Trik Wanita Bisa Mencapai Multi Orgasme
Trik Wanita Bisa Mencapai Multi Orgasme
Puncak kenikmatan behubungan seks yang dirasakan oleh wanita di sebut orgasme. Sulit untuk menggambarkan dengan kata-kata bagaimana rasanya orgasme itu. Orgasme yang dirasa dengan gesekan alat kelamin pria pada dinding vagina yang penuh saraf perasa, dan kenikmatan itu makin lama makin terasa nikmat hingga mencapai puncaknya yang dimana disebut orgasme. Ketika orgasme berlangsung seluruh tubunya terasa menggigil, cengkeraman vagina pada penis semakin kuat dan disertai gerakan mendekap tubuh pasangannya yang seperti menghimpit.Namun, sayang sekali tidak semua wanita dapat menikmati orgasme. Kebanyakan wanita melakukan hubungan seks hanya untuk melakukan kewajiban sebagai istri, ataupun hanya untuk memuaskan sang suaminya, sementara dia sendiri tidak merasakan kenikmatan apa-apa. Padahal, dalam berhubungan seks seharusnya dapat dinikmati keduanya. Karena hubungan seks dilakukan berdua, maka orgasme pun harus dirasakan bersama. Bila pria dapat mencapai multi orgasme, kenapa wanita tidak ? Apalagi, kunci untuk wanita mencapai multi orgasme sangat mudah. Bahkan sama mudahnya mencapai orgasme berkali-kali hingga kadang pun tanpa dengan bantuan pasangannya.Tidak sulit untuk mencapai orgasme, begitu juga yang kedua kali, ketiga atau keempat. Syaratnya, Anda terbuka dengan keinginan untuk mendapatkan sensasi yang luar biasa itu, dan kami membantu Anda, dengan beberapa kunci dibawah ini :Anda tentu tak dapat hanya menggunakan satu cara untuk mencapai klimaks, karena klitoris merupakan daerah yang sangat sensitive. Itulah sebabnya terkadang Anda merasa sakit apabila pasangan Anda memainkan jarinya terlalu lama atau bila Anda telah mencapai orgasme. Salah satu penyebab sulitnya pencapaian orgasme adalah kurangnya lubrikasi pada daerah yang paling sensitive itu. Terkadang didalam liang vagina tak dapat menghasilkan jumlah cairan yang dibutuhkan. Maka pada saat inilah Anda memerlukan bantuan dengan lubrikasi ekstra, baik dengan menggunakan jeli khusus ataupun dengan saliva. Oleskan jeli dengan gerakan lembut hingga Anda dapat merasakan sensasinya. Maka bila pasangan Anda memainkan daerah vagina Anda dengan jarinya, Anda tidak akan merasa sakit, bahkan dapat merasakan kenikmatan yang ekstra.Mungkin Anda pun telah mengetahui G-spot terletak di dinding bagian depan vagina Anda. Bila Anda merabanya dengan jari maka dapat merasakan bagian kecil yang lunak seperti spons. Anda dapat arahkan jari pasangan Anda menuju bagian tersebut dan memulai dengan gerakan maju mundur yang halus. Gerakan ini akan membuat Anda serasa berada diawang-awang. Bila dia melakukan saat Anda mencapai puncak, maka Anda dapat memperoleh multi orgasme. Atau sebagai selingan, Anda bisa memintanya untuk bergerak kearah klitoris dan kembali lagi ke arah G-spot sebelum melakukan penetrasi. Satu hal yang selalu menghalangi tercapainya orgasme adalah ketidak mampuan untuk bisa rileks. Bila Anda sedang mengalami ketegangan tentu saja kenikmatan tak akan tercapai. Anda dapat mencoba menghilangkan ketegangan ini dengan berbagai cara, Mungkin Anda dapat meminta pasangan untuk melakukan pijatan sensual sehingga otot-otot rileks, Anda pun dapat merasakan timbulnya gairah. Atau pun meminta pasangan untuk memeluk, membelai, dan mencium seperti pasangan yang sedang berpacaran. Bila suasana romantis ini telah tercapai, maka tidak sulit untuk meningkatkannya menjadi suasana yang menggairahkan, maka Anda pun akan mencapai puncak kenikmatan yang spektakuler. Organ paling sensitive yang dapat menimbulkan orgasme adalah vagina. maka otot-otot didalam
file:///D|/copy%20disk3/Project%20Fajrin/Cerita/C...r/alfa%20(19)/trik_wanita_bisa_mencapai_multi.htm (1 of 2) [6/15/2007 6:56:15 PM]
Trik Wanita Bisa Mencapai Multi Orgasme
vagina harus dilatih agar dapat memberikan orgasme yang berulang-ulang. Cara melatih vagina adalah dengan menguncupkannya selama dua detik lalu lepaskan lagi. Bila kesulitan melakukannya maka dapat dengan cara latihan kencing sedikit demi sedikit, dalam arti keluarkan air kencing sedikit, kemudian ditahan, keluarkan lagi dan tahan lagi. Demikian seterusnya hingga otot-otot vagina menjadi terlatih.Wanita yang sudah dirangsang dalam permainan awal sebelum sanggama berlangsung, umumnya mulai merasakan kenikmatan begitu liang vagina disusupi batang penis pasangannya. Dengan demikian dalam waktu yang singkat kemungkinan ia akan segera orgasme. Bila terjadinya orgasme, maka Anda harus menundanya secara meminta pasangan menghentikan gerakan mendorongnya. Dengan beristirahat sejenak maka emosinya akan kembaki datar. Tujuannya adalah agar wanita dapat mencapai multi orgasme. Apalagi jika Anda memadukannya dengan sensasi G-spot. multi orgasme dapat dengan mudah Anda rasakan.
file:///D|/copy%20disk3/Project%20Fajrin/Cerita/C...r/alfa%20(19)/trik_wanita_bisa_mencapai_multi.htm (2 of 2) [6/15/2007 6:56:15 PM]
Senin, 24 Mei 2010
Barangkali lelakilah, manusia yang paling miskin khazanah nuansa emosional. Real
itas sosial secara sistematis membuat garis demarkasi yang ketat antara pria den
gan airmata. Bahka dalam kamus hidupnya airmata terlanjur dipersepsikan sebagai
ekspresi kecengengan dan kelemahan. Tengoklah kata, “Diam! Kamu laki-laki jangan
menangis.” Atau, “Dasar cowok cengeng, sana nangis di ibumu!”
Tiba-tiba setelah berumah tangga ia harus serumah dengan wanita, sosok yang seri
ng memakai bahasa airmata. Pada banyak kondisi dan situasi arimatanya bisa tumpa
h ruah seolah tanpa batas. Maka disanalah bermula perjalanan misterius yang penu
h kejutan.
Pertama melihat airmata, ketika upacara ijab qabul berlangsung sakral. Entah men
gapa ada bintik-bintik bening merebak, membasahi mata gadis pilihannya. Terfikir
dalam hati : “Apakah wanita itu menyesal menikah denganku? Kalau tidak, lalu me
ngapa harus ada airmata?”.
Kenapa mata sang istri sembab berlinang air ketika kepala suaminya berlumuran da
rah jatuh dari sepeda motor? Sementara ia sendiri merasa biasa-biasa saja. Menga
pa matanya berkaca-kaca saat melepas rindu setelah lama berpisah? Sedangkan ia m
alah tertawa-tawa. Sang istri menangis setelah melahirkan bayi yang telah lama d
inanti.
Sebagai suami pemula ia belum siap menerjemahkan bahasa airmata dengan sempurna.
