Zhang Da, Anak Teladan dari Nanjing
Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa,
sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya,
hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan
dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki
yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut
anak yang luar biasa.
Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika
Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat
maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang
Tinggi kepadanya. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang
dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4
milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di
Propinsi Jiangxu, kota Nanjing , serta disiarkan secara Nasional
keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh)
orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita
ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da
sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10 orang yang paling
luar biasa di antara 1,4 milyar manusia. Atau lebih tepatnya ia adalah
yang terbaik di antara 140 juta manusia. Tetapi jika kita melihat apa
yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10 tahun dan terus dia
lakukan sampai sekarang (ia berumur 15 tahun), maka saya mau katakan
bahwa ia luar biasa di antara 1,4 milyar penduduk China .
Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah
tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit
keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang
tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi
ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun
untuk mengambil tanggung jawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia
harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga
harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia.
Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.
Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan
pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus
menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat
Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah. Hidup harus terus
berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul
tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian
ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu
apa yang dikerjakannya.
Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari
rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam
perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun,
biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan
sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba
makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya
dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang
hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu
untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu.
Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan
obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima
tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.
Zhang Da Merawat Papanya yang Sakit
Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggung jawab untuk merawat papanya.
Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan
papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan
papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggung jawab dan kasih.
Semua pekerjaan ini menjadi tanggung jawabnya sehari-hari. Zhang Da
menyuntik sendiri papanya.
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir
untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur
sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku
bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar
bagaimana seorang suster memberikan injeksi/suntikan kepada pasiennya.
Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri.
Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan
itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti
layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru
tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah
perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa
memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak
cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang
sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik
papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang
Da sudah trampil dan ahli menyuntik.
Aku Mau Mama Kembali
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang
hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju
kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, "Zhang Da,
sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan
untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai
kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja.
Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak
pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada
ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi,
mereka bisa membantumu!" Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab
apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, "Sebut saja, mereka bisa
membantumu." Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara
bergetar iapun menjawab, "Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke
rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama
Kembalilah!"
Demikian Zhang dan bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu,
saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa
ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak
minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal
untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat
dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari
pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang
dipegangnya semua akan membantunya.
Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya,
itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah
ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya
pergi meninggalkan dia dan papanya.
Cinta yang tak pernah padam
Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang
tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku
bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut
yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu
adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.
Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan
tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana,
"Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis
surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu
ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.
etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian
penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. "Operator," kataku pada
bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki
dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat
yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?"
Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan
pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami
tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut,
menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku
menunggu beberapa menit.
Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda." Lalu aku tanyakan
pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas,
"Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun
yang lalu!" "Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku. "Yang aku ingat, Hannah telah
menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda
menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada." Lalu ia memberiku nama panti
jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud
sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal.
Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana,
seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.
"Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan
pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana
pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku
mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam,
aku meminta agar bisa menemui Hannah. "Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia
sekarang sedang menonton TV di ruang tengah."
Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat
besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang
tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan,
senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan.
Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan
bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah
hubunganku yang terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan
lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih
terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya. Michael Goldstein
adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......."
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau,
anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku
pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael." Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan
selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa,
"Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?" Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk,
"Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk
sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini." Aku keluarkan
dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei,
tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu
kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini."
"Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal
di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang
berjalan-jalan di luar." Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada
perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai
delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku
pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan."
Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca
buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang
dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata,
"Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?" Aku menyerahkan dompet
itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan
memberimu hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca
surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini."
Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana
Hannah sekarang." Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya?
Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap
secantik seperti saat anda mengenalnya," kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda
mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam tanganku, "Tahukah
kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah
menikah, aku selalu mencintainya."
"Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah
gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah
masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.
"Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu
masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak
mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah
kau masih ingat padaku?" Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael
berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air
mata menitik di wajah kami. "Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak,
maka jadilah."
Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan
untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan
pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk
ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael
mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo
memberi hadiah kamar bagi mereka.
Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak
remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak
pernah padam selama 60 tahun.
Ketika Gubukku terbakar
Satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan sebuah kapal, terdampar di pulau yang kecil dan tak berpenghuni.
Pria ini segera berdoa supaya Tuhan menyelamatkannya, dan setiap hari dia mengamati langit mengharapkan
pertolongan, tetapi tidak ada sesuatupun yang datang.
Dengan capainya, akhirnya dia berhasil membangun gubuk kecil dari kayu apung untuk melindungi dirinya dari
cuaca, dan untuk menyimpan beberapa barang yang masih dia punyai.
Tetapi suatu hari, setelah dia pergi mencari makan, dia kembali ke gubuknya dan mendapati gubuk kecil itu
terbakar, asapnya mengepul ke langit. Dan yang paling parah, hilanglah semuanya. Dia sedih dan marah.
"Tuhan, teganya Engkau melakukan ini padaku?" dia menangis.
Pagi- pagi keesokan harinya, dia terbangun oleh suara kapal yang mendekati pulau itu. Kapal itu datang untuk
menyelamatkannya.
"Bagaimana kamu tahu bahwa aku di sini?" tanya pria itu kepada penyelamatnya.
"Kami melihat tanda asapmu", jawab mereka.
Mudah sekali untuk menyerah ketika keadaan menjadi buruk.Tetapi kita tidak boleh goyah, karena Tuhan bekerja
di dalam hidup kita, juga ketika kita dalam kesakitan dan kesusahan.
Ingatlah, ketika gubukmu terbakar, mungkin itu "tanda asap" bagi kuasa Tuhan.Ketika ada kejadian negative
terjadi, kita harus berkata pada diri kita sendiri bahwa Tuhan pasti mempunyai jawaban yang positif untuk kejadian
tersebut.
