Barangkali lelakilah, manusia yang paling miskin khazanah nuansa emosional. Real
itas sosial secara sistematis membuat garis demarkasi yang ketat antara pria den
gan airmata. Bahka dalam kamus hidupnya airmata terlanjur dipersepsikan sebagai
ekspresi kecengengan dan kelemahan. Tengoklah kata, “Diam! Kamu laki-laki jangan
menangis.” Atau, “Dasar cowok cengeng, sana nangis di ibumu!”
Tiba-tiba setelah berumah tangga ia harus serumah dengan wanita, sosok yang seri
ng memakai bahasa airmata. Pada banyak kondisi dan situasi arimatanya bisa tumpa
h ruah seolah tanpa batas. Maka disanalah bermula perjalanan misterius yang penu
h kejutan.
Pertama melihat airmata, ketika upacara ijab qabul berlangsung sakral. Entah men
gapa ada bintik-bintik bening merebak, membasahi mata gadis pilihannya. Terfikir
dalam hati : “Apakah wanita itu menyesal menikah denganku? Kalau tidak, lalu me
ngapa harus ada airmata?”.
Kenapa mata sang istri sembab berlinang air ketika kepala suaminya berlumuran da
rah jatuh dari sepeda motor? Sementara ia sendiri merasa biasa-biasa saja. Menga
pa matanya berkaca-kaca saat melepas rindu setelah lama berpisah? Sedangkan ia m
alah tertawa-tawa. Sang istri menangis setelah melahirkan bayi yang telah lama d
inanti.
Sebagai suami pemula ia belum siap menerjemahkan bahasa airmata dengan sempurna.
Betapa rumit logikanya menerima saat wanita meneteskan airmata, sambil memeluk
bayi yang demam tinggi. Padahal obat penawar baru saja usai diberikan. Apakah ai
rmata bisa mengurangi sakit?
Tapi anehnya, wanita tidak menteskan airmata ketika suami di PHK, saat tergusur
dari pondok kontrakan, susu bayi tiada, atau dapur yang mulai jarang berasap. Is
tri tidak menangis bla tiga tahun menikah belum selembar baju barupun dihadiahka
n suami tercinta. Atau milad perkawinan yang dirayakan cukup dengan makan nasi d
ingin. Rumah kontrakan yang sering kebanjiran. Bahkan ketika dia “terpaksa” ikut
serta memeras keringat menopang ekonomi keluarga yang timpang.
Alhasil walaupun telah berumah tangga, ternyata sungguh rumit menakar harga airm
ata wanita dengan timbangan rasionalitas semata. Sebagai suami ia menyadari kewa
jibannya untuk mendidik, membina dan mencintai istri. Maka mau tidak mau ia haru
s menyelami kehidupan emosional dan karakteristik perasaan wanita, termasuk dime
nsi airmata.
Walau disesali juga mengapa tidak ada mata kuliah hikmah airmata? Mana referensi
buku-buku, atau hasil penelitian yang mengkaji makna tetesan bening dari pelupu
k mata istri? Semula hanya berasumsi, semua wanita memang menangis tanpa ada ala
san.
Ternyata jawabannya ada di ensiklopedi kehidupan, serta kekayaan pengelaman yang
direguk selama berumah tangga. Sedikit demi sedikit mulai di pahami. Sebenarnya
airmata wanita adalah Airmata Kehidupan.
Airmata kekuatan, untuk melahirkan bayi dari rahimnya. Airmata kehangatan bagi b
ayi dalam dekapan lembutnya. Airmata yang peka dan kasih, untuk mencintai dan me
rawat semua anak dan keluarga, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi bagaimana
pun. Walau letih, walau sakit, tanpa berkeluh kesah. Padahal tak jarang orang-or
ang yang dicintai itu menyakiti perasaannya, melukai hatinya.
Airmata ketabahan, atas kesederhanaan hidup namun tak membuatnya minder dalam pe
rgaulan. Apalagi mengurangi husnudzannya terhadap Allah. Airmata ketegaran, saat
rumah tangga melewati masa-masa pancaroba, atau hampir karam oleh badai cobaan.
Seperti tangisan bahagia Khansa’ (bukan sinetron) atas wafatnya suami dan tiga
putera tercinta di medan laga, syahid demi membela kekasih sejati. Itulah airmat
a keperkasaan, yang membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat melalui mas
a-masa sulit. Kegetiran malah membentuk kepribadian yang tangguh.
Airmata kesucian, sebagaimana tangisan Aisyah R.A ketika dituduh berselingkuh ol
eh kaum munafik. Sehingga menimbulkan kisruh dikalangan umat Islam bahkan Rasul
pun hampir terpengaruh. Tapi Allah maha tahu. Airmata kesucian itu dikukuhkan ke
benarannya oleh Al-Qur’an.
Airmata yang bersumber dari mata air kehalusan perasaan ketika bersentuhan denga
n hal-hal yang mengusik hati nurani. Tangisannya bukan karena kecengengan, tapi
menunjukkan betapa halus dan lebutnya perasaan yang ia miliki. Wanita berfikir d
engan hati dan merasa dengan fikirannya.
Subhanallah! Sejauh perjalanan pernikahan ini, ia telah melihat hampir semua jen
is airmata itu berkumpul pada sosok istri tercinta. Airmata yang akan terus mene
tes hingga membasahi hati. Sebagai refleksi atas ketawadhu’an, qona’ah, dan isti
qamahan diri. Juga menumbuhkan ketulusan cinta yang luar biasa.
Akhirnya ia berani menyatakan, “Andai wanita tanpa airmata, maka dunia akan berd
uka cita.” Tiba-tiba sang suami pemula itu ingin belajar menangis.