Betapa rumit logikanya menerima saat wanita meneteskan airmata, sambil memeluk
bayi yang demam tinggi. Padahal obat penawar baru saja usai diberikan. Apakah ai
rmata bisa mengurangi sakit?
Tapi anehnya, wanita tidak menteskan airmata ketika suami di PHK, saat tergusur
dari pondok kontrakan, susu bayi tiada, atau dapur yang mulai jarang berasap. Is
tri tidak menangis bla tiga tahun menikah belum selembar baju barupun dihadiahka
n suami tercinta. Atau milad perkawinan yang dirayakan cukup dengan makan nasi d
ingin. Rumah kontrakan yang sering kebanjiran. Bahkan ketika dia “terpaksa” ikut
serta memeras keringat menopang ekonomi keluarga yang timpang.
Alhasil walaupun telah berumah tangga, ternyata sungguh rumit menakar harga airm
ata wanita dengan timbangan rasionalitas semata. Sebagai suami ia menyadari kewa
jibannya untuk mendidik, membina dan mencintai istri. Maka mau tidak mau ia haru
s menyelami kehidupan emosional dan karakteristik perasaan wanita, termasuk dime
nsi airmata.
Walau disesali juga mengapa tidak ada mata kuliah hikmah airmata? Mana referensi
buku-buku, atau hasil penelitian yang mengkaji makna tetesan bening dari pelupu
k mata istri? Semula hanya berasumsi, semua wanita memang menangis tanpa ada ala
san.
Ternyata jawabannya ada di ensiklopedi kehidupan, serta kekayaan pengelaman yang
direguk selama berumah tangga. Sedikit demi sedikit mulai di pahami. Sebenarnya
airmata wanita adalah Airmata Kehidupan.
Airmata kekuatan, untuk melahirkan bayi dari rahimnya. Airmata kehangatan bagi b
ayi dalam dekapan lembutnya. Airmata yang peka dan kasih, untuk mencintai dan me
rawat semua anak dan keluarga, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi bagaimana
pun. Walau letih, walau sakit, tanpa berkeluh kesah. Padahal tak jarang orang-or
ang yang dicintai itu menyakiti perasaannya, melukai hatinya.
Airmata ketabahan, atas kesederhanaan hidup namun tak membuatnya minder dalam pe
rgaulan. Apalagi mengurangi husnudzannya terhadap Allah. Airmata ketegaran, saat
rumah tangga melewati masa-masa pancaroba, atau hampir karam oleh badai cobaan.
Seperti tangisan bahagia Khansa’ (bukan sinetron) atas wafatnya suami dan tiga
putera tercinta di medan laga, syahid demi membela kekasih sejati. Itulah airmat
a keperkasaan, yang membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat melalui mas
a-masa sulit. Kegetiran malah membentuk kepribadian yang tangguh.
Airmata kesucian, sebagaimana tangisan Aisyah R.A ketika dituduh berselingkuh ol
eh kaum munafik. Sehingga menimbulkan kisruh dikalangan umat Islam bahkan Rasul
pun hampir terpengaruh. Tapi Allah maha tahu. Airmata kesucian itu dikukuhkan ke
benarannya oleh Al-Qur’an.
Airmata yang bersumber dari mata air kehalusan perasaan ketika bersentuhan denga
n hal-hal yang mengusik hati nurani. Tangisannya bukan karena kecengengan, tapi
menunjukkan betapa halus dan lebutnya perasaan yang ia miliki. Wanita berfikir d
engan hati dan merasa dengan fikirannya.
Subhanallah! Sejauh perjalanan pernikahan ini, ia telah melihat hampir semua jen
is airmata itu berkumpul pada sosok istri tercinta. Airmata yang akan terus mene
tes hingga membasahi hati. Sebagai refleksi atas ketawadhu’an, qona’ah, dan isti
qamahan diri. Juga menumbuhkan ketulusan cinta yang luar biasa.
Akhirnya ia berani menyatakan, “Andai wanita tanpa airmata, maka dunia akan berd
uka cita.” Tiba-tiba sang suami pemula itu ingin belajar menangis.
itas sosial secara sistematis membuat garis demarkasi yang ketat antara pria den
gan airmata. Bahka dalam kamus hidupnya airmata terlanjur dipersepsikan sebagai
ekspresi kecengengan dan kelemahan. Tengoklah kata, “Diam! Kamu laki-laki jangan
menangis.” Atau, “Dasar cowok cengeng, sana nangis di ibumu!”
Tiba-tiba setelah berumah tangga ia harus serumah dengan wanita, sosok yang seri
ng memakai bahasa airmata. Pada banyak kondisi dan situasi arimatanya bisa tumpa
h ruah seolah tanpa batas. Maka disanalah bermula perjalanan misterius yang penu
h kejutan.
Pertama melihat airmata, ketika upacara ijab qabul berlangsung sakral. Entah men
gapa ada bintik-bintik bening merebak, membasahi mata gadis pilihannya. Terfikir
dalam hati : “Apakah wanita itu menyesal menikah denganku? Kalau tidak, lalu me
ngapa harus ada airmata?”.
Kenapa mata sang istri sembab berlinang air ketika kepala suaminya berlumuran da
rah jatuh dari sepeda motor? Sementara ia sendiri merasa biasa-biasa saja. Menga
pa matanya berkaca-kaca saat melepas rindu setelah lama berpisah? Sedangkan ia m
alah tertawa-tawa. Sang istri menangis setelah melahirkan bayi yang telah lama d
inanti.
Sebagai suami pemula ia belum siap menerjemahkan bahasa airmata dengan sempurna.
Betapa rumit logikanya menerima saat wanita meneteskan airmata, sambil memeluk
bayi yang demam tinggi. Padahal obat penawar baru saja usai diberikan. Apakah ai
rmata bisa mengurangi sakit?
Tapi anehnya, wanita tidak menteskan airmata ketika suami di PHK, saat tergusur
dari pondok kontrakan, susu bayi tiada, atau dapur yang mulai jarang berasap. Is
tri tidak menangis bla tiga tahun menikah belum selembar baju barupun dihadiahka
n suami tercinta. Atau milad perkawinan yang dirayakan cukup dengan makan nasi d
ingin. Rumah kontrakan yang sering kebanjiran. Bahkan ketika dia “terpaksa” ikut
serta memeras keringat menopang ekonomi keluarga yang timpang.
Alhasil walaupun telah berumah tangga, ternyata sungguh rumit menakar harga airm
ata wanita dengan timbangan rasionalitas semata. Sebagai suami ia menyadari kewa
jibannya untuk mendidik, membina dan mencintai istri. Maka mau tidak mau ia haru
s menyelami kehidupan emosional dan karakteristik perasaan wanita, termasuk dime
nsi airmata.
Walau disesali juga mengapa tidak ada mata kuliah hikmah airmata? Mana referensi
buku-buku, atau hasil penelitian yang mengkaji makna tetesan bening dari pelupu
k mata istri? Semula hanya berasumsi, semua wanita memang menangis tanpa ada ala
san.
Ternyata jawabannya ada di ensiklopedi kehidupan, serta kekayaan pengelaman yang
direguk selama berumah tangga. Sedikit demi sedikit mulai di pahami. Sebenarnya
airmata wanita adalah Airmata Kehidupan.
Airmata kekuatan, untuk melahirkan bayi dari rahimnya. Airmata kehangatan bagi b
ayi dalam dekapan lembutnya. Airmata yang peka dan kasih, untuk mencintai dan me
rawat semua anak dan keluarga, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi bagaimana
pun. Walau letih, walau sakit, tanpa berkeluh kesah. Padahal tak jarang orang-or
ang yang dicintai itu menyakiti perasaannya, melukai hatinya.