Mandikan aku, Ibu
Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk
kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan
digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika Universitas
mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah
satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang
''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya Konon,
nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak
didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan
terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap
hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya,
''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah
mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan
perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat
telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibubapaknya.
Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlah ayahbunda
Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang
tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani
dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk
menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia
tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua
orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut
kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia,
pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada
keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin
Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan,
gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya.
Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan
pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh,
Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta
perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang.
Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya
rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satusatunya
keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang
menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan
Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha
menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani,
sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang
lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari
orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah
pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga
kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya
menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri
kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk
pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun
makin tua.
Ciuman Terakhir
Rapat Direksi baru saja berakhir. Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol meja sehingga kopi tertumpah keatas
catatan-catatannya.
"Waduhhh,memalukan sekali aku ini, diusia tua kok tambah ngaco.."
Semua orang ramai tergelak tertawa, lalu sebentar kemudian, kami semua mulai menceritakan Saat-saat yang
paling menyakitkan dimasa lalu dulu.
Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan kisah lain-lainnya.
"Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling tak enak bagimu dulu." Frank tertawa,
mulailah ia berkisah masa kecilnya.
"Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski
berat sekali mencari mata pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia
menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga
untuk ayah dan ibunya dan saudara-saudara lainnya yang masih di rumah."
Ia menatap kami dan berkata, "Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat
dari menarik jala dan memerangi lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia sudah
mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya yang terbuat dari kanvas dan pakaian kerja
dengan kain penutup dadanya. Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya. Tak perduli
berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan dan amisnya ikan."
Suara Frank mulai merendah sedikit.
"Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah. Ia punya mobil truk tua yang dipakainya dalam usaha perikanan
ini. Truk itu bahkan lebih tua umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang
perjalanan. Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya. Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku
merasa menciut ke dalam tempat duduk, berharap semoga bisa menghilang. Hampir separuh perjalanan, ayah
sering mengerem mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan suatu kepulan awan asap. Ia akan selalu
berhenti di depan sekali, dan kelihatannya setiap orang akan berdiri mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan
menyandarkan diri ke depan, dan memberiku sebuah ciuman besar pada pipiku dan memujiku sebagai anak yang
baik. Aku merasa agak malu, begitu risih. Maklumlah, aku sebagai anak umur dua-belas, dan ayahku
menyandarkan diri kedepan dan menciumi aku selamat tinggal!"
Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, "Aku ingat hari ketika kuputuskan aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu
kecupan selamat tinggal. Waktu kami sampai kesekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah tersenyum lebar.
Ia mulai memiringkan badannya kearahku, tetapi aku mengangkat tangan dan berkata, 'Jangan, ayah.' Itu pertama
kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya begitu terheran.
Aku bilang, 'Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal.
Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan.'
Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai basah.
Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya, pandangannya menerawang menembus
kaca depan. 'Kau benar,' katanya.
'Kau sudah jadi pemuda besar......seorang pria. Aku tak akan menciumimu lagi.'"
Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua matanya, ketika ia melanjutkan kisahnya.
"Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi. Itu terjadi pada suatu hari, ketika
sebagian besar armada kapal nelayan merapat dipelabuhan, tapi kapal ayah tidak.Ia punya keluarga besar yang
harus diberi makan.
Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan separuhnya lagi masih ada dilaut.Pastilah
ayah tertimpa badai dan ia mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya."
Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya.
Frank menyambung lagi, "Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa yang akan kukorbankan sekedar untuk
mendapatkan lagi sebuah ciuman pada pipiku....untuk merasakan wajah tuanya yang kasar......untuk mencium bau
air laut dan samudra padanya.....untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku. Ahh, sekiranya saja
aku jadi pria dewasa saat itu. Kalau aku seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi tahu ayahku
bahwa aku terlalu tua 'tuk sebuah ciuman selamat tinggal."
Semoga kita tidak menjadi terlalu tua untuk menunjukkan cinta kasih kita.....
Impian sang mahasiswi
Hari pertama kuliah di kampus, profesor memperkenalkan diri dan menantang kami untuk berkenalan dengan
seseorang yang belum kami kenal. Saya berdiri dan melihat sekeliling ketika sebuah tangan lembut menyentuh
bahu saya. Saya menengok dan mendapati seorang wanita tua, kecil, dan berkeriput, memandang dengan wajah
yang berseri-seri dengan senyum yang cerah.
Ia menyapa, "Halo anak cakep. Namaku Rose. Aku berusia delapan puluh tujuh. Maukah kamu memelukku?"
Saya tertawa & dengan antusias menyambutnya, "Tentu saja boleh!".
Diapun memberi saya pelukan yang sangat erat.
"Mengapa kamu ada di kampus pada usia yang masih muda dan tak berdosa seperti ini?" tanya saya berolok-olok.
Dengan bercanda dia menjawab, "Saya di sini untuk menemukan suami yang kaya, menikah, mempunyai beberapa
anak, kemudian pensiun dan bepergian."
"Ah yang serius?" pinta saya. Saya sangat ingin tahu apa yang telah memotivasinya untuk mengambil tantangan ini
di usianya.
"Saya selalu bermimpi untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan kini saya sedang mengambilnya!" katanya.
Setelah jam kuliah usai, kami berjalan menuju kantor senat mahasiswa dan berbagi segelas chocolate milkshake.
Kami segera akrab. Dalam tiga bulan kemudian, setiap hari kami pulang bersama-sama dan bercakap-cakap tiada
henti. Saya selalu terpesona mendengarkannya berbagai pengalaman dan kebijaksanaannya.
