Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki?
Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia
D. Jupriono
dijadikan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut
manja ...
wanita dijajah pria
sejak dulu
(Ismail Marzuki, 1959?)
Pendahuluan: Masyarakat, Kebudayaan, dan Bahasanya
Benarkah bahasa Indonesia (BI) berjenis kelamin lelaki? Beragam jawaban bisa
disodorkan, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Di
sini, BI akan dibedah dari perspektif gender, sebagai matra sentral Feminisme.
Dengan perspektif gender, nanti akan dibuktikan bahwa BI lebih memihak
penutur lelaki ketimbang perempuan biarpun jelas sekali bahwa BI juga
dituturkan oleh separuh masyarakat wanita. Singkat kata, senang atau tidak, BI
bias maskulin.
Mengapa BI memihak lelaki, inilah soalnya! Dengan sedikit penyederhanaan,
boleh dikatakan bahwa pembiasan gender itu terjadi karena masyarakat
Indonesia juga meletakkan lelaki pada tataran lebih tinggi di atas perempuan.
Mengapa masyarakat "menjunjung" lelaki dan "menjinjing" perempuan?
Mengapa tidak sebaliknya? Atau, mengapa pula keduanya tidak diletakkan
dalam garis egaliter? Karena, kebudayaan yang dihasilkan dan diikuti
masyarakat pun memihak lelaki!
Kebudayaan? Di sinilah kita mendudukkan kebudayaan sebagai terdakwa,
seakan-akan yang salah memang budayanya. Dalam pengertian yang luas, apa
yang disebut kebudayaan mencakup seluruh aktivitas noninstingtif masyarakat
tertentu. Pengertian bahwa kebudayaan adalah kesenian, seperti yang banyak
dipahami orang selama ini, merupakan pengertian yang sempit dan disempitkan.
Aktivitas noninstingtif--yang hanya bisa diperoleh dengan belajar--berwujud
gagasan, tindakan, dan benda karya budaya. Yang termasuk di dalamnya adalah
peralatan dan perlengkapan hidup, sistem ekonomi dan mata pencaharian,
sistem kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
kesenian, sistem religi, dan bahasa (Koentjaraningrat, 1964: 79). Untuk diskusi
ini, kenyataan bahasa sebagai salah satu unsur bagian dari budaya perlu
digarisbawahi.
Di samping sebagai bagian, bahasa juga merupakan wahana budaya. Sebagai
wahana budaya, bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa
adalah cermin budaya. Maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari unsurunsur
budaya lain di masyarakat itu.1) Itulah sebabnya, jika ingin mengetahui
unsur-unsur budaya suatu masyarakat secara keseluruhan, orang harus
mempelajari bahasa masyarakat yang bersangkutan sebagai konteksnya. Ingat,
"bahasa menunjukkan bangsa". Dalam hal ini, menarik diungkap di sini
keyakinan J.H. Greenberg (Samsuri, 1986) bahwa: "Language may no longer be
conceived rather be viewed as part of the whole and functionally related to it."
Telaah Interdisipliner: Metode dan Rumusan Masalah
Telaah ini menerapkan ancangan (approach) kualitatif etnografis. Dengan
ancangan ini, data yang diambil tergolong data lunak (soft data), berupa tuturan
bahasa, dan bukan angka-angka (Kirk dan Miller, 1986). Sumber data dalam
telaah ini diambil dari latar alami (natural setting), yakni tuturan alamiah
keseharian. Instrumen yang dipakai adalah kemampuan penelaah itu sendiri.
Sebagai human instrument, manusia dapat menghasilkan data
berketerpercayaan cukup tinggi sebab hanya manusia sendirilah yang sanggup
memahami keseluruhan konteks dan perilaku kehidupannya. Dilihat dari
kemurniannya, telaah ini bersifat interdisipliner, antara Linguistik dan Studi
Perempuan (Women Study). Dengan ini, akan dipersoalkan perihal
tersubordinasinya perempuan oleh dominasi lelaki, keterpurukan nasib
perempuan dalam bayangan cengkeraman kekuasaan lelaki--sebagai cermin
paling mencolok dari apa yang biasa disebut sebagai ketimpangan gender,
sebagai kaki tangan ideologi patriarki.2)
Bagaimana cara mencandra semua masalah di atas--inilah soal metodologisnya.
Soal-soal sosial-politik, hukum, interaksi manusia, kekuasaan (termasuk
kekuasaan lelaki atas perempuan), lazimnya disoroti dengan pendekatan
perilaku (behavioral approach). Dengan pendekatan ini yang dicandra adalah
perbuatan, tindakan, kekerasan, dst. masyarakat. Untuk telaah ketimpangan
gender pun, ini tidak keliru.3) Akan tetapi, jelas sekali bahwa dengan begitu
ketimpangan ini lebih banyak disoroti dari sisi perilaku masyarakatnya saja, yang
membentuk realitas sosiobehavioral, Padahal, survei membuktikan bahwa
ketimpangan gender juga dapat disorot dari segi kebahasaannya, yang akan
membentuk realitas simbolis. Dari segi kebahasaan, penyorotan akan dilakukan
dengan pendekatan verbal (verbal approach), yang sebenarnya sudah sering
diterapkan orang.4) Pendekatan verbal bisa membuktikan bahwa "lelaki menang,
perempuan kalah" dapat dilihat dari bahasanya.Dengan pendekatan verbal, data
verbal yang masuk akan dikaji dengan analisis isi (content analysis). Teknik ini
akan dilengkapi dengan domain analysis, terutama dalam menyusun
kategorisasi data. Topik bincang dalam tulisan ini adalah "Bagaimana saja wujud
ketimpangan gender yang terungkap dalam bahasa Indonesia?".
Wujud Ketimpangan Gender Masyarakat dalam Bahasa Indonesia
Ketimpangan gender dalam bahasa Indonesia terungkap dalam wujud: nama
penanda status keluarga/perkawinan, penyebutan keberadaan atau tindakan,
keniscayaan struktur, dan inisiatif pengucapan. Masing-masing akan dibahas
dalam bagian berikut.
Pemakaian Nama Penanda Status Keluarga/Perkawinan
Sejak lahir dari guwagarba sang ibu, manusia sudah dikotak-kotakkan ke dalam
gender: "lelaki" dan "perempuan". Setiap anak harus tunduk pada orang-tuanya.
Untuk melanggengkan eksistensi keluarga, pada beberapa suku, etnis, dan
kelompok sosial lain, terdapat adat mencantumkan nama ayah--dan bukan nama
ibu!--di belakang nama anak. Atau, jika pada komunitasnya tidak mengenal adat
itu, saat dewasa yang dipilih sebagai nama tambahan adalah nama ayah dan
bukan ibu. Misalnya seorang anak lelaki bernama Bambang dan anak
perempuan bernama Linda, berayahkan Notosusanto dan beribukan Juminten.
Jika Bambang dan Linda sudah dewasa, dan ada keinginan untuk
melanggengkan nama orang-tua, yang dipilih untuk ditambahkan adalah
Notosusanto dan bukan Juminten. Maka, terbentuklah nama Bambang
Notosusanto dan Linda Notosusanto. Rasanya betapa ganjilnya jika dipilih
*Bambang Juminten dan *Linda Juminten. Alih-alih dengan itu, seorang artis
yang bernama Lisa A. Riyanto, misalnya, hampir bisa dipastikan ia anak dari
komponis A. Riyanto yang sudah almarhum itu.
Setelah berumah tangga, nasib lelaki dan perempuan masih tetap tidak sama.
Seorang istrilah yang lazim menambahi namanya dengan nama suaminya, dan
bukan sebaliknya: suami menambahi namanya dengan nama istrinya--sungguh
mustahil! Maka, yang ada Tien Soeharto dan bukan *Soeharto Tien.
Penyebutan terhadap Keberadaan dan Tindakan
Nasib perempuan dan lelaki tidak sama, termasuk dalam hal menerima sebutan,
predikat, atau julukan untuk suatu tindakan atau keberadaan. Ketimpangan
tersebut dapat dipilah-pilah lagi ke dalam ketimpangan sebutan berikut.
Sebutan yang Maskulin dan Feminin
Beberapa kosakata sebutan klasik juga membelah manusia menjadi sebutan
yang bersifat feminin dan sebutan yang berbau maskulin. Untuk sebutan yang
feminin kita kenal, misalnya, "ibu kota, induk semang, nenek moyang, dewi
malam ('bulan'), putri malu (sejenis bunga), ibu pertiwi, dan ratu adil, dan bukan
*bapak kota, *jago semang, *kakek moyang, *dewa malam, *putra malu, *bapak
pertiwi, dan *raja adil". Dengan memakai ibu, induk, nenek, dewi, putri, dan ratu,
nuansa kesan yang memancar adalah kedamaian, kepasifan, ketenangan,
kesabaran. Agaknya sudah menjadi "kodrat", bahwa kata-kata ini diciptakan
khusus buat yang serba pasif, diam, dan damai.
Sebutan yang bercorak maskulin berkesan menguasai, agresif, garang. Dalam
khasanah kosakata BI klasik kita temukan misalnya raja hutan ('singa, macan'),
raja siang ('matahari'), dewa maut, dewa perang. Dalam kosakata BI
kontemporer, untuk sesuatu yang bersifat garang, pemberani, dan agresif itu,
kita pakai raja jalanan ('suka mengebut'), raja judi, raja copet, bapak
pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan nasional, jago matematika,
jago nggambar, dan jelas bukan *ratu judi, *ratu copet, *ibu pembangunan, *ibu
koperasi, *ibu pendidikan nasional, *babon matematika, *babon nggambar.
Layak dipertanyakan kebenaran ini, memang. Siapa pun tahu, harimau atau
singa yang disebut raja hutan tadi belum tentu berjenis kelamin jantan, dan
memang tidak harus jantan; siapa pun sulit menolak realitas bahwa seorang
siswa yang dipredikati jago matematika belum tentu berkelamin lelaki. Pak Harto
disebut-sebut sebagai "Bapak Pembangunan", Bung Hatta "Bapak Koperasi",
dan Ki Hajar Dewantara "Bapak Pendidikan Nasional". Semua setuju.
Masalahnya, andai saja--memang hanya andai--pelopor pembangunan itu Mbak
Mega, perintis koperasi itu Mbak Tutut, dan tokoh pendidikan itu Bu Toeti Heraty,
apakah kita sportif menyebut ketiga beliau itu sebagai "*Ibu Pembangunan",
"*Ibu Koperasi", dan "*Ibu Pendidikan Nasional"? Saya tidak berani berspekulasi.
R.A. Kartini pun belum pernah disebut "Ibu Pendidikan" atau sebutan lain yang
tidak menuansakan bias gender lelaki.
Sebutan Pelecehan Martabat
Gejala penghalusan pengucapan sesuatu--biasa disebut eufemisme--kadang
memang menerbitkan kesan sopan, tenang, indah, anggun. Seseorang yang
sedang makan siang bersama, dan tiba-tiba perutnya mules, misalnya, ia toh tak
mungkin mengatakan "Maaf, saya mau berak" jika ia belum siap dituduh tidak
sopan. Ia mesti menghaluskan pengucapannya: "Maaf, saya mau ke belakang".
Tentu saja, semua yang makan siang itu benar-benar menyadari bahwa acuan
berak dan ke belakang adalah kurang lebih sama saja. Akan tetapi, konotasi
yang muncul berbeda. Dalam konteks seperti ini eufemisme menemukan
tempatnya untuk diterapkan.p> Bagaimana eufemisme dalam pemartabatan
lelaki-perempuan dalam dunia "kerja"? Masih tepatkah digunakan? Tidak
semuanya. Kata pelacur, karena dipandang vulgar, norak, menjijikkan, harus
"dihaluskan", diganti dengan wanita tunasusila atau WTS--dan justru
singkatannya inilah yang lebih populer. Jadi, orang bisa menepuk dada, seakan
di Indonesia tak ada pelacur lagi, yang ada hanyalah wanita-wanita tuna susila
saja. Perasaan menjadi lega. Bahwa kebanggaan ini baru berada dalam tataran
slogan, dan dalam realitasnya tetap saja "emangnye gue pikirin", itu soal lain.
Sehubungan dengan kajian ini, jika kata WTS digencarkan dan pelacur dihapus,
apakah ini berarti bahwa yang nakal perempuan saja, sedangkan lelaki tak ada
yang tunasusila? Padahal, adalah fakta bahwa "pria penghibur", "bawon",
"gigolo", "teko", "bandot", memang ada. Inilah cermin paling buruk dari
pelecehan gender yang menempatkan perempuan pelacur pada posisi yang
lebih terlecehkan, sekalipun lakon yang dijalani sama persis dengan lelaki
pelacur. Dengan demikian, layak sekali jika perempuan Indonesia tersinggung.5)
Ini diskriminasi perlakuan seksual.
Lalu, bagaimana? Jika istilah WTS tetap dipertahankan, harus ada kata khusus
untuk menunjuk pada lelaki pelacur. Jika boleh, saya akan mengusulkan istilah
"pria tunasusila" atau PTS untuk yang satu ini. Masalahnya, jika PTS dipilih,
mahasiswa perguruan tinggi "luar negeri" se-Indonesia akan memprotes keras.
Dan, saya belum siap diprotes. Maka, ganti lagi dengan yang lain, semisal "lelaki
tunasusila" atau LTS. Dengan ini pembagian kerja secara seksual benar-benar
ada dan adil. Lain lagi jika dipandang tidak usah ada tambahan istilah semacam
LTS itu, WTS pun mesti dihapus, dan diganti dengan kata baru lagi yang netral,
yang mampu mewadahi baik WTS maupun LTS. Atau, barangkali kembali ke
pelacur lagi. Untuk ini, bagaimana kalau saudara-saudara kita yang masih
menderita itu kita sebut saja "manusia tunasusila" (MTS). Masalahnya lagi, ini
jelas memerahkan telinga saudara kita yang belajar, mengajar, atau alumni
madrasah tsanawiyah. Begini saja: orang tunasusila (OTS)?
Degradasi Konsep Martabat
Dengan degradasi, makna kata menjadi enteng, remeh, bahkan ujung-ujungnya
bisa melenceng dari konsep dasarnya. Degradasi terhadap perjuangan kerja
perempuan, misalnya, akan sering muncul di sekitar kita, yang memang
merupakan masyarakat patriarkis. Karena beban kondisi ini, saya sering melihat
kekikukan ibu pekerja ("wanita karier", WK) berpenghasilan tinggi, bahkan
sebagian dari mereka melebihi gaji suaminya, manakala saya tanyakan berapa
gajinya. Mengherankan, gaji tinggi melebihi suami kok malu. Apa salahnya?
Perhatikan kutipan wawancara berikut!
Saya: Wah gajinya besar dong. Cepet kaya, Bu, nanti.
WK : Ah, nggak juga. Itu kan menurut situ.
Saya: Gaji segitu besar lho, Bu. Ini kan di atas gaji suami. Hebat.
WK : Ah, saya kan cuma istri. Jadi, hanya sekadar membantu suami saja.
Pernyataan "cuma istri, hanya sekadar membantu suami" merupakan pantulan
dari rasa kikuk mereka. Pernyataan ini melemahkan realitas yang
sesungguhnya: bahwa mereka benar-benar menolong suami dari banting tulang
mencukupi kebutuhan, jadi tidak sekadar melengkapi, tetapi benar-benar
menyelamatkan ketahanan ekonomi keluarga, sebagai survival strategy. Mereka
malu mengakui. Toh mereka merasa hanyalah figuran pendamping belaka,
semantara suami tercinta adalah aktor utama kepala keluarga. Padahal, mereka
banar-benar bekerja! Itu memang hak dan buah kegigihan mereka.
Kebanyakan dari mereka mengidap semacam "sindrom takut sukses" (fear of
success syndrom), khawatir menyaingi dan menyinggung suami. Aneh, tapi bukti
berbicara bahwa tidak sedikit suami merasa terusik cengkeraman hegemoninya
menerima kenyataan ini. Adalah bukti juga bahwa biarpun bergaji lebih kecil, jadi
memang hanya sekadar membantu--dalam arti yang sesungguhnya--seorang
suami memilih berkelahi ketimbang harus mengakui: "*Ah, saya ini 'kan cuma
sekadar membantu penghasilan istri?"
Sebutan Pembatasan Berkebebasan
Jika orang percaya bahwa lelaki dan perempuan diciptakan sama-sama dari
tanah, sama hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, semestinya tak ada
lagi pemasungan gender satu dan pemerdekaan gender lain. Dengan standar
ganda ini, perempuan dipaksa oleh kulturnya untuk selalu diam, patuh,
mengalah, sebab ramai, melawan, dan sifat agresif lainnya hanya boleh
dilakukan oleh sesamanya yang bergender lelaki. Berikut ini cuplikan obrolan ibu
dengan anak perempuannya (AP) yang hendak menuntut Pak Lurahnya yang
telah memotong kiriman duit dari suami di perantauan (Malaysia) perempuan itu,
perhatikan!
Ibu: Kamu nggak bisa begitu. Bagaimanapun dia itu wong dhuwur lho. Lurah kok
mau dilawan.
Kita ini orang kecil, Nduk. Lagipula, kita itu kan perempuan to. Dipikir ...,
Nduk!
AP : Mbok, tapi ini kan duit laki saya. Jadi ya termasuk duitku juga. Aku kan
bininya.
Di Malaysia dia kan kerja keras. Apa dikira di sana dia cuma kluyuran tok.
Siang
malam dia kerja keras kayak kuda. Ee ... kok di sini dipotong orang
seenaknya.
Emangnya duit kakeknya!
Ibu: Kamu itu dinasihati kok sukanya ngeyel. Nduk, ingat kamu itu perempuan
lho. Cuma
perempuan. Nggak ada ceritanya, perempuan bisa menang. Perempuan saja
kok macem
-macem. Mbok tunggu saja nanti kalau lakimu sudang pulang. Biar dia yang
ngurus.
Ini urusan lelaki. Sementara diam dan nerimo saja.
Dalam fragmen wacana di muka dipertentangkan soal apa yang pantas dan apa
yang tabu dilakukan oleh perempuan. Soal gugat-menggugat--menggugat pak
lurah lagi--bukan kawasan garapan perempuan. Ini urusan lelaki. Dalam kasus
ini AP dan Ibu tidak hanya menderita karena mereka wong cilik (rakyat jelata),
tetapi juga karena gender mereka yang bukan lelaki. Maka, sempurna sudah
kekalahan mereka. Masyarakat luas menerima pandangan ini sebagai
kebenaran. Maka, lelaki di sekitarnya akan memandang AP sebagai perempuan
aneh, bahkan tak tahu diri. Malahan, ibunya sebagai sesama perempuan pun
tidak berpihak kepadanya. "Perempuan saja kok macem-macem," katanya. Inilah
dampak nyata hegemoni ideologi patriarki.
Tentu saja, Ibu ini tak salah. Dia memang hidup dalam penjara budaya
masyarakat yang patriarkis, yang secara tegas menempatkan perempuan
sebagai perawat sektor domestik, sedang lelaki sebagai penguasa sektor publik
(Budiman, 1981), dengan imbangan penghargaan yang tak sama. Inilah produk
paling diskriminatif dari pembagian kerja secara seksual (sexual division of
labour) (Beneria, 1979: 205). Ungkapan bahwa soal menggugat pak lurah, ini
urusan lelaki, dalam wacana di atas, merupakan fakta yang tak terbantahkan
dalam pembagian yang tak adil ini.
Sebagai bandingan, perhatikan dialog rekayasa berikut. Pada masyarakat yang
kebudayaannya berada dalam cengkeraman hegemoni lelaki, seperti lingkungan
kita ini, mungkinkah dialog antarlelaki berikut dapat kita temui?
*Gede: Sudahlah kita mengalah saja. Apa sih jeleknya orang ngalah. Ingat kita
ini kan lelaki. Masak mau menuntut pak lurah. Kan nggak pantas.
*Bejo: Iya ya, ... kita 'kan lelaki. Lelaki saja kok macam-macam.
Pembagian kerja secara seksual juga menempatkan citra (image) apa yang
selayaknya pantas muncul dan apa yang haram nongol dalam wacana,
percakapan, atau peristiwa tutur lainnya. Realitas citra ini begitu kuatnya
sehingga melembaga ke dalam berbagai matra kehidupan, salah satunya dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam buku-buku bacaan. Di sini masyarakat
membangun stereotipe apa yang pantas untuk lelaki dan apa yang boleh
dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, yang paling sering kita baca dalam
buku adalah contoh-contoh kalimat berikut.6)
· Ayah memperbaiki mesin mobil.
· Ibu menjahit baju.
· Ibu memasak di dapur.
· Adikku yang manis menimang boneka.
· Aku bermain layang-layang.
Gelegar sadar kemitrasejajaran membahana membubung tinggi saat ini. Semua
pihak menyadari bahwa pembagian kerja secara seksual itu tidak adil dan hanya
membuang sia-sia energi perempuan yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi
pembangunan. Akan tetapi, tindakan dalam wilayah semantis kultural misalnya
bahasa yang mendukung perobohan tembok ketimpangan gender itu belum
muncul juga. Malahan, kalau boleh menduga, pembakuan bahasa Indonesia
lewat penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) pada 1988
(edisi II 1993), entah sadar entah tidak, boleh jadi justru merupakan upaya
melanggengkan kemapanan status quo hegemoni patriarki di masyarakat kita.
Kalimat-kalimat yang dicontohkan, misalnya, tampak benar tidak bebas muatan
politik gender maskulin. Perhatikan kutipan dari TBBBI berikut.
1. Ayah sudah berangkat ke kantor. (hal. 427)
2. Siti masih sering pulang malam, atau malah pagi buta. (438)
3. Ibunya terus menjahit sampai tengah malam sungguhpun dia telah
merasakan adanya kelainan dalam dadanya. (460)
4. Ibu sedang memasak, sedangkan ayah sedang membaca koran. (463)
5. Suami Lastri baru pulang dari Amsterdam. (473)
6. Dokter H. Kamaruzzaman (52 tahun), Direktur RSU Dr. Zainal Abidin,
Banda Aceh, Jumat malam meninggal secara mendadak. (477)
7. Aku suka kepada wanita itu sebagai sekretaris, dan dia sangat
menyenangkan sebagai kawan, tetapi jelas akan menyusahkan sekali
sebagai kawan hidup. (478)
Contoh-contoh ini diambil secara acak dari dua bab terakhir, yang memang
membahas kalimat dan wacana. Akan tetapi, jika bab-bab lain ditelaah, hasilnya
sama saja. Kalau dicermati, tampak benar bahwa kalimat-kalimat ini memang
bias gender: memihak lelaki, menohok perempuan. Pada kalimat (1), apakah
yang bekerja di kantor hanya dimonopoli ayah? Kalimat (2) pembaca pasti
menarik kesan negatif pada Siti yang pasti perempuan itu. Coba diandaikan, jika
Siti diganti Suto (ini pasti lelaki) apakah yang muncul tetap kesan minor?
Mengapa hanya lelaki yang pantas begitu? Kalimat (1), (5), (6), dan (7)
mengukuhkan lelaki melenggang di sektor publik (public sphere), sedangkan
pada kalimat (2), (3), dan (4) perempuan dipaksa berkutat di kesumpekan
kawasan domestik (domestic sphere).
Bahwa contoh-contoh kalimat itu ditulis hanya secara kebetulan, itu mungkin
saja. Akan tetapi, semua penulis TBBBI adalah masyarakat Indonesia, hidup
bergumul dengan masyarakat yang mendominankan nilai lelaki dan
mensubordinasikan nilai perempuan. Jadi, jika mereka terperangkap dalam
budaya patriarki seperti itu, ini bukan barang aneh. Apalagi--harap tahu saja--
92% dari tim penyusunnya lelaki tulen, hanya seorang yang perempuan.7)
Sebutan Negatif, Sebutan Positif Berdasarkan kategori ini, kesan remeh, sepele,
kecil, yang hanya mengganggu saja, pantas dikenakan pada perempuan.
Sementara, mitos soal-soal besar, penting, yang menentukan segalanya, hanya
layak untuk lelaki. Padahal, dalam kenyataan lelaki pun sama saja, bahkan
mungkin lebih negatif, dari perempuan. Begitulah, karena yang distereotipekan
cerewet adalah perempuan, muncullah ungkapan "dasar mulut nenek-nenek"
atau "dasar mulut perempuan", dan bukan "*dasar mulut kakek-kakek" atau
"*dasar mulut lelaki". Padahal, menurut pengamatan D. Spender (1980), lelakilah
yang mendominasi pembicaraan, melontarkan interupsi, sementara perempuan
dicatat lebih banyak bertanya menanggapi lelaki.
Kenyataan yang menguntungkan diterima oleh kaum lelaki. Jika ungkapan mulut
perempuan, dasar betina, misalnya, menempati kesan buruk, tidak demikian
halnya dengan bersikap jantan. Bahkan, meskipun dasar laki-laki sebenarnya
juga minor, posisinya terkesan lebih "mahal" di atas dasar betina, misalnya.
Sebutan Penstandaran Gender Adalah realitas kehidupan bahwa di dunia ini
selalu ada sesuatu yang berada dalam garis kontinum. Kontinum standar
"besar", misalnya mencakup dari sangat besar, agak besar, agak kecil, sampai
sangat kecil; demikian juga "berat", "tinggi", dan "banyak", dll. Dalam kontinum
tersebut, lazimnya yang dipakai sebagai ukuran (standar) adalah posisi yang
mayor (berat, tinggi, besar, banyak, tebal) dan bukan yang minor (ringan,
rendah, kecil, sedikit, tipis). Oleh karena itu, dalam percakapan tentang berat
badan dan tebal papan, misalnya, kalimat yang mungkin muncul adalah "Berapa
berat badanmu?" dan "Tebal papan kayu ini 0,15cm", dan pasti bukan "*Berapa
ringan badanmu?" dan "Tipis papan kayu ini 0,15cm." (biarpun 0,15cm itu
memang tergolong relatif tipis). Mengapa demikian? Ya, memang begitu: bahwa
yang ditetapkan sebagai standar pasti yang mayor, bukan yang minor!
Bagaimana dalam ranah pergenderan? Ini baru masalah! Seperti diketahui,
hakikatnya, hanya ada dua kontras gender: lelaki >< perempuan, feminin ><
maskulin, jantan >< betina. Oleh karena itu, tidak bisa konsep dasar dikotomi
gender ini ditempatkan pada garis kontinum; hakikatnya, memang tidak ada
"*sangat lelaki", "*agak perempuan", "*lebih betina", misalnya. Akan tetapi, lain
konsep, lain fakta. Dalam realitas empiris, kelompok gender lelaki/maskulin
selalu dijadikan ukuran, rujukan, bandingan, standar. Maka, untuk memandang
gender perempuan/feminin pun, standar bakunya juga kebakuan lelaki/maskulin.
Barisan lelaki dianggap superior, tegar, dan rasional, sedangkan perempuan
selalu ditempatkan pada stereotipe emosional, sentimentil, cengeng, malu-malu.
Barangkali, inilah sebabnya mengapa yang ada adalah "putri malu" dan bukan
"*putra malu". Oleh karena itu, jika seorang perempuan terlihat malu-malu, itu
sudah semestinya, sudah "kodrat".8) Maka, yang pantas menduduki posisi
kepala keluarga adalah ayah dan bukan ibu.
Sebagai standar, segala perilaku lelaki yang distereotipekan masyarakat harus
diikuti, jika ingin disebut jantan atau lelaki sejati. Seorang lelaki harus bersikap
laki-laki. Lelaki yang terkesan klemar-klemer, lamban, pasif, kewanita-wanitaan
akan dipandang negatif: "Lelaki kok begitu". Sebaliknya, seorang perempuan
yang "tomboy", yang kelaki-lakian--asal tidak terlampau jauh saja, asal masih
mau dandan dan berparfum--menerima nasib yang berbeda, yang tidak negatif.
Maka, kesan apa yang muncul mendengar/membaca kalimat-kalimat berikut?
8. Doni mengenakan rok mini.
9. Dina memakai celana.
10. Cowok atletis itu malu-malu, grogi, keluar keringat dinginnya.
11. Cewek seksi itu tampil yakin dan penuh percaya diri.
Lelaki pakai rok? "Ah, yang bener aja!" Bisa-bisa yang bersangkutan dianggap
miring. Umumnya orang, entah lelaki entah perempuan, akan berkonotasi negatif
terhadap kalimat (8) dan (10). Sebab, "rok mini, malu-malu, grogi" bukan
standar. Itu 'kan khas perempuan. Jangan lupa, yang berbau perempuan itu
nonstandar. Bukankah standarnya selalu "celana, yakin, PD", sebagai akibat dari
penetapan gender lelaki sebagai standar? Sebaliknya, terhadap Dina dan cewek
seksi itu pada kalimat (9) dan (11), orang akan mempersembahkan konotasi
positif, sebab ciri-ciri yang disosokkan kedua perempuan itu sudah maskulin,
artinya sudah standar.
Inilah biang kerok persoalan realitas simbolis bahasa: bahwa jika disebut
mahasiswa, yang dimaksud adalah baik mahasiswa lelaki maupun mahasiswa
perempuan, tetapi jika yang disebut mahasiswi, yang dimaksud pastilah hanya
mahasiswa perempuan. Maka, orang pun latah, dan khawatir: jika hanya disebut
"wartawan", "sastrawan", "polisi" saja, apakah orang sudah paham pasti; ini
harus ditegaskan lagi, jika yang dimaksud adalah oknum perempuan, sehingga
menjadi wanita wartawan , sastrawan wanita, dan polisi wanita (polwan).
Realitas simbolis ini memantulkan anggapan diam-diam bahwa jurnalistik, sastra,
dan kepolisian itu seakan-akan sektor garapan lelaki, bukan kodratnya
perempuan. Dalam kebudayaan Barat, bahkan lebih gila lagi; ini tercermin dalam
bahasanya juga.9)
Lelaki memang menjadi standar. Dalam bahasa Inggris, misalnya, untuk
menyebut manusia pada umumnya, orang meminjam kata man, dan bukan
woman. Artinya, kalau disebut man, yang dimaksud adalah 'baik lelaki maupun
perempuan', akan tetapi jika disebut woman, yang diacu pastilah 'hanya
perempuan'. Sebab, sekali lagi, lelaki itu standar, sedang perempuan
substandar, "belum manusia utuh". Maka, layak saja, ketika D. Spender
bermaksud menggambarkan bahwa manusialah pencipta bahasa,
sebenarnyalah tersirat juga anggapan bahwa yang lebih banyak menentukan
adalah lelaki. Denggan kondisi ini, Spender mesti meminjam dulu kata man, dan
bukan woman, untuk konsep manusia. Maka, ia menjuduli bukunya Man Made
Language (1980), dan bukan *Woman Made Language.10)
Keniscayaan Struktur akibat Konvensi Kebudayaan Masyarakat
Dalam kebudayaan kita, ada kesepakatan legal membudaya bahwa yang bisa
"mengawini" dan "menceraikan" adalah lelaki, sedangkan perempuan, sabar
atau tidak, hanya bisa "dikawin" dan "diceraikan" saja. Dalam keadaan terpaksa,
pihak perempuan yang merasa sudah tidak percaya lagi pada lelaki, akan
bertindak aktif dan menuntut. Biarpun begitu, tetap saja, dia hanya bisa "minta
dikawin" dan "minta diceraikan". Undang-undang perkawinan (katanya sih)
begitu. Maka, langsung bisa ditebak siapa yang diacu "saya", "aku", "kamu", dan
"dia" dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Saya mau mengawinimu asal kamu tidak menuntut macam-macam.
2. Seandainya sekadar boros dan cerewet saja, aku masih bisa menerima.
Tapi, masalahnya dia itu selingkuh. Maka, tak ada pilihan lain, aku akan
menceraikannya, meskipun sebenarnya aku masih cinta.
Bagaimana seandainya pihak perempuan yang lebih kaya, berkuasa,
berkedudukan, lebih tinggi statusnya daripada lelaki? Selama jarum sejarah
budaya masyarakat masih berputar pada lingkaran ideologi patriarki, obsesi
perempuan untuk dapat mengawini dan menceraikan lelaki benar-benar bagai
menunggu tenggelamnya perahu gabus atau terapungnya batu. Sungguh utopis!
Dalam tuntutan struktur bahasa, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S),
predikat (P), kemudian juga objek (O) dan keterangan (K), dengan pola urutan
ketat P-O dengan letak S dan K manasuka, kalimat "*Leli mengawini Joko" atau
"*Joko dicerai Leli", apa salahnya. Tetapi, soal bahasa bukan hanya struktur,
melainkan juga realitas kultur. Dalam kultur masyarakat kita, seorang perempuan
dapat "kawin dengan", "minta cerai dari", "bercerai dari", dan "diceraikan oleh",
tetapi tidak dapat "mengawini" atau "menceraikan" lelaki (Moeliono &
Dardjowidjojo, 1988; Alwi dkk., 1993). Maka, kalimat semacam "Joko mengawini
Leli" atau "Leli diceraikan Joko" berada dalam keniscayaan struktur. Kepastian
struktur ini mengukuhkan dirinya karena kultur, bukan karena struktur.
Inisiatif Ekspresi dalam Komunikasi
Entah sampai kapan, kebiasaan yang dianggap wajar dan baik adalah lelakilah
pengambil inisiatif pertama, sedang perempuan hanya pantas menunggu dan
merespon inisiatif sang lelaki pujaan. Tugas masing-masing terbelah tegas: lelaki
beraksi, perempuan bereaksi. Oleh karena itu, dalam dunia komunikasi
(pergaulan, perpacaranan, perkencanan), misalnya, yang sering terjadi adalah
lelaki yang mengungkapkan cinta lebih dulu, lelakilah yang mengirimi surat cinta
lebih dulu. Ini menunjukkan bahwa inisiatif ekspresi atau prakarsa pengucapan
berada di tangan lelaki. Mustahilkah perempuan menyatakan perasaan cintanya
terlebih dahulu? Tidak juga. Memang terjadi dan tidak hanya satu dua. Tetapi,
jelas bahwa yang oleh masyarakat dianggap wajar dan pantas memulai,
memprakarsai, dan berinisiatif adalah pihak lelaki. Bahwa setelah mereka resmi
pacaran, atau resmi nikah, perempuan mendahului "menyergap" itu soal lain.
Perempuan yang "kebelet" nekat terus terang menyatakan perasaannya terlebih
dahulu ("Aku cinta kamu") harus siap disoroti dengan nada minor: Perempuan
kok begitu! Tetapi, makhluk Tuhan yang satu ini tak kehabisan taktik. Dia
menyiumpan sebuah rekayasa simbolis: tetap lebih dahulu menyatakan
perasaannya, tetapi tidak transparan, "tidak langsung buka kulit, tampak isi".
Biasanya, ia akan menyelubungi gejolak perasaan yang diekspresikan dengan
kata-kata samar, dibantu dengan sikap sedikit malu-malu, isyarat dan perhatian,
dan pilihan konteks situasi yang tepat. Repotnya kalau sang lelaki tidak segera
menangkap isyarat itu, entah karena memang lelaki ini tergolong tidak mengerti,
bebal, goblog, atau mungkin sebenarnya mengerti, tetapi pura-pura tidak tahu:
sungguh celaka!
Inisiatif ekspresi semacam ini merupakan sebuah konvensi budaya. Maka,
pembaca atau pendengar mana pun segera dapat menarik implikasi
konvensionalnya (Samsuri, 1996): siapa yang dirujuk oleh kata aku (ku) dan dia
(ia) dalam kutipan berikut. Aku sangat mencintainya. Jika nanti sudah menjadi
milikku, akan kusayangi dia. Akan kucium keningnya. Kubelai rambutnya dan
kuremas jarinya yang lentik itu. Tetapi, aku ragu, apa dia mau. Meskipun tidak
disebut eksplisit siapa "aku" dan "dia" dalam kutipan ini, orang tidak akan salah
menangkap siapa "aku" dan "dia" tersebut: "aku" pasti lelaki dan "dia" niscaya
perempuan, lain tidak. Mengapa? Ya itu tadi, budaya masyarakat telah
memagari simbol dan mempedomani interpretasi terhadap simbol-simbol bahasa
itu.
Simpulan: Mau ke mana Bahasa Indonesia?
Ketimpangan gender masyarakat Indonesia tercermin ke dalam BI berwujud:
(1) penambahan nama sebagai penanda status keluarga/perkawinan;
(2) penyebutan keberadaan dan tindakan, meliputi:
(a) sebutan kemaskulinan dan kefemininan,
(b) sebutan pelecehan martabat,
(c) sebutan degradasi konsep dasar martabat,
(d) sebutan pembatasan berkebebasan,
(e) sebutan kenegatifan dan kepositifan, dan
(f) sebutan penstandaran gender;
(3) keniscayaan struktur akibat konvensi kebudayaan, dan
(4) inisiatif ekspresi dalam komunikasi.
Quo vadis ketimpangan gender ini? Dari keempat deskripsi ketimpangan gender
dalam BI ini, tampaknya yang mungkin bisa berubah adalah penambahan nama
penanda status, sebagian penyebutan keberadaan dan tindakan, dan inisiatif
ekspresi. Perubahan ini akan terjadi sejalan dengan perubahan masyarakat
berikut nilai, pandangan hidupnya, khususnya terhadap eksistensi gender. Ada
gejala sebagian perempuan karier tidak lagi menambahi namanya dengan nama
ayah atau suaminya. Sebutan pelecehan martabat gender, semacam WTS, bisa
jadi akan tergeser sejalan dengan kesadaran perempuan bahwa yang bisa
bertuna susila bukan hanya monopoli perempuan. Apalagi inisiatif ekspresi,
sekarang rasanya bukan aneh jika perempuan lebih dulu menyatakan cintanya.
Sekalipun yang terakhir ini lebih merupakan kasus parsial sporadis belaka, bisa
diprediksikan pada masa-masa mendatang fakta ini akan berkembang, sejalan
dengan semakin samar dan relatifnya nilai moral masyarakat, terutama dalam
menyikapi gender, dalam arus globalisasi budaya yang kian "nyah-nyoh"
(permisive) ini.
Konvensi budaya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
mendudukkan lelaki di atas segala-galanya. Dengan begini, konvensi
masyarakat memposisikan lelaki sebagai standar mutu, baik dalam memandang
lelaki maupun perempuan. Konvensi ini juga telah menarik garis tegas stereotipe
lelaki dan stereotipe perempuan dengan hasil yang sudah jelas sama-sama kita
sadari: ketimpangan gender. Dalam posisi yang serba timpang ini, lelaki
mendominasi, sedang perempuan tersubordinasi, ke dalam peran-peran yang
dikontrol oleh cengekeraman hegemoni lelaki.
Karena bahasa mewadahi realitas masyarakat yang timpang seperti itu, bahasa
Indonesia berada dalam genggaman lelaki. Dengan demikian, bahasa ini
mungkin bergender lelaki. Sampai kapankah bahasa kita berkelamin lelaki?
Sampai kapankah dendang lagu "... wanita dijajah pria ... sejak dulu" terus kita
nikmati? Kita tak mungkin menjawabnya "Belum tahu dia!" sebab persoalan ini
menyangkut semua segi kehidupan masyarakat, tempat BI digunakan dan
peluang BI mewahanai kehidupan itu.
Catatan
1. Dengan begini, pada sisi satu bahasa merupakan bagian budaya,
sedangkan pada sisi lain ia menjadi wahana, wadah, dan alat budaya.
Keunikan ini membuktikan bahwa bahasa itu "bermuka dua". Periksa:
Samsuri, ". Kebudayaan, masyarakat, dan bahasa Indonesia. Buletin
Yaperna, Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan, 1975: 14--23; juga
dalam "Kebudayaan dan Bahasa Indonesia", Kertas Kerja Seminar Bulan
Bahasa di FPBS IKIP Malang, 28 Oktober 1986.
2. Ideologi patriarki memandang bahwa wanita itu inferior, lemah, bodoh, tak
berdaya, dan hanya bisa bergantung pada lelaki, maka demi
kelangsungannya mereka harus "dibimbing" (baca: dikuasai!) terusmenerus
oleh lelaki yang dianggap lebih superior, kuat, pintar. Lihat Arief
Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: PT Gramedia,
1981). Konsep ini dekat dengan seksisme, ketimpangan gender, dominasi
lelaki, subordinasi perempuan, supremasi kekuasaan lelaki, dan
hegemoni pria.
3. Banyak sekali kajian yang menerapkan pendekatan perilaku, sekadar
contoh: Mies Grijns dkk., "Gender, Marginalisation and Rural Industry",
Warta Studi Perempuan, Vol. No. , 1994; Muh. Asfar, "Wanita dan Politik:
antara Karir Pribadi dan Jabatan Suami", Prisma XXV/5, Mei 1996.
4. Dengan pendekatan verbal, ketimpangan gender dalam bahasa Inggris
dikaji oleh Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to
Language, Edisi V, Cet. V (Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc.,
1993), khususnya bab "Language in Society", subbab 'Language and
Sexim' (hal. 306--312); tinjauan sekilas terhadap ketimpangan gender
dalam bahasa Inggris dan Indonesia, lih. Siusana Kweldju, "Penelitian
Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian Stereotipi Seks", Warta
Studi Perempuan, Vol. 4, No. 1, hal. 7--18, 32; juga Kweldju (1991).
5. Inilah salah satu tajuk bincang Samsuri dalam orasi ilmiahnya pada Rapat
Senat Terbuka Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dalam rangka dies
natalisnya yang ke-38, 24 Agustus 1996, dimuat dalam jurnal FSU in the
Limelight, Vol. 5, No. 1, Oktober 1996, hal. 1--14.
6. Dalam hal ini saya (dkk.) pernah mengadakan penelitian tentang ini
berjudul "Ideologi Gender-Patriarki dalam Buku Teks Bahasa Indonesia
Sekolah Dasar" (Divisi Pemberdayaan Perempuan, LPK2I, 1994).
Temuan penelitian itu adalah bahwa 74% dari semua buku teks pelajaran
Bahasa Indonesia untuk SD, terbitan dari 17 penerbit penerbit di Jawa
Timur dan jawa Tengah, selalu menempatkan pelaku lelaki (bapak,
abang, aku) pada sektor atau tindakan yang secara stereotipis layak
dilakukan oleh maskulin (memperbaiki mesin, bermain layang-layang),
sebaliknya selalu memposisikan perempuan terpuruk dan berkutut dalam
sektor dan tindakan yang stereotpe feminin (memasak, bermain boneka).
7) TBBBI edisi I (1988), dari 11 penyusun, hanya 1 orang saja yang
perempuan (W.H.C.M. Lalamentik, Ph.D.). TBBBI edisi II (1993), dari 14
pakar bahasa yang memberikan saran penyempurnaan, hanya 2 orang
yang perempuan. Inilah sumber kecurigaan bahwa gender lelaki
mendominasi perempuan dan itu membayangi contoh-contoh kalimat
pada buku itu.
7. Bagi pejuang Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal, hanya ada tiga
hal yang bisa dikategorikan ke dalam "kodrat wanita", yaitu menstruasi,
melahirkan, dan menyusui--sesuatu yang memang hanya bisa "dilakukan"
oleh perempuan. Lih. S. Harding, The Science Question in Feminism
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1986). Dalam pandangan
kelompok ini, mengasuh anak, memasak, merawat rumah bukan monopoli
perempuan, merupakan peran-peran yang bisa berubah sesuai dengan
budaya masyarakat (nurture), dan bukan kodrat (nature) perempuan,
sebab lelaki juga (harus) bisa.
8. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan beberapa saja. The American
College Dictionary (1947) mendefenisikan bahwa "doctor, n, ... a man of
great learning". Graduate School of Management UCLA (The Balloon
XXII, 6) menulis: "A businessman is agressive; a businesswoman is pushy
.... A businessman is good on details; she's picky ... He follows through;
she doesn't know when to quit ... He stands firm; she's hard .... He is a
man of the world; she's been around .... He isn't afraid to say what is on
his mind; she's mouthy .... He exercises authority diligenttly; she's power
mad .... He's closemouthed; she's secretive. He climbed the ladder of
success; she slept her way to the top. Bahkan, lebih tegas lagi, Fromkin
dan Rodman, Opcid., hal 307, mengutip: "When I asked 'What walks on
four legs in the morning, two at noon, and three in the evening', you
answerd, 'Man'. You didn't say anything about women. When you say
Man, ... you include women too. Everyone knows that." Lihat juga konsep
gender dalam Crystal (1985: 133-134).
9. Lih. D. Spender, Man Made Language (London: Routledge & Kegan Paul,
1980).
Daftar Pustaka
Bhasin, K. 1990. What is Patriarchy. New Delhi: Kali for Women.
Budiman, A. 1981. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.
Coates, J. 1986. Women, Men and Language: A Sociolinguistic Account of Sex
Differences in Language. London: Longman.
Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya. 1997. Masalah dominasi gender dalam
Developmentalisme. Tempo Interaktif, II/16, 23 Juni.
Frank, F. dan F. Ashen. 1983. Language and the Sexes. New York: State
University of New York Press.
Jupriono, D. 1995. Kamus Kecil Istilah Studi Perempuan. Malang: Divisi
Pemberdayaan Perempuan, LP3K Multimatra.
Kirk, J. dan M.L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research.
Beverly Hills: Sage Publication.
Kweldju, S. 1993. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian
stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4/1: 7--18.
Samsuri. 1996. Bahasa Indonesia, pemakaiannya, dan implikasi
kemasyarakatannya. FSU in the Limelight, V/1, Oktober 1996, hal. 1--14.
Spender, D. 1985. Man Made Language. London: Routledge & K. Paul.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Sukesi, K. 1991. Seksisme. Warta Studi Perempuan Vol 2, No. 1: 40 Wullur, V.
1991. Beberapa catatan tentang Feminisme. Warta Studi Perempuan Vol 2, No.
1: 35--39.
_________________
Suara Tinta
Kepunahan Bahasa
Ditulis dalam Opini oleh lidahtinta pada Desember 13, 2009
oleh Herman RN
Di dunia ini, terdapat lebih dari 7.000 bahasa yang digunakan oleh
penutur. Dari jumlah ini, 300-an bahasa memiliki pentur per satu juta lebih. Bahasabahasa
ini tersebar di seluruh penjuru dunia hingga ke pelosok-pelosok daerah terpencil
sekalipun. Ironisnya, bahasa-bahasa yang terdapat di pelosok dimungkinkan akan punah
(hilang). Namun, kepunahan bahasa tidak terkecuali di kota-kota besar yang sarat arus
globalisasi.
Disebut “punah” tatkala bahasa pertama (bahasa dulu) tidak dipakai lagi semenjak
masuknya bahasa kedua (bahasa sekarang). Hal ini mesti dicermati terkait lokasi.
Misalnya, dahulu terdapat bahasa Portugis di Lamno, Aceh Jaya. Namun, setelah
tsunami, seiring banyaknya penutur-penutur bahasa Portugis hilang dalam gelombang
tsunami, bahasa Portugis tidak didapati lagi di Lamno. Artinya bahasa Portugis sudah
“punah” di Lamno, tetapi tidak untuk wilayah Eropa.
Berikut ini diuraikan beberapa penyebab kepunahan bahasa.
1. a. bencana alam
Seperti dijelaskan di atas, bencana tsunami telah menjadi salah satu penyebab kepunahan
bahasa. Kasus sederhananya terjadi di Calang. Bencana serupa juga dapat terjadi akibat
peperangan. Sebuah wilayah yang manakala orang-orang di daerah itu terbunuh
semuanya, dimungkinkan bahasa yang digunakan di sana juga ikut punah. Namun,
bahasa yang sama bisa jadi masih hidup jika ada penuturnya yang masih mengunakan
bahasa itu di daerah lain. Terhadap masalah ini, belum ditemukan persentase penutur
pengguna bahasa yang layak disebut punah atau belum. Apakah jika hanya tersisa 10%
penutur suatu bahasa, bahasa tersebut sudah dianggap punah? Ini masih menjadi sebuah
perdebatan, karena ada asumsi kata “punah” sama dengan hilang total.
1. b. orang tua
Orang tua juga menjadi bagian dari penyebab punahnya suatu bahasa. Hal ini terjadi
tatkala ada orang tua yang tidak mau lagi mengajarkan anaknya berbahasa daerah.
Akibatnya, bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu si orang tua tidak akan memiliki
regenerasi sehingga kepunahan akan terjadi.
1. c. lingkungan
Faktor orang tua di atas juga berhubungan dengan faktor lingkungan. Umumnya, orang
tua-orang tua yang tinggal di perkotaan yang enggan berbahasa daerah dengan anakanaknya,
termasuk dengan kerluarga secara luas. Faktor lingkungan juga disebabkan
“malas”-nya masyarakat berkomunikasi dengan bahasa daerah dalam interaksi seharihari.
Kecenderungan ini terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Beberapa
negara di antaranya memiliki populasi etnik tak lebih dari 5.000 orang, meskipun
beberapa di antaranya memiliki jumlah populasi etnik yang cukup besar, seperti bahasa
Lenca (36.858 orang) dan bahasa Pipil (196.576 orang) di El Salvador. Namun, penutur
aktif kedua bahasa ini hanya sekitar 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah
terancam punah di antara populasi totalnya yang relatif banyak.
Menurut Kloss (1994), kepunahan bahasa itu dapat disebabkan pula oleh tiga hal: (1)
kepunahan bahasa tanpa pergeseran bahasa (guyup tuturya lenyap); (2) kepunahan
bahasa karena pergeseran bahasa (guyup tutur tidak berada dalam “wilayah tutur yang
kompak” atau bahasa itu menyerah pada pertentangan intrinsik prasarana budaya modern
yang berdasarkan teknologi; dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis
(misalnya, sebuah bahasa yang turun derajat statusnya menjadi status dialek karena
guyup tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa tersebut, melainkan mulai menulis
dengan bahasa lain).
6 komentar
« PELANGI PUTIH
Pengembangan Keterampilan Wacana »
6 Tanggapan
BAHASA ARAB SEBAGAI AKAR BIAS GENDER DALAM
WACANA ISLAM
4 September 2009 No Comment
Bahasa Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan Muslim di berbagai
belahan dunia. Isma’il dan Lois Lamya al-Faruqi secara tepat menggambarkan fenomena
ini sebagai berikut:
Dewasa ini bahasa Arab merupakan bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat
dan Afrika Utara yang merupakan dua puluh dua negara yang menjadi anggota Liga
Negara-Negara Arab. Di bawah pengaruh Islam, bahasa ini menentukan bahasa Persia,
Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen
kosakata untuk bahasa-bahasa ini, dan kuat pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu,
dan kesustraannya. Bahasa Arab merupakan bahasa religius satu milyar Muslim di
seluruh dunia, yang diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga merupakan
bahasa hukum Islam, yang setidaknya dalam bidang status pribadi, mendominasi
kehidupan semua Muslim. Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di
beribu-ribu sekolah di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai Filipina, bahasa Arab dipakai
sebagai bahasa pengajaran dan kesusastraan dan pemikiran di bidang sejarah, etika,
hukum dan fiqh, teologi, dan kajian kitab.[1]
Didukung dengan beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi
masyarakat Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa al-Qur’an harus ditulis
dan dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang
sebagai sesuatu di luar al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil di mana ia
justru harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks aslinya. Doktrin
pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual ibadah hanya dianggap sah jika
dilakukan dalam bahasa Arab. Tak pelak doktrin-doktrin seperti ini telah memacu
motivasi masyarakat Muslim untuk mempelajari dan menguasai bahasa Arab sejak dini
agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an bahkan tidak hanya dipelajari cara
membacanya, tetapi juga dihafalkan kata perkata secara utuh.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan kegiatan berpikir sehingga sistem bahasa yang
berbeda akan melahirkan pola pikir yang berbeda pula.[2] Oleh karena itu pengaruh
bahasa Arab pada berbagai bahasa masyarakat non Arab berarti pula pengaruh dalam cara
berpikir dan cara bersikap masyarakat Muslim di seluruh dunia. Hal ini terlihat dari
kecenderungan masyarakat Muslim untuk memahami segala sesuatu yang Islami (sesuai
dengan Islam) dengan Arabi (sesuai dengan Arab). Menjadi Muslim yang menyeluruh
(kaffah) seringkali diekspresikan dengan menjadi orang Arab dengan berbagai artibutnya
seperti bergamis, bersorba, berjenggot, berjubah, berjilbab, bernama Arab, bermusik
padang pasir, dsb.
Sebagai konvensi, bahasa merupakan kesepakatan sebuah masyarakat. Ia diwariskan
secara turun-menurun oleh generasi pemakainya. Demikian juga tradisi, pemikiran,
keyakinan maupun ajaran agama yang disimbolkannya. Melalui ajaran Islam, bahasa
Arab secara tidak langsung terus mempengaruhi masyarakat muslim dalam cara pandang,
berpikir dan bersikap secara turun temurun. Transformasi ini dilakukan secara sistematis
di madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam melalui buku-buku berbahasa Arab
yang menjadi literatur utama.
*) Nur Rofiah (rofiah_nur@yahoo.com) adalah Dosen Bidang Tafsir Institut PTIQ
Jakarta. Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam di Grand Hotel
Lembang, Minggu-Kamis, 26-30 November 2006.
[1] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas
Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 59.
[2] Roger Trigg, Understanding Social Science (Oxford: Basic Blackwell, 1985), h. 188
Home | Login
Since Sep-03 '09
· widget
GENDERANG GENDER: Stereotipe Perempuan dalam Bahasa
Indonesia
Posted by PuJa on September 17, 2009
Meka Nitrit Kawasari*
http://suaramerdeka.com/
BAHASA merupakan komponen komunikasi yang paling utama dalam kehidupan. Ia
merupakan sarana untuk mengungkapkan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia.
Keterkaitan antara bahasa, kehidupan, dan kelompok sosial menimbulkan bermacam cara
dan bentuk pemakaian bahasa.
Pemakaian bahasa itu timbul berdasarkan jenis kelamin, status sosial, latar belakang
budaya, dan sebagainya. Pemakaian bahasa berdasarkan jenis kelamin, yaitu perempuan
dan laki-laki, akan mengarah kepada gender. Bahasa yang dipakai keduanya tentu akan
berbeda, sehingga menimbulkan penstereotipan perempuan dalam bahasa.
Hal ini terjadi apabila dilihat dari aspek biologis, psikologis, dan metodologis perempuan
yang selalu merupakan subordinat laki-laki. Ditambah adanya budaya Jawa yang
menjadikan perempuan sebagai kanca wingking bagi laki-laki dengan tugas macak
(dandan), masak (memasak), dan manak (melahirkan). Seolah-olah perempuan adalah
seseorang yang harus memenuhi, memelihara, dan menyelesaikan urusan rumah tangga.
Pemakaian bahasa berdasarkan jenis kelamin tidak urung akan merembet ke penggunaan
bahasa berdasarkan faktor sosial dan latar belakang budaya. Ini terjadi akibat individu
perempuan dan laki-laki tidak dapat terlepas dari faktor sosial dan latar belakang budaya
masing-masing. Mereka hidup dalam
masyarakat luas yang memiliki aneka keragaman status sosial, pekerjaan, agama,
pendidikan, suku, dan budaya. Keragaman itu tentunya mempunyai andil besar untuk
memengaruhi bagaimana sosok perempuan dan laki-laki itu dalam berbahasa.
Menurut Suyanto, dosen Sastra Indonesia Undip, citra dan stereotip yang melekat pada
perempuan merupakan hal yang bersifat dual. Artinya, citra yang melekat pada diri
perempuan saat ini akan memperkokoh adanya stereotip perempuan. Sedangkan stereotip
yang sudah sedemikian mapan akan membentuk citra baru sesuai dengan perkembangan
zaman.
Penggunaan bahasa laki-laki dan perempuan memiliki format berbeda. Sebab perempuan
sebagai subordinasi laki-laki dalam bahasa diwujudkan dalam berbagai unsur seperti kosa
kata, ungkapan, istilah, dan gramatikanya. Perbedaan wujud bahasa antara laki-laki dan
perempuan menggejala dalam semua ranah, baik dalam pekerjaan formal, pekerjaan
informal (memasak atau mencuci pakaian), kegiatan sehari-hari, peralatan yang
menunjang kegiatan, mainan, maupun sifat.
Pelacur, PSK Sebagai contoh kata ’’pelacur’’ atau pekerja seks komersial (PSK). Kedua
kata ini biasa dipakai untuk pelaku perempuan. Pelacur berasal dari kata dasar lacur, yang
berafiks pe-. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pelacur bermakna malang,
celaka, sial, dan buruk laku. Seharusnya kata pelacur tidak hanya digunakan untuk
perempuan, sebab arti sebenarnya bersifat umum alias tidak mengarah pada jenis
kelamin.
Begitu pula istilah PSK yang selama ini melekat pada diri perempuan. Padahal jika
dikupas pengertian pekerja seks komersial, itu pun tidak mengarah pada jenis kelamin
tertentu. Menurut KBBI, pekerja bermakna orang yang bekerja. Seks adalah hal yang
berhubungan dengan kelamin, seperti senggama. Komersial berhubungan dengan
perdagangan.
Jadi, pekerja seks komersial adalah orang yang bekerja dengan memperdagangkan seks.
Tidak ada satu pun faktor yang mengarah pada perempuan.
Tetapi kebiasaan yang membentuk istilah ini, yang akhirnya diperuntukkan perempuan,
sebab perempuanlah yang biasa ditemui berprofesi sebagai PSK. Namun tidak dapat
dimungkiri, ada juga laki-laki yang berprofesi sebagai PSK.
Hal serupa juga dijumpai pada kata memasak, sekretaris, bersolek, seksi, dan sebagainya,
yang selalu mengarah pada perempuan. Banyak profesi, peralatan dan perlengkapan
rumah tangga, aksesoris, mainan, dan julukan yang digolongkan seperti jenis kelamin.
Sehingga terdapat perbedaan mana yang diperuntukkan perempuan dan mana yang
diperuntukkan laki-laki.
Sudah banyak penelitian tentang perempuan dan bahasa yang dilakukan di Indonesia.
Misalnya penelitian Marida Gahara Siregar dkk (Pusat Bahasa, 2006), berjudul Bahasa
Indonesia dalam Perspektif Gender, yang menyimpulkan bahwa gagasan atau pemikiran
kaum perempuan lebih bertele-tele dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat
dari segi penggunaan kosa kata yang ditemukan.
Dalam penelitiannya berjudul Stereotip Perempuan dalam Iklan, Sri Puji Astuti —dosen
Sastra Indonesia Undip— menjelaskan kosa kata dan frasa yang mencerminkan stereotip
perempuan adalah adjektiva (kata sifat). Yaitu penampilan fisik, sifat perempuan,
pekerjaan perempuan, dan keterampilan perempuan.
Sedangkan ungkapan yang mencerminkan stereotip perempuan adalah ratu rumah tangga,
ratu kecantikan, jago masak. Ungkapan-ungkapan itu, jika dibaca sekilas, merupakan
sanjungan bagi perempuan. Tetapi di baliknya terdapat proses domestifikasi perempuan
untuk lebih beraktivitas dan menghabiskan waktu di ruang domestik (rumah tangga).
Terbuktilah bahwa kegenderan tidak hanya terdapat pada peristiwa-peristiwa di
kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam bahasa yang dipakai masyarakat Indonesia.
Tidak hanya bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Inggris, Jawa, Sunda, dan bahasa
daerah lainnya.
*) Alumni Sastra Indonesia Undip.
Satuan Lingual Penanda Gender
Oleh: Sulis Triyono, M.Pd., Drs
Artikel di Jurnal Humaniora Volume XV, No. 3/2003
Abstrak:
Bahasa sebagai suatu sistem memiliki seperangkat subsistem
yang masing-masing mengorganisasikan komponenkomponennya
sehingga membentuk keteraturan yang sistemik.
Perangkat subsistem yang dimaksud adalah subsistem bunyi,
subsistem gramatikal, dan subsistem makna. Tiap-tiap
subsistem itu memiliki unsur-unsur yang secara terorganisasi
membentuk subsistemnya sendiri-sendiri. Unsur-unsur
subsistem yang dimaksud adalah fonem sebagai satuan lingual
terkecil sampai wacana sebagai satuan yang terbesar. Satuansatuan
lingual tersebut memiliki fungsi masing-masing. Ada
yang berfungsi sebagai penanda jumlah (number), penanda kala
(tenses), dan ada pula yang berfungsi sebagai penanda jenis
kelamin (gender). Penandaan yang berkenaan dengan jumlah,
dalam bahasa Indonesia misalnya, ditandai dengan
digunakannya satuan lingual berupa bentuk perulangan
(reduplikasi), misalnya: dari kata rumah menjadi rumah-rumah
'banyak rumah'; kata memukul menjadi memukul-mukul
'berkalikali memukul', dan sebagainya. Sementara itu, satuan
lingual sebagai pewujud keterangan waktu dapat berupa kata
seperti: kemarin, sekarang, besok , dan sebagainya.
Dalam hubungan dengan satuan lingual penanda gender dalam
bahasa Indonesia cenderung dipengaruhi oleh faktor
sosiobudaya dan semantis. Walaupun demikian, aspek-aspek
kebahasaan seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis tidak
mustahil juga berpengaruh. Dengan kata lain, satuan lingual
penanda gender mungkin dapat berwujud fonem, morfem, kata,
dan frasa. Misalnya, dalam tataran fonologi, fonem /a/ dapat
menandai gender maskulin, sedangkan fonem /i/ menandai
gender feminin seperti terlihat pada contoh kata putra dan putri.
Kata putra mengacu pada gender maskulin, sedangkan kata
putri mengacu pada gender feminin. Perbedaan antara kedua
kata itu semata-mata hanya karena perbedaan fonem /a/ pada
kata putra dan fonem /i/ pada kata putri. Dengan kata lain,
perbedaan kedua gender tersebut berada pada tataran fonologis.
Kata-kata lain yang beranalogi dengan pasangan di atas,
sekalipun jumlahnya terbatas, terdapat pada pasangan kata-kata
dewa-dewi, siswa-siswi, muda-mudi, dan sebagainya.
Kata Kunci:
gender, bahasa, budaya
Gender dalam Bahasa
Ditulis oleh Gemasastrin PBSID di/pada Oktober 28, 2009
(Refleksi Bulan Bahasa)
oleh Herman RN
28 October 2009, Serambi Indonesia
HAL yang jarang disentuh oleh ahli bahasa dalam
membahas polemik kebahasaan adalah tentang jenis kelamin atau sebut saja dengan
istilah “gender” dalam berbahasa. Sebagai refleksi bulan bahasa (setiap 28 Okotober) ini,
kita lihat sekilas kaitan bahasa dengan relasi gender. Bahasa dalam gender yang saya
maksudkan adalah pengungkapan, gaya, dan kemungkinan soal ketabuan bahasa yang
diucapkan oleh si penutur, baik lelaki maupun perempuan. Hal ini memang perkara
sederhana, tetapi ini pulalah yang “jauh” dari kajian para pakar. Padahal, jika benar-benar
ditilik, ternyata kosa kata tertentu yang hidup dan diucapkan dalam masyarakat kita,
cenderung mengalami ketidakseimbangan gender. Artinya, soal gender dalam bahasa
seyogianya juga bisa jadi telaah para “aktivis gender” sehingga tidak memaknai relasi
gender hanya pada pekerjaan dan pakaian semata.
Para ahli psikologi banyak berkesimpulan bahwa bahasa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan. Perbedaan itu sederhananya ditekankan pada nada dan intonasi.
Selanjutnya, perempuan kerap jadi subordinasi kaum laki dalam bahasa yang diwujudkan
pada berbagai unsur kosa kata, ugkapan, istilah, dan tataran gramatikalnya. Hal ini sudah
menggejala hampir ke semua ranah. Misalnya saja dalam bidang pekerjaan asusila, pada
perempuan melekat istilah PSK, pelacur, lonte, murahan, tante girang, dan sejenisnya.
Sedangkan bagi lelaki yang suka melakoni ‘pekerjaan’ yang sama, hanya mendapat
istilah “hidungbelang” dan “matakeranjang”. Ini menunjukkan bahwa subordinasi bahasa
terhadap perempuan lebih banyak daripada untuk kaum laki.
Kecuali itu, ada ungkapan yang emosional semisal makian atau kejengkelan pun, kosa
kata yang banyak digunakan mengacu pada “barang/alat” dalam milik perempuan. Hal ini
berlaku hampir pada semua bahasa di semesta, misalnya bahasa Aceh, kita kenal
ungkapan (maaf) pukoima, papleumo, aneuk tét mie, `ok mai, brét ma keuh, dan lain-lain.
Semua sebutan itu mengacu pada bagian-bagian tertentu perempuan. Sedangkan pada
lelaki, kalaupun ada maksud untuk ungkapan serupa, hanya beberapa kosa kata seperti
boh dan krèh. Ungkapan emosional (tidak beretika) seperti itu juga berlaku pada bahasa
Indonesia. Kita mengenal istilah “pukimaknya” itu yang merupakan “bagian dalam”
kaum perempuan. Sangat jarang ditemukan ungkapan negatif demikian yang diambil dari
“punya” kaum lelaki.
Kasus tersebut seakan menegaskan posisi kaum perempuan sebagai ‘warga kelas dua’ di
dunia. Hal tersebut semakin kentara pada pemakaian nama belakang yang kerap diambil
dari nama “bapak/ayah”. Akibatnya, begitu lahir, bayi perempuan kerap menyandang
nama ayahnya walaupun tidak melekat menjadi semacam marga. Misalnya, bayi
perempuan yang baru lahir memiliki bapak bernama Abdullah, bayi tersebut akan disebut
anak si Abdullah atau nama ayahnya langsung melekat pada nama si bayi/anak, seperti
Mutia Ahmat yang maksudnya Mutia binti Ahmat. Kemudian, ketika si perempuan sudah
menikah, ia menyandang pula nama suaminya, seperti Marlinda Abdullah Puteh, Nani
Yudhoyono.
Kasus bahasa
Hasil penelitian, para ahli menyebutkan sejumlah kasus terkait bahasa pada perempuan
dan lelaki. Disebutkan bahwa perempuan dalam berbahasa lebih banyak bergerak atau
menggerakkan gesturnya (anggota tubuh). Amati saja jika ada sepasang muda-mudi
sedang bicara, siapa yang lebih banyak mencubit atau memukul-mukul halus? Dalam hal
intonasi suara pun, kaum perempuan sering memanjangkan intonasinya pada akhir
kalimat yang kedengaran “memanja”.
Hasil suatu penelitian yang diutarakan oleh Sumarsono dan Partana dalam Sosiolinguistik
(2002:105) menyatakan bahwa di Kepulauan Antillen Kecil, Hindia Barat, ternyata
bahasa yang digunakan oleh perempuan mengalami perbedaan dengan bahasa lelakinya.
Disebutkan bahwa terdapat sejumlah kosa kata dan frasa yang hanya boleh disebutkan
oleh kaum laki, tetapi tidak boleh diucapkan kaum perempuan. Sebaliknya, ada kosa kata
tertentu yang hanya menjadi “milik” perempuan, meskipun kaum laki tahu arti dan
maknanya.
Konsep tersebut berkenaan dengan “tabu” dalam ilmu bahasa. Artinya, ada sejumlah kata
tertentu yang apabila diucapkan akan dipahami maknanya sebagai suatu bagian yang
“tabu” atau pantang. Ironis, pantang pengucapan tersebut kebanyakan dititikberatkan
pada perempuan yang lagi-lagi mengakibatkan kaum perempuan terdiskriminasi. Sebagai
contoh kasus, di Zulu, Afrika, seorang istri tidak boleh menyebut nama mertua laki-laki
atau saudara lelaki mertua tersebut. Sangking pantangnya bagi mereka, jika kedapatan
seorang menantu menyebut nama mertuanya yang laki-laki, bisa-bisa dibunuh. Ini
menunjukkan bahwa bagi masyarakat Zulu, ada kosa kata tertentu yang “haram”
disebutkan oleh kaum perempuannya. Bahkan, larangan atau tabu ini merambah pada
bunyi-bunyi bahasa. Para perempuan tidak dibolehkan membunyikan huruf “Z” sehingga
untuk kata amanzi (air) diucapkan amandabi. Namun, bagi para lelaki, dibolehkan
membunyikan “Z”.
Hal semacam itu tentu saja berpengaruh pada relasi gender. Masih untung di daerah kita
yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, penggunaan bahasa pada lelaki dan
perempuan tidak sampai separah itu. Namun demikian, yang mesti kita kurangi adalah
pengucapan kosa kata yang mendeskreditkan perempuan semisal untuk ungkapan
emosional seperti disebutkan, sehingga antara lelaki dan perempuan tetap memiliki
kesetaraan bahasa. Semoga bahasa kita tetap jaya. Selamat memperingati Bulan Bahasa.
* Penulis, mahasiswa Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah.
Entri ini dituliskan pada Oktober 28, 2009 pada 3:15 pm dan disimpan dalam Opini.
Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda
bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.
Satu Tanggapan ke “Gender dalam Bahasa”
(Refleksi Bulan Bahasa)
oleh Herman RN
28 October 2009, Serambi Indonesia
HAL yang jarang disentuh oleh ahli bahasa dalam
membahas polemik kebahasaan adalah tentang jenis kelamin atau sebut saja dengan
istilah “gender” dalam berbahasa. Sebagai refleksi bulan bahasa (setiap 28 Okotober) ini,
kita lihat sekilas kaitan bahasa dengan relasi gender. Bahasa dalam gender yang saya
maksudkan adalah pengungkapan, gaya, dan kemungkinan soal ketabuan bahasa yang
diucapkan oleh si penutur, baik lelaki maupun perempuan. Hal ini memang perkara
sederhana, tetapi ini pulalah yang “jauh” dari kajian para pakar. Padahal, jika benar-benar
ditilik, ternyata kosa kata tertentu yang hidup dan diucapkan dalam masyarakat kita,
cenderung mengalami ketidakseimbangan gender. Artinya, soal gender dalam bahasa
seyogianya juga bisa jadi telaah para “aktivis gender” sehingga tidak memaknai relasi
gender hanya pada pekerjaan dan pakaian semata.
Para ahli psikologi banyak berkesimpulan bahwa bahasa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan. Perbedaan itu sederhananya ditekankan pada nada dan intonasi.
Selanjutnya, perempuan kerap jadi subordinasi kaum laki dalam bahasa yang diwujudkan
pada berbagai unsur kosa kata, ugkapan, istilah, dan tataran gramatikalnya. Hal ini sudah
menggejala hampir ke semua ranah. Misalnya saja dalam bidang pekerjaan asusila, pada
perempuan melekat istilah PSK, pelacur, lonte, murahan, tante girang, dan sejenisnya.
Sedangkan bagi lelaki yang suka melakoni ‘pekerjaan’ yang sama, hanya mendapat
istilah “hidungbelang” dan “matakeranjang”. Ini menunjukkan bahwa subordinasi bahasa
terhadap perempuan lebih banyak daripada untuk kaum laki.
Kecuali itu, ada ungkapan yang emosional semisal makian atau kejengkelan pun, kosa
kata yang banyak digunakan mengacu pada “barang/alat” dalam milik perempuan. Hal ini
berlaku hampir pada semua bahasa di semesta, misalnya bahasa Aceh, kita kenal
ungkapan (maaf) pukoima, papleumo, aneuk tét mie, `ok mai, brét ma keuh, dan lain-lain.
Semua sebutan itu mengacu pada bagian-bagian tertentu perempuan. Sedangkan pada
lelaki, kalaupun ada maksud untuk ungkapan serupa, hanya beberapa kosa kata seperti
boh dan krèh. Ungkapan emosional (tidak beretika) seperti itu juga berlaku pada bahasa
Indonesia. Kita mengenal istilah “pukimaknya” itu yang merupakan “bagian dalam”
kaum perempuan. Sangat jarang ditemukan ungkapan negatif demikian yang diambil dari
“punya” kaum lelaki.
Kasus tersebut seakan menegaskan posisi kaum perempuan sebagai ‘warga kelas dua’ di
dunia. Hal tersebut semakin kentara pada pemakaian nama belakang yang kerap diambil
dari nama “bapak/ayah”. Akibatnya, begitu lahir, bayi perempuan kerap menyandang
nama ayahnya walaupun tidak melekat menjadi semacam marga. Misalnya, bayi
perempuan yang baru lahir memiliki bapak bernama Abdullah, bayi tersebut akan disebut
anak si Abdullah atau nama ayahnya langsung melekat pada nama si bayi/anak, seperti
Mutia Ahmat yang maksudnya Mutia binti Ahmat. Kemudian, ketika si perempuan sudah
menikah, ia menyandang pula nama suaminya, seperti Marlinda Abdullah Puteh, Nani
Yudhoyono.
Kasus bahasa
Hasil penelitian, para ahli menyebutkan sejumlah kasus terkait bahasa pada perempuan
dan lelaki. Disebutkan bahwa perempuan dalam berbahasa lebih banyak bergerak atau
menggerakkan gesturnya (anggota tubuh). Amati saja jika ada sepasang muda-mudi
sedang bicara, siapa yang lebih banyak mencubit atau memukul-mukul halus? Dalam hal
intonasi suara pun, kaum perempuan sering memanjangkan intonasinya pada akhir
kalimat yang kedengaran “memanja”.
Hasil suatu penelitian yang diutarakan oleh Sumarsono dan Partana dalam Sosiolinguistik
(2002:105) menyatakan bahwa di Kepulauan Antillen Kecil, Hindia Barat, ternyata
bahasa yang digunakan oleh perempuan mengalami perbedaan dengan bahasa lelakinya.
Disebutkan bahwa terdapat sejumlah kosa kata dan frasa yang hanya boleh disebutkan
oleh kaum laki, tetapi tidak boleh diucapkan kaum perempuan. Sebaliknya, ada kosa kata
tertentu yang hanya menjadi “milik” perempuan, meskipun kaum laki tahu arti dan
maknanya.
Konsep tersebut berkenaan dengan “tabu” dalam ilmu bahasa. Artinya, ada sejumlah kata
tertentu yang apabila diucapkan akan dipahami maknanya sebagai suatu bagian yang
“tabu” atau pantang. Ironis, pantang pengucapan tersebut kebanyakan dititikberatkan
pada perempuan yang lagi-lagi mengakibatkan kaum perempuan terdiskriminasi. Sebagai
contoh kasus, di Zulu, Afrika, seorang istri tidak boleh menyebut nama mertua laki-laki
atau saudara lelaki mertua tersebut. Sangking pantangnya bagi mereka, jika kedapatan
seorang menantu menyebut nama mertuanya yang laki-laki, bisa-bisa dibunuh. Ini
menunjukkan bahwa bagi masyarakat Zulu, ada kosa kata tertentu yang “haram”
disebutkan oleh kaum perempuannya. Bahkan, larangan atau tabu ini merambah pada
bunyi-bunyi bahasa. Para perempuan tidak dibolehkan membunyikan huruf “Z” sehingga
untuk kata amanzi (air) diucapkan amandabi. Namun, bagi para lelaki, dibolehkan
membunyikan “Z”.
Hal semacam itu tentu saja berpengaruh pada relasi gender. Masih untung di daerah kita
yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, penggunaan bahasa pada lelaki dan
perempuan tidak sampai separah itu. Namun demikian, yang mesti kita kurangi adalah
pengucapan kosa kata yang mendeskreditkan perempuan semisal untuk ungkapan
emosional seperti disebutkan, sehingga antara lelaki dan perempuan tetap memiliki
kesetaraan bahasa. Semoga bahasa kita tetap jaya. Selamat memperingati Bulan Bahasa.
* Penulis, mahasiswa Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah.
Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki?
Telaah Ketimpangan Gender dalam Bahasa Indonesia
D. Jupriono
dijadikan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut
manja ...
wanita dijajah pria
sejak dulu
(Ismail Marzuki, 1959?)
Pendahuluan: Masyarakat, Kebudayaan, dan Bahasanya
Benarkah bahasa Indonesia (BI) berjenis kelamin lelaki? Beragam jawaban bisa
disodorkan, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Di
sini, BI akan dibedah dari perspektif gender, sebagai matra sentral Feminisme.
Dengan perspektif gender, nanti akan dibuktikan bahwa BI lebih memihak
penutur lelaki ketimbang perempuan biarpun jelas sekali bahwa BI juga
dituturkan oleh separuh masyarakat wanita. Singkat kata, senang atau tidak, BI
bias maskulin.
Mengapa BI memihak lelaki, inilah soalnya! Dengan sedikit penyederhanaan,
boleh dikatakan bahwa pembiasan gender itu terjadi karena masyarakat
Indonesia juga meletakkan lelaki pada tataran lebih tinggi di atas perempuan.
Mengapa masyarakat "menjunjung" lelaki dan "menjinjing" perempuan?
Mengapa tidak sebaliknya? Atau, mengapa pula keduanya tidak diletakkan
dalam garis egaliter? Karena, kebudayaan yang dihasilkan dan diikuti
masyarakat pun memihak lelaki!
Kebudayaan? Di sinilah kita mendudukkan kebudayaan sebagai terdakwa,
seakan-akan yang salah memang budayanya. Dalam pengertian yang luas, apa
yang disebut kebudayaan mencakup seluruh aktivitas noninstingtif masyarakat
tertentu. Pengertian bahwa kebudayaan adalah kesenian, seperti yang banyak
dipahami orang selama ini, merupakan pengertian yang sempit dan disempitkan.
Aktivitas noninstingtif--yang hanya bisa diperoleh dengan belajar--berwujud
gagasan, tindakan, dan benda karya budaya. Yang termasuk di dalamnya adalah
peralatan dan perlengkapan hidup, sistem ekonomi dan mata pencaharian,
sistem kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
kesenian, sistem religi, dan bahasa (Koentjaraningrat, 1964: 79). Untuk diskusi
ini, kenyataan bahasa sebagai salah satu unsur bagian dari budaya perlu
digarisbawahi.
Di samping sebagai bagian, bahasa juga merupakan wahana budaya. Sebagai
wahana budaya, bahasa akan merekam semua aktivitas masyarakatnya. Bahasa
adalah cermin budaya. Maka, bahasa pun tidak dapat dipisahkan dari unsurunsur
budaya lain di masyarakat itu.1) Itulah sebabnya, jika ingin mengetahui
unsur-unsur budaya suatu masyarakat secara keseluruhan, orang harus
mempelajari bahasa masyarakat yang bersangkutan sebagai konteksnya. Ingat,
"bahasa menunjukkan bangsa". Dalam hal ini, menarik diungkap di sini
keyakinan J.H. Greenberg (Samsuri, 1986) bahwa: "Language may no longer be
conceived rather be viewed as part of the whole and functionally related to it."
Telaah Interdisipliner: Metode dan Rumusan Masalah
Telaah ini menerapkan ancangan (approach) kualitatif etnografis. Dengan
ancangan ini, data yang diambil tergolong data lunak (soft data), berupa tuturan
bahasa, dan bukan angka-angka (Kirk dan Miller, 1986). Sumber data dalam
telaah ini diambil dari latar alami (natural setting), yakni tuturan alamiah
keseharian. Instrumen yang dipakai adalah kemampuan penelaah itu sendiri.
Sebagai human instrument, manusia dapat menghasilkan data
berketerpercayaan cukup tinggi sebab hanya manusia sendirilah yang sanggup
memahami keseluruhan konteks dan perilaku kehidupannya. Dilihat dari
kemurniannya, telaah ini bersifat interdisipliner, antara Linguistik dan Studi
Perempuan (Women Study). Dengan ini, akan dipersoalkan perihal
tersubordinasinya perempuan oleh dominasi lelaki, keterpurukan nasib
perempuan dalam bayangan cengkeraman kekuasaan lelaki--sebagai cermin
paling mencolok dari apa yang biasa disebut sebagai ketimpangan gender,
sebagai kaki tangan ideologi patriarki.2)
Bagaimana cara mencandra semua masalah di atas--inilah soal metodologisnya.
Soal-soal sosial-politik, hukum, interaksi manusia, kekuasaan (termasuk
kekuasaan lelaki atas perempuan), lazimnya disoroti dengan pendekatan
perilaku (behavioral approach). Dengan pendekatan ini yang dicandra adalah
perbuatan, tindakan, kekerasan, dst. masyarakat. Untuk telaah ketimpangan
gender pun, ini tidak keliru.3) Akan tetapi, jelas sekali bahwa dengan begitu
ketimpangan ini lebih banyak disoroti dari sisi perilaku masyarakatnya saja, yang
membentuk realitas sosiobehavioral, Padahal, survei membuktikan bahwa
ketimpangan gender juga dapat disorot dari segi kebahasaannya, yang akan
membentuk realitas simbolis. Dari segi kebahasaan, penyorotan akan dilakukan
dengan pendekatan verbal (verbal approach), yang sebenarnya sudah sering
diterapkan orang.4) Pendekatan verbal bisa membuktikan bahwa "lelaki menang,
perempuan kalah" dapat dilihat dari bahasanya.Dengan pendekatan verbal, data
verbal yang masuk akan dikaji dengan analisis isi (content analysis). Teknik ini
akan dilengkapi dengan domain analysis, terutama dalam menyusun
kategorisasi data. Topik bincang dalam tulisan ini adalah "Bagaimana saja wujud
ketimpangan gender yang terungkap dalam bahasa Indonesia?".
Wujud Ketimpangan Gender Masyarakat dalam Bahasa Indonesia
Ketimpangan gender dalam bahasa Indonesia terungkap dalam wujud: nama
penanda status keluarga/perkawinan, penyebutan keberadaan atau tindakan,
keniscayaan struktur, dan inisiatif pengucapan. Masing-masing akan dibahas
dalam bagian berikut.
Pemakaian Nama Penanda Status Keluarga/Perkawinan
Sejak lahir dari guwagarba sang ibu, manusia sudah dikotak-kotakkan ke dalam
gender: "lelaki" dan "perempuan". Setiap anak harus tunduk pada orang-tuanya.
Untuk melanggengkan eksistensi keluarga, pada beberapa suku, etnis, dan
kelompok sosial lain, terdapat adat mencantumkan nama ayah--dan bukan nama
ibu!--di belakang nama anak. Atau, jika pada komunitasnya tidak mengenal adat
itu, saat dewasa yang dipilih sebagai nama tambahan adalah nama ayah dan
bukan ibu. Misalnya seorang anak lelaki bernama Bambang dan anak
perempuan bernama Linda, berayahkan Notosusanto dan beribukan Juminten.
Jika Bambang dan Linda sudah dewasa, dan ada keinginan untuk
melanggengkan nama orang-tua, yang dipilih untuk ditambahkan adalah
Notosusanto dan bukan Juminten. Maka, terbentuklah nama Bambang
Notosusanto dan Linda Notosusanto. Rasanya betapa ganjilnya jika dipilih
*Bambang Juminten dan *Linda Juminten. Alih-alih dengan itu, seorang artis
yang bernama Lisa A. Riyanto, misalnya, hampir bisa dipastikan ia anak dari
komponis A. Riyanto yang sudah almarhum itu.
Setelah berumah tangga, nasib lelaki dan perempuan masih tetap tidak sama.
Seorang istrilah yang lazim menambahi namanya dengan nama suaminya, dan
bukan sebaliknya: suami menambahi namanya dengan nama istrinya--sungguh
mustahil! Maka, yang ada Tien Soeharto dan bukan *Soeharto Tien.
Penyebutan terhadap Keberadaan dan Tindakan
Nasib perempuan dan lelaki tidak sama, termasuk dalam hal menerima sebutan,
predikat, atau julukan untuk suatu tindakan atau keberadaan. Ketimpangan
tersebut dapat dipilah-pilah lagi ke dalam ketimpangan sebutan berikut.
Sebutan yang Maskulin dan Feminin
Beberapa kosakata sebutan klasik juga membelah manusia menjadi sebutan
yang bersifat feminin dan sebutan yang berbau maskulin. Untuk sebutan yang
feminin kita kenal, misalnya, "ibu kota, induk semang, nenek moyang, dewi
malam ('bulan'), putri malu (sejenis bunga), ibu pertiwi, dan ratu adil, dan bukan
*bapak kota, *jago semang, *kakek moyang, *dewa malam, *putra malu, *bapak
pertiwi, dan *raja adil". Dengan memakai ibu, induk, nenek, dewi, putri, dan ratu,
nuansa kesan yang memancar adalah kedamaian, kepasifan, ketenangan,
kesabaran. Agaknya sudah menjadi "kodrat", bahwa kata-kata ini diciptakan
khusus buat yang serba pasif, diam, dan damai.
Sebutan yang bercorak maskulin berkesan menguasai, agresif, garang. Dalam
khasanah kosakata BI klasik kita temukan misalnya raja hutan ('singa, macan'),
raja siang ('matahari'), dewa maut, dewa perang. Dalam kosakata BI
kontemporer, untuk sesuatu yang bersifat garang, pemberani, dan agresif itu,
kita pakai raja jalanan ('suka mengebut'), raja judi, raja copet, bapak
pembangunan, bapak koperasi, bapak pendidikan nasional, jago matematika,
jago nggambar, dan jelas bukan *ratu judi, *ratu copet, *ibu pembangunan, *ibu
koperasi, *ibu pendidikan nasional, *babon matematika, *babon nggambar.
Layak dipertanyakan kebenaran ini, memang. Siapa pun tahu, harimau atau
singa yang disebut raja hutan tadi belum tentu berjenis kelamin jantan, dan
memang tidak harus jantan; siapa pun sulit menolak realitas bahwa seorang
siswa yang dipredikati jago matematika belum tentu berkelamin lelaki. Pak Harto
disebut-sebut sebagai "Bapak Pembangunan", Bung Hatta "Bapak Koperasi",
dan Ki Hajar Dewantara "Bapak Pendidikan Nasional". Semua setuju.
Masalahnya, andai saja--memang hanya andai--pelopor pembangunan itu Mbak
Mega, perintis koperasi itu Mbak Tutut, dan tokoh pendidikan itu Bu Toeti Heraty,
apakah kita sportif menyebut ketiga beliau itu sebagai "*Ibu Pembangunan",
"*Ibu Koperasi", dan "*Ibu Pendidikan Nasional"? Saya tidak berani berspekulasi.
R.A. Kartini pun belum pernah disebut "Ibu Pendidikan" atau sebutan lain yang
tidak menuansakan bias gender lelaki.
Sebutan Pelecehan Martabat
Gejala penghalusan pengucapan sesuatu--biasa disebut eufemisme--kadang
memang menerbitkan kesan sopan, tenang, indah, anggun. Seseorang yang
sedang makan siang bersama, dan tiba-tiba perutnya mules, misalnya, ia toh tak
mungkin mengatakan "Maaf, saya mau berak" jika ia belum siap dituduh tidak
sopan. Ia mesti menghaluskan pengucapannya: "Maaf, saya mau ke belakang".
Tentu saja, semua yang makan siang itu benar-benar menyadari bahwa acuan
berak dan ke belakang adalah kurang lebih sama saja. Akan tetapi, konotasi
yang muncul berbeda. Dalam konteks seperti ini eufemisme menemukan
tempatnya untuk diterapkan.p> Bagaimana eufemisme dalam pemartabatan
lelaki-perempuan dalam dunia "kerja"? Masih tepatkah digunakan? Tidak
semuanya. Kata pelacur, karena dipandang vulgar, norak, menjijikkan, harus
"dihaluskan", diganti dengan wanita tunasusila atau WTS--dan justru
singkatannya inilah yang lebih populer. Jadi, orang bisa menepuk dada, seakan
di Indonesia tak ada pelacur lagi, yang ada hanyalah wanita-wanita tuna susila
saja. Perasaan menjadi lega. Bahwa kebanggaan ini baru berada dalam tataran
slogan, dan dalam realitasnya tetap saja "emangnye gue pikirin", itu soal lain.
Sehubungan dengan kajian ini, jika kata WTS digencarkan dan pelacur dihapus,
apakah ini berarti bahwa yang nakal perempuan saja, sedangkan lelaki tak ada
yang tunasusila? Padahal, adalah fakta bahwa "pria penghibur", "bawon",
"gigolo", "teko", "bandot", memang ada. Inilah cermin paling buruk dari
pelecehan gender yang menempatkan perempuan pelacur pada posisi yang
lebih terlecehkan, sekalipun lakon yang dijalani sama persis dengan lelaki
pelacur. Dengan demikian, layak sekali jika perempuan Indonesia tersinggung.5)
Ini diskriminasi perlakuan seksual.
Lalu, bagaimana? Jika istilah WTS tetap dipertahankan, harus ada kata khusus
untuk menunjuk pada lelaki pelacur. Jika boleh, saya akan mengusulkan istilah
"pria tunasusila" atau PTS untuk yang satu ini. Masalahnya, jika PTS dipilih,
mahasiswa perguruan tinggi "luar negeri" se-Indonesia akan memprotes keras.
Dan, saya belum siap diprotes. Maka, ganti lagi dengan yang lain, semisal "lelaki
tunasusila" atau LTS. Dengan ini pembagian kerja secara seksual benar-benar
ada dan adil. Lain lagi jika dipandang tidak usah ada tambahan istilah semacam
LTS itu, WTS pun mesti dihapus, dan diganti dengan kata baru lagi yang netral,
yang mampu mewadahi baik WTS maupun LTS. Atau, barangkali kembali ke
pelacur lagi. Untuk ini, bagaimana kalau saudara-saudara kita yang masih
menderita itu kita sebut saja "manusia tunasusila" (MTS). Masalahnya lagi, ini
jelas memerahkan telinga saudara kita yang belajar, mengajar, atau alumni
madrasah tsanawiyah. Begini saja: orang tunasusila (OTS)?
Degradasi Konsep Martabat
Dengan degradasi, makna kata menjadi enteng, remeh, bahkan ujung-ujungnya
bisa melenceng dari konsep dasarnya. Degradasi terhadap perjuangan kerja
perempuan, misalnya, akan sering muncul di sekitar kita, yang memang
merupakan masyarakat patriarkis. Karena beban kondisi ini, saya sering melihat
kekikukan ibu pekerja ("wanita karier", WK) berpenghasilan tinggi, bahkan
sebagian dari mereka melebihi gaji suaminya, manakala saya tanyakan berapa
gajinya. Mengherankan, gaji tinggi melebihi suami kok malu. Apa salahnya?
Perhatikan kutipan wawancara berikut!
Saya: Wah gajinya besar dong. Cepet kaya, Bu, nanti.
WK : Ah, nggak juga. Itu kan menurut situ.
Saya: Gaji segitu besar lho, Bu. Ini kan di atas gaji suami. Hebat.
WK : Ah, saya kan cuma istri. Jadi, hanya sekadar membantu suami saja.
Pernyataan "cuma istri, hanya sekadar membantu suami" merupakan pantulan
dari rasa kikuk mereka. Pernyataan ini melemahkan realitas yang
sesungguhnya: bahwa mereka benar-benar menolong suami dari banting tulang
mencukupi kebutuhan, jadi tidak sekadar melengkapi, tetapi benar-benar
menyelamatkan ketahanan ekonomi keluarga, sebagai survival strategy. Mereka
malu mengakui. Toh mereka merasa hanyalah figuran pendamping belaka,
semantara suami tercinta adalah aktor utama kepala keluarga. Padahal, mereka
banar-benar bekerja! Itu memang hak dan buah kegigihan mereka.
Kebanyakan dari mereka mengidap semacam "sindrom takut sukses" (fear of
success syndrom), khawatir menyaingi dan menyinggung suami. Aneh, tapi bukti
berbicara bahwa tidak sedikit suami merasa terusik cengkeraman hegemoninya
menerima kenyataan ini. Adalah bukti juga bahwa biarpun bergaji lebih kecil, jadi
memang hanya sekadar membantu--dalam arti yang sesungguhnya--seorang
suami memilih berkelahi ketimbang harus mengakui: "*Ah, saya ini 'kan cuma
sekadar membantu penghasilan istri?"
Sebutan Pembatasan Berkebebasan
Jika orang percaya bahwa lelaki dan perempuan diciptakan sama-sama dari
tanah, sama hak dan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, semestinya tak ada
lagi pemasungan gender satu dan pemerdekaan gender lain. Dengan standar
ganda ini, perempuan dipaksa oleh kulturnya untuk selalu diam, patuh,
mengalah, sebab ramai, melawan, dan sifat agresif lainnya hanya boleh
dilakukan oleh sesamanya yang bergender lelaki. Berikut ini cuplikan obrolan ibu
dengan anak perempuannya (AP) yang hendak menuntut Pak Lurahnya yang
telah memotong kiriman duit dari suami di perantauan (Malaysia) perempuan itu,
perhatikan!
Ibu: Kamu nggak bisa begitu. Bagaimanapun dia itu wong dhuwur lho. Lurah kok
mau dilawan.
Kita ini orang kecil, Nduk. Lagipula, kita itu kan perempuan to. Dipikir ...,
Nduk!
AP : Mbok, tapi ini kan duit laki saya. Jadi ya termasuk duitku juga. Aku kan
bininya.
Di Malaysia dia kan kerja keras. Apa dikira di sana dia cuma kluyuran tok.
Siang
malam dia kerja keras kayak kuda. Ee ... kok di sini dipotong orang
seenaknya.
Emangnya duit kakeknya!
Ibu: Kamu itu dinasihati kok sukanya ngeyel. Nduk, ingat kamu itu perempuan
lho. Cuma
perempuan. Nggak ada ceritanya, perempuan bisa menang. Perempuan saja
kok macem
-macem. Mbok tunggu saja nanti kalau lakimu sudang pulang. Biar dia yang
ngurus.
Ini urusan lelaki. Sementara diam dan nerimo saja.
Dalam fragmen wacana di muka dipertentangkan soal apa yang pantas dan apa
yang tabu dilakukan oleh perempuan. Soal gugat-menggugat--menggugat pak
lurah lagi--bukan kawasan garapan perempuan. Ini urusan lelaki. Dalam kasus
ini AP dan Ibu tidak hanya menderita karena mereka wong cilik (rakyat jelata),
tetapi juga karena gender mereka yang bukan lelaki. Maka, sempurna sudah
kekalahan mereka. Masyarakat luas menerima pandangan ini sebagai
kebenaran. Maka, lelaki di sekitarnya akan memandang AP sebagai perempuan
aneh, bahkan tak tahu diri. Malahan, ibunya sebagai sesama perempuan pun
tidak berpihak kepadanya. "Perempuan saja kok macem-macem," katanya. Inilah
dampak nyata hegemoni ideologi patriarki.
Tentu saja, Ibu ini tak salah. Dia memang hidup dalam penjara budaya
masyarakat yang patriarkis, yang secara tegas menempatkan perempuan
sebagai perawat sektor domestik, sedang lelaki sebagai penguasa sektor publik
(Budiman, 1981), dengan imbangan penghargaan yang tak sama. Inilah produk
paling diskriminatif dari pembagian kerja secara seksual (sexual division of
labour) (Beneria, 1979: 205). Ungkapan bahwa soal menggugat pak lurah, ini
urusan lelaki, dalam wacana di atas, merupakan fakta yang tak terbantahkan
dalam pembagian yang tak adil ini.
Sebagai bandingan, perhatikan dialog rekayasa berikut. Pada masyarakat yang
kebudayaannya berada dalam cengkeraman hegemoni lelaki, seperti lingkungan
kita ini, mungkinkah dialog antarlelaki berikut dapat kita temui?
*Gede: Sudahlah kita mengalah saja. Apa sih jeleknya orang ngalah. Ingat kita
ini kan lelaki. Masak mau menuntut pak lurah. Kan nggak pantas.
*Bejo: Iya ya, ... kita 'kan lelaki. Lelaki saja kok macam-macam.
Pembagian kerja secara seksual juga menempatkan citra (image) apa yang
selayaknya pantas muncul dan apa yang haram nongol dalam wacana,
percakapan, atau peristiwa tutur lainnya. Realitas citra ini begitu kuatnya
sehingga melembaga ke dalam berbagai matra kehidupan, salah satunya dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam buku-buku bacaan. Di sini masyarakat
membangun stereotipe apa yang pantas untuk lelaki dan apa yang boleh
dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, yang paling sering kita baca dalam
buku adalah contoh-contoh kalimat berikut.6)
· Ayah memperbaiki mesin mobil.
· Ibu menjahit baju.
· Ibu memasak di dapur.
· Adikku yang manis menimang boneka.
· Aku bermain layang-layang.
Gelegar sadar kemitrasejajaran membahana membubung tinggi saat ini. Semua
pihak menyadari bahwa pembagian kerja secara seksual itu tidak adil dan hanya
membuang sia-sia energi perempuan yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi
pembangunan. Akan tetapi, tindakan dalam wilayah semantis kultural misalnya
bahasa yang mendukung perobohan tembok ketimpangan gender itu belum
muncul juga. Malahan, kalau boleh menduga, pembakuan bahasa Indonesia
lewat penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) pada 1988
(edisi II 1993), entah sadar entah tidak, boleh jadi justru merupakan upaya
melanggengkan kemapanan status quo hegemoni patriarki di masyarakat kita.
Kalimat-kalimat yang dicontohkan, misalnya, tampak benar tidak bebas muatan
politik gender maskulin. Perhatikan kutipan dari TBBBI berikut.
1. Ayah sudah berangkat ke kantor. (hal. 427)
2. Siti masih sering pulang malam, atau malah pagi buta. (438)
3. Ibunya terus menjahit sampai tengah malam sungguhpun dia telah
merasakan adanya kelainan dalam dadanya. (460)
4. Ibu sedang memasak, sedangkan ayah sedang membaca koran. (463)
5. Suami Lastri baru pulang dari Amsterdam. (473)
6. Dokter H. Kamaruzzaman (52 tahun), Direktur RSU Dr. Zainal Abidin,
Banda Aceh, Jumat malam meninggal secara mendadak. (477)
7. Aku suka kepada wanita itu sebagai sekretaris, dan dia sangat
menyenangkan sebagai kawan, tetapi jelas akan menyusahkan sekali
sebagai kawan hidup. (478)
Contoh-contoh ini diambil secara acak dari dua bab terakhir, yang memang
membahas kalimat dan wacana. Akan tetapi, jika bab-bab lain ditelaah, hasilnya
sama saja. Kalau dicermati, tampak benar bahwa kalimat-kalimat ini memang
bias gender: memihak lelaki, menohok perempuan. Pada kalimat (1), apakah
yang bekerja di kantor hanya dimonopoli ayah? Kalimat (2) pembaca pasti
menarik kesan negatif pada Siti yang pasti perempuan itu. Coba diandaikan, jika
Siti diganti Suto (ini pasti lelaki) apakah yang muncul tetap kesan minor?
Mengapa hanya lelaki yang pantas begitu? Kalimat (1), (5), (6), dan (7)
mengukuhkan lelaki melenggang di sektor publik (public sphere), sedangkan
pada kalimat (2), (3), dan (4) perempuan dipaksa berkutat di kesumpekan
kawasan domestik (domestic sphere).
Bahwa contoh-contoh kalimat itu ditulis hanya secara kebetulan, itu mungkin
saja. Akan tetapi, semua penulis TBBBI adalah masyarakat Indonesia, hidup
bergumul dengan masyarakat yang mendominankan nilai lelaki dan
mensubordinasikan nilai perempuan. Jadi, jika mereka terperangkap dalam
budaya patriarki seperti itu, ini bukan barang aneh. Apalagi--harap tahu saja--
92% dari tim penyusunnya lelaki tulen, hanya seorang yang perempuan.7)
Sebutan Negatif, Sebutan Positif Berdasarkan kategori ini, kesan remeh, sepele,
kecil, yang hanya mengganggu saja, pantas dikenakan pada perempuan.
Sementara, mitos soal-soal besar, penting, yang menentukan segalanya, hanya
layak untuk lelaki. Padahal, dalam kenyataan lelaki pun sama saja, bahkan
mungkin lebih negatif, dari perempuan. Begitulah, karena yang distereotipekan
cerewet adalah perempuan, muncullah ungkapan "dasar mulut nenek-nenek"
atau "dasar mulut perempuan", dan bukan "*dasar mulut kakek-kakek" atau
"*dasar mulut lelaki". Padahal, menurut pengamatan D. Spender (1980), lelakilah
yang mendominasi pembicaraan, melontarkan interupsi, sementara perempuan
dicatat lebih banyak bertanya menanggapi lelaki.
Kenyataan yang menguntungkan diterima oleh kaum lelaki. Jika ungkapan mulut
perempuan, dasar betina, misalnya, menempati kesan buruk, tidak demikian
halnya dengan bersikap jantan. Bahkan, meskipun dasar laki-laki sebenarnya
juga minor, posisinya terkesan lebih "mahal" di atas dasar betina, misalnya.
Sebutan Penstandaran Gender Adalah realitas kehidupan bahwa di dunia ini
selalu ada sesuatu yang berada dalam garis kontinum. Kontinum standar
"besar", misalnya mencakup dari sangat besar, agak besar, agak kecil, sampai
sangat kecil; demikian juga "berat", "tinggi", dan "banyak", dll. Dalam kontinum
tersebut, lazimnya yang dipakai sebagai ukuran (standar) adalah posisi yang
mayor (berat, tinggi, besar, banyak, tebal) dan bukan yang minor (ringan,
rendah, kecil, sedikit, tipis). Oleh karena itu, dalam percakapan tentang berat
badan dan tebal papan, misalnya, kalimat yang mungkin muncul adalah "Berapa
berat badanmu?" dan "Tebal papan kayu ini 0,15cm", dan pasti bukan "*Berapa
ringan badanmu?" dan "Tipis papan kayu ini 0,15cm." (biarpun 0,15cm itu
memang tergolong relatif tipis). Mengapa demikian? Ya, memang begitu: bahwa
yang ditetapkan sebagai standar pasti yang mayor, bukan yang minor!
Bagaimana dalam ranah pergenderan? Ini baru masalah! Seperti diketahui,
hakikatnya, hanya ada dua kontras gender: lelaki >< perempuan, feminin ><
maskulin, jantan >< betina. Oleh karena itu, tidak bisa konsep dasar dikotomi
gender ini ditempatkan pada garis kontinum; hakikatnya, memang tidak ada
"*sangat lelaki", "*agak perempuan", "*lebih betina", misalnya. Akan tetapi, lain
konsep, lain fakta. Dalam realitas empiris, kelompok gender lelaki/maskulin
selalu dijadikan ukuran, rujukan, bandingan, standar. Maka, untuk memandang
gender perempuan/feminin pun, standar bakunya juga kebakuan lelaki/maskulin.
Barisan lelaki dianggap superior, tegar, dan rasional, sedangkan perempuan
selalu ditempatkan pada stereotipe emosional, sentimentil, cengeng, malu-malu.
Barangkali, inilah sebabnya mengapa yang ada adalah "putri malu" dan bukan
"*putra malu". Oleh karena itu, jika seorang perempuan terlihat malu-malu, itu
sudah semestinya, sudah "kodrat".8) Maka, yang pantas menduduki posisi
kepala keluarga adalah ayah dan bukan ibu.
Sebagai standar, segala perilaku lelaki yang distereotipekan masyarakat harus
diikuti, jika ingin disebut jantan atau lelaki sejati. Seorang lelaki harus bersikap
laki-laki. Lelaki yang terkesan klemar-klemer, lamban, pasif, kewanita-wanitaan
akan dipandang negatif: "Lelaki kok begitu". Sebaliknya, seorang perempuan
yang "tomboy", yang kelaki-lakian--asal tidak terlampau jauh saja, asal masih
mau dandan dan berparfum--menerima nasib yang berbeda, yang tidak negatif.
Maka, kesan apa yang muncul mendengar/membaca kalimat-kalimat berikut?
8. Doni mengenakan rok mini.
9. Dina memakai celana.
10. Cowok atletis itu malu-malu, grogi, keluar keringat dinginnya.
11. Cewek seksi itu tampil yakin dan penuh percaya diri.
Lelaki pakai rok? "Ah, yang bener aja!" Bisa-bisa yang bersangkutan dianggap
miring. Umumnya orang, entah lelaki entah perempuan, akan berkonotasi negatif
terhadap kalimat (8) dan (10). Sebab, "rok mini, malu-malu, grogi" bukan
standar. Itu 'kan khas perempuan. Jangan lupa, yang berbau perempuan itu
nonstandar. Bukankah standarnya selalu "celana, yakin, PD", sebagai akibat dari
penetapan gender lelaki sebagai standar? Sebaliknya, terhadap Dina dan cewek
seksi itu pada kalimat (9) dan (11), orang akan mempersembahkan konotasi
positif, sebab ciri-ciri yang disosokkan kedua perempuan itu sudah maskulin,
artinya sudah standar.
Inilah biang kerok persoalan realitas simbolis bahasa: bahwa jika disebut
mahasiswa, yang dimaksud adalah baik mahasiswa lelaki maupun mahasiswa
perempuan, tetapi jika yang disebut mahasiswi, yang dimaksud pastilah hanya
mahasiswa perempuan. Maka, orang pun latah, dan khawatir: jika hanya disebut
"wartawan", "sastrawan", "polisi" saja, apakah orang sudah paham pasti; ini
harus ditegaskan lagi, jika yang dimaksud adalah oknum perempuan, sehingga
menjadi wanita wartawan , sastrawan wanita, dan polisi wanita (polwan).
Realitas simbolis ini memantulkan anggapan diam-diam bahwa jurnalistik, sastra,
dan kepolisian itu seakan-akan sektor garapan lelaki, bukan kodratnya
perempuan. Dalam kebudayaan Barat, bahkan lebih gila lagi; ini tercermin dalam
bahasanya juga.9)
Lelaki memang menjadi standar. Dalam bahasa Inggris, misalnya, untuk
menyebut manusia pada umumnya, orang meminjam kata man, dan bukan
woman. Artinya, kalau disebut man, yang dimaksud adalah 'baik lelaki maupun
perempuan', akan tetapi jika disebut woman, yang diacu pastilah 'hanya
perempuan'. Sebab, sekali lagi, lelaki itu standar, sedang perempuan
substandar, "belum manusia utuh". Maka, layak saja, ketika D. Spender
bermaksud menggambarkan bahwa manusialah pencipta bahasa,
sebenarnyalah tersirat juga anggapan bahwa yang lebih banyak menentukan
adalah lelaki. Denggan kondisi ini, Spender mesti meminjam dulu kata man, dan
bukan woman, untuk konsep manusia. Maka, ia menjuduli bukunya Man Made
Language (1980), dan bukan *Woman Made Language.10)
Keniscayaan Struktur akibat Konvensi Kebudayaan Masyarakat
Dalam kebudayaan kita, ada kesepakatan legal membudaya bahwa yang bisa
"mengawini" dan "menceraikan" adalah lelaki, sedangkan perempuan, sabar
atau tidak, hanya bisa "dikawin" dan "diceraikan" saja. Dalam keadaan terpaksa,
pihak perempuan yang merasa sudah tidak percaya lagi pada lelaki, akan
bertindak aktif dan menuntut. Biarpun begitu, tetap saja, dia hanya bisa "minta
dikawin" dan "minta diceraikan". Undang-undang perkawinan (katanya sih)
begitu. Maka, langsung bisa ditebak siapa yang diacu "saya", "aku", "kamu", dan
"dia" dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Saya mau mengawinimu asal kamu tidak menuntut macam-macam.
2. Seandainya sekadar boros dan cerewet saja, aku masih bisa menerima.
Tapi, masalahnya dia itu selingkuh. Maka, tak ada pilihan lain, aku akan
menceraikannya, meskipun sebenarnya aku masih cinta.
Bagaimana seandainya pihak perempuan yang lebih kaya, berkuasa,
berkedudukan, lebih tinggi statusnya daripada lelaki? Selama jarum sejarah
budaya masyarakat masih berputar pada lingkaran ideologi patriarki, obsesi
perempuan untuk dapat mengawini dan menceraikan lelaki benar-benar bagai
menunggu tenggelamnya perahu gabus atau terapungnya batu. Sungguh utopis!
Dalam tuntutan struktur bahasa, sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S),
predikat (P), kemudian juga objek (O) dan keterangan (K), dengan pola urutan
ketat P-O dengan letak S dan K manasuka, kalimat "*Leli mengawini Joko" atau
"*Joko dicerai Leli", apa salahnya. Tetapi, soal bahasa bukan hanya struktur,
melainkan juga realitas kultur. Dalam kultur masyarakat kita, seorang perempuan
dapat "kawin dengan", "minta cerai dari", "bercerai dari", dan "diceraikan oleh",
tetapi tidak dapat "mengawini" atau "menceraikan" lelaki (Moeliono &
Dardjowidjojo, 1988; Alwi dkk., 1993). Maka, kalimat semacam "Joko mengawini
Leli" atau "Leli diceraikan Joko" berada dalam keniscayaan struktur. Kepastian
struktur ini mengukuhkan dirinya karena kultur, bukan karena struktur.
Inisiatif Ekspresi dalam Komunikasi
Entah sampai kapan, kebiasaan yang dianggap wajar dan baik adalah lelakilah
pengambil inisiatif pertama, sedang perempuan hanya pantas menunggu dan
merespon inisiatif sang lelaki pujaan. Tugas masing-masing terbelah tegas: lelaki
beraksi, perempuan bereaksi. Oleh karena itu, dalam dunia komunikasi
(pergaulan, perpacaranan, perkencanan), misalnya, yang sering terjadi adalah
lelaki yang mengungkapkan cinta lebih dulu, lelakilah yang mengirimi surat cinta
lebih dulu. Ini menunjukkan bahwa inisiatif ekspresi atau prakarsa pengucapan
berada di tangan lelaki. Mustahilkah perempuan menyatakan perasaan cintanya
terlebih dahulu? Tidak juga. Memang terjadi dan tidak hanya satu dua. Tetapi,
jelas bahwa yang oleh masyarakat dianggap wajar dan pantas memulai,
memprakarsai, dan berinisiatif adalah pihak lelaki. Bahwa setelah mereka resmi
pacaran, atau resmi nikah, perempuan mendahului "menyergap" itu soal lain.
Perempuan yang "kebelet" nekat terus terang menyatakan perasaannya terlebih
dahulu ("Aku cinta kamu") harus siap disoroti dengan nada minor: Perempuan
kok begitu! Tetapi, makhluk Tuhan yang satu ini tak kehabisan taktik. Dia
menyiumpan sebuah rekayasa simbolis: tetap lebih dahulu menyatakan
perasaannya, tetapi tidak transparan, "tidak langsung buka kulit, tampak isi".
Biasanya, ia akan menyelubungi gejolak perasaan yang diekspresikan dengan
kata-kata samar, dibantu dengan sikap sedikit malu-malu, isyarat dan perhatian,
dan pilihan konteks situasi yang tepat. Repotnya kalau sang lelaki tidak segera
menangkap isyarat itu, entah karena memang lelaki ini tergolong tidak mengerti,
bebal, goblog, atau mungkin sebenarnya mengerti, tetapi pura-pura tidak tahu:
sungguh celaka!
Inisiatif ekspresi semacam ini merupakan sebuah konvensi budaya. Maka,
pembaca atau pendengar mana pun segera dapat menarik implikasi
konvensionalnya (Samsuri, 1996): siapa yang dirujuk oleh kata aku (ku) dan dia
(ia) dalam kutipan berikut. Aku sangat mencintainya. Jika nanti sudah menjadi
milikku, akan kusayangi dia. Akan kucium keningnya. Kubelai rambutnya dan
kuremas jarinya yang lentik itu. Tetapi, aku ragu, apa dia mau. Meskipun tidak
disebut eksplisit siapa "aku" dan "dia" dalam kutipan ini, orang tidak akan salah
menangkap siapa "aku" dan "dia" tersebut: "aku" pasti lelaki dan "dia" niscaya
perempuan, lain tidak. Mengapa? Ya itu tadi, budaya masyarakat telah
memagari simbol dan mempedomani interpretasi terhadap simbol-simbol bahasa
itu.
Simpulan: Mau ke mana Bahasa Indonesia?
Ketimpangan gender masyarakat Indonesia tercermin ke dalam BI berwujud:
(1) penambahan nama sebagai penanda status keluarga/perkawinan;
(2) penyebutan keberadaan dan tindakan, meliputi:
(a) sebutan kemaskulinan dan kefemininan,
(b) sebutan pelecehan martabat,
(c) sebutan degradasi konsep dasar martabat,
(d) sebutan pembatasan berkebebasan,
(e) sebutan kenegatifan dan kepositifan, dan
(f) sebutan penstandaran gender;
(3) keniscayaan struktur akibat konvensi kebudayaan, dan
(4) inisiatif ekspresi dalam komunikasi.
Quo vadis ketimpangan gender ini? Dari keempat deskripsi ketimpangan gender
dalam BI ini, tampaknya yang mungkin bisa berubah adalah penambahan nama
penanda status, sebagian penyebutan keberadaan dan tindakan, dan inisiatif
ekspresi. Perubahan ini akan terjadi sejalan dengan perubahan masyarakat
berikut nilai, pandangan hidupnya, khususnya terhadap eksistensi gender. Ada
gejala sebagian perempuan karier tidak lagi menambahi namanya dengan nama
ayah atau suaminya. Sebutan pelecehan martabat gender, semacam WTS, bisa
jadi akan tergeser sejalan dengan kesadaran perempuan bahwa yang bisa
bertuna susila bukan hanya monopoli perempuan. Apalagi inisiatif ekspresi,
sekarang rasanya bukan aneh jika perempuan lebih dulu menyatakan cintanya.
Sekalipun yang terakhir ini lebih merupakan kasus parsial sporadis belaka, bisa
diprediksikan pada masa-masa mendatang fakta ini akan berkembang, sejalan
dengan semakin samar dan relatifnya nilai moral masyarakat, terutama dalam
menyikapi gender, dalam arus globalisasi budaya yang kian "nyah-nyoh"
(permisive) ini.
Konvensi budaya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
mendudukkan lelaki di atas segala-galanya. Dengan begini, konvensi
masyarakat memposisikan lelaki sebagai standar mutu, baik dalam memandang
lelaki maupun perempuan. Konvensi ini juga telah menarik garis tegas stereotipe
lelaki dan stereotipe perempuan dengan hasil yang sudah jelas sama-sama kita
sadari: ketimpangan gender. Dalam posisi yang serba timpang ini, lelaki
mendominasi, sedang perempuan tersubordinasi, ke dalam peran-peran yang
dikontrol oleh cengekeraman hegemoni lelaki.
Karena bahasa mewadahi realitas masyarakat yang timpang seperti itu, bahasa
Indonesia berada dalam genggaman lelaki. Dengan demikian, bahasa ini
mungkin bergender lelaki. Sampai kapankah bahasa kita berkelamin lelaki?
Sampai kapankah dendang lagu "... wanita dijajah pria ... sejak dulu" terus kita
nikmati? Kita tak mungkin menjawabnya "Belum tahu dia!" sebab persoalan ini
menyangkut semua segi kehidupan masyarakat, tempat BI digunakan dan
peluang BI mewahanai kehidupan itu.
Catatan
1. Dengan begini, pada sisi satu bahasa merupakan bagian budaya,
sedangkan pada sisi lain ia menjadi wahana, wadah, dan alat budaya.
Keunikan ini membuktikan bahwa bahasa itu "bermuka dua". Periksa:
Samsuri, ". Kebudayaan, masyarakat, dan bahasa Indonesia. Buletin
Yaperna, Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan, 1975: 14--23; juga
dalam "Kebudayaan dan Bahasa Indonesia", Kertas Kerja Seminar Bulan
Bahasa di FPBS IKIP Malang, 28 Oktober 1986.
2. Ideologi patriarki memandang bahwa wanita itu inferior, lemah, bodoh, tak
berdaya, dan hanya bisa bergantung pada lelaki, maka demi
kelangsungannya mereka harus "dibimbing" (baca: dikuasai!) terusmenerus
oleh lelaki yang dianggap lebih superior, kuat, pintar. Lihat Arief
Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: PT Gramedia,
1981). Konsep ini dekat dengan seksisme, ketimpangan gender, dominasi
lelaki, subordinasi perempuan, supremasi kekuasaan lelaki, dan
hegemoni pria.
3. Banyak sekali kajian yang menerapkan pendekatan perilaku, sekadar
contoh: Mies Grijns dkk., "Gender, Marginalisation and Rural Industry",
Warta Studi Perempuan, Vol. No. , 1994; Muh. Asfar, "Wanita dan Politik:
antara Karir Pribadi dan Jabatan Suami", Prisma XXV/5, Mei 1996.
4. Dengan pendekatan verbal, ketimpangan gender dalam bahasa Inggris
dikaji oleh Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to
Language, Edisi V, Cet. V (Fort Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc.,
1993), khususnya bab "Language in Society", subbab 'Language and
Sexim' (hal. 306--312); tinjauan sekilas terhadap ketimpangan gender
dalam bahasa Inggris dan Indonesia, lih. Siusana Kweldju, "Penelitian
Seksisme Bahasa dalam Kerangka Penelitian Stereotipi Seks", Warta
Studi Perempuan, Vol. 4, No. 1, hal. 7--18, 32; juga Kweldju (1991).
5. Inilah salah satu tajuk bincang Samsuri dalam orasi ilmiahnya pada Rapat
Senat Terbuka Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dalam rangka dies
natalisnya yang ke-38, 24 Agustus 1996, dimuat dalam jurnal FSU in the
Limelight, Vol. 5, No. 1, Oktober 1996, hal. 1--14.
6. Dalam hal ini saya (dkk.) pernah mengadakan penelitian tentang ini
berjudul "Ideologi Gender-Patriarki dalam Buku Teks Bahasa Indonesia
Sekolah Dasar" (Divisi Pemberdayaan Perempuan, LPK2I, 1994).
Temuan penelitian itu adalah bahwa 74% dari semua buku teks pelajaran
Bahasa Indonesia untuk SD, terbitan dari 17 penerbit penerbit di Jawa
Timur dan jawa Tengah, selalu menempatkan pelaku lelaki (bapak,
abang, aku) pada sektor atau tindakan yang secara stereotipis layak
dilakukan oleh maskulin (memperbaiki mesin, bermain layang-layang),
sebaliknya selalu memposisikan perempuan terpuruk dan berkutut dalam
sektor dan tindakan yang stereotpe feminin (memasak, bermain boneka).
7) TBBBI edisi I (1988), dari 11 penyusun, hanya 1 orang saja yang
perempuan (W.H.C.M. Lalamentik, Ph.D.). TBBBI edisi II (1993), dari 14
pakar bahasa yang memberikan saran penyempurnaan, hanya 2 orang
yang perempuan. Inilah sumber kecurigaan bahwa gender lelaki
mendominasi perempuan dan itu membayangi contoh-contoh kalimat
pada buku itu.
7. Bagi pejuang Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal, hanya ada tiga
hal yang bisa dikategorikan ke dalam "kodrat wanita", yaitu menstruasi,
melahirkan, dan menyusui--sesuatu yang memang hanya bisa "dilakukan"
oleh perempuan. Lih. S. Harding, The Science Question in Feminism
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1986). Dalam pandangan
kelompok ini, mengasuh anak, memasak, merawat rumah bukan monopoli
perempuan, merupakan peran-peran yang bisa berubah sesuai dengan
budaya masyarakat (nurture), dan bukan kodrat (nature) perempuan,
sebab lelaki juga (harus) bisa.
8. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan beberapa saja. The American
College Dictionary (1947) mendefenisikan bahwa "doctor, n, ... a man of
great learning". Graduate School of Management UCLA (The Balloon
XXII, 6) menulis: "A businessman is agressive; a businesswoman is pushy
.... A businessman is good on details; she's picky ... He follows through;
she doesn't know when to quit ... He stands firm; she's hard .... He is a
man of the world; she's been around .... He isn't afraid to say what is on
his mind; she's mouthy .... He exercises authority diligenttly; she's power
mad .... He's closemouthed; she's secretive. He climbed the ladder of
success; she slept her way to the top. Bahkan, lebih tegas lagi, Fromkin
dan Rodman, Opcid., hal 307, mengutip: "When I asked 'What walks on
four legs in the morning, two at noon, and three in the evening', you
answerd, 'Man'. You didn't say anything about women. When you say
Man, ... you include women too. Everyone knows that." Lihat juga konsep
gender dalam Crystal (1985: 133-134).
9. Lih. D. Spender, Man Made Language (London: Routledge & Kegan Paul,
1980).
Daftar Pustaka
Bhasin, K. 1990. What is Patriarchy. New Delhi: Kali for Women.
Budiman, A. 1981. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.
Coates, J. 1986. Women, Men and Language: A Sociolinguistic Account of Sex
Differences in Language. London: Longman.
Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya. 1997. Masalah dominasi gender dalam
Developmentalisme. Tempo Interaktif, II/16, 23 Juni.
Frank, F. dan F. Ashen. 1983. Language and the Sexes. New York: State
University of New York Press.
Jupriono, D. 1995. Kamus Kecil Istilah Studi Perempuan. Malang: Divisi
Pemberdayaan Perempuan, LP3K Multimatra.
Kirk, J. dan M.L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research.
Beverly Hills: Sage Publication.
Kweldju, S. 1993. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian
stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4/1: 7--18.
Samsuri. 1996. Bahasa Indonesia, pemakaiannya, dan implikasi
kemasyarakatannya. FSU in the Limelight, V/1, Oktober 1996, hal. 1--14.
Spender, D. 1985. Man Made Language. London: Routledge & K. Paul.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Sukesi, K. 1991. Seksisme. Warta Studi Perempuan Vol 2, No. 1: 40 Wullur, V.
1991. Beberapa catatan tentang Feminisme. Warta Studi Perempuan Vol 2, No.
1: 35--39.
_________________
D. Jupriono, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945.
[Home]