Airmata ketabahan, atas kesederhanaan hidup namun tak membuatnya minder dalam pe
rgaulan. Apalagi mengurangi husnudzannya terhadap Allah. Airmata ketegaran, saat
rumah tangga melewati masa-masa pancaroba, atau hampir karam oleh badai cobaan.
Seperti tangisan bahagia Khansa’ (bukan sinetron) atas wafatnya suami dan tiga
putera tercinta di medan laga, syahid demi membela kekasih sejati. Itulah airmat
a keperkasaan, yang membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat melalui mas
a-masa sulit. Kegetiran malah membentuk kepribadian yang tangguh.
Airmata kesucian, sebagaimana tangisan Aisyah R.A ketika dituduh berselingkuh ol
eh kaum munafik. Sehingga menimbulkan kisruh dikalangan umat Islam bahkan Rasul
pun hampir terpengaruh. Tapi Allah maha tahu. Airmata kesucian itu dikukuhkan ke
benarannya oleh Al-Qur’an.
Airmata yang bersumber dari mata air kehalusan perasaan ketika bersentuhan denga
n hal-hal yang mengusik hati nurani. Tangisannya bukan karena kecengengan, tapi
menunjukkan betapa halus dan lebutnya perasaan yang ia miliki. Wanita berfikir d
engan hati dan merasa dengan fikirannya.
Subhanallah! Sejauh perjalanan pernikahan ini, ia telah melihat hampir semua jen
is airmata itu berkumpul pada sosok istri tercinta. Airmata yang akan terus mene
tes hingga membasahi hati. Sebagai refleksi atas ketawadhu’an, qona’ah, dan isti
qamahan diri. Juga menumbuhkan ketulusan cinta yang luar biasa.
Akhirnya ia berani menyatakan, “Andai wanita tanpa airmata, maka dunia akan berd
uka cita.” Tiba-tiba sang suami pemula itu ingin belajar menangis.
WANITA DAN ISLAM
Kumpulan Tulisan Santriwati Aceh
Siti Zalikha H. Ibrahim,
Azizah Muhammad
Junaidah Mahmud
Maisarah H. Muhammad
Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi
Safrida Hamdani
PENGANTAR LAPENA
ALHAMDULILLAH, buku ini sudah lahir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kesederhanaan hasil, buku ini diharapkan dapat menjawab sebagian persoalan di kalangan penuntut ilmu, terutama dari dayah untuk mencurahkan pemikirannya lewat tulisan. Dikatakan sederhana, karena persoalan yang diangkat oleh penulis, masih dirasakan kurang, terutama segi metodologi penulisan. Dapat dikatakan bahwa buku ini, bukan merupakan buku yang sangat ilmiah.
Sebagai bagian dari tim pendampingan penulisan buku ini, kami menyadari bahwa apa yang dituliskan, bisa saja masih ada ruang untuk diperdebatkan. Pun demikian kembali ke persoalan awal, bahwa buku ini ditulis oleh para penulis yang memang baru memulai: buku ini bukan ditulis oleh penulis yang bergelar master atau doktoral atau teungku-teungku yang sudah mempunyai pengalaman yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sungguh tak elok bila membandingkan apa yang ditulis ini dengan kemampuan pembaca yang mungkin melebihi dari pengalaman para penulis.
Kami mengharapkan adanya proses penyempurnaan dari buku ini yang berlangsung terus-menerus dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan di Aceh pada masa depan. Bagi pembaca yang merasakan bahwa masih ada sesuatu yang bisa diperdebatkan, tentu akan berusaha mengajak diskusi secara mendalam dengan penulis. Demikian juga penulis, dengan adanya buku ini, setidaknya akan menyadari bila di kemudian hari merasakan ada kekurangan dari tulisannya.
Pada akhirnya buku ini menjadi media untuk saling menyempurnakan yang prasyaratnya selalu harus ada dua pihak di dalamnya: ada penulis dan ada pembaca.
Seperti yang kami kemukakan di awal, bahwa buku ini tidak terlalu ilmiah. Dari awal, kami menyerahkan kebebasan kepada penulis untuk menuliskan pemikirannya. Untuk membantu proses ini, kami melaksanakan dua kali workshop penulisan.
Buku ini sendiri dihasilkan dari sebuah program dengan jangka waktu empat bulan, yang dilaksanakan Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh dengan biaya dari Satker BRR – Pemulihan dan Peningkatan Kualitas Kehidupan Keagamaan NAD-Nias. Untuk menghasilkan sebuah buku, bagi penulis pemula, waktu empat bulan tersebut dirasakan sangat singkat. Memahami kondisi ini, Lapena meminta dua kali perpanjangan waktu, dan Satker BRR menerima permintaan ini dan menambah waktu hingga program ini berakhir pada 15 Desember 2006.
Nama program ini adalah workshop dan Penulisan Buku Oleh Santriwati Dayah Salafiah di Aceh. Seluruh santriwati dayah salafi dibuka kesempatan untuk ikut program ini, yang diundang melalui selebaran yang dikirim ke dayah-dayah dan memasang iklan di Harian Serambi Indonesia, masing-masing pada 10 Juli 2006 dan 13 Juli 2006. Panitia juga berusaha melakukan kontak dengan beberapa
dayah dan meminta secara langsung. Penyebaran ini juga masih terbantu dengan pemberitaan di Harian Serambi Indonesia pada 11 Juli 2006 pada halaman 2.
Iklan tersebut memberi batas waktu sampai dengan 10 Agustus 2006. Dalam batas waktu tersebut, ada 64 santriwati yang menelepon panitia menanyakan syarat dan proses penulisan intisari karya tulis sebagaimana yang dimintakan panitia. Namun sampai 10 Agustus 2006, karya yang masuk ke panitia hanya enam karya. Panitia memperpanjang dua hari lagi sampai 12 Agustus 2006 dengan alasan ada beberapa santriwati yang menelepon mengaku sedang membuat intisari tulisannya, tapi tetap tak ada karya yang bertambah.
Keenam intisari tulisan yang masuk ke panitia, yakni: Siti Radhiah (Aurat wanita dalam perspektif Islam), Maisarah (Poligami dalam Islam), Azizah Muhammad (Aborsi, Halal atau Haram?), Safrida (Wanita dalam Bingkai Islam), Siti Zalikha (Keluarga Berencana dalam perspektif Islam), dan Junaidah (Insaf).
Enam intisari tulisan inilah yang kemudian diundang untuk mengikuti presentasi di hadapan tim penilai yang telah ditentukan. Dalam pertemuan pertama dengan penulis, ada satu permintaan penulis yang akhirnya disepakati antara tim penilai, penulis, dan panitia, yakni menyepakati keenam orang yang mengirimkan intisari tulisannya untuk bisa mengikuti program ini. Presentasi dilakukan pada 26 Agustus 2006 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan workshop penulisan pada 27 Agustus 2006. Kedua kegiatan berlangsung di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Panjangnya jangka waktu antara pengumuman dengan pelaksanaan workshop lebih disebabkan oleh hal teknis, khususnya dalam hal komunikasi dan budaya. Awalnya panitia kesulitan mencari tempat karena menyangkut dengan santriwati. Setelah hal ini dikomunikasikan dengan pimpinan MUDI, alhamdulillah, ditanggapi dengan sangat baik dan pimpinan MUDI menawarkan dayah yang berhadapan dengan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-‘Aziziyah, Samalanga ini sebagai tempat pelaksanaan workshop. Tak menunggu waktu, panitia langsung mengkomunikasikan dengan orang-orang yang akan terlibat di dalamnya.