Setelah setahun berlalu, Rose menjadi bintang kampus dan dengan mudah dia berkawan dengan siapapun. Dia suka
berdandan dan segera mendapatkan perhatian dari para mahasiswa lain. Dia pandai sekali menghidupkannya
suasana.
Pada akhir semester kami mengundang Rose untuk berbicara di acara makan malam klub sepak bola kami.
Saya tidak akan pernah lupa apa yang diajarkannya pada kami.
Dia diperkenalkan dan naik ke podium.
Begitu dia mulai menyampaikan pidato yang telah dipersiapkannya, tiga dari lima kartu pidatonya terjatuh ke
lantai.
Dengan gugup dan sedikit malu dia bercanda pada mikrofon.
Dengan ringan berkata, "Maafkan saya sangat gugup.
Saya sudah tidak minum bir. Tetapi wiski ini membunuh saya.
Saya tidak bisa menyusun pidato saya kembali, maka ijinkan saya menyampaikan apa yang saya tahu."
Saat kami tertawa dia membersihkan kerongkongannya dan mulai,
"Kita tidak pernah berhenti bermain karena kita tua; kita menjadi tua karena kita berhenti bermain.
Hanya ada empat rahasia untuk tetap awet muda, tetap bahagia, dan meraih sukses.
Kamu harus tertawa dan menemukan humor setiap hari.
Kamu harus mempunyai mimpi.
Bila kamu kehilangan mimpi-mimpimu, kamu mati.
Ada banyak sekali orang yang berjalan di sekitar kita yang mati namun tidak mengetahuinya!"
"Sungguh jauh berbeda antara menjadi tua dan menjadi dewasa.
Bila kamu berumur sembilan belas tahun dan berbaring di tempat tidur selama satu tahun penuh, tidak melakukan
apa-apa, kamu tetap akan berubah menjadi dua puluh tahun.
Bila saya berusia delapan puluh tujuh tahun dan tinggal di
tempat tidur selama satu tahun, tidak melakukan apapun, saya tetap akan menjadi delapan puluh delapan.
Setiap orang pasti menjadi tua.
Itu tidak membutuhkan suatu keahlian atau bakat.
Tumbuhlah dewasa dengan selalu mencari kesempatan dalam perubahan. "Jangan pernah menyesal. Orang-orang
tua seperti kami biasanya tidak menyesali apa yang telah diperbuatnya, tetapi lebih menyesali apa yang tidak kami
perbuat.
Orang-orang yang takut mati adalah mereka yang hidup dengan penyesalan."
Rose mengakhiri pidatonya dengan bernyanyi "The Rose".
Dia menantang setiap orang untuk mempelajari liriknya dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya Rose meraih gelar sarjana yang telah diupayakannya sejak beberapa tahun lalu.
Seminggu setelah wisuda, Rose meninggal dunia dengan damai.
Lebih dari dua ribu mahasiswa menghadiri upacara pemakamannya sebagai penghormatan pada wanita luar biasa
yang mengajari kami dengan memberikan teladan bahwa tidak ada yang terlambat untuk apapun yang bisa kau
lakukan.
Ingatlah, menjadi tua adalah keharusan, menjadi dewasa adalah pilihan.
Maafkan kiki, ma...
"Ki... Tolongin mama sebentar dong."
Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo
kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke
supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya ?
Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi
sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.
"Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada arisan."
Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan berjam-jam
bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti ditodong pertanyaan, "Mana nih calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat
akhir...". Risih saja ditanya hal-hal semacam itu.
"Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian." "Yah, Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam..." "Soalnya bahannya
banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai jelek lagi." "Ya, sudah. Mama pergi sendiri..." Aku menunduk sambil
pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata mama. Memang, sejak papa meninggal, mama makin
sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian. Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan
kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis. Dia
mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah
aktivis. Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak.
Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang akan ada
ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu lagi. Jadi aku tidak bohong kan? Aku berusaha berkonsentrasi
memahami apa yang tertulis di buku tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang-layang. Dari jauh terdengar
derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.
Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali.
Semalam sebelumnya, mama memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi
aku tidak iri. Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama
diambil alih bang Edo untuk minggu ini.
"Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?", tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari
atas meja. Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca. "Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi
sendiri kan juga bisa."
"Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu."
"Kata siapa ?"
"Mama sendiri yang bilang."
"Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyakjuga."
"Huu... Mana, cuma baca komik gitu !"
Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama mama. Kelihatannya mereka akan pergi
ke resepsi pernikahan. Habis, bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa aku tolak.
"Ki, mama minta tolong dong..."
Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama.... Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke
dalam kamar. Aku hanya bisa meringis.
"Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong."
"Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?"
"Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di
sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?"
Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk ! Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan.
Belum lagi sorenya ada ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini...
"Aduh, Mama.... Kiki bener-bener sibuk... Besok ada ujian dan tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi..."
"Ya, udah kalo kamu nggak mau.", balas mama dengan ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
"...Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama...", bisik mama lirih dengan sedikit terisak.
Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu.
Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. "Iya deh Ma... Biar Kiki yang pergi..."
Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati. Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek
rasanya harus berusaha melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam.
Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di
kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang
letaknya cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah... Ah, dari sini
belok kiri. Astaghfirulllah... Ternyata ditutup juga... Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat
sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana. Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi
jalan. Semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya. Jalan itu
begitu sempit. Jika ada dua mobil berpapasan dari arah yang berlawanan, pastilah salah satunya harus mengalah.
Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekan belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali,
tetap tidak ada jawaban. Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu. Jangan-jangan Mereka
sudah tidur... Hampir saja aku berbalik pulang. Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. "Tolong ya Ki...
Soalnya berkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi besok pagi." Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa
malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras.
Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Aku menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin
malu saja ! "Oh, kertas apa ya ?", tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai
kusut. Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini. Menit-menit selanjutnya, kami berdua
mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan
dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku
menelepon ke rumah.
"Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?"
"He..he...he...Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan."
"Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !"
"Wah, maaf Ki... Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira..."
"Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !"
Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku
dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah enyum, minta maaf lalu pamit secepatnya.
Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam
dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang
sudah selesai... Dasar mama ...
Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku merasa
semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit
dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.
Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek
parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Tuhan, darah... Tubuhku lebih gemetar
karena takut daripada karena sakit.
"Neng, nggak apa-apa neng ?", tanya seseorang.
Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah semuanya
masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada
yang patah.
Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang
diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !
"Neng, nggak apa-apa ?", ucap seseorang mengulangi pertanyaannya.
Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar.
Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku... Aku
langsung tak sadarkan diri.
Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata
menetes dari mataku... Ya Tuhan, sakit sekali....
"Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat."
Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa
mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya bisa mengirangira.
Dan dokter pun membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah,
tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya
aku lidahku harus dijahit.
Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara
selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar
yang selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan ... Walau sepertinya hanya luka
ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku
dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh buat. Kata dokter kalau
lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah.
Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah, tugas atau ujian. Untuk minum saja aku
tersiksa. Aku menjerit-jerit tiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidak kekurangan cairan,
tubuhku dipasangi infus. Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat,
mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan.
Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, "Mama, maafkan Kiki..." Mama
juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Ini
benar-benar peringatan keras dari Tuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan, ternyata nilainilai
itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku
memperlakukan mama.
Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur
hidup? Tuhan, ampuni aku... Aku benar-benar telah membelakangi nuraniku sendiri.... Jangan biarkan aku mati
sebagai anak durhaka.... Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata hukuman
ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini
mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku
kecil.
Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil kuucapkan walau patah-patah. "Mama... Maafkan
Kiki..."
Mengapa Sulit Mengucap Syukur ?
Aku bermimpi suatu hari aku pergi ke surga dan seorang malaikat menemaniku dan menunjukkan keadaan di
surga. Kami berjalan memasuki suatu ruang kerja penuh dengan para malaikat. Malaikat yang mengantarku
berhenti di depan ruang kerja pertama dan berkata, " Ini adalah Seksi Penerimaan. Di sini, semua permintaan yang
ditujukan pada Tuhan diterima".
Aku melihat-lihat sekeliling tempat ini dan aku dapati tempat ini begitu sibuk dengan begitu banyak malaikat yang
memilah-milah seluruh permohonan yang tertulis pada kertas dari manusia di seluruh dunia.
Kemudian aku dan malaikat-ku berjalan lagi melalui koridor yang panjang lalu sampailah kami pada ruang kerja
kedua. Malaikat-ku berkata, "Ini adalah Seksi Pengepakan dan Pengiriman. Di sini kemuliaan dan berkat
yangdiminta manusia diproses dan dikirim ke manusia-manusia yang masih hidup yang memintanya". Aku
perhatikan lagi betapa sibuknya ruang kerja itu. Ada banyak malaikat yang bekerja begitu keras karena ada begitu
banyaknya permohonan yang dimintakan dan sedang dipaketkan untuk dikirim ke bumi.
Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai pada ujung terjauh koridor panjang tersebut dan berhenti pada
sebuah pintu ruang kerja yang sangatkecil. Yang sangat mengejutkan aku, hanya ada satu malaikat yang duduk di
sana, hampir tidak melakukan apapun. "Ini adalah Seksi Pernyataan Terima Kasih", kata Malaikat-ku pelan. Dia
tampak malu. "Bagaimana ini? Mengapa hampir tidak ada pekerjaan disini?", tanyaku. "Menyedihkan", Malaikatku
menghela napas. " Setelah manusia menerima berkat yang mereka minta, sangat sedikit manusia yang
mengirimkan pernyataan terima kasih". "Bagaimana manusia menyatakan terima kasih atas berkat Tuhan?",
tanyaku. "Sederhana sekali", jawab Malaikat. "Cukup berkata, "Terima kasih, Tuhan".
"Lalu, berkat apa saja yang perlu kita syukuri", tanyaku. Malaikat-ku menjawab, "Jika engkau mempunyai
makanan di lemari es, pakaian yang menutup tubuhmu, atap di atas kepalamu dan tempat untuk tidur, maka engkau
lebih kaya dari 75% penduduk dunia ini."
"Jika engkau memiliki uang di bank, di dompetmu, dan uang-uang receh, maka engkau berada diantara 8%
kesejahteraan dunia."
"Dan jika engkau mendapatkan pesan ini di komputer mu, engkau adalah bagian dari 1% di dunia yang memiliki
kesempatan itu."
Juga.... "Jika engkau bangun pagi ini dengan lebih banyak kesehatan daripada kesakitan ... engkau lebih diberkati
daripada begitu banyak orang di dunia ini yang tidak dapat bertahan hidup hingga hari ini."
"Jika engkau tidak pernah mengalami ketakutan dalam perang, kesepian dalam penjara, kesengsaraan penyiksaan,
atau kelaparan yang amat sangat, maka engkau lebih beruntung dari 700 juta orang di dunia".
"Jika orangtuamu masih hidup dan masih berada dalam ikatan pernikahan ... maka engkau termasuk orang yang
sangat jarang."
"Jika engkau masih bisa mencintai ... maka engkau termasuk orang yang besar, karena cinta adalah berkat Tuhan
yang tidak didapat dari manapun."
"Jika engkau dapat menegakkan kepala dan tersenyum, maka engkau bukanlah seperti orang kebanyakan, engkau
unik dibandingkan semua mereka yang berada dalam keraguan dan keputusasaan."
"Jika engkau dapat membaca pesan ini, maka engkau menerima berkat ganda, yaitu bahwa seseorang yang
mengirimkan ini padamu berpikir bahwa engkau orang yang sangat istimewa baginya, dan bahwa engkau lebih
diberkati dari pada lebih dari 2 juta orang di dunia yang bahkan tidak dapat membaca sama sekali".
Nikmatilah hari-harimu, hitunglah berkat yang telah Tuhan anugerahkan kepadamu. Dan jika engkau berkenan,
kirimkan pesan ini ke semua teman-temanmu untuk mengingatkan mereka betapa. diberkatinya kita semua.
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu menyatakan bahwa, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan
menambahkan lebih banyak nikmat kepadamu ."
Ditujukan pada : Departemen Pernyataan Terima Kasih.
PIANO
Kisah ini terjadi di Rusia. Seorang ayah yang memiliki putra yang berusia kurang lebih 5 tahun, memasukkan
putranya tersebut ke sekolah musik untuk belajar piano. Ia rindu melihat anaknya kelak menjadi seorang pianis
yang terkenal.
Selang beberapa waktu kemudian, di kota tersebut datang seorang pianis yang sangat terkenal. Karena
ketenarannya, dalam waktu singkat tiket konser telah terjual habis. Sang ayah membeli 2 buah tiket pertunjukan,
untuk dirinya dan anaknya.
Pada hari pertunjukan, satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh. Sang ayah duduk dan putranya
tepat berada di sampingnya. Seperti layaknya seorang anak kecil, anak ini pun tidak betah duduk diam terlalu lama,
tanpa sepengetahuan ayahnya, ia menyelinap pergi.
Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut menyadari bahwa putranya tidak ada di sampingnya. Ia
lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan, dan sedang berjalan menghampiri
piano yang akan dimainkan pianis tersebut.
Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa takut anak tersebut duduk di depan piano dan mulai memainkan sebuah lagu,
lagu yang sederhana, twinkle-twinkle little star.
Operator lampu sorot, yang terkejut mendengar adanya suara piano mengira bahwa konser telah dimulai tanpa abaaba
terlebih dahulu, dan ia langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut
melihat yang berada di panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil. Sang pianis pun terkejut,
dan bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, sang pianis tidak menjadi marah, ia tersenyum dan
berkata, "Teruslah bermain" dan sang anak yang mendapat ijin, meneruskan permainannya.
Sang pianis lalu duduk di samping anak itu dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu. Ia mengisi semua
kelemahan permainan anak itu dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan
mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.
Ketika mereka berdua selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah, karangan bunga dilemparkan ke
tengah panggung. Sang anak jadi besar kepala, pikirnya, "Gila, baru belajar piano sebulan saja sudah hebat!" Ia
lupa bahwa yang disoraki oleh penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua
kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.
Apa implikasinya dalam hidup kita ?
Kadang kita bangga akan segala rencana hebat yang kita buat, perbuatan-perbuatan besar yang telah berhasil kita
lakukan. Tapi kita lupa bahwa semua itu terjadi karena Tuhan ada di samping kita. Kita adalah anak kecil tadi,
tanpa ada Tuhan di samping kita, semua yang kita lakukan akan sia-sia. Tapi bila Tuhan ada di samping kita,
sesederhana apapun hal yang kita lakukan hal itu akan menjadi hebat dan baik, bukan saja buat diri kita sendiri tapi
juga baik bagi orang di sekitar kita. Semoga kita tidak pernah
lupa bahwa ada Tuhan di samping kita.
Adakah ……yang akan mendoakan kita ?
Seorang pengusaha sukses jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke, sudah 7 malam dirawat di Rumah Sakit di
ruang ICU. Disaat orang-orang terlelap dalam mimpi malam, dalam dunia Roh seorang Malaikat menghampiri si
pengusaha yang terbaring tak berdaya.
Malaikat memulai pembicaraan, "kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat kesembuhanmu, maka kau
akan hidup dan sebaliknya jika dalam 24 jam jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, itu artinya kau akan
meninggal dunia!
"Kalau hanya mencari 50 orang, itu mah gampang ... " kata si pengusaha ini dengan yakinnya.
Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati. Tepat
pukul 23:00, Malaikat kembali merngunjunginya; dengan antusiasnya si pengusaha bertanya, "apakah besok pagi
aku sudah pulih? pastilah banyak yang berdoa buat aku, jumlah karyawan yang aku punya lebih dari 2000 orang,
jadi kalau hanya mencari 50 orang yang berdoa pasti bukan persoalan yang sulit".
Dengan lembut si Malaikat berkata, "anakku, aku sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa buatmu tapi
sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu, sementara waktu mu tinggal 60 menit lagi, rasanya mustahil
kalau dalam waktu dekat ini ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu".
Tanpa menunggu reaksi dari si pengusaha, si Malaikat menunjukkan layer besar berupa TV siapa 3 orang yang
berdoa buat kesembuhannya. Di layar itu terlihat wajah duka dari sang istri, di sebelahnya ada 2 orang anak kecil,
putra putrinya yang berdoa dengan khusuk dan tampak ada tetesan air mata di pipi mereka".
Kata Malaikat, "aku akan memberitahukanmu, kenapa Tuhan rindu memberikanmu kesempatan kedua? itu karena
doa istrimu yang tidak putus-putus berharap akan kesembuhanmu" Kembali terlihat dimana si istri sedang berdoa
jam 2:00 subuh, " Tuhan, aku tahu kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami atau ayah yang baik! Aku tahu
dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tahu dia tidak jujur dalam bisnisnya, dan kalaupun dia memberikan
sumbangan, itu hanya untuk popularitas saja untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar dihadapanMu, tapi
Tuhan, tolong pandang anak-anak yang telah Engkau titipkan pada kami, mereka masih membutuhkan seorang
ayah dan hamba tidak mampu membesarkan mereka seorang diri." dan setelah itu istrinya berhenti berkata-kata
tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang kelihatan tirus karena kurang istirahat".
Melihat peristiwa itu, tampa terasa, air mata mengalir di pipi pengusaha ini. Timbul penyesalan bahwa selama ini
dia bukanlah suami yang baik dan ayah yang menjadi contoh bagi anak-anaknya, dan malam ini dia baru
menyadari betapa besar cinta istri dan anak-anak padanya.
Waktu terus bergulir, waktu yang dia miliki hanya 10 menit lagi, melihat waktu yang makin sempit semakin
menangislah si pengusaha ini, penyesalan yang luar biasa tapi waktunya sudah terlambat ! tidak mungkin dalam
waktu 10 menit ada yang berdoa 47 orang ! Dengan setengah bergumam dia bertanya, "apakah diantara
karyawanku, kerabatku, teman bisnisku, teman organisasiku tidak ada yang berdoa buatku?"
Jawab si Malaikat, " ada beberapa yang berdoa buatmu tapi mereka tidak tulus, bahkan ada yang mensyukuri
penyakit yang kau derita saat ini, itu semua karena selama ini kamu arogan, egois dan bukanlah atasan yang baik,
bahkan kau tega memecat karyawan yang tidak bersalah".
Si pengusaha tertunduk lemah, dan pasrah kalau malam ini adalah malam yang terakhir buat dia, tapi dia minta
waktu sesaat untuk melihat anak dan si istri yang setia menjaganya sepanjang malam. Air matanya tambah deras,
ketika melihat anaknya yang sulung tertidur di kursi rumah sakit dan si istri yang kelihatan lelah juga tertidur di
kursi sambil memangku si bungsu.
Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si Malaikat berkata, "anakku, Tuhan melihat air matamu dan
penyesalanmu!! kau tidak jadi meninggal, karena ada 47 orang yang berdoa buatmu tepat jam 24:00". Dengan
terheran-heran dan tidak percaya, si pengusaha bertanya siapakah yang 47 orang itu. Sambil tersenyum si Malaikat
menunjukkan suatu tempat yang pernah dia kunjungi bulan lalu.
Bukankah itu Panti Asuhan ? kata si pengusaha pelan. Benar anakku, kau pernah memberi bantuan bagi mereka
beberapa bulan yang lalu, walau aku tahu tujuanmu saat itu hanya untuk mencari popularitas saja dan untuk
menarik perhatian pemerintah dan investor luar negeri.
Tadi pagi, salah seorang anak panti asuhan tersebut membaca di koran kalau seorang pengusaha terkena stroke dan
sudah 7 hari di ICU, setelah melihat gambar di koran dan yakin kalau pria yang sedang koma adalah kamu, pria
yang pernah menolong mereka dan akhirnya anak-anak panti asuhan sepakat berdoa buat kesembuhanmu.
Doa sangat besar kuasanya, tak jarang kita malas, tidak punya waktu, tidak terbeban untuk berdoa bagi orang lain.
Ketika kita mengingat seorang sahabat lama / keluarga, kita pikir itu hanya kebetulan saja padahal seharusnya kita
berdoa bagi dia, mungkin saja pada saat kita mengingatnya dia dalam keadaan butuh dukungan doa dari orangorang
yang mengasihi dia.
Di saat kita berdoa bagi orang lain, kita akan mendapatkan kekuatan baru dan kita bisa melihat kemuliaan Tuhan
dari peristiwa yang terjadi. Hindarilah perbuatan menyakiti orang lain... sebaliknya perbanyaklah berdoa buat
orang lain.
Adakah ……yang akan mendoakan kita ?
Seorang pengusaha sukses jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke, sudah 7 malam dirawat di Rumah Sakit di
ruang ICU. Disaat orang-orang terlelap dalam mimpi malam, dalam dunia Roh seorang Malaikat menghampiri si
pengusaha yang terbaring tak berdaya.
Malaikat memulai pembicaraan, "kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat kesembuhanmu, maka kau
akan hidup dan sebaliknya jika dalam 24 jam jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, itu artinya kau akan
meninggal dunia!
"Kalau hanya mencari 50 orang, itu mah gampang ... " kata si pengusaha ini dengan yakinnya.
Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati. Tepat
pukul 23:00, Malaikat kembali merngunjunginya; dengan antusiasnya si pengusaha bertanya, "apakah besok pagi
aku sudah pulih? pastilah banyak yang berdoa buat aku, jumlah karyawan yang aku punya lebih dari 2000 orang,
jadi kalau hanya mencari 50 orang yang berdoa pasti bukan persoalan yang sulit".
Dengan lembut si Malaikat berkata, "anakku, aku sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa buatmu tapi
sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu, sementara waktu mu tinggal 60 menit lagi, rasanya mustahil
kalau dalam waktu dekat ini ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu".
Tanpa menunggu reaksi dari si pengusaha, si Malaikat menunjukkan layer besar berupa TV siapa 3 orang yang
berdoa buat kesembuhannya. Di layar itu terlihat wajah duka dari sang istri, di sebelahnya ada 2 orang anak kecil,
putra putrinya yang berdoa dengan khusuk dan tampak ada tetesan air mata di pipi mereka".
Kata Malaikat, "aku akan memberitahukanmu, kenapa Tuhan rindu memberikanmu kesempatan kedua? itu karena
doa istrimu yang tidak putus-putus berharap akan kesembuhanmu" Kembali terlihat dimana si istri sedang berdoa
jam 2:00 subuh, " Tuhan, aku tahu kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami atau ayah yang baik! Aku tahu
dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tahu dia tidak jujur dalam bisnisnya, dan kalaupun dia memberikan
sumbangan, itu hanya untuk popularitas saja untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar dihadapanMu, tapi
Tuhan, tolong pandang anak-anak yang telah Engkau titipkan pada kami, mereka masih membutuhkan seorang
ayah dan hamba tidak mampu membesarkan mereka seorang diri." dan setelah itu istrinya berhenti berkata-kata
tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang kelihatan tirus karena kurang istirahat".
Melihat peristiwa itu, tampa terasa, air mata mengalir di pipi pengusaha ini. Timbul penyesalan bahwa selama ini
dia bukanlah suami yang baik dan ayah yang menjadi contoh bagi anak-anaknya, dan malam ini dia baru
menyadari betapa besar cinta istri dan anak-anak padanya.
Waktu terus bergulir, waktu yang dia miliki hanya 10 menit lagi, melihat waktu yang makin sempit semakin
menangislah si pengusaha ini, penyesalan yang luar biasa tapi waktunya sudah terlambat ! tidak mungkin dalam
waktu 10 menit ada yang berdoa 47 orang ! Dengan setengah bergumam dia bertanya, "apakah diantara
karyawanku, kerabatku, teman bisnisku, teman organisasiku tidak ada yang berdoa buatku?"
Jawab si Malaikat, " ada beberapa yang berdoa buatmu tapi mereka tidak tulus, bahkan ada yang mensyukuri
penyakit yang kau derita saat ini, itu semua karena selama ini kamu arogan, egois dan bukanlah atasan yang baik,
bahkan kau tega memecat karyawan yang tidak bersalah".
Si pengusaha tertunduk lemah, dan pasrah kalau malam ini adalah malam yang terakhir buat dia, tapi dia minta
waktu sesaat untuk melihat anak dan si istri yang setia menjaganya sepanjang malam. Air matanya tambah deras,
ketika melihat anaknya yang sulung tertidur di kursi rumah sakit dan si istri yang kelihatan lelah juga tertidur di
kursi sambil memangku si bungsu.
Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si Malaikat berkata, "anakku, Tuhan melihat air matamu dan
penyesalanmu!! kau tidak jadi meninggal, karena ada 47 orang yang berdoa buatmu tepat jam 24:00". Dengan
terheran-heran dan tidak percaya, si pengusaha bertanya siapakah yang 47 orang itu. Sambil tersenyum si Malaikat
menunjukkan suatu tempat yang pernah dia kunjungi bulan lalu.
Bukankah itu Panti Asuhan ? kata si pengusaha pelan. Benar anakku, kau pernah memberi bantuan bagi mereka
beberapa bulan yang lalu, walau aku tahu tujuanmu saat itu hanya untuk mencari popularitas saja dan untuk
menarik perhatian pemerintah dan investor luar negeri.
Tadi pagi, salah seorang anak panti asuhan tersebut membaca di koran kalau seorang pengusaha terkena stroke dan
sudah 7 hari di ICU, setelah melihat gambar di koran dan yakin kalau pria yang sedang koma adalah kamu, pria
yang pernah menolong mereka dan akhirnya anak-anak panti asuhan sepakat berdoa buat kesembuhanmu.
Doa sangat besar kuasanya, tak jarang kita malas, tidak punya waktu, tidak terbeban untuk berdoa bagi orang lain.
Ketika kita mengingat seorang sahabat lama / keluarga, kita pikir itu hanya kebetulan saja padahal seharusnya kita
berdoa bagi dia, mungkin saja pada saat kita mengingatnya dia dalam keadaan butuh dukungan doa dari orangorang
yang mengasihi dia.
Di saat kita berdoa bagi orang lain, kita akan mendapatkan kekuatan baru dan kita bisa melihat kemuliaan Tuhan
dari peristiwa yang terjadi. Hindarilah perbuatan menyakiti orang lain... sebaliknya perbanyaklah berdoa buat
orang lain
Kisah Alergi Hidup
Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya : "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah
tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati".
Sang Guru tersenyum : "Oh, kamu sakit".
"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati".
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan : "Kamu sakit. Penyakitmu itu bernama
"Alergi Hidup". Ya, kamu alergi terhadap kehidupan. Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan.
Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan
terus. Sungai kehidupan ini mengalir
terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya
kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita
sakit. Usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar.
Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini ? Kita tidak menyadari sifat
kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita".
"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti
petunjukku", kata sang Guru.
"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi", pria itu menolak
tawaran sang Guru.
"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati ?", tanya Guru.
"Ya, memang saya sudah bosan hidup", jawab pria itu lagi.
"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini... Malam nanti, minumlah separuh isi
botol ini. Sedangkan separuh sisanya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan
mati dengan tenang".
Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk
memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah
menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu,
ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai ! Tinggal satu
malam dan satu hari ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia
lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis.
Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik,
"Sayang, aku mencintaimu". Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan
manis.
Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan
tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia
menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat dua cangkir kopi.
Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan
manis! Sang istripun merasa aneh sekali dan berkata : "Sayang, apa yang terjadi hari ini ? Selama ini, mungkin aku
salah. Maafkan aku sayang".
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok
aneh ya ?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang
terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah
dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia
mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri
yang memberikan ciuman kepadanya sambil berkata : "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku
selalu merepotkan kamu". Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan : "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah
selalu tertekan karena perilaku kami".
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya
untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya ?
Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah
terjadi dan berkata : "Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian,
apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap
detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan
mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah
rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan".
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi
pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah
sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP !
Aku Pernah Datang dan Aku Sangat Penurut
Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu
dan polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kata
terakhir yang ia tinggalkan adalah aku pernah datang dan aku sangat penurut. Anak ini rela melepaskan
pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari
perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan
kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan
pengobatannya.
Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang
mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu,
kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya.
Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada
tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat di mana papanya menemukan anak kecil tersebut di
atas hamparan rumput. Di sanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat
menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.
Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada
orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi
tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, "saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya
makan". Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yuan.
Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada ASI dan juga
tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka
dari kecil, anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh.
Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para
tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat
menyukai Yu Yuan. Di tengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.
Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa
mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan
dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua,
sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling
menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.
Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di
sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah
mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di
sekolahnya diceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah
untuk menguji papanya.
Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang
memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.
Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi, saat Yu Yuan sedang mencuci
muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya.
Dengan berbagai cara, tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut sehingga papanya membawa Yu Yuan ke
puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengerluarkan darah dan tidak mau
berhenti. Di pahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk
membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor
karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri di kursi yang panjang untuk menutupi hidungnya.
Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena
papanya merasa tidak enak, kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari
hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar
dari hidung Yu Yuan.
Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter
menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang
memerlukan biaya sebesar $ 300.000. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang.
Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang
ke sanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil
keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu-satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh,
dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.
Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu
hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir di kala kata-kata belum sempat terlontar. "Papa saya
ingin mati". Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, "Kamu baru berumur 8 tahun,
kenapa mau mati". "Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah
cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini."
Pada tanggal 18 Juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan
pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan
dengan pemakamannya sendiri. Hari itu juga setelah pulang ke rumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah
memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan
berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: "Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya, lihatlah foto ini".
Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah
yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik
merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu
Yuan
kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia
berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena
seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti
selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.
Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan,
menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamannya
sendiri dan akhirnya menyebar ke seluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak
kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu negara bahkan sampai ke seluruh dunia. Mereka mengirim email ke
seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini. Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat
kuat bagi setiap orang.
Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese di dunia saja telah mengumpulkan 560.000
dollar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua
orang.
Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun
telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan
juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan.
Ada seorang teman di e-mail bahkan menulis: "Yu Yuan anakku yang tercinta, saya mengharapkan kesembuhanmu
dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh
besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta."
Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa
kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan
untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita di dalam sebuah
pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini
membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses
terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi, Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu
Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum
suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak
meneteskan air mata. Yu Yuan yang dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang
seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perermpuannya, air mata Yu
Yuan pun mengalir tak terbendung.
Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama.
Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, "Anak
yang baik". Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen di mana Yu Yuan hidup dan
sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu
Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut.
Pernah mengalami pendarahan di pencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari
tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.
Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan
anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut, fisik Yu Yuan
semakin lemah.
Pada tanggal 20 Agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: "Tante, kenapa mereka mau menyumbang
dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, "karena mereka semua
adalah orang yang baik hati". Yu Yuan kemudia berkata : "Tante, saya juga mau menjadi orang yang baik hati".
Wartawan itupun menjawab, "Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling
membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik". Yu Yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku,
dan diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante, ini adalah surat wasiat saya."
Fu Yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut, ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan
pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah
kematian dan di atas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan
pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.
Dalam satu artikel itu, nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan.
Di belakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,....... Dan dia
juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah
memperhatikan dia lewat surat kabar. "Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa
saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada
pemimpin palang merah, setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit
seperti saya. Biar mereka lekas sembuh". Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang
membasahi pipinya.
Aku pernah datang dan aku sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22
Agustus, karena pendarahan di pencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa
mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula-mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie
instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat
pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat
pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis. Semua orang ingin membantu
meringankan penderitaannya, tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit
tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat
kecil yang cantik yang suci bagaikan air sungguh telah pergi ke dunia lain.
Di kecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang
mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumupuk setinggi gunung. Ada seorang
pemuda berkata dengan pelan "Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil di atas langit, kepakkanlah
kedua sayapmu. Terbanglah..............." demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.
Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Di depan rumah duka, banyak
orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu Yuan yang tidak
dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan
pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan
kepergian Yu Yuan.
Di depan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Di atas batu nisannya tertulis, "Aku
pernah datang dan aku sangat patuh" (30 Nov 1996 - 22 Agustus 2005). Dan di belakangnya terukir perjalanan
singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah di saat dia masih hidup telah menerima kehangatan
dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.
Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia
lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu,
Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu.
Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.
Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil
melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. "Saya telah menerima
bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami di atas sana. Jangan
risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata "Aku pernah datang dan aku sangat
patuh".
Kesimpulan:
Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan
akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya
kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan dunia. Walaupun hidup serba
kekuarangan, dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu
melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan
perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan
pribadi seorang Pengasih.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Jangan hanya bangga dengan keberhasilan masa lalu. Itu hanya kenangan !!!
Kalau pintu yang satu tertutup, pintu yang lain terbuka; tetapi seringkali kita terlalu lama menyesali pintu yang
tertutup sehingga tidak melihat yang terbuka bagi kita. (Alexander Graham Bell)
Hal-hal yang hebat lebih banyak dilakukan dengan keberanian daripada dengan kebijaksanaan (Peribahasa Jerman)
Banyak orang yang TIDAK SADAR bahwa PERUT LAPAR dan AMARAH itu hanya diBATASI
dengn GARIS TIPIS,
Lapar bukanlah aib, cuma saja tidak menyenangkan.
Sabarlah dan gigih bekerja untuk mendapatkan makanan sehingga tidak lapar.
Bagi yang lapar dan tak berdaya, harus diberi makan dulu, setelah sehat dan kuat baru ia bisa bekerja.
Ibu Teresa katakan :
Berilah UMPAN kepada kaum lapar dan tidak berdaya,
supaya mereka boleh sehat kembali dan kuat bekerja lagi,
JANGAN diberi PANCING, sebab mereka sudah tiada tenaga lagi,
mereka belum kuat untuk memancing karena mereka terlalu lemah, lunglai & tak berdaya!