Hidup Bertetangga Dalam Ajaran Islam
وَاللهِ ل يؤُْمِنُ، وَاللهِ ل يؤُْمِنُ، وَاللهِ ل يؤُْمِنُ. قِيلَْ مَنْ ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الذِيى ل يأَمَْنُ جَارُهُ
بوَِاثقَِهُ
“Demi Allah, tidak beriman … Demi Allah, tidak beriman …. Demi Allah, tidak beriman …! Dikatakan kepada beliau, Sipa
ia itu wahai Rasulullah? Rasulullan SAW menjawab, “yaitu orang yang tetangganya tidak aman gara-gara ulahnya.” (H.R.
Bukhari dari Abu Hurairah r.a)
Hadits Rasulullah SAW ysng berkenaan dengan kehidupan bertetangga banyak sekali. Rasulullah SAW selalu
memberi nasehat dan mengajarkan kepada segenap ummatnya untuk menelihara akhlakul kariman dalam bergaul dan
berinteraksi sosial khususnya dalam hal hidup bertetangga.
Kita menyadari, bahwa terwujudnya suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari unsur tetangga sebagai saudara
terdekat keluarga dan kerabat sendiri. Tetangga sebagai saudara terdekat mempunyai tempat dan perhatian khusus dalam
Islam, sehingga baik buruknya bertetangga merupakan ukuran iman seseorang. Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah
mengatakan: “Memelihara hubungan dengan tetangga termasuk bagian dari kesempurnaan iman”.
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berlaku baik terhadap tetangganya, barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
danhari akhir, hendaklah berbicara yang baik atau diam saja.” (H. R. Muslim)
Ini adalah sebuah hadits shahih mulia, yang menjelaskan tiga kaidah dasar dan menjadi penekanan kehidupan
seorang muslim. Penekanan pertama, berbuat baik pada tetangga, kedua, menghormati tamu dan ketiga, bahwa seorang
mukmin tidak boleh berkata, kecuali dengan perkataan yang baik. Tiga perkara di atas merupakan sendi-sendi dasar dari
rangkaian akhlak mulia (makarimul akhlaq).
Berbuat baik terhadap tetangga dan memuliakannya bisa dengan cara bersikap ihsan kepadanya dengan segala
macam kebaikan menurut kemampuan, misalnya, memberikan hadiah kepadanya, memberi salam, memperlihatkan wajah
ceria dan bermuka manis, membantunya memenuhi apa yang dibutuhkan, meringankan kesulitannya dan sebagainya.
Hak dalam bertetangga terbagi dalam tiga bagian:
Pertama, sebagian hubungan bertetangga yang mempunyai tiga macam hak. Yaitu hak tetangga, hak kerabat dan hak
sesama muslim, jika tetangganya itu kebetulan masih kerabatnya sendiri yang muslim.
Kedua, sebagian lagi hubungan bertetangga yang mempunyai dua hak. Yaitu hak tetangga dan hak sesama muslim,
jika tetangganya itu adalah bukan kerabatnya, akan tetapi dia muslim.
Ketiga, sebagian yang lain hubungan bertetangga yang mempunyai satu macam hak. Yaitu hak bertetangga, jika
tetangganya itu bukan muslim dan bukan kalangan kerabatnya.
Dalam hal memenuhi hak dan kewajiban dalam hidup bertetangga, Malaikat Jibril senantiasa menitik beratkan
kepada Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap tetangga, saking seringnya nesehat ini disampaikan oleh jibril kepada
Rasulullah SAW, sehingga seolah-olah sebagian dari mereka dengan lainnya dapat mewarisi harta pusakanya.
Seorang dapat dikatakan “orang baik” apabila pergaulannya dan hubungan dengan tetangga yang berada di
lingkungannya baik. Dan jika sikap, tingkah laku dan prilakunya selalu meresahkan tetangganya, sehingga para tetangganya
terganggu, hidupnya tidak nyaman dan mereka tidak merasakan ketenangan karena ulahnya, maka orang itu sangat dibenci
dan dimurkai oleh Allah SWT.
Dalam hal ini Rasulullah SAW menegaskan dalam hadits beliau,
ل يدَْخُلُ الْجَنةََّ مَنْ ل يأَمَْنُ جَارَهُ بوَِائقَِهُ
“Tidak dapat masuk sorga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”. (H.R. Muslim)
Ada sebuah prinsip yang baik untuk dipegang:
“Jika ada tetangga yang mencela-ku, aku tidak akan membalas untuk mencelanya. Jika ada tetangga yang menyakiti hatiku.
Aku tidak akan membalas untuk menyakitinya. Segala urusan dan segala sesuatunya akan kukembalikan kepada Allah SWT
sebagai penjaga dan pemelihara diri, jiwa dan kehormatanku”.
Apabila wasiat-wasiat Rasulullah yang berkenaan dengan masalah tetangga ini terealisir (terwujud) dalam kehidupan
bermasyarakat, niscaya komunitas manusia atau masyarakat tersebut akan menjadi sebuah keluarga yang satu, yang selalu
komitmen dalam memegang dan melaksanakan pesan-pesan ajaran Islam, yang senantiasa saling tolong-menolong, bahu
membahu dalam kebaikan dan taqwa dan tidak tolong menolong dalam kejahatan dan dosa serta permusuhan. Dengan
demikian amar ma’ruf dan nahi munkar akan terwujud, sehingga terciptalah sebuah masyarakat yang rukun, damai, aman,
dan sentosa lagi penuh dengan keharmonisan dan sopan santun penduduknya. Masyarakat yang demikianlah yang dicitacitakan
oleh Islam. “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.
Iman Ahmad meriwayatkan dengan sanad dari Sayyidah Aisyah r.a, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda.
صِلةَُ الرَّحِم وَ حُسْنُ الخُلُقِ وَ حُسْنُ الِجَوارِ يعَُمِّرْنَ الدِّياَرَ وَ يزُِدْنَ فِى العَْمَارِ
“Silaturrahmi, berakhlak mulia serta bertetangga dengan baik akan membangun dunia dan memperpanjang usia”.
Allahu A’lam bis Asshawwab