Workshop dilakukan untuk mendapatkan rumusan tentang rencana tindak lanjut dalam penulisan buku beserta memperdalam tema-tema yang sudah ditulis. Dari workhop, bisa menentukan rancangan sistematika secara jelas buku santriwati ini. Workshop ini juga sangat membantu santriwati untuk mengkomunikasikan berbagai persoalan yang dihadapi dalam proses penulisan buku ini.
Dalam workshop tersebut, menghadirkan pemateri, antara lain: Drs. Fuad Mardhatillah UY. Tiba, M.A (Staf Ahli Kepala BRR Bidang Transformasi Sosial), M. Rizwan Ali, S.Ag., M.A (Penulis dan Staf Pengajar Universitas Malikul Saleh), Teungku M. Jafar, S.HI (STAIN Lhokseumawe), Sulaiman Tripa, dan D. Kemalawati. Materi yang dibahas masing-masing: Strategi Menulis, Menulis: Hal yang Boleh dan Tak Boleh Dilakukan dalam Menulis, Menulis di Dayah: Antara Populer dan Ilmiah, Bagaimana Menjadi Penulis, dan Manajemen Waktu dalam Menulis.
Workshop ini dibuka oleh Deputi BRR Bidang Sosial, Agama dan Budaya, Dr. Teuku Safir Wijaya, yang dihadiri oleh pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya, Satker Agama (diwakili Juniazi Yahya, S.Ag), Manager Dayah BRR (Teungku Muntasir), Rakhmat Fadhli (BRR), peserta penulis, dan santriwati nonpenulis yang diharapkan akan menjadi penulis nantinya.
Panitia sengaja melibatkan sekitar 37 santriwan dan santriwati dalam workshop ini karena ada keinginan untuk lahirnya banyak menulis dari dayah. Jadi di samping para penulis buku yang merasakan manfaat, pelaksanaan acara tersebut di dayah juga sangat membantu santri dalam mengkomunikasikan permasalahan menulis yang dialami oleh mereka.
Khusus bagi penulis buku, melalui kegiatan tersebut, mereka membuat rencana penulisan tiga bulan dengan tema-tema yang sudah ada dan ada yang diubah. Penulis akan melakukan riset kepustakaan untuk menentukan sistematika secara jelas. Keenam penulis juga sudah mempunyai outline tentang masalah yang akan dikembangkan dan ditulis.
Sejak selesai workshop itulah penulis mulai melakukan penulisan buku ini. dalam masa tiga bulan tersebut, dengan dibantu seorang fasilitator dari Rabithah Raliban Aceh (Salwa Hayati, S.Ag), panitia selalu menjalin komunikasi melalui telepon dengan dua kali tatap muka untuk melakukan evaluasi terhadap buku yang ditulis.
Dalam proses pendampingan ini, masalah yang muncul paling banyak adalah persoalan teknis menulis sebagaimana telah disampaikan dalam workshop pertama. Hingga naskah yang dikirim ke panitia pada minggu kedua November 2006, keluhan penulis masih pada seputar teknis menulis tersebut.
Seperti yang direncanakan dari awal, bahwa atas naskah yang sudah dikirim, panitia juga meminta penulis untuk mendiskusikan dengan tim yang diundang pada workshop kedua yang berlangsung di Banda Aceh pada 26 November 2006. Workshop kedua ini, mendiskusikan naskah yang dikirim kepada panitia masing-masing berjudul: Jilbab dan Aurat Wanita dalam Konteks Islam (Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi), Islamikah Tradisi Jilbab Kita? (Siti Zalikha H. Ibrahim), Hubungan Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam (Junaidah Mahmud), Poligami dan Hak Keistimewaan dalam Islam (Maisarah H. Muhammad), Hak Wanita dalam Pembagian Warisan (Azizah Muhammad), dan Keutamaan Wanita Salehah dalam Islam (Safrida Hamdani).
Untuk membantu kegiatan ini, ada beberapa orang yang mengkritisi tulisan, yakni: Prof. Dr. Syahrizal (IAIN Ar-Raniry), Dr. Nurjannah Ismail, M.A (IAIN Ar-Raniry), Drs. Fuad Mardhatillah UY. Tiba, M.A (Staf Ahli Kepala BRR Bidang Transformasi Sosial), Dr. Mohd Harun Al Rasyid (FKIP Unsyiah), Sulaiman Tripa dan D. Kemalawati (Lapena). Namun Prof. Dr. Syahrizal tidak bisa hadir karena ada kegiatan penting lain dan beliau menitipkan tulisan yang telah diberi catatan-catatan kepada penulis. Harus diakui, bahwa waktu yang mendadak sangat berpengaruh kepada proses pembacaan naskah secara mendetail.
Ada satu hal penting yang umumnya dikomentari tim pengkritisi saat itu, bahwa kemampuan untuk menulis sudah mulai terlihat, walau harus diakui, menurut pengkritisi, isi tulisan masih ada ruang untuk diperdebatkan.
Kami, tentu harus menegaskan bahwa para pengkritisi yang melihat tulisan ini, telah berdiskusi dengan penulis atau memberikan catatan, tapi proses penyempurnaan tulisan, sepenuhnya dilakukan oleh penulis sendiri. Jadi, isi dalam buku ini adalah pemikiran dari penulis.
Bagi kami sendiri, isi sangat penting untuk menegaskan bagaimana pemikiran penulis terhadap khalayak, walau masih ada hal-hal yang perlu diperdebatkan. Namun demikian, rangsangan untuk menulis juga harus diberikan seiring dengan penekanan pentingnya isi dari apa yang ditulis tersebut.
Atas dasar tersebut, kami sendiri ingin menyampaikan bahwa: kalaulah nantinya dari tulisan ini masih ada kekurangan, bukankah ini kemudian bisa didiskusikan secara terus-menerus dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan –khususnya ilmu pengetahuan agama di Aceh: tanah yang pernah berkibar dengan pemikiran-pemikiran Islam pada masa lalu?
Kemudian dalam melakukan pengeditan bahasa, ada beberapa penulis yang sepertinya berbahasa Melayu yang kental, sehingga dengan komunikasi dengan penulis berusaha diarahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Inilah sambutan kami atas pengalaman lebih dari empat bulan mendampingi program ini. Banyak orang yang memiliki kontribusi hingga buku ini menjadi sebuah kenyataan.
Atas terbitnya buku ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak: Bapak Teuku Safir Wijaya, Bapak Fuad Mardhatillah, Bapak Hasan Basri M. Nur, Teungku Muntasir, Bapak Rakhmat Fadhil, Bapak Taufiq, Bapak Juniazi, Bapak Syahrizal, Ibu Nurjannah, Teungku M. Jakfar, Bapak Rizwan Ali, serta Ibu Salwa Hayati yang telah membantu dan ikut memberi kontribusi dalam kegiatan ini.
Selain semua orang yang telah disebutkan di atas, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Teungku Hasanul, selaku pimpinan MUDI Mesjid Raya yang menerima kami dengan tangan terbuka. Kemudian teman-teman di MUDI Post (Teungku Saiful, Teungku Andi, dan teman-teman) yang turut membantu Lapena lewat kegiatan ini –kami berharap pertemuan itu bisa berarti bagi masa depan penulisan di dayah.
Selain itu, tentu banyak yang lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Teman-teman di Lapena: Saiful, Erwin, Sari, Mutia, terima kasih atas semangat yang ikhlas.
Sekecil apapun, kami sangat mengharapkan buku ini akan bermanfaat bagi perjalanan peradaban di masa depan, seraya memohon maaf atas kekurangan kami yang mungkin tidak memuaskan.
Semoga. Amien.
Lamnyong, 2 Desember 2006
Helmi Hass
Sulaiman Tripa
Mohd. Harun Al Rasyid
D. Kemalawati
PENGANTAR BRR
SEJAK zaman dahulu, tradisi menulis dalam masyarakat Aceh didominasi kaum laki-laki, meskipun sejumlah tokoh perempuan Aceh pernah memegang tampuk kekuasaan dalam pemerintahan atau menjadi komandan perang di medan laga. Akibatnya, wacana pemikiran, terutama dalam aspek sosial-keagamaan, dinilai sering bias gender. Kaum perempuan kerap disodori hasil ijtihad ulama laki-laki untuk diikuti dan diamalkan, dengan tanpa menanyai pendapat kaum perempuan itu sendiri.
Dominasi kaum laki-laki dalam kehidupan sosial-keagamaan saatnya untuk diakhiri. Keterlibatan kaum perempuan dalam mewarnai khazanah intelektual dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan non-formal, seperti pesantren tradisional yang di Aceh dikenal sebagai dayah salafiyah. Jika diberi ruang gerak yang cukup, pengajar perempuan dan santriwati di dayah salafiyah ternyata memiliki potensi untuk mengembangkan diri. Hanya saja selama ini perhatian kepada mereka sering terabaikan. Dan, ini merupakan sebuah dosa kita pada umat.
Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias melalui Direktorat Agama telah membuka wawasan baru dalam kehidupan di dayah salafiyah. Direktorat Agama BRR bersama Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh telah mendorong dan memfasilitasi santriwati untuk mengekspresikan gagasan yang selama ini terpendam. Hasilnya, sebanyak enam orang santriwati yang berasal dari dayah-dayah salafiyah di Aceh melakukan kajian keagamaan mengenai perempuan dari perspektif Islam. Kajian yang dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan itu kemudian dirangkum menjadi sebuah buku berjudul: Wanita dan Islam: Kumpulan Tulisan Santriwati Aceh.
Enam orang santriwati itu berasal dari dua dayah terbesar di Aceh, yaitu Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (Mudi) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun dan Dayah Ruhul Fatayat, Seulimuem, Aceh Besar. Para santriwati ini menulis enam topik yang antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Kajian dan ulasan mereka cukup menarik untuk dibaca, karena merupakan pemikiran orisinil pelajar pesantren tradisional dengan merujuk pada sumber-sumber utama Islam, Al-Qur’an dan Hadits, di samping tetap memperhatikan karya-karya ulama klasik dan modern.
Buku ini merupakan karya perdana santriwati dayah salafiyah di Aceh. Kerja keras para penulis -- Siti Zalikha, Azizah Muhammad, Siti Radhiah, Maisyarah, Junaidah Mahmud dan Safrida Hamdani -- patut dihargai dan diharapkan menjadi inspirator bagi lahirnya penulis-penulis baru di kalangan perempuan Aceh, khususnya di kalangan pesantren. Upaya mencurahkan pikiran dan menggoreskan tinta di atas kertas untuk kemudian disebar dalam masyarakat merupakan sesuatu yang sangat berharga. Karya ini diharapkan akan menjadi bahan rujukan dan bahan bacaan masyarakat luas sekaligus memperkaya khazanah intelektual Aceh.
Mudah-mudahan dengan lahirnya karya ini akan mendorong keinginan perempuan Aceh lainnya untuk bertafakkur dan menuangkan gagasannya dalam
tulisan, sehingga mempermulus jalan bagi terwujudnya era renaissance Aceh. Sejatinya perempuan Aceh melahirkan karya-karya yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat, sehingga umat tidak hanya terpaku pada karya-karya klasik warisan ulama abad pertengahan, yang mayoritas merupakan karya kaum laki-laki. Kepada para penulis diharapkan untuk terus mengembangkan potensi diri, sehingga menemukan jati diri yang sesungguhnya dalam upaya menuju sosok transformator dalam masyarakat.
Akhirnya, kepada tim kecil Lapena -- Sulaiman Tripa, Helmi Hass, Mohd. Harun Al Rasyid, D. Kemalawati -- yang telah bersusah payah dalam memfasilitasi dan mengarahkan para penulis hingga diluncurkannya karya ini ke publik diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Ungkapan senada juga disampaikan kepada Bapak T. Safir Iskandar Wijaya, Deputi Bidang Agama, Sosial dan Budaya BRR NAD-Nias, Sdr. Syafiq Hasyim, gender advisor pada BRR NAD-Nias, Bapak H.Fuad Mardhatillah UY.Tiba, Staf Ahli Transformasi Sosial BRR NAD-Nias, Bapak Rahmad Fadli, Plt. Direktur Agama BRR NAD-Nias, Teungku Muntasir, Manager Pengembangan Dayah BRR NAD-Nias, Teungku Hasanoel Bashry, Pimpinan Dayah MUDI Samalanga, Waled Husaini, pimpinan Dayah Ruhul Fatayat Seulimuem, serta Sdr. Juniazi dan Sdr. Erawadi, staf satuan kerja Pemulihan dan Pengingkatan Kualitas Keagamaan BRR NAD-Nias. Semoga jerih payah mereka mendapat imbalan setimpal dari Sang Pencipta. Amien.
Selamat membaca!
Banda Aceh, 02 Desember 2006
Manager Agama
BRR NAD-Nias
Hasan Basri M. Nur
DAFTAR ISI
PENGANTAR LAPENA
PENGANTAR BRR
Bagian Satu:
ISLAMIKAH TRADISI JILBAB KITA?
> > > Siti Zalikha H. Ibrahim
Bagian Dua:
HAK WANITA DALAM PEMBAGIAN WARISAN
> > > Azizah Muhammad
Bagian Tiga:
HUBUNGAN PRIA DAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
> > > Junaidah Mahmud
Bagian Empat:
POLIGAMI DAN HAK KEISTIMEWAAN DALAM ISLAM
> > > Maisarah H. Muhammad
Bagian Lima:
JILBAB DAN AURAT WANITA DALAM KONTEKS ISLAM
> > > Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi
Bagian Enam:
KEUTAMAAN WANITA SALEHAH DALAM ISLAM
> > > Safrida Hamdani
BIODATA PENULIS
Bagian Satu
ISLAMIKAH TRADISI JILBAB KITA?
Oleh: Siti Zalikha H. Ibrahim
KESADARAN dalam menjalankan petunjuk agama adalah ciri wanita muslimah yang selalu berhati-hati dalam segala hal, khususnya dalam berpakaian dan berpenampilan. Jilbab menjadi pakaian kebanggaan mereka, dan selalu berusaha untuk tampil yang terbaik, tidak berlebih-lebihan dan menyerupai wanita kafir. Dia tidak mau terperangkap pada perbudakan mode yang diatur oleh toko-toko busana dan orang-orang yang tidak mengakui kebesaran Allah, seperti yang dilakukan oleh wanita-wanita pemboros dan bodoh.
Pernahkah terlintas di benak kita, mengapa mereka berjilbab? Dan siapa yang menyuruhnya? Mereka sadar bahwa itu adalah perintah Allah bukan karena mengikuti mode dan adat istiadat yang diwariskan oleh orang tua mereka. Seperti halnya kebanyakan wanita-wanita sekarang, mereka berpakaian layaknya dikatakan sebagai pembungkus tubuh, karena sempit, sehingga keindahan dan kecantikan tubuh menjadi tontonan dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak. Itu karena pengaruh mode yang semakin hari semakin bertambah deras lajunya dengan terbentang berbagai sarana informasi yang tidak mengenal batas dan waktu. Mereka beranggapan bahwa itu adalah busana muslimah yang sebenarnya. Padahal sebahagian aurat mereka terpampang keluar, seperti muka, leher, tangan dan kaki,
Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah, karena mereka salah persepsi tentang jilbab, di samping karena keimanan mereka yang sangat menipis.
1. Konsepsi Jilbab Menurut Al-Quran
1.1. Jilbab dalam Terminologi Al-Quran
Kata “Jilbab” jamaknya “Jalabib” menurut Kamus Arab-Indonesia Terlengkap Al-Munawwir (1997), adalah: baju kurung panjang sejenis jebah.
1
Menurut Syaikh Imad Zaki Al-Barudi (2003: 642), di dalam bukunya “Tafsir Wanita”, Jilbab adalah pakaian yang meliputi tubuh wanita di luar pakaian dalamnya dan tutup kepala (khimar).
Menurut Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya “Al-Kasysyaf”, Jilbab adalah pakaian yang lebih luas daripada kerudung tetapi lebih sempit daripada selendang.
Menurut Ibnu ‘Athiyyah di dalam tafsirnya “Al-Muharrirul-Wajiiz”, Jilbab adalah pakaian yang lebih besar dari pada kerudung. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dan Ibnu Mas’ud ra bahwa jilbab adalah rida’ (selendang).
Menurut Al-Khathib Asy-Syarbini di dalam Tafsirnya “As-Sirajul Munir”, Jilbab adalah segala sesuatu yang dipergunakan untuk menutupi, baik yang berupa pakaian luar, pakaian dalam, dan pakaian yang digunakan untuk menutupi (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 45-47).
Allah SWT dalam QS 33 ayat 59 berfirman:
يايهاالني قل لازواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابهن ذلك
ادنى ان يعرفن فلايؤذين وآان الله غفورارحيما
”Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat tersebut jelas bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh agar terbeda dengan yang bukan muslimah.
Para Mufassirin berbeda pendapat mengenai bentuk penjuluran jilbab yang diperintahkan Allah. Sebahagian mereka berpendapat: Allah SWT memerintahkan kepada istri-istri kaum mukmin jika keluar rumah untuk suatu keperluan, hendaknya mereka menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab, dan hendaknya menampakkan hanya satu mata.
Sebahagian yang lain mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan mengulurkan jilbab adalah mengikat jilbab pada dahi. Tetapi kedua pendapat tersebut menyebutkan bahwa mereka harus berjilbab dan menutup wajah dengan jilbab (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 45).
2
Basyar berpendapat: Allah memerintahkan kepada wanita merdeka untuk menurunkan jilbab ke keningnya, supaya mudah dikenal dan tidak diganggu. Karena kala itu para budak jika berjalan selalu diganggu (Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, 2003: 640).
Al-Wahidi di dalam tafsirnya “Al-Wajiiz fi Tafsiril Qur’anil ‘Aziz”, berpendapat: Allah memerintahkan mereka untuk melabuhkan selendang dan selimut mereka agar diketahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka.
Ibnu Abbas dan Ubaidah as-Salmani berpendapat: yang demikian itu diperintahkan Allah, apabila si wanita melipatnya sehingga tidak nampak darinya kecuali hanya satu mata yang dengannya dia melihat. Ibnu Abbas dan Qatadah juga berpendapat, yang demikian itu apabila si wanita melipatkan jilbab ke dahi dan mengikatkannya kemudian menjulurkannya ke hidung, menutup dada dan sebahagian besar wajah, yang tampak adalah kedua belah matanya.
Asy-Syarbini di dalam tafsirnya “As-Sirajul” Munir berpendapat: Jika yang dimaksud dengan “jilbab”adalah gamis1, maka yang dimaksud dengan mengulurkannya adalah: menyempurnakannya hingga menutup tubuh dan kedua kaki. Apabila yang ditutup itu kepala, maka maksudnya adalah: menutup wajah dan leher. Jika yang dimaksud adalah yang menutup pakaian, maka maksud mengulurkan di situ adalah: memanjangkan dan melonggarkannya hingga menutupi seluruh tubuh. Dan jika yang dimaksud selain selimut atau kerudung, maka artinya adalah menutup wajah dan kedua tangan.
Dari pendapat Mufassirin tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa mengulurkan jilbab itu mengandung banyak keadaan (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 45), yaitu: Pertama, mengulurkan ke wajah dan menampakkan satu mata; Kedua, mengulurkannya hingga ke kening; Ketiga, mengulurkannya ke wajah dan menampakkan kedua mata; Keempat, mengulurkan selendang dan selimut; Kelima, memakai jilbab atau menghias diri dengan sebahagian jilbab yang mereka miliki; Keenam, menutup kepala dengan selimut yang meliputi tubuh mereka; Ketujuh, jika yang dimaksud dengan jilbab itu qamis (baju
1 Gamis adalah: Jebah atau baju kurung yang longgar dan panjangnya sampai menutupi mata kaki.
3
panjang), maka mengulurkannya hingga menutup dan kedua kakinya; Kedelapan, jika yang dimaksud dengan itu adalah sesuatu yang menutup kepala, maka mengulurkannya adalah ialah menutup wajah dan lehernya; Kesembilan, jika yang dimaksud dengan “jilbab” itu sesuatu yang menutup pakaian, maka mengulurkannya adalah memanjangkan dan meluaskannya sehingga menutup tubuh dan pakaiannya; Kesepuluh, jika yang dimaksud dengan “jilbab” itu lebih kecil daripada selimut, maka mengulurkannya adalah menutup wajah dan kedua tangan.
Sebagian Ulama yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “jilbab” adalah sesuatu (kain) yang menutupi kepala, wajah dan badan, di atas pakaian luar, apabila hanya yang menutupi kepala disebut khimar.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa, yang dimaksud dengan “jilbab” yang sebenarnya menurut Al-Qur’an (syara’) adalah sesuatu yang menutupi aurat, bukan yang hanya menutupi kepala saja.
Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 31 berfirman:
وقل للمؤمنات يغضضن من ابصارهن ويحفظن فجورهن ولايبدين زينتهن الا
ماظهر منها وليضربن بخمورهن على جيوبهن ولايبدين زينتهن الا لبعولتهن
اوءابايهن اوءاباء بعولتهن اوابنايهن اوابناءبعولتهن اواخوانهن اوبني اخوانهن
اوبني اخواتهن اونسايهن اوماملكت ايمانهن اوالتابعين غير اولى الاربة من
الرجال اوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولايضربن بارجلهن ليعلم
مايخفين من زينتهن وتوبواالى الله جميعا ايه المؤمنون لعلكم تفلحون
”Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlahmereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecualikepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara- saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka,atau putra-putra saudara perempuan mereka,atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”
4
Ibnu Mas’ud dan para Jama’ah menafsirkan kata-kata الاماظهر adalah pakaian luar. Sebahagian yang lain menafsirkannya dengan wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat yang pertama lebih shahih karena lebih sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan dengan kedua ayat yang telah disebutkan. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa artinya adalah wajah dan telapak tangan, ada sebagian ahli ilmu menyatakan bahwa pendapat itu berlaku sebelum turunnya ayat hijab, yang mewajibkan para istri Nabi dan wanita muslimah lainnya untuk menutup wajah dan telapak tangannya di segala kondisi.
خمور Dari firman Allah di atas dapat dipahami bahwa: Lafadz adalah jamak dari خمار artinya: penutup kepala dan sekitarnya. Disebut khimar karena fungsinya menutupi apa yang ada di bawahnya. جيب di Kata- kata dalam ayat tersebut bermakna lubang pakaian, jika khimar dipakaikan ke atas kepala dan wajah maka lubang tersebut tertutupi.
ولايبدين زينتهن Selanjutnya firman Allah hingga akhir ayat, yang dimaksud dengan zinnah dalam ayat tersebut adalah mencakup wajah, dan anggota tubuh. Itu artinya wanita wajib menutup seluruh zinnahnya agar tidak diganggu dan menyebarkan fitnah (Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001: 4).
Kebanyakan ulama tafsir terjadi khilaf pendapat dalam menafsirkan kata-kata الا الا ماظهر الا yang ada pada firman Allah sebagian berpendapat di situ bermakna “tetapi (istisna munqathi’)”.2 Sebagian yang lain mengatakan “tetapi (istisna’ muttashil”).3
الا Apabila diartikan dengan tetapi (istisna munqati’), ini bermakna: “Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali,” tetapi apabila tidak sengaja, seperti ditiup angin dan lain-lain, maka itu dapat dimaafkan.
Dan apabila diartikan dengan tetapi (istisna muttashil), ini bermakna: “Janganlah wanita- wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) kecuali apa yang tampak.” Redaksi ini jelas keliru, karena apa yang tampak tentu sudah kelihatan, jadi tidak ada hikmahnya dilarang.
2 Istisna Munqathi’ adalah: istilah Bahasa Arab, artinya: yang dikecualikan bukanlah bagian / jenis yang disebutkan sebelumnya.
3 Istisna Muttashil adalah istilah Bahasa Arab, artinya: yang dikecualikan merupakan bagian / jenis yang disebutkan sebelumnya.
5
Ada juga yang berpendapat, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat tersebut. kalimat dimaksud menjadi penggalan ayat dan mengandung makna: ”Janganlah mereka (wanita-wanita)menampakkan hiasan (badan mereka).Maka apabila disengaja berdausa,dan apabila tidak disengaja dimaafkan.”
Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa, tidak ditentukan batas hiasan yang boleh dinampakkan,sehingga seluruh anggota badan tidak boleh nampak kecuali dalam keadaan terpaksa (Quraish Shihab, 2005: 173).
Sabda Rasulullah Saw:
فاعتدي في بيت ابن عمك ابن ام مكتوم فاءنه ضرير البصر وانك اذا وضعت
خمارك لم يرك
”Jalanilah masa ‘iddahmu di rumah anak pamanmu Ibnu Ummi Maktum, karena dia adalah seorang laki- laki yang buta mata dan jika engkau melepas kerudungmu ia tidak dapat melihatmu.”
Hadits tersebut adalah dalil wajibnya seorang wanita menutup wajah dan seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Sedangkan dalil yang menunjukkan keharaman seorang laki-laki melihat lawan jenisnya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizi dari Buraidah ra, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib ra (Abu Ubaidah, 2005: 37):
يا علي لاتتبع النظرة النظرة فاءنما لك الاولى وليست لك الاخرة
”Hai Ali, jangan engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya) karena boleh bagimu yang pertama tapi tidak yang berikutnya.”
Selanjutnya ada juga yang memahami kata-kata:“kecuali apa yang tampak” dalam arti yang biasa dan dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak. Kebutuhan yang dimaksudkan disini apabila menimbulkan kesulitan jika bagian badan tersebut ditutup.Mayoritas Ulama memahami penggalan ayat tersebut dengan pendapat yang ketiga ini.
1.2. Pakaian Muslimah dalam Ketentuan Al-Qur’an
6
Pakaian dan perhiasan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan selalu identik dengan wanita. Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah untuk pakaian, yaitu: Libas, tsiab dan sarabil4. Kata libas dimaksudkan dalam Al-Qur’an, pakaian lahir maupun batin, yang makna dasarnya adalah: penutup, apapun yang ditutup tidak harus kepada “menutup aurat” (Quraish Shihab, 2005: 155).
Ada juga yang berpendapat, Libas adalah pakaian atau busana yang biasa dipakai kaum wanita, meskipun sampai menutup wajahnya, namun masih memungkinkan wanita memandang laki-laki. Dan itu adalah pakaian yang dipakai untuk umum wanita, sebalik hijab, hanya terkhusus kepada istri-istri Nabi (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 26).
Sedangkan tsiab menunjukkan pakaian lahir, yang diambil dari kata-kata “tsaub,” artinya kembali, yaitu kembali kepada keadaan semula sesuai dengan ide pertamanya .
Firman Allah SWT dalam QS Al-A’raf ayat 22:
فلما ذاقاالشجرة بدت لهما سوءتهما وطفقا يخصفان عبيهما من ورق الجنة
”Setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu, tampaklah bagi keduanya aurat auratnya,dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun syurga.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah “tertutupnya aurat”, namun karena godaan syaitan aurat manusia terbuka. Dengan demikian,menutup aurat dengan pakaian adalah kembali kepada ide dasar.
Karena membuka aurat merupakan ide syaitan maka tanda-tanda kehadiran syaitan adalah terbuka auratnya.
Istilah yang ke tiga untuk pakaian adalah “sarabil,” dalam Al-Qur’an disebutkan di dalam dua ayat, yaitu: pertama, QS An-Nahlu ayat 81, diartikan dengan pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya
4 Kata Libas disebutkan dalam Al- Qur’an sebanyak sepuluh kali, tsiab delapan kali dan sarabil tiga kali.
7
dalam peperangan; Kedua, QS Ibrahim ayat 50, yang menceritakan tentang pakaian orang-orang yang berdosa di hari kemudian ”pakaian mereka dari pelangkin”.
Dari penjelasan ini dapat terpahami bahwa, pakaian ada juga berfungsi sebagai alat penyiksaan,itu karena mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT (Quraish Shihab, 2005: 159-161).
Disyari’atkan berpakaian bagi wanita, elain untuk menutup tubuh juga untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan terbeda dari yang lain dan sebagai penghormatan bagi wanita muslimah. Itu artinya Islam sangat memperhatikan dan menyempurnakan keadaan wanita ketika keluar rumah agar lebih terjaga dan terpelihara. Pernahkah kita melihat bahwa: wanita yang sering diganggu oleh lelaki jalang adalah mereka yang suka bersolek ala Jahiliyah dan berpakaian tetapi nampak sebahagian aurat mereka?
Fakhrur Razi berkata: ”Pada masa Jahiliyah wanita-wanita merdeka dan budak sama-sama keluar rumah dengan terbuka kepala dan wajahnya, maka mereka selalu dikuntit oleh para pezina sehingga terjadilah berbagai tuduhan dan prasangka. Karena itulah Allah memerintahkan kepada wanita-wanita merdeka untuk memakai jilbab (berbusana muslimah).” (Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, 2003: 642).
Dan mereka (wanita Jahiliyah) juga suka melemparkan ujung kerudung kepala ke arah punggung, dengan memperlihatkan leher dan telinga mereka. Allah melarang hal tersebut dengan firman dalam QS Al-Ahzab ayat 33:
ولاتبرجن تبرج الجهلية الاولى
”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dulu.”
Sabda Rasulullah Saw (HR Ahmad dan Muslim):
وعن ابي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صنفان من اهل
النار لم ارهما: قوم معهم سياط آاذناب البقريضربون ناس ونساء آاسيات عاريات
مميلات مايلات رءوسهن آاسنمة البخت المايلة لايدخلن الجنة ولايجدن ريحها
ليوجد من مسيرة آذاوآذا
8
”Dan dari Abi Hurairah ra berkata: Sabda Rasulullah saw: ada dua golongan ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya, yaitu kaum lelaki memegang cemati bagaikan ekor sapi dipukulkan pada orang lain, dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, serong dan menyerongkan, kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak bisa masuk syurga dan tak bisa merasakan baunya, padahal bau syurga itu sebenarnya dapat dirasakan dari jarak sekian-sekian.”
Yang dimaksud dengan kata-kata “dua golongan ahli neraka” dalam hadits di atas adalah: sebagai kecaman terhadap dua golongan tersebut. Menurut Imam An-Nawawi, hadits ini termasuk di antara sekian mu’jizat Nabi. Karena kedua-dua golongan itu benar-benar ada pada masa An-Nawawi.
Asy-Syaukani meneruskan keterangannya: Adapun yang dimaksud dengan kata-kata “berpakaian tapi telanjang” menurut salah seorang ulama maksudnya: mau menikmati anugerah Allah tapi enggan mensyukurinya. Ada juga yang mengartikan: menutupi sebagian tubuhnya dan membiarkan bagian yang lain terbuka, agar kecantikannya dilihat orang. Dan ada juga yang mengartikan: memakai pakaian tipis transparan sehingga warna kulitnya tetap kelihatan (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, tt, 129).
Allah SWT, telah menciptakan bentuk tubuh wanita berbeda dengan laki-laki, wanita memiliki bentuk tubuh yang indah dan menarik, sehingga realitas kehidupan manusia mengakui hal tersebut, yaitu laki- laki berhias dan berpakaian yang menutupi seluruh tubuh hampir tidak ada yang nampak kecuali muka dan tangan. Sedangkan kaum wanita berhias dan berpakaian yang kelihatan aurat dan bentuk tubuh mereka. Itu disebabkan karena bentuk tubuh laki-laki yang kasar dan kurang menarik, sedangkan bentuk tubuh wanita terlihat lebih indah, lembut dan menarik.
Padahal Allah membedakan penutup tubuh laki-laki dan wanita adalah karena berbeda tingkatan fitnah dan lapangan kerja masing-masing. Tubuh laki- laki tidak menimbulkan rangsangan khusus kepada wanita, sebaliknya wanita dengan kelembutan dan keindahan bentuk tubuh mereka dapat menimbulkan rangsangannya tersendiri bagi laki- laki.
9
Begitu juga pekerjaan pokok masing-masing mereka, laki-laki bekerja mencari rezeki di luar rumah dengan berbagai macam pekerjaan, sungguh dapat merepotkan bila harus menutupi seluruh tubuh mereka. Sedangkan wanita bekerja di rumah mengasuh anak-anak, sebahagian besar waktu mereka terlindung di rumah dan tidak perlu menutup seluruh tubuh kecuali ada kebutuhan tertentu yang mengharuskan mereka untuk keluar rumah, apakah itu kebutuhan pribadi atau masyarakat, di saat itulah mereka diwajibkan untuk menutup seluruh tubuh (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 27).
1.3. Fungsi Pakaian menurut Al-Quran
Firman Allah SWT dalam QS Al-A’raf ayat 26, berbunyi:
يابني ءادم قد انزلنا عليكم لباسا يورى سوءتكم وريشاولباس التقوى ذلك خير
”Wahai putra-putri Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga(pakaian)bulu(untuk menjadi perhiasan),dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.”
Maksud dari ayat di atas adalah menjelaskan fungsi dari pakaian,yaitu:
1.3.1. Penutup Aurat
Aurat berasal dari kata “ar” yang berarti “onar, aib,” dan tercela”. Sedangkan anggota tubuh kita tidak satupun ada yang buruk, semua bermanfaat, termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk. Pakaian dalam fungsinya sebagai penutup, tentu akan menutupi segala yang enggan untuk diperlihatkan, sekalipun seluruh badannya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan hukum, aurat adalah anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu (Quraish Shihab, 2005: 161).
Al-Mawaridi, di dalam kitab “Mughni al-Muhtaj” (halaman 221) berpendapat bahwa, aurat wanita selain di hadapan suaminya dibagi kepada dua pembahagian, yaitu “aurat qubra” dan “aurat sughra”. Aurat qubra adalah: aurat yang wajib ditutup ketika shalat, yang meliputi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan aurat sughra adalah: aurat yang haram dilihat oleh siapapun selain suami, yaitu meliputi antara pusat dan lutut.
10
Sayed Abu Bakar Al-Masyhuri di dalam kitabnya “I’anatuththalibin” juz I (halaman 113) berpendapat bahwa, aurat wanita merdeka sekalipun masih anak-anak (belum baligh) terbagi empat, yaitu:
Pertama, seluruh tubuh sampai ke bawah telapak tangan, apabila wanita itu berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki asing yang bukan mahramnya. Menurut salah satu pendapat baik laki-laki itu sepupu, tetangga atau lainnya.
Kedua, antara pusat dan lutut, itu aurat wanita di hadapan mahram atau dalam kegelapan yang tidak seorangpun melihatnya.
Ketiga, bagian-bagian yang biasa terlihat saat melakukan aktivitas di rumah, misalnya, rambut, kepala, leher, kedua tangan dari ujung jari sampai siku, juga kedua kaki dan betis, itu auratnya di hadapan wanita kafir.
Keempat, seluruh tubuh dari atas sampai ke bawah telapak kaki kecuali muka dan telapak tangan, itu terkhusus di dalam shalat.
Syaikh Mustafa Abul Ghaith dan Syaikh Islam Darbalah di dalam bukunya “1000 Tanya Jawab Muslimah” (halaman 501), merincikan pembahagian aurat wanita kepada beberapa pembahagian lagi, yaitu:
Pertama, di hadapan anak-anak. Kondisi anak-anakpun terbagi tiga, yaitu (1) anak-anak yang belum mengerti tentang perhiasan wanita dan belum mempunyai keinginan nafsu pada wanita. Itu boleh seorang wanita menampakkan auratnya, hal tersebut jelas disebutkan di dalam firman Allah SWT QS An-Nur ayat 31:
اوالطفل الذين لم يظهروا على عورت النساء ولايضربن بارجلهن ليعلم
مايخفين من زينتهن وتوبوا الى الله جميعاايه المؤمنون لعلكم تفلحون
”Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki merekaagar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(2) anak-anak yang sudah mengerti tentang wanita tetapi tidak diketahui adanya keinginan kepada wanita, maka seorang wanita boleh memperlihatkan auratnya sebatas yang bisa diperlihatkan di depan mahramnya.
11
(3) anak-anak yang sudah mengerti tentang aurat wanita dan diketahui adanya keinginan pada wanita. Maka dalam kondisi seperti ini seorang wanita wajib menutup auratnya sama seperti di hadapan seseorang yang sudah baligh.
Kedua, dihadapan banci (waria), biasanya seorang waria tidak mempunyai ketertarikan kepada wanita. Maka boleh terhadap seorang wanita menampakkan perhiasannya. Sebagian Ulama mengelompokkan waria tersebut sebagaimana pelayan-pelayan yang tidak memiliki keinginan kepada wanita.
Ketiga, di hadapan orang yang dikebiri, orang yang tidak mampu melakukan hubungan badan, dan di hadapan laki-laki yang sudah tua renta. Aurat wanita di hadapan mereka sama seperti di hadapan maharