal itu
dimaafkan, sehingga tidak menajisi penis dan juga tidak
mani istri.
Adapun yang keluar setelah berhentinya haidh,
maka lahiriahnya bila jelas keluar dari bagian dalam
vagina, maka najis. Namun bila tidak, maka suci. Bila
dikatakan najisnya basahan vagina, maka itu juga najis,
namun bila dikatakan suci, maka ada dua pendapat,
tetapi yang paling shohih itu suci. Berkata Ahmad bin
Hambal : Aku bertanya kepada Asy Syafi'I tentang
sesuatu yang keluar setelah terputusnya haidh, maka
jawabnya : Bila engkau lihat itu, maka itu suci.
Mani tidak najis
Imam Asy Syafi’i berkata : Alloh memulai penciptaan
Adam dari air dan tanah dan menjadikan keduanya suci, dan
memulai penciptaan keturunannya dari air mani yang
memancar, sehingga pada permulaannya Alloh menciptakan
Adam dari dua hal yang suci, merupakan dalil bahwa Alloh
93
tidak menciptakan lainnya kecuali dari yang suci, tidak dari
yang najis. Sunnah Rosululloh SAW juga menunjukkan hal
itu.
[27] Dari Aisyah berkata, "Aku mengerok mani dari
pakaian Rosululloh SAW"
Imam Asy Syafi’i berkata : Mani tidaklah najis, lalu bila
ditanyakan, "lalu mengapa dikerok atau diusap?", maka
dijawab, "Seperti halnya dikerok ingus, kerok, tanah atau
makanan yang menempel di pakaian, karena kebersihan
bukan karena menajiskan. Bila sholat sebelum dikerok atau
diusap, maka tidak apa-apa.
Robi' bin Sulaiman berkata : Asy Syafi’i mendiktekan :
Semua yang keluar dari kemaluan, berupa kencing, madzi,
wadi, sesuatu yang dikenal atau tidak, maka itu semua najis,
kecuali mani. Mani adalah sesuatu yang kental yang
mempunyai bau seperti bau adonan, tak ada sesuatupun
yang keluar dari kemaluan mempunyai bau yang wangi
selain mani.
Segala hal yang terkena sesuatu yang keluar dari
kemaluan selain mani, maka itu menajiskannya, baik sedikit
ataupun banyak. Bila yakin bahwa terkena itu, maka wajib
dicuci, selain itu tidak mencukupi. Bila tidak diketahui
tempatnya, maka dicuci pakaian seluruhnya. Bila diketahui
94
tempatnya, namun tidak diketahui banyaknya, maka dicuci
melebihi tempatnya.
Hadits tentang kesucian mani
Aku menyatakan mani tidak najis berdasarkan hadits
dari Rosululloh SAW dan akal. Bila seseorang bertanya,
"Hadits yang mana?", maka aku jawab :
[28] Dari Aisyah berkata, "Aku mengerok mani dari
pakaian Rosululloh SAW, lalu beliau sholat dengan pakaian
itu".
[29] Dari Mush'ab bin Sa'ad bin Abi Waqosh dari
bapaknya bahwasanya bila pakaiannya terkena mani, bila
mani itu basah, ia mengusapnya dan bila kering, ia
mengeroknya, lalu sholat dengan pakaian itu.
[30] Dari Ibn Abbas bahwa ia berkata tentang mani
yang mengenai pakaiannya, "Singkirkan mani dari
pakaianmu dengan kayu atau kapas. Sungguh itu hanya
seperti ludah dan ingus".
Fukaha Syafi'iyyah : Mani manusia itu suci menurut
kami. Inilah pendapat yang benar yang telah dinyatakan oleh
Asy Syafi'i dalam kitab-kitabnya dan telah pula diputuskan
oleh mayoritas sahabat-sahabat kami.
95
() Dari Aisyah (6) berkata, "Aku mengerok mani (7) dari pakaian
Rosululloh SAW, lalu beliau sholat dengan pakaian itu".
() Dari Aisyah berkata, "Aku benar-benar pernah mengerok
mani kering dengan kukuku dari pakaian beliau".
Dalam Al I'anah dinyatakan : Ketentuan mani suci adalah bila
penis dan vagina tempat keluarnya mani itu suci. Bila tidak
suci, maka maninya terkena najis, seperti halnya orang yang
beristinja dengan batu bila keluar mani, maka maninya
terkena najis dan seperti juga bila keluar madzi yang
umunya mendahului keluarnya mani, maka maninya terkena
najis disebabkan madzi tersebut, tetapi dimaafkan orang
yang terkena itu dikaitkan dengan jima.
Adapun mani dari selain manusia, maka dalam hal ini
ada tiga pendapat. Pertama, semuanya suci kecuali mani
anjing dan babi, karena mani keluar dari binatang yang suci,
sehingga suci seperti halnya telur dan mani manusia. Kedua,
semua najis, karena termasuk sisa-sisa makanan yang telah
mengalami perubahan. Mani manusia dihukumi suci
6 Penggunaan hadits ini sebagai dalil tidak najisnya mani tidak sah,
karena mani dan buangan-buangan lain dari Nabi SAW itu suci. Dijawab
bahwa mani yang dikerok oleh Aisyah adalah mani yang bercampur dengan
wanita istrinya karena jima. Di antara dalil yang menunjukkan kesucian mani
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi bahwa Rosululloh SAW
ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, maka bersabda, "Itu hanyalah
seperti ludah dan liur". (Ta'liq Al I'anah)
7 Mani yang dikerok oleh Aisyah adalah mani Aisyah atau mani yang
bercampur natar nabi Nabi SAW dan mani Aisyah. (Ta'liq Al I'anah)
96
hanyalah karena kemulian manusia. Ketiga, mani dari
binatang yang dagingnya boleh dimakan itu suci seperti juga
susunya, sedangkan mani dari binatang yang tidak dimakan
dagingnya itu najis seperti juga susunya. Berkata An Nawawi
: Pendapat yang paling shohih adalah sucinya semua itu
kecuali mani anjing, babi dan keturunannya. Di antara orang
yang menyatakan keshohihan ini adalah Asy Syaikh Abu
Hamid, Al Bandaniji, Ibnush Sobbagh, Asy Syasyi dan lainlain.
Sedangkan Ar Rofi'i menshohihkan kenajisannya secara
mutlak.
Secara akal mani tidak najis
Imam Asy Syafi’i berkata : Bila seseorang bertanya :
Lalu bagaimana secara akal mani tidak najis?, maka
jawabnya : Sesungguhnya Alloh memulai penciptaan Adam
dari air dan tanah dan menjadikan keduanya suci. Air suci.
Tanah pada kondisi tak ada air juga suci. Ini sudah
menunjukkan lebih bahwa bahan dalam penciptaan itu suci.
Sungguh Alloh telah menciptakan keturunan Adam dari air
mani yang memancar. Karena itu maha suci Alloh dari
memulai penciptaan dari najis.
Bila seseorang bertanya : Sesungguhnya sebagian
sahabat Nabi SAW berkata, "Cuci apa yang kau lihat dan
perciki yang tidak terlihat" Maka jawabnya : Maka kami
97
mencucinya tanpa menganggapnya najis dan juga mencuci
kotoran, keringat dan apa yang tidak kami pandang najis.
Bila sebagian sahabat Rosul SAW mengatakan bahwa itu
najis, maka tak ada dalam perkataan siapapun hujjah
dengan adanya sabda Rosululloh SAW dan apa yang telah
kami katakan selaian yang masuk akal dan perkataan orangorang
tertentu dari sahabat Rosululloh SAW.
Bila seseorang bertanya : Kadang kami diperintahkan
untuk mencucinya!, maka kami jawab : Mencuci bukan
karena yang keluar najis. Mencuci hanya merupakan sesuatu
yang bersifat ta'abbud. Bila seseorang bertanya : Apa
dalilnya?, maka jawabnya : Bagaimana menurutmu bila
penis masuk ke dalam vagina yang halal, namun tidak
mengeluarkan air, lalu apakah engkau mewajibkannnya
mandi? Padahal dalam vagina tidak najis. Bila penis masuk
ke darah babi, khmar atau tahi, padahal itu semua najis,
apakah wajib mandi? Bila dijawab tidak, maka jawabannya :
Mandi bila memang hanya karena najis, maka lebih wajib
bila dia mandi berkali-kali dibandingkan orang yang
memasukkan penis ke sesuatu yang halal dan bersih. Bila
hal itu karena kotornya sesuatu yang keluar, maka buang air
besar dan kencing lebih kotor darinya, namun tidak wajib
membasuh tempat keduanya keluar, cukup baginya
mengusapkan batu, sedangkan wajah, kedua tangan, kedua
kaki dan kepala tidak cukup kecuali dengan air dan tidak
wajib mencuci kedua pahanya dan juga kedua bokongnya.
98
Bila banyaknya air wajib hanya karena kotoran yang keluar,
maka ini lebih kotor dan lebih utama untuk mandi berulangulang.
Tempat keluar keduanya juga lebih utama dicuci
dibandingkan wajah. Kami memerintahkan untuk berwudhu
karena makna ta'abbud, Alloh menguji ketaatan hamba-nya
untuk melihat siapa yang taat dan siapa yang durhaka,
bukan karena kotor atau bersihnya sesuatu yang keluar.
Aisyah mencuci mani
Imam Asy Syafi'i berkata : Bila seseorang bertanya :
Dari Aisyah bahwasanya dia mencuci mani dari pakaian
Rosululloh SAW, maka kami jawab : Hadits ini bila kami
anggap tsabit, maka tidaklah menyelisihi perkataan Aisyah
'aku mengeroknya dari pakaian Rosululloh SAW, lalu sholat
dengan pakaian itu', sebagaimana basuhan kedua kaki
sepanjang umur tidak menyelisihi usapan kedua khuf pada
suatu hari. Bila beliau mengusap, maka kami tahu bahwa
usapan mencukupi sholat dan juga basuhan. Demikian juga
mencukupi sholat dengan mengeroknya dan juga dengan
membasuhnya, bukan karena satu hadits menyelisihi yang
lain, di samping hadits ini tidak tsabit dari Aisyah. Mereka
khawatir di dalam hadits ini ada kesalahan Amr bin Maimun.
Sesungguhnya itu hanya pandangan Sulaiman bin Yasar,
demikian para hafidz hafal perkataanya bahwa 'mencuci
lebih aku sukai'. Riwayat dari Aisyah menyelisihi perkataan
99
ini. Sulaiman tidak mendengar sehuruf pun dari Aisyah. Bila
ia memang meriwayatkannya, maka itu mursal.
Bila engkau bertanya : Bila memang mani suci
dzatnya, namun di saluran tempat keluarnya ada sesuatu
yang menajiskannya, karena tempat keluarnya termasuk
tempat keluarnya kencing, padahal engkau katakan bahwa
tidak boleh bagiku sholat dengan membawa telur hingga
aku mencucinya, tetapi aku tidak mencucinya kecuali ada
darahnya. Bila telur keluar tanpa ada darah dan najis-najis
lainnya, maka telur suci dan tempat keluarnya telur bila
tersembunyi, maka ia suci.
Jawabnya : Dasar pendapat kami bahwa mani suci
adalah atsar dari Rosululloh SAW bahwa Aisyah mengerok
mani dari pakaian Rosululloh Saw, lalu beliau sholat dengan
pakaian itu. Rosululloh SAW tahu bahwa tempat keluarnya
mani adalah tempat keluarnya kencing. Aisyah, Ibn Abbas
dan Sa'ad bin Abi Waqqosh semuanya tahu hal itu. Dalam
qudroh Alloh apa yang keluar dari tempat yang najis adalah
suci, karena firman-Nya 'Kami memberikan kalian minun dari
sesuatu yang ada di dalam perut yang terletak antara tahi
dan darah berupa susu yang murni dan menyegarkan bagi
yang meminumnya', sehingga Alloh memberitahu dengan
qudroh-Nya bahwa keluar dari antara dua najis sesuatu yang
suci dapat dimakan.
100
Bila engkau bertanya : Kadang kala itu mungkin
keluar dari antara keduanya, sedangkan antara keduanya
ada sekat yang menghalangi tahi dan darah menyentuh
susu, maka jawabannya : Sungguh engkau telah
membatalkan arti sesuatu yang diberitahu Alloh bahwa
keluar dari dua najis sesuatu yang suci. Kalau memang
seperti apa yang engkau katakan, maka tak ada keajaiban di
sini, padahal Alloh kuasa atas segala sesuatu.
Fukaha Syafi'iyyah : Mani itu suci menurut kami.
Demikian yang dikatakan Said bin Al Musayyab, Atho, Ishaq
bin Rohawaih, Abu Tsaur, Dawud dan Ibnul Mundzir. Itu juga
merupakan riwayat yang paling shohih dari Ahmad. Ats
Tsauri, Al Auza'I, Malik dan Abu Hanifah bahwa mani itu najis,
tetapi menurut Abu Hanifah cukup mengeroknya saat kering,
sedangkan Al Auza'i dan Malik mewajibkan untuk
mencucinya baik kering atau basah. Orang yang
mengatakan najisnya mani berhujjah dengan hadits Aisyah
bahwa Rosululloh SAW mencuci mani, dalam suatu riwayat
berkata, "Aku mencuci mani dari pakaian Rosululloh SAW"
dan dalam riwayat lain Aisyah berkata kepada seseorang
yang pakaiannya terkena mani lalu ia mencuci seluruhnya,
"Bila engkau melihatnya, cukup bagimu mencuci tempatnya
itu, tetapi bila engkau tidak melihatnya, maka engkau perciki
sekelilingnya, seperti engkau lihat aku mengerok mani dari
pakaian Rosululloh SAW, lalu beliau sholat dengan memakai
pakaian itu". Sahabat-sahabat kami berhujjah dengan hadits
101
mengerok mani. Bila mani itu najis, maka tidak cukup
mengeroknya seperti halnya darah, madzi dan lain-lain.
Mengerok mani merupakan kebersihan dan anjuran.
Demikian juga mencucinya karena kebersihan dan anjuran.
Adapun perkataan Aisyah 'cukup bagimu', maka walaupun
secara lahiriah menunjukkan wajib, maka jawabnya adalah
membawa pemahaman pada anjuran, karena Aisyah
berhujjah dengan mengerok. Bila wajib mencucinya, maka
perkataan Aisyah itu merupakan hujjah untuk dirinya juga. Ia
hanya ingin mengingkari dalam hal mencuci seluruh pakaian
2. Bangkai
[31] Dari Ibn Abbas, Nabi SAW bersabda tentang
manusia, “Seorang mukmin tidaklah najis, ketika hidup dan
setelah matinya.
[32] Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua
macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan
ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung."
Fukaha Syafi'iyyah : Bangkai adalah yang hilang
kehidupannya tidak dengan penyembelihan syar'i. Termasuk
di dalamnya adalah yang mati dari binatang yang boleh
102
dimakan dan tidak, sembelihan yang tidak boleh dimakan
dan sembelihan tanpa memenuhi syarat-syaratnya.
Berkata Asy Syaikh Asy Syirazi : Bangkai selain ikan,
belalang dan manusia itu najis, karena itu haram dimakan
tanpa darurat, sehingga najis seperti darah. Bangkai ikan
dan belalang itu suci karena keduanya halal dimakan. Bila
keduanya najis, maka tidak halal. Berkata An Nawawi : Ikan
dan belalang bila mati, maka suci berdasarkan nas-nas dan
ijma. Alloh berfirman, "Telah dihalalkan untuk kalian binatang
buruan laut dan makanannya", Dialah yang telah
menundukkan untuk kalian laut supaya kalian makan daging
yang segar darinya" dan hadits tsabit dari Nabi SAW bahwa
beliau bersabda berkenaan dengan laut,
() "Suci airnya halal bangkainya"
() Dari Abdullah bin Abi Aufa berkata, "Kami berperang
bersama Rosululloh SAW tujuh kali peperangan dengan
memakan belalang"
Bagi kami sama binatang yang mati karena diburu atau mati,
ikan yang mengapung dan yang tidak mengapung. Sama
juga apakah kepala belalang terpotong atau tidak. Demikian
juga bangkai-bangkai laut lain bila kami katakana sesuai
pendapat yang paling shohih bahwa semuanya halal,
sehingga bangkainya suci.
Berkata Al Imrithi :
103
Segala binatang di laut halal
Walau mengapung, mati atau dibunuh
Bila hidup di darat juga hindari
Mutlak seperti kepiting dan katak
Adapun bangkai manusia, dalam hal ini ada dua
pendapat. Pertama, najis, karena itu bangkai yang tidak halal
dimakan, sehingga najis seperti halnya bangkai-bangkai lain.
Kedua, suci, berdasarkan hadist :
() Rosululloh SAW bersabda, "Janganlah kalian najiskan
orang-orang mati, karena mukmin tidak najis, baik hidup
ataupun mati"(8)
Berkata An Nawawi : Pendapat yang shohih adalah tidak
najis, yang telah disepakati oleh ashab keshohihannya. Al
Bandaniji menyatakan bahwa pendapat sucinya bangkai
manusia merupakan nas perkataan Asy Syafi'i dalam Al
umm, sedangkan pendapat najis merupakan nas perkataan
Asy Syafi'i yang diriwayatkan dalam Al Buwaithi.
Bangkai itu najis walaupun bangkai lalat yang
termasuk binatang yang darahnya tidak mengalir. Berbeda
dengan Al Qoffal yang menyatakan kesuciannya karena tak
8 Berkata An Nawawi : Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim Abu
Abdillah dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas. Al Kami berkata di akhir Kitab Al
Mustadrok : Ini adalah hadits shohih menurut syarat Al Bukhori dalam Kitab
Al Janaiz secara ta'liq dari Ibnu Abbas : Muslim tidak najis, baik hidup ataupun
mati.
104
adanya darah yang membuat busuk. Demikian juga rambut,
tulang dan tanduknya najis, karena itu semua termasuk
bagian-bagian bangkai. Berkata An Nawawi : Adapun
bangkai-bangkai lain, maka najis. Dalilnya adalah ijma, tetapi
dikecualikan oleh penulis Al Hawi dan lain-lain. Mereka
katakan : Bangkai najis kecuali lima macam, yaitu bangkai
ikan, belalang, buruan bila terbunuh oleh panah atau anjing
yang telah dilatih yang dikirim untuk menyembelih, dan janin
bila keluar dalam kondisi mati setelah induknya disembelih.
Al Qoffal menambahkan binatang yang tidak mengalir
darahnya. Penulis Al Hawi dan Asy Syasyi menyebutkan dua
pendapat tentang najisnya katak karena mati. Adapun
buruan dan janin, maka bukanlah najis, tetapi syariat
menetapkan ini adalah cara menyembelih keduanya dan
karena itualh Nabi SAW bersabda,
() "Sembelihan janin adalah sembelihan induknya"
sehingga dinyatakan bahwa itu merupakan binatang yang
telah disembelih secara syariat, walaupun tidak tersentuh
pisau secara langsung. Adapun tambahan Al Qoffal dan
penulis Al Hawi, maka itu dhoif. Pendapat yang shohih adalah
najisnya bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya.
3. Anjing dan babi
105
Imam Asy Syafi’i berkata : Bila bejana berisi air sedikit,
lalu bercampur dengan najis, maka air ditumpahkan dan
bejananya dicuci. Aku lebih suka bila dicuci 3 kali, namun
bila dicuci cuma sekali, maka jadilah (bejana) suci. Hal ini
berlaku untuk segala sesuatu yang bercampur dengan air,
kecuali anjing atau babi minum air dalam bejana tersebut,
maka tidak akan menjadi suci kecuali dengan mencuci tujuh
kali.
Apakah babi najis?
Imam Asy Syafi’i berkata : Kami katakan tentang anjing
karena adanya perintah Rosululloh SAW. Babi bilapun tidak
lebih buruk keadaannya dari , namun tidak lebih baik dari
anjing. Kami katakan tentang babi berdasarkan qiyas
terhadap anjing.
Fukaha Syafi'iyyah : Anjing itu najis berdasarkan hadits
Muslim.
() Rosululloh SAW bersabda, "Sucinya bejana salah seorang
di antara kalian bila dijilati anjing adalah mencucinya tujuh
kali, salah satunya dengan debu"
106
segi pendalilannya adalah bahwa bersuci bila karena hadats,
najis atau kemuliaan. Tak ada hadats di dalam bejana dan
tak ada pula kemuliaa, maka jelaslah itu bersuci karena
najis, sehingga teguhlah kenajisan mulutnya, padahal itu
merupakan tempat yang terbaik, maka bagian-bagian yang
lain lebih-lebih lagi.
Babi juga najis karena babi lebih buruk keadaannya
dibandingkan anjing, ketika tidak boleh memanfaatkannya
dalam keadaan apapaun dan tidak boleh memeliharanya,
dan juga karena dianjurkan membunuhnya tenpa ada
bahaya, bahkan ada yang mengatakan wajib membunuhnya.
Al Muhazzab : Adapun babi, maka najis, karena babi
lebih buruk keadaannya dibandingkan anjing, dengan
danjurkan untuk membunuhnya tanpa adanya bahaya dan
dinyatakan keharamannya. Bila anjing najis, maka babi lebihlebih
lagi.
An Nawawi dalam Al Majmu : Ibul Mundzir menukil dalam
kitab Al Ijma adanya ijma tentang kenajisan babi. Itu
merupakan hujjah yang paling utama bila memang ijma
tersebut tsabit, tetapi mazhab Malik berpendapat sucinya
babi selama masih hidup. Adapun yang dijadikan hujjah oleh
Asy Syaikh Asy Sirazi, maka demikian juga yang dijadikan
hujjah oleh orang lain, tetapi tak ada dalalah di dalamnya
dan tak ada dalil yang jelas tentang najisnya babi saat hidup.
107
Keturunan masing-masing dengan yang lain juga najis
walaupun dengan manusia, karena dominasi najis, yaitu
karena cabang mengikuti kedua induk yang terendah dalam
hal kenajisan, haramnya sembelihan, saling menikahi,
haramnya makanan, tidak bolehnya kurban dan tidak
wajibnya zakat, tetapi cabang mengikuti yang termulian
dalam tiga hal, yaitu agama, kewajiban mengganti dan
jizyah.
Berkata As Suyuthi :
Cabang ikuti bapak dalam penasaban
Dan ibu dalam perbudakan dan kemerdekaan
Zakat ikuti pokok yang terendah dan agama pokok yang
tinggi
Ikuti yang besar dalam hukuman dan diyat
Ikuti yang terendah dalam najis dan sembelihan
Nikah, makanan dan kurban
Kata 'Dan ibu dalam perbudakan dan kemerdekaan', yaitu
dalam perbudakan bila bapaknya merdeka dan ibunya
budak, dan dalam kemerdekaan bila bapaknya budak dan
ibunya merdeka. 'Zakat ikuti pokok yang terendah' , yaitu
kewajiban zakat mengikuti pokok yang terendah. Bila terlahir
binatang antara sapi dan unta, maka zakatnya adalah zakat
sapi, karena sapi adalah yang terendah. Bila terlahir antara
binatang yang dizakati dan binatang yang tidak dizakati,
seperti kijang dan kambing, maka tidak wajib zakat, karena
108
memperhatikan yang terendah. 'agama pokok yang tinggi,
yaitu dalam hal agama, cabang mengikuti yang tertinggi.
Bila terlahir antara muslim dan wanita kafir, maka dia
muslim, dengan ketentuan bukan karena zina, karena Islam
itu unggul dan tidak bisa diungguli. Bila karena zina, maka ia
kafir. Berkata Al Bajuri : Bila muslim berzina dengan wanita
dzimmi, lalu lahir anak, maka anak itu kafir mengikuti ibunya
dan tidak diikutkan kepada bapak karena ia terputus
nasabnya dari bapak. Sebagaimana juga difatwakan oleh Asy
Syihab Ar Romli. 'Ikuti yang besar dalam hukuman', yaitu
mengikuti yang terbesar dalam hal wajibnya hukuman. Bila
terlahir antara binatang darat yang buas yang boleh
dimakan dan lainnya, lalu orang yang melakukan ihrom
membunuhnya, maka ia harus menanggungnya. 'Diyat',
yaitu mengikuti yang terbesar dalam hal diyat. Bila terlahir
antara Ahlul Kitab dan Majusi, lalu seseorang membunuhnya,
maka diyatnya adalah diyat Ahlul Kitab. 'Ikuti yang terendah
dalam najis', yaitu seperti di sini. 'Sembelihan', yaitu bila
terlahir antara orang yang halal sembelihannya, seperti Ahlul
Kitab dan orang yang tidak halal sembelihannya, seperti
penyembah berhala, maka tidak halal sembelihannya.
'Nikah', yaitu bila terlahir antara orang yang boleh dinikahi,
seperti Ahlul Kitab dan orang yang tidak boleh dinikahi,
seperti penyembah berhala, maka tidak boleh dinikahi.
'Makan', yaitu bila terlahir antara binatang yang halal
dimakan dan yang tidak halal, maka tidak halal
memakannya. 'Kurban', yaitu bila terlahir antara binatang
109
yang boleh dijadikan kurban dan yang tidak, maka tidak
boleh berkurban dengannya. Seperti itu juga aqiqah.
Dalam At Tuhfah dinyatakan : Konsekuensi dari hukum
mengikuti yang terendah adalah bahwa manusia yang
terlahir antara manusia dan mugholladzoh mempunyai
hukum mugholladzoh dalam semua hukuknya. Hal itu jelas
dalam hal kenajisan dan lain-lainnya. Berbeda dalam hal
taklif, karena dasarnya adalah akal dan ini tidak dinafikan
oleh najis dzatnya karena dimaafkan berkaitan dengan
dirinya, bahkan juga dengan yang lain, seperti juga tato
walaupun dengan mugholladzoh bila susah
menghilangkannya, sehingga ia boleh masuk masjid,
disentuh oleh orang walaupun basah dan mengimami karena
ia tidak wajib mengulangi sholatnya. Dalam Al Kasyifah
dinyatakan : Bila terlahir manusia antara mugholladzoh dan
manusia dan ia mempunyai bentuk manusia walaupun
bagian atas saja bukan bagian bawahnya, maka ia dihukumi
suci dalam ibadah berdasarkan pendapat ulama tentang
kemutlakan sucinya manusia dan berlaku padanya hukumhukum
syariat karena ia baligh dan berakal, sedangkan akal
adalah dasar taklif, sehingga ia boleh sholat, mengimami
orang-orang, masuk masjid, bergaul dengan manusia lain
dan tidak menajisi mereka dengan sentuhannya ketika
basah, tidak menajisi air sedikit dan juga cairan lain, tetapi
tidak boleh menikahinya, tidak halal sembelihannya dan
tidak saling mewarisi antara ia dan manusia lain berdasarkan
pendapat mutamad. Adapun bila dalam bentuk anjing
110
misalnya disertai adanya akal dan bisa berbicara, maka ia
najis berdasarkan pendapat mutamad dan ia mempunyai
hukum mugholladzoh dalam semua hukum. Berkata Ibnu
Qosim : tetapi ia tidak dikenai taklif, walaupun bisa
berbicara, mumayyiz dan mencapai baligh.
Cara menyucikan bejana yang bercampur najis anjing
dan babi
Imam Asy Syafi’i Berkata : Bila dicuci tujuh kali, yang
pertama atau yang terakhir dengan debu. Tidak akan
menjadi suci kecuali dengan itu.
Fukaha Syafi’iyyah : An Nawawi dalam Al Majmu :
Sahabat-sahabat kami dan mayoritas ulama berpendapat
wajibnya mencuci tujuh kali berdasarkan hadits Abu Hurairoh
bahwa Rosululloh SAW bersabda, "Sucinya bejana salah
seorang dari kalian bila dijilati oleh anjing adalah dengan
mencuci tujuh kali, yang pertama dengan debu",
diriwayatkan oleh Muslim dan dalam suatu riwayat lain dari
Abu Hurairoh dari Nabi Saw bersabda, "Bila anjing minum
dari bejana kalian, maka cucilah tujuh kali", diriwayatkan
oleh Al Bukhori dan Muslim. Adapun dalil untuk Al Auzai dan
Malik adalah hadits Abu Hurairoh berkata : Rosululloh SAW
bersabda, "Bila anjing menjilati bejana kalian, maka
tumpahkan, lalu cucilah tujuh kali", diriwayatkan oleh
Muslim. Ini merupakan nash tentang wajibnya
111
menumpahkan bejana. Itu adalah jelas menunjukkan
najisnya anjing, karena bila bukan karena najis, maka tidak
boleh menumpahkannya. Demikian juga sabda Rosululloh
SAW : sucinya bejana salah seorang dari kalian jelas
menunjukkan najisnya anjing sebagaimana telah dijelaskan
dalam masalah najisnya anjing.
Bila babi menjilati, maka berkata Ibnul Qosh : berkata
Imam Asy Syafi’i dalam qoul qodimnya cukup dicuci sekali,
sedangkan sahabat-sahabat kami mengatakan perlu dicuci
tujuh kali. Pendapat Imam Asy Syafi’i dalam qoul qodimnya
bersifat mutlak, karena ia mengatakan mencuci, padahal
yang dikehendaki adalah tujuh kali. Dalilnya adalah babi
lebih buruk keadaannya dibandingkan anjing. An Nawawi :
Mayoritas ulama mengatakan wajib tujuh kali dan mereka
mentakwil pernyataan Imam Asy Syafi’i dalam qoul
qodimnya seperti yang diisyaratkan oleh Asy Syaikh Asy
Syirazi. Ketahuilah bahwa yang rajih dari segi dalil adalah
cukup satu kali cucian tanpa debu. Demikian yang dikatakan
oleh mayoritas ulama yang mengatakan najisnya babi. Ini
merupakan pendapat yang pilihan, karena pada dasarnya
tak ada kewajiban hingga syariat memerintahkannya,
terutama dalam masalah yang didasarkan pada taabbud.
Dalam Al I'anah dinyatakan : Mugholladzoh dapat
disucikan dengan tujuah kali cucian setelah menghilangkan
bantuknya. Tujuh kali cucian ini bersifat taaabud. Bila tidak
emikian, maka cukup dari segi hilangnya najis dengan satu
112
kali cucian sekiranya sifat-sifatnya hilang. Berkata Ibnul
Hajar dalam Al Manhaj Al Qowim dan As Sayyid Al Marghani
dalam Miftah Falah Al Mubtadi : Dihitung tujuh hanyalah
setelah menghilangkan bentuknya, sehingga cucian yang
menghilangkan bentuknya walaupun berkali-kali dihitung
satu dan cukup dengan tujuh kali cucian walaupun jilatannya
berkali-kali atau ada najis lain bersamanya. Pendapat yang
dijadikan pegangan oleh para ulama adalah pendapat yang
dishohihkan oleh An Nawawi. Mereka menyatakan bila
bentuk najis tidak hilang kecuali dengan enam kali cucian
misalnya, maka dihitung satu. Tetapi Ar Rofi'i menshohihkan
pendapat bahwa itu dihitung enam kali cucian dan dikuatkan
dalam Muhimmah Al Muhtaj. Al Bajuri berkata : Adapun sifatsifanya,
maka bila tidak hilang kecuali dengan enam kali
cucian misalnya, maka dihitung enam kali cucian.
Salah satu dari tujuh cucian adalah dengan debu,
walaupun yang terakhir, tetapi yang lebih utama adalah
yang pertama. Dalam Al Majmu dinyatakan : Paling
utamanya mencuci adalah menjadikan debu bukan di cucian
yang ketujuh, namun di cucian manapun boleh, karena
keumuman hadits. Ini merupakan hal yang telah disepakati
menurut kami. Al Qodhi Abut Thoyyib menukil bahwa Asy
Syafi’i menyatakan di dalam Harmalah bahwa disunnahkan
menjadikan debu di cucian yang pertama. Demikian yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat kami dan ini sesuai dengan
113
riwayat Muslim yang telah kami kemukakan. Dalam Al
Kasyifah dinyatakan : Pencampuran debu ada tiga cara :
1. Dicampur air dan ebu bersama-sama lalu diletakkan
pada tempat najis. Ini merupakan cara yang paling
utama, bahkan Al Asnawi melarang selain cara ini.
Dalam hal ini bila sifat-sifat najis masih ada tanpa
bentuknya dan dialirkan air bercampur debu, maka
bila hilang dengan cucian itu, maka dihitung.
2. Diletakkan debu di atas tempat najis, lalu letakkan air
ke debu dan keduanya dicampur sebelum mencuci.
Dalam hal ini ada syarat hilangnya bentuk najis dan
sifat-sifatnya berupa rasa, bau dan warna sebelum
diletakkan.
3. Kebailikan cara kedua, yaitu dengan diletakkan air
dahulu lalu debu dan keduanya dicampur sebelum
mencuci. Dalam hal ini tidak disyaratkan hilangnya
sifat-sifat najis dan juga tidak bentuknya karena air
lebih kuat, bahkan air dapat menghilangkan,
sedangkan debu hanyalah syarat.
Dalam kedua hal ini tidak mengapa tempat najis tetap basah
walaupun najis karena sarana menyucikannya yang mengalir
ke tempat najis tetap suci disebabkan air yang mengalir
mempunyai kekuatan.
Tidak cukup menyebarkan debu ke tempat najis tanpa
diikuti dengan air, tidak cukup juga mencampur dengan
114
selain air dan tidak cukup mencampur dengan selain debu
suci, seperti debu najis, debu yang pernah digunakan untuk
tayammum, debu cucian anjing dan asynan. Hal yang wajib
dari debu adalah sekedar membuat keruh air dan
menjangkau dengan perantara air itu ke semua bagian najis.
Bila mencelupkan benda yang terkena najis
mugholladzaoh ke dalam air banyak yang diam dan
menggerak-gerakkanya tujuh kali dan mencampurnya
dengan debu, maka sucilah benda itu. Gerakan bolak-balik
dihitung dua kali. Bila tidak menggerak-gerakkanya maka
dihitung satu. Atau bila benda itu dicelupkan ke dalam air
mengalir dan mengalir pada benda itu tujuh aliran, maka
dihitung tujuh kali. Adapun mendiamkan di air banyak yang
diam, maka diohitung satu kali. Bila diam dalam waktu lama
dan buminya berdebu baik asli atau karena tiupan angin,
maka tidak perlu mencampurkannya dengan debu lagi,
karena tak ada artinya mencampurkan debu dengan debu.
Tidak termasuk bumi berebu adalah bumi yang berbatu atau
berkerikil yang tak ada debunya, sehingga wajib
mencampurkannya dengan debu. Bila sesuatu berpindah
dari bumi berdebu yang terkena najis mugholladzoh ke
tempat lain, lalu ingin menyucikan tanah yang berpindah itu,
maka tidak wajib mencampurkan dengan debu.
Bila tidak menemukan debu
115
Imam Asy Syafi’i berkata : Bila ada di lautan yang tidak
ditemukan debu, maka dicuci dengan sesuatu yang bisa
menggantikan kedudukan debu dalam hal membersihkan.
Dalam hal ini ada 2 pendapat, pendapat pertama tidak
menjadi suci kecuali dengan debu dan pendapat kedua suci
dengan sesuatu yang menggantikan debu.
Fukaha Syafi’iyyah : Bila menggantikan debu dengan
kapur, Asynan dan benda-benda lain yang serupa, maka
dalam hal ini, berkata An Nawawi dalam Al Majmu : ada
empat pendapat. Salah satunya merupakan pendapat yang
adzhar menurut Ar Rofi'I dan muhaqqiq lain bahwa selain
debu tidak bisa menggantikannya. Kedua, bisa
menggantikan dan dishohihkan oleh Asy Syaikh Asy Syirazi
dalam At Tanbih dan Asy Syasyi. Ketiga, bisa menggantikan
ketika tak ada debu, bukan ketika ada. Keempat, bisa
menggantikan pada benda yang dapat dirusakkan oleh debu,
seperti pakaian, bukan bejana dan lain-lain.
Istidlal
1. Membandingkan anjing dan babi dengan bangkai
atau darah
Bila ada yang bertanya : Bagaimana mungkin bila anjing
dan babi minum dari sutu bejana, bejana tidak akan menjadi
suci kecuali dengan 7 kali cucian, padahal bila bangkai atau
116
darah jatuh ke dalam bejana, cukup mencucinya satu kali,
dengan ketentuan tidak meninggalkan bekas dalam bejana?
Jawabnya adalah karena mengikuti Rosululloh SAW.
[33] Dari Abu Hurairah, Rosululloh SAW bersabda, "Bila
anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah 7 kali"
[34] Dari Abu Hurairah, Rosululloh SAW bersabda, "Bila
anjing minum dari bejana kalian, maka cucilah 7 kali"
[35] Dari Abu Hurairah, Rosululloh SAW bersabda, "Bila
anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah 7 kali, yang
pertama atau yang terakhir dengan debu"(9)
9 Abdul Mutholib : Hadits diriwayatkan dengan jalur dan lafadz yang
bermacam-macam :
1. Bila anjing minum dari bejana kalian, maka cucilah 7 kali
Bukhori dalam Kitab wudhu, Bab air yang digunakan untuk
memncuci rambut manusiaa meriwayatkan dari jalur Abdullah bin
Yusuf dari Malik.
Muslim dalam Kitab Thoharoh, Bab jilatan anjing meriwayatkan dari
jalur Yahya bin Yahya dari Malik.
Jelas bahwa riwayat dalam shohihain adalah dari hadits Malik.
Berkata Ibn Abdil Barr dalam Al Istidzkar : Demikian Malik katakan
dalam hadits ini : bila minum, sedangkan perowi lain mengatakan : Bila
menjilati.
Berkata Ibnul Mulaqqin : Demikian lafadz ini dianggap ghorib oleh
dua hafidz, yaitu Abu Bakar Al Ismaili dan Abu Abdillah bin Mandah. Tabi
untuk Malik dengan lafadz : Bila minum adalah Abdurrahman dan Warqo
bin Umar dari Abuz Zunad. Jalur pertama diriwayatkan oleh Abus Syaikh
Al Hafidz, sedang jalur kedua oleh Abu Bakar Al Jauzaqi.
117
Imam Asy Syafi’i berkata : Kami katakan tentang anjing
karena adanya perintah Rosululloh SAW. Babi bilapun tidak
lebih buruk keadaannya, namun tidak lebih baik dari anjing.
Kami katakan tentang babi berdasarkan qiyas terhadap
anjing.
Diriwayatkan juga oleh Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin
Sirrin dari Abu Hurairoh dengan lafadz : Bila minum.
Berkata Al Hafidz Al Baihaqi dalam Al Marifah : Hadits ini shohih.
Diriwayatkan oleh Al Bukhri dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dan
diriwayatkan oleh Muslim dari Yahya bin Yahya dari Malik, keduanya
mentakhrijnya juga dari hadits Hammam, Abu Sholih dan Abu Rizzin dari
Abu Hurairoh, hanya saja dalam hadits Abu Sholih dan Abu Rizzin ada
tambahan : maka tumpahkan. Di dalam lafadz hadits : maka tumpahkan
merupakan dalil najisnya sisa minuman anjing.
2. Bila anjing menjilati bejana kalian, maka tumpahkan dan cucilah 7 kali
Muslim dalam Kitab Thoharoh, Bab Jilatan anjing, dari jalur Ali bin
Hujr As Sa'di dari Ali bin Mashar dari Al A'masy dari Abu Rizzin dan Bu
Sholih dari Abu Hurairoh.
Berkata Ibn Mandah : Tambahan ini, yaitu tumpahkan,
diriwayatkan secara sendiri oleh Ali bin Mashar dan tidak dikatahui dari
Nabi SAW kecuali dari riwayat ini.
Menyusul Ibnul Mulaqqin berkata : Tidak apa-pa secara sendiri,
karena Ali bin Mashar merupakan Imam Hafidz yang disepakati
kredibilitasnya ('adalah) dan dijadikan hujjah. Karena itu setelah
mantakhrij hadits ini berkata Ad Darquthni : Isnadnya hasan dan para
perowinya tsiqoh.
3. Bila anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah 7 kali, yang pertama
dengan debu
Muslim dalam Kitab Thoharoh, Bab Jilatan anjing, dari jalur Zuhair
bin Harb dari Ismail bin Ibrohim dari Hisaym bin Hassan dari Juhammad
bin Sirrin dari Abu Hurairoh.
118
Tentang najis selain keduanya berdasarkan :
[36] Fatimah binti Al Mundzir berkata, aku mendengar
nenekku Asma binti Abu Bakar bertanya kepada Rosululloh
SAW tentang darah haidh yang mengenai pakaian, jawab
Rosul SAW, " Hendaknya dia menggosoknya kemudian
Berkata Al Baihaqi dalam Al Marifah : Muhammad sendirian dalam
menyebut debu dalam hadits Abu Hurairoh.
Dari jalur Muhammad bin Rofi dari Abdur Razzaq dari Ma'mar dari
Hammam dari Abu Hurairoh, tetapi tak ada lafadz : yang pertama
dengan debu.
4. Bila anjing menjilati bejana, maka cucilah tujuh kali, yang ketujuh
dengan debu.
Abu Dawud dalam Kitab Thoharoh, Bab berwudhu dengan sisa
minuman anjing dari jalur Musa bin Ismail dari Abban dari Qotadah dari
Ibn Sirrin dari Abu Hurairoh.
Ibnul Mulaqqin berkata : Rijalnya tsiqoh, sebagaiman dikatakan oleh
penulis kitab Al Imam.
5. Bila anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah tujuh kali, yang pertama
atau yang terakhir dengan debu.
Ini merupakan riwayat Asy Syafi’i No. 34. Berkata Ibnul Mulaqqin :
riwayat yang shohih. Diriwayatkan demikian :
At Turmudzi : Kitab Thoharoh, Bab berkenaan tentang sisa minuman
anjing dari jalur Siwar bin Abdillah Al Anbari dari Al Mu'tamar bin
Sulaiman dari Ayyub dari Muhammad bin Sirrin dari Abu Hurairoh,
dengan tambahan : Bila kucing menjilati, maka cuci sekali.
Berkata At Turmudzi : Ini adalah hadits hasan shohih dan
merupakan pendapat Asy Asy Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
6. Tentang anjing yang menjilati bejana, dicuci tiga, lima atau tujuh kali.
Sunan Ad Darquthni : Kitab Thoharoh, Bab jiltan anjing dari jalur
Abdul Wahhab bin Ad Dhohhak dari Ismail bin Ayyasy dari Hisyam
119
mengoreknya kemudian memercikinya dengan air kemudian
dia baru boleh shalat dengan pakaian itu.” 10
[37] Dari Asma berkata, "seorang perempuan bertanya
kepada Rosululloh SAW, katanya, 'Ya Rosululloh SAW,
bagaimana menurutmu bila salah seorang dari kami
bin Urwah dari Abuz Zunad dari Al A'roj dari Abu Hurairoh.
Berkata : Abdul Wahhab sendiri dari Ismail dan dia matruk hadits,
sedangkan orang lain meriwayatkan dari Ismail dengan isnad ini : cucilah
tujuh kali. Itulah yang benar.
Berkata Al Baihaqi dalam As Sunnan: Ismail tidak dijadikan hujjah
khususnya bila ia meriwayatkan dari penduduk Hijaz. Dan menukil dari
Ad Darquthni di Al Marifah : Abdul Wahhab bin Najdah meriwayatkan
dari Ismail dari Hisyam dari Abuz Zunad dengan lafadz : cucilah tujuh
kali, sebagaimana diriwayatkan oleh para tsiqoh. Diriwayatkan oleh Al
Hasan bin Syaqiq dari Abdul Wahhab bin Ad Dhohhak. Dalam
matannya dikatakan : Bila anjing menjilati bejan, maka cucilah tujuh
kali.
7. Bila anjing menjilati bejana, maka cucilah tujuh kali dan lumuri yang
kedelapan dengan debu.
Muslim dari jalur Ubaidullah bin Muadz dari bapaknya dari Syu'bah
dari Abut Tayyah dari Muthorrif bi Abdullah dari Abdullah bin Al
Mughoffal dari Rosululloh SAW. Hadits Abdullah bin Al Mughoffal
diriwayatkan sendiri oleh Muslim dan tidak ditakhrij oleh Al Bukhori.
Berkata Ibn Madah : Isnadnya disepakati keshohihannya.
Berkata Al Baihaqi dalam Al Marifah : Boleh jadi melumuri dengan
debu pada salah satu dari tujuh kali cucian merupakan hitungan
kedelapan.
8. Bila anjing menjilati bejana, maka tumpahkan dan cucilah tujuh kali,
salah satunya dengan debu.
Abu Ubaid di dalam kitabnya At Thohur dari Ismail bin Ibrohim dari
Ayyub dari Ibn Sirrin dari Abu Hurairoh. Sanad hadits ini seperti sanad
120
pakaiannya terkena darah haidh, apa yang harus
diperbuat?', jawab Nabi SAW, 'Bila pakaian kalian terkena
darah haidh, hendaklah ia mengoreknya, lalu perciki dengan
air dan sholatlah dengan pakaian itu'"11
Rosululloh SAW memerintahkan untuk mencuci darah
haidh dan tidak menentukan apapun. Sebutan cuci terjadi
Asy Syafi’i No. 34.
9. Bila anjing menjilati bejana, maka cucilah tujuh kali, salah satunya
dengan lumpur.
Ad Darquthni : Kitab Thoharoh, Bab jilatan anjing di bejana dari jalur
Mahmud bin Muhammad Al Marwazi dari Al Khidr bin Ashrom dari Al
Jarud dari Israil dari Abu Ishaq dari Hubairoh bin Yarim dari Ali bin
Abu Tholib bahwa Rosululloh SAW.....
Berkata An Nawawi dalam syarh Al Muhazzab : Riwayat ini tidak
ada di dalam kitab Shohih, tidak juga di dalam kitab-kitab yang dijadikan
pegangan, diriwayatkan oelh Ad Darquthni dan gohrib.
Berkata Al Haitsami dalam Al Majma : Ath Thobroni meriwayatkan
dalam Al Awsath dari jalur Al Jarud dari Israil, sedangkan Al Jarud tidak
aku kenal.
10. Bila anjing menjilati bejana, hendaklah cuci tujuh kali, salah satunya
dengan debu.
Berkata Al Haitsami dalam Al Majma dan menisbahkannya ke Al
Bazzar : Itu ada dalam kitab Shohih, selain perkataan : salah satunya.
Rijalnya merupakan rijal shohih kecuali guru Al Bazzar.
Jalur Al Bazzar sebagaiman dijelaskan oleh Ibnul Mulaqqin adalah :
Abu hilal Ar Rosibi dan Yazid bin Ibrohim dari Muhammad dari Abu
Hurairoh, tetapi Abu Hilal Ar Rosibi diperselisihkan.
Dan menurut Al Bazzar juga adalah :
11. Bila anjing menjilati bejana, maka cucilah tujuh kali. Aku kira beliau
bersabda : salah satunya dengan debu.
121
hanya dengan cuci satu kali atau lebih, sebagaimana Alloh
berfirman, 'Cucilah wajahmu dan kedua tanganmu sampai
siku', maka satu kali sudah mencukupi, karena untuk tiap hal
ini sudah cukup disebut cucian.
Ini menurut Al Bazzar dari Ibad bin Yaqub dari Al Walid bin Abu
Tsaur dari As Suddi dari bapaknya dari Abu Hurairoh. Hadits ini dhoif.
Telah dirajihkan oleh Ibn Hajar di dalam Al Fath riwayat : yang
pertama, dari segi lebih banyak dan lebih hafidz, dan dari segi makna
juga.
12. Bila anjing menjilati bejana, maka tumpahkan, lalu cucilah tiga kali.
Berkata Al Baihaqi di dalam Al Marifah : Diriwayatkan oleh Abdul
Malik bin Abu Sulaiman dari Atho dari Abu Hurairoh secara mauquf. Tidak
diriwayatkan oleh selain Abdul Malik, padahal Abdul Malik tidak diterima
haditsnya yang berbeda dengan para tsiqoh. Telah diriwayatkan oleh
Muhammad bin Fudhail dari Abdul Malik dengan menyandarkan pada
perbuatan Abu Hurairoh, bukan perkataannya. Kami telah riwayatkan
dari orang yang kami sebutkan dari orang yang tidak kami sebutkan dari
abu Huraroh secara marfu seperti yang kami riwayatkan (yaitu riwayat
tujuh kali).
Diriwayatkan dari Ali, Ibn Umar dan Ibn Abbas secara marfu
tentang perintah mencuci tujuh kali, sedangkan yang dijadikan
pegangan adalah hadits Abu Hurairoh, karena keshohihan jalurnya dan
kautnya isnad.
Berkata Imam Ahmad : At Thohawi menyangka ia telah meneliti
atsar-atsar, lalu meriwayatkan hadits-hadits shohih berkaitan tentang
jilatan anjing, tetapi meninggalkan perkataan jumlah yang ada dalam
menyucikan bejana dan penggunaaan debu dan menjadikannya
sandingan dengan hadits-hadits berkaitan tentang mencuci kedua
tangan sebelum memasukkan ke dalam bejana, padahal ia mewajibkan
mencuci bejana dari jilatan, tetapi tidak mewajibkan mencuci kedua
tangan sebelum memasukkan ke dalam bejana. Lalu bagaiman
122
Semua najis diqiyaskan pada darah haidh karena
persesuaian makna cuci dan wudhu dalam Al Quran, juga
akal. Kami tidak qiyaskan pada anjing karena hal ini adalah
ta'abbudi. Tidakkah engkau perhatikan bahwa sebutan cuci
sudah berlaku pada satu kali cucian atau lebih dari 7 kali
cucian dan bahwasanya bejana dibersihkan dengan satu kali
dan kurang dari 7 kali. Dalam hal menyentuh air, sesudah 7
kali seperti sebelum 7 kali.
2. membandingkan anjing dan babi dengan keledai
dan binatang buas lain
Tak ada najis pada suatu yang hidup yang menyentuh air
sedikit dengan cara meminumnya atau memasukan
sebagian anggota badan ke dalam air kecuali anjing dan
babi. Najis hanyalah pada suatu yang mati. Tidakkah engkau
perhatikan seseorang menaiki keledai dan keledai
berkeringat, padahal dia ada di atasnya dan halal
menyentuhnya? Bila seseorang bertanya, "Apa dalilnya?",
maka jawabnya :
keduanya serupa? Lalu ia kemukakan hadits Abdul Malik bin Abu
Sulaiman dari Atho' dari Abu Hurairoh tentang bejana yang dijilat oleh
anjing atau kucing yang dicuci tiga kali, bersandar kepada hadits untuk
meninggalkan hadits-hadits yang tsabit dari Nabi SAW tentang jilatan
dan berdalil dengan dinasakhnya tujuh kali, berdasarkan prasangka baik
kepada Abu Hurairoh bahwa ia tidak akan menyelisihi Nabi SAW pada
yang ia riwayatkan.
10 (36)
11 (37)
123
[38] Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rosululloh SAW
ditanya, "apakah boleh berwudhu dengan sisa minuman
keledai?", jawab Rosul SAW, "Ya boleh, juga dengan sisa
minuman binatang buas"12
[39] Rosululloh SAW bersabda, "sesungguhnya kucing
tidak najis. Dia termasuk binatang yang ada di sekelilingmu"
Imam Asy Syafi’i berkata : Rosululloh SAW melarang
makan binatang buas yang bertaring dan keledai jinak,
namun membolehkan kita berwudhu dari sisa minumannya.
Bila seseorang bertanya, "Bagaimana engkau mengqiyaskan
pada hal ini, bukan pada anjing?", jawabnya, "ini lebih dari
anjing dan babi. Logikanya adalah bahwa yang hidup
tidaklah najis, walaupun daging tidak boleh dimakan.
Najisnya hanyalah karena kematian. Tidakkah engkau
perhatikan bahwa tidak haram untuk menunggangi keledai
dengan pakaian menyentuhnya, tetapi tidak menajiskannya
dan Rosululloh SAW pun sholat sunah di atas keledai ketika
melakukan safar. Sesuatu yang masuk akal lebih pantas
diqiyaskan dibandingkan sesuatu yang haram karena
ta'abbud, bukan karena makna yang diketahui.
12 (38) Al Atsari : Shohih
Asy Syafi’i meriwayatkan dari Malik dari Hasyim bin Urwah dari Fatimah binti
Al Mundzir dari Asma.
124
Bila ditanyakan : Apakah pada anjing ada sesuatu yang
membedakan antara anjing dan selainnya?, jawabnya : Ya,
ada. Rosululloh SAW melarang orang mengambil harga
anjing dan memeliharanya dan sabda beliau, "Barang siapa
memelihara anjing, maka tiap hari amalnya berkurang 2
qiroth. Sabda beliau juga, "Malaikat tidak akan memasuki
rumah yang terdapat anjing di dalamnya" dan beliau
memerintahkan untuk membunuh anjing. Namun beliau
tidak mengharamkan harga binatang buas dan juga keledai,
tidak melarang memeliharanya karena suatu keadaan dan
tidak memerintahkan untuk membunuhnya.
Robi' berkata : Aku bertanya kepada Asy Syafi’i tentang
anjing yang menjilat bejana yang kurang dari dua qullah
atau (menjilat) susu atau kuah. Jawab Asy Syafi’i :
ditumpahkan air, susu dan kuah tersebut, tidak
memanfaatkannya. Bejana dicuci tujuh kali dan pakaian
yang tersentuh air dan susu wajib dibasuh, karena ia najis.
Robi' berkata lagi : Apa argumentasinya? Jawab Asy Syafi’i :
[40] Dari abu Hurairoh bahwa Rosululloh SAW bersabda,
"Bila anjing minun dari bejan kalian, maka cucilah tujuh kali"
Imam Asy Syafi’i berkata : Jelas dalam sunnah Rosululloh
SAW bahwa bila anjing minum air dari bejana, maka najislah
bejana itu, sampai dicuci tujuh kali.
125
Yang menajiskan pada suatu hal tetap menajiskan,
baik di pedalaman atau perkotaan, sedikit atau
banyak.
Kata Robi' : Kami menganggap bahwa bila anjing minum
dari bejana yang ada susunya di daerah pedalaman,
susunya diminum dan bejana dicuci tujuh kali, karena anjing
selalu berkeliaran di daerah pedalaman. Asy Syafi’i berkata :
Pendapat ini mustahil. Anjing menajiskan sesuatu yang
diminum dan tidak halal meminum najis dan juga
memakannya. Apa yang wajib bagi orang pedalaman
berkaiatan dengan najis juga berlaku bagi orang perkotaan.
Ini menyalahi sunnah, qiyas dan rasio dan merupakan illat
yang lemah. Perkataan anjing selalu berkeliaran di
pedalaman merupakan hujjah untuk kalian. Bila sunnah
memerintahkan untuk mencuci bejana dari jilatan anjing
tujuh kali, sedangkan anjing selalu berkeliaran di pedalaman
dari dulu sampai hari ini, maka apakah kalian menganggap
bahwa itu berlaku hanya untuk orang perkotaan bukan
pedalaman atau untuk pedalaman bukan perkotaan, atau
apakah salah satu pemimpin muslimin menganggap
demikian, atau Alloh membedakan antara yang najis di
pedalaman dan di perkotaan atau bila seorang dari orang
pedalaman bertanya, 'apakah fiqih diambil dari penduduk
pedalaman, sehingga kalian menyatakan illatnya karena
anjing bersama penduduk pedalaman', lalu bagaimana bila
orang bodoh berkata hal yang sama, 'Tikus, kelelawar dan
126
binatang lebih mulia bagi penduduk kota dibandingkan
anjing bagi penduduk pedalaman, penduduk perkotaan lebih
terhindar dari tikus dan binatang rumah dibandingkan
penduduk pedalaman terhindar dari anjing dan bila tikus
atau binatang mati di air sedikit, minyak, susu atau kuah,
maka itu tidak menajiskannya'. Tak ada hujjah kecuali bahwa
yang menajiskan pada suatu hal tetap menajiskan, baik di
pedalaman atau perkotaan, sedikit atau banyak.
4. Darah
Imam Asy Syafi'i berkata : Bila seseorang sholat
dengan memakai pakaian yang ada najis berupa darah atau
nanah, tetapi sedikit seperti halnya darah nyamuk dan yang
dimaafkan, maka ia tidak usah mengulangi sholat. Bila darah
atau nanah itu banyak atau ada sedikit kencing, tinja atau
khamr dan yang searti dengan itu, maka ia harus
mengulangi sholatnya, baik di dalam waktunya atau di luar
waktu.
Fukaha Syafi'iyyah : Darah itu najis walaupun
mengalir dari ikan, limpa dan jantung, berdasarkan firman
Alloh, "atau darah yang mengalir" dan hadits, "cucilah
darahnya dan sholatlah". Dalam Al Muhazzab dinyatakan :
Tentang darah ikan ada dua pendapat, salah satunya adalah
najis seperttiyang lain, dan kedua, suci, karena darah tidak
127
lebih dari bangkai, padahal bangkai ikan itu suci, maka
demikian juga darahnya. Dua pendapat tersebut merupakan
dua pendapat yang masyhur. Tentang darah belalang juga
ada dua pendapat seperti darah ikan. Berkata An Nawawi :
pendapat yang paling shohih adalah semuanya najis. Adapun
darah kutu, kepinding dan lain-lain yang termasuk binatang
yang tidak mengalir darahnya, maka itu najis menurut kami
seperti juga darah-darah lain, tetapi dimaafkan mengenai
pakaian dan badan karena kebutuhan.
Tidak termasuk mengalir adalah limpa dan jantung
karena keduanya suci. Bila keduanya diremuk dan menjadi
darah, maka najis.
Berkata Asy Syaikh Al Bantani dalam Al Kasyifah :
berkata Asy Syarqowi : darah, yaitu walaupun dari limpa dan
jantung. Termasuk juga darah yang tersisa di daging dan
tulang, tetapi bila dagingnya dimasak dengan air dan airnya
berubah warnanya kerana darah yang tersisa itu, maka tidak
apa-apa. Dalam hal ini tak ada perbedaan antara air
mengalir ke daging atau daging dimasukkan ke air. Namun
dengan ketentuan tidak dicuci sebelum diletakkan di dalam
periuk untuk dimasak. Bila dicuci sebelumnya dan air
berubah karena darah yang tersisa itu, maka tidak boleh,
karena syarat menghilangkan najis walaupun dimaafkan
adalah hilangnya sifat-sifat najis, karena itu wajib
mencucinya sebelum diletakkan ke dalam periuk hingga air
bekas cuciannya bersih. Berkata guru kami Athiyyah :
128
dimaafkan darah yang ada di daging bila tidak bercampur
dengan air. An Nawawi dalam Al Majmu menyatakan bahwa
darah yang tersisa did aging itu suci. As Subki
memberlakukan demikian juga. Hadits yang menunjukkan
hal ini adalah perkataan Aisyah.
() Berkata Aisyah : Kami memasak daging di dalam periuk
pada masa Rosululloh SAW dengan kuningnya darah
mengambang di permukaan air, lalu Rosululloh SAW
memakannya dan tidak mengingkarinya.
Pendapat yang mutamad adalah pendapat yang pertama
dan tidak bertentangan dengan hadits tersebut, karena
hadits tersebut dibawa pemahamannya pada kemaafan dan
telah diketahui bahwa kemaafan tidak menafikan kenajisan.
Berkata Ibnul Imad dalam Manzhumahnya:
Darah di daging itu dimaafkan
Sebelum dicuci tidak mengapa dimasak
Tetapi Syaikh Syirazi tidak membolehkan
Bahkan wajib disucikan dagingnya
Dimaafkan karena tidak termasuk darah mengalir dan sukar
menghindarinya.
Para ulama mengencualikan darah yang najis :
1. limpa dan jantung
129
Berdasarkan sabda Rosululloh SAW,
() "Dihalalkan untuk kami dua bangkai dan dua darah,
yaitu bangkai ikan dan belalang, limpa dan jantung"
2. misk
Berdasarkan hadits riwayat Muslim,
() Rosululloh SAW bersabda, "Misk adalah sebaik-baik
minyak wangi"
Walaupun misk itu diambil dari kijang mati. Ini berbeda
dengan fa'rotul misk, karena bila fa'rotul misk diambil
dari kijang yang mati, maka najis, sedangkan bila diambil
dari yang hidup, maka suci. Perincian tersebut antara
misk dan fa'rotul misk merupakan hokum yang
diberlakukan oleh Ibn Hajar. Syaikhul Islam dalam syarh
Ar Roudh menyatakan bahwa tak ada perbedaan antara
keduanya. Bila keduanya diambil dari kondisi hidup, maka
keduanya suci, tetapi bila tidak hidup, maka najis.
Lahiriah perkataan penulis Al I'anah adalah bahwa misk
itu suci secara mutlak. Az Zarkasyi juga memberlakukan
demikian. Pendapat yang beralasan adalah seperti
anfihah berdasarkan kaidah prinsip bahwa segala sesuatu
yang terpisah dari bangkai yang najis adalah najis.
Dalam Al Muhazzab : Adapun segumpal darah, dalam
hal ini ada dua pendapat. Berkata Abu Ishaq bahwa itu najis,
130
karena itu adalah darah yang keluar dari rahim, sehingga
seperti haidh. Namun Abu Bakar Ash Shoirofi berkata bahwa
itu suci karena bukan darah yang memancar, sehingga
seperti limpa dan jantung. Berkata An Nawawi : Pendapat
yang paling shohih adalah suci. Adapun segumpal daging,
maka menurut madzhab itu suci seperti anak.
Dalam Al I'anah dinyatakan : Dikecualikan juga
segumpal darah, segumpal daging, susu dan telur yang
belum rusak yang sekiranya tidak akan mejadi anak burung.
Bila telur sudah rusak, maka najis. Dalam An Nihayah
dinyatakan : Bila telur berubah menjadi darah dan masih
layak menjadi anak burung, maka suci. Bila tidak, maka
najis.
Sedikit darah yang dimaafkan
Imam Asy Syafi'I berkata : Segala yang mengenai
pakaian berupa tinja basah, kencing, darah, khamr atau
yang diharamkan, dan pemakainya yakin, baik terlihat atau
tidak, maka ia wajib mencucinya.
Bila ia tidak dapat memastikan tempatnya, tidak
boleh kecuali ia mencuci pakaian seluruhnya, selain darah,
nanah dan cairan koreng. Bila tetesan darah berkumpul,
walaupun besarnya kurang dari sedirham, maka wajib
131
mencucinya, karena Nabi SAW memerintahkan mencuci
darah haidh. Sedikit-dikitnya darah haidh adalah setetes.
Bila darah hanya sedikit seperti darah kutu dan semisalnya,
maka tidak usah dicuci. Nanah dan cairan koreng lebih
ringan dari itu dan tidak usah dicuci kecuali ada setetes.
Fukaha Syafi'iyyah : Dimaafkan sedikit darah.
Berkata Asy Syaikh Asyi Syirazi : Adapun darah, maka harus
dilihat. Bila darah itu adalah darah kutu, nyamuk dan lainlainnya,
maka dimaafkan dalam jumlah sedikit, karena susah
menghindarinya. Bila tidak dimaafkan, maka akan sukar dan
sempir, padahal Alloh berfirman :
وما جعل عليكم في الدين من حرج
"Dan tidaklah Ia jadikan untuk kalian kesukaran dalam
agama". Dalam jumlah banyak ada dua pendapat. Berkata
Abu Said Al Istokhri tidak dimaafkan karena itu hal yang
jarang yang tidak susah mencucinya, tetapi yang lain
berkata dimaafkan, dan itulah pendapat yang paling shohih,
karena ini merupakan jenis yang pada umumnya susah
dihindari. Bila darah itu darah lain dari berbagai binatang,
maka dalam hal ini ada tiga pendapat. Berkata Asy Syafi'i
dalam Al Umm dimaafkan dalam jumlah sedikit, yaitu kadar
yang dimaafkan oleh manusia menurut kebiasaan, karena
manusia tidak mungkin menghindar dari jerawat dan kudis
yang keluar darinya sebanyak kadar ini, sehingga dimaafkan.
Tetapi dalam Al Imla dikatakan tidak dimaafkan dalam
132
jumlah sedikit dan tidak juga banyak, karena itu merupakan
najis yang tidak susah menghidarinya sehingga tidak
dimaafkan seperti halnya kencing. Dalam qoul qodim
dikatakan bahwa dimaafkan darah yang kurang dari satu
telapak tangan. Pendapat yang paling shohih adalah yang
pertama.
1. Darah dari binatang yang tidak mengalir darahnya
Berkata An Nawawi : Darah kutu, nyamuk dan lain-lain
yang termasuk binatang yang tidak mengalir darahnya itu
najis menurut kami, sebagaimana telah dijelaskan. Sahabatsahabat
kami sepakat bahwa itu dimaafkan dalam jumlah
sedikit. Sedangkan dalam jumlah banyak, menurut pendapat
yang paling shohih dengan kesepakatan ashab adalah
dimaafkan. Berkata Asy Syaikh Abu Hamid dan Al Muhamili :
Sedikit adalah kadar yang dimaafkan dan diremehkan oleh
manusia, sedangkan bayak adalah kadar yang mendominasi
pakaian dan lipatannya. Dalam qoul qodim sedikit adalah
kadar satu dinar, tetapi dalam qoul qodim lain adalah kurang
dari satu telapak tangan. Dalam qoul jadid ada dua
pendapat, salah satunya adalah bahwa banyak itu kadar
yang tampak bagi orang yang melihatnya tanpa berpikir.
Pendapat yang paling shohih adalah dikembalikan kepada
kebiasaan. Bila ragu dalam hal sedikit atau banyak, menurut
pendapat yang rajih adalah sedikit.
133
Bila darah sedikit, lalu terkena keringat dan tersebar,
maka dalam hal ini ada dua pendapat. Menurut Asy Syaikh
Abu Ashim dimaafkan, sedangkan menurut Al Qodhi Husain
tidak dimaafkan. Dalam Al I'anah dinyatakan : Darah dari
binatang yang darahnya tidak mengalir dimaafkan, namun
kulitnya tidak diamafkan pada badan dan pakaian. Darah ini
dimaafkan walaupun jumlahnya banyak dan tersebar melalui
keringat dan melampaui badan sampai mengenai pakaian,
dengan ketentuan tidak sengaja dilakukan dan tidak
melampaui tempatnya. Bila melampaui tempatnya, maka
hanya dimaafkan untuk jumlah sedikit. Adapun ketentuan
tidak bercampur dengan sesuatu yang lain merupakan
ketentuan untuk jumlah sedikit dan banyak. Bila darah
bercampur dengansesuatu lain, maka tidak dimaafkan.
Dikecualikan dari sesuatu yang lain itu adalah air untuk
bersuci, karena dimaafkan darah itu terkena air untuk
bersuci, bila tidak secara sengaja meletakkannya di darah
itu. Bila sengaja, maka tidak dimaafkan. Berkata Al Khotib :
Seyogyanya diikutkan dengan air untuk bersuci adalah air
yang berjatuhan ketika meminumnya, makanan ketika
memakannya, atau memberikan obat pada lukanya.
2. Darah bisul
Adapun darah dari binatang yang darahnya mengalir,
berupa manusia dan binatang-binatang lain, maka dalam hal
134
ini ada tiga pendapat yang disebutkan oleh Asy Syaikh Asy
Syirazi. Pendapat yang paling shohih berdasarkan
kesepakatan adalah pendapat Asy Syafi'i dalam Al Umm
bahwa itu dimaafkan dalam jumlah sedikit, yaitu kadar yang
dimaafkan oleh manusia menurut kebiasaan. Sebagian
sahabat kami membatasi dengan setetes. Ini tentang darah
dari yang lain, baik dari manusia atau binatang lain.
Dalam Al I'anah dinyatakan : Termasuk darah dari
yang lain adalah darah yang menetes dari badan seseorang
lalu kembali mengenainya. Darah seperti ini dimaafkan
untuk jumlah sedikit. Berkata Al Kurdi : Seperti itu juga
adalah darah yang melampaui tempat keluarnya darah
berupa darah bekam dan darah fashd.
Adapun darah dari diri sendiri, maka ada dua, yaitu :
1. Sesuatu yang keluar dari dari jerawat, berupa darah,
nanah dan cairan bercampur darah, maka hukumnya
seperti darah kutu sesuai kesepakatan, dimaafkan dalam
jumlah sedikit. Namun dalam jumlah banyak ada dua
pendapat dan yang paling shohih adalah dimaafkan. Bila
seseorang memencet bisul, lalu keluar darah sedikit,
maka dimaafkan berdasarkan pendapat yang paling
shohih.
2. Sesuatu yang keluar bukan dari jerawat, tetapi dari bisul,
cacar dan tempat pengambilan darah dan berbekam, dan
lain-lain.
135
Dalam hal ini ada dua metode. Salah satunya adalah
bahwa itu seperti halnya darah kutu dan cacar, sehingga
dimaafkan dalam jumlah sedikit. Sedangkan dalam
jumlah banyak, menurut pendapat yang paling shohih
dan telah dipilih oleh Ibn Kajj, Asy Syaikh Abu Muhammad
dan Imam Al Haramain, yaitu lahiriah perkataan Asy
Syaikh Syirazi dan Ulama Iraq bahwa itu seperti darah
lain.
Dalam Al I'anah dinyatakan : Darah bisul dimaafkan
walaupun banyak dan tersebar karena keringat dengan
ketentuan tidak secara sengaja dilakukan. Bila banyak
karena secara sengaja, seperti membunuh kutu di
pakaian atau memencet bisul, dan dipakai untuk sholat
atau sebagai hamparan, maka tidak dimaafkan, kecuali
hanya untuk jumlah sedikit.
Hal ini hanya berkaitan dengan sholat, bukan dengan
air sedikit. Bila ini mengenai air sedikit, maka tidak
dimaafkan. Tidak pengaruh karena bersentuhan dengan
badan yang basah dan tidak pula diperintahkan untuk
mengelap badannya karena adanya kesukaran.
Berkata dalam Al Mughni : Diperselisihkan bila
seseorang memakai pakaian yang ada darah nyamuk,
padahal badannya basah. Al Mutawalli berpendapat boleh,
sedangkan Asy Syaikh Abu Ali berpendapat tidak boleh.
Pendapat pertama dibawa pemahamannya bila basah karena
136
air wudhu, karena sukarnya menghindari hal itu, seperti juga
bila basah karena keringat. Sedangkan pendapat kedua
dibawa pemahamannya pada selain itu.
3. Darah haidh dan mimisan
Dalam Al I'anah dinyatakan : Diqiaskan pada kedua
darah tersebut adalah darah yang keluar dari semua lubang
pengeluaran, seperti mata, hidung dan kedua telinga, kecuali
yang keluar dari sumber najis. Dalam At Tuhfah dinyatakan :
telah diketahui bahwa kemaafan dari sedikit darah dari
semua luibang pengeluaran merupakan pendapat yang
dinukil oleh para sahab-sahabat kami.
4. Darah di gusi
Sah sholat orang yang gusinya berdarah sebelum
mencuci mulutnya dengan ketentuan tidak menelan liur
yang bercampur dengan darah itu, karena darah yang ada di
gusi dimaafkan berkaitan dengan liur.
Bila najis-najis yang dimaafkan ada di beberapa
tempat dan bila dikumpulkan akan menjadi banyak, maka
menurut Asy Syafi'i hukumnya adalah sedikit, sehingga
dimaafkan. Ini tidak menafikan ketentuan bahwa bila najis
yang tidak dapat dilihat terpisah-pisah dan bila dikumpulkan
137
akan terlihat, maka tidak dimaafkan, karena kemaafan
dalam hal darah lebih luas dibandingkan kemaafan dalam
hal lain. Namun menurut Al Mutawalli, Al Ghozali dan lainlain
dianggap banyak dan telah dirajihkan oleh sebagian
ulama.
5. Segala sesuatu yang keluar dari lambung secara
yakin, seperti muntahan walaupun tidak mengalami
perubahan
Fukaha Syafi'iyyah : Adapun muntahan sebelum
sampai ke lambung, maka itu bukanlah najis, bukan pula
mutanajjis, baik yakin atau hanya kemungkinan. Berbeda
dengan pendapat Al Qoffal yang menyatakan bahwa
makanan yang dimuntahkan sebelum sampai lambung itu
mutanajjis.
Bila yang dimuntahkan beruapa biji yang keras yang
sekiranya ditanam akan tumbuh, maka itu mutanajjis. Bila
sekiranya ditanam tidak tumbuh, maka najis. Adapun telur
yang ditelan oleh binatang dan dimuntahkan, lalu bila
dipelihara akan menjadi anak burung, maka suci. Bila tidak
demikian, maka najis.
Bila anak kecil muntah berturut-turut, maka dimaafkan
payudara ibunya yang menyusukannya. Syaikh kita Ibn Hajar
138
ditanya : Apakah dimaafkan sesuatu yang mengenai
payudara orang yang menyusukan bayi berupa air liur bayi
yang terkena najis karena muntahan atau menelan najis?,
maka jawabnya : Dimaafkan mulut orang lain walaupun jelas
kenajisannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnush Shollah :
Dimaafkan sesuatu yang berhubungan dengan bagian mulut
anak kecil walaupun jelas kenajisannya. Demikian juga mulut
orang gila. Demikian yang ditetapkan oleh Az Zarkasyi,
dikuatkan dengan sesuatu yang dinukil dari Ibnush
Shobbagh dan dijadikan pegangan bahwa dimaafkan
makanan yang dikeluarkan lagi oleh unta, sehingga tidak
menajisi air yang diminum. Dan dimaafkan juga tetesan air
liurnya yang terkena najis. Diikutkan juga hokum mulut
binatang memamah biak berupa anak sapid an domba yang
menyusu kepada induknya, karena adanya kesukaran
menghindarinya, terutama berkaitan dengan orang-orang
yang bergaul engan binatang-binatang tersebut. Bila
seseorang mencium mulut anak kecil yang terkena
muntahan berturut-turut atau menyentuhnya tanpa
mencium, maka tidak dimaafkan, sehingga wajib dicuci.
Namun jawaban pada fatwa di atas menunjukkan bahwa tak
ada perbedaan dalam hal dimaafkannya mulut bayi antara
payudara ibunya yang menyusukannya dan orang lain yang
mencium dan menyentuhnya. Di dalam fatwa tidak ada
pengkhususan untuk payudara ibunya. Telah dinukil bahwa
bila mulut anak kecil terkena najis karena muntahan
misalnya, tidak pergi dan masih memungkinkan
139
menyucikannya, bahkan terus diketahui kenajisannya, maka
dimaafkan karena susah menghindarinya, seperti halnya
anak kecil yang menyusu ke payudara ibunya, sehingga
tidak wajib mencucinya, dan seperti juga mencium mulut
anak kecil karena kasih sayang padahal mulutnya basah,
sehingga tidak wajib menyucikan mulutnya.
Cairan yang keluar dari manusia ketika tidur
Adapun yang keluar dari dada atau tenggorokan, yaitu
dahak, dan yang turun dari otak, yaitu lendir, maka
keduanya suci seperti ingus dan ludah.
Cairan yang keluar dari manusia ketika tidur, emnurut
Al Mutawalli bila keluar mengalami perubahan, maka najis,
tetapi bila tidak mengalami perubahan, maka suci. Namun
berkata Asy Syaikh Abu Muhammad Al Juwaini bahwa cairan
yang mengalir dari lidah itu suci, sedangkan yang mengalir
dari lambung itu najis berdasarkan ijma. Cara
membedakannya adalah dengan memperhatikan kebiasaan.
Bila di permulaan tidur mengalir dari mulut sesuatu yang
basah tetapi terhenti, sehingga bila tidurnya lama, sesuatu
yang basah itu akan terhenti dan bibirnya kering, maka itu
dari mulut bukan dari lambung. Bila tidurnya lama dan
merasakan ada sesuatu yang basah, maka itu dari lambung.
Bila timbul keraguan, sehingga tidak tahu dari mana, maka
140
ihtiyath mencucinya. Para dokter mengingkari cairan itu dari
lambung dan mengingkari orang yang mewajibkan
mencucinya. Pendapat yang terpilih adalah tidak wajib
mencucinya, tetapi hanya dianjurkan sebagai ihtiyath.
Berkata Ibnul Imad :
Bila tidur mengalir cairan dari mulut
Dengan perubahan maka najis
Kata Al Juwaini segala dari peruta itu najis
Tetapi suci bila dari anak lidah
Kapan saja kuning kau dapati
Maka itu dari lambung
Cairan peruta tetap ada
Terlihat mengalir saat tidur lama
Cairan lidah kebalikannya
Basah vivir lalu kering karena liur
Tidur dengan kepala terangkat
Di atas bantal, maka suci seperti liur
Dokter ingkari perut keluarkan cairan
Abul Laits Al Janafi nyatakan sucinya
Kebalikan Al Muzanni menajiskan
Karena dahak baginya najis seperti muntahan
Siapa yang terkena ini padahal najis
Dimaafkan seperti bisul
141
Mufti Muhammad Sholih ditanya tentang cairan yang
keluar dari mulut orang yang tidur, yaitu iler, apakah najis
atau tidak? Bila najis, bagaimana menghindarinya bagi yang
mengalaminya? Jawabnya sekiranya tidak jelas bahwa cairan
itu berasal dari lambung, maka itu suci. Bila jelas berasal
dari lambung, maka najis, tetapi orang yang mengalaminya
dimaafkan.
Makanan yang dikeluarkan oleh binatang memamah
biak untuk dimakan kedua kalinya
Muhibbuddin Ath Thobari menukil dari Ibnush
Shobbagh dan dijadikan pegangan bahwa makanan yang
dikeluarkan oleh binatang memamah biak untuk dimakan
kedua kalinya dimaafkan, sehingga tidak menajisi air yang
diminum, padahal mulutnya dihukum najis karena hal itu.
Dalam An Nihayah dinyatakan : Dimaafkan sesuatu yang
menetes dari air liurnya yang terkena najis.
() Dari Amr bin Khorijah berkata : Rosululloh SAW berkhutbah
di Mina sambil menunggang unta, sedangkan liur unta
menetes ke pundakku.
6. Empedu dan susu dari binatang yang tidak boleh
dimakan
142
Fukaha Syafi'iyyah : Adapun kantong empedu,
maka hanya mutanajjis yang dapat disucikan dengan
mencucinya, sehingga boleh dimakan dengan ketentuan
binatangnya boleh dimakan.
Susu dari binatang yang boleh dimakan dagingnya itu
suci, berdasrkan firman Alloh, "Susu murni yang melegakan
orang yang meminumnya"
Susu dari manusia walaupun dari anak kecil yang mati
itu suci, berdasarkan firman Alloh, "Kami telah muliakan
anak keturunan Adam" dan tidak sesuai dengan kemuliaan
bila keturunan Adam itu najis.
7. Cairan yang memabukkan
Imam Asy Syafi'i berkata : Bila ke dalam air jatuh
setitik khamr, kencing, darah atau najis apapun yang
termasuk dapat dilihat oleh mata, maka rusaklah airnya dan
tidak mencukupi bersuci dengan itu.
Fukaha Syafi'iyyah : Termasuk juga peragiannya,
karenanya perasan anggur najis ketika meragikannya saja
sampai menjadi cuka dan jadilah suci.
Dasar kenajisannya adalah :
143
إنما الخمر والميسر والنصاب والزلم رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan (Al Maidah : 90).
() Dari Ibnu Umar bahwa Rosululloh SAW bersabda, "Tiap
yang memabukkan adalah khamr dan tiap khamr adalah
haram"
Termasuk juga nabidz yang dihasilkan dari peraman bendabenda
yang mengandung glukosa, seperti kurma dan
gandum, karena dalam pemeraman itu melewati tahapan
peragian dan menjadi nabidz, maka ini najis. Adapun yang
tidak terlalu dan tidak menjadi sesuatu yang memabukkan
seperti cairan yang diambil dari biji-bijian kurma, gandum,
madu atau lain-lain, sehingga menjadi manis, maka ini
bukanlah najis.
8. Cairan dari cacar
Fukaha Syafi'iyyah : Dalam Al Muhazzab dinyatakan
: Adapun cairan dari cacar, maka bila berbau, maka itu najis
seperti halnya nanah, tetapi bila tidak berbau, maka suci
seperti basahan yang keluar dari badan.
144
9. Anggota badan binatang yang terpotong
Fukaha Syafi'iyyah : Dalam Al Majmu dinyatakan :
Anggota badan binatang hidup yang terpotong, seperti
punuk unta, ekor sapid an lain-lainnya najis berdasarkan
ijma. Di antara dalil yang digunakan dari Sunnah adalah
hadits Abu Waqid Al Laitsi bahwa Rosululloh SAW bersabda,
"Bagian yang terpotong dari binatang ketika masih hidup
adalah bangkai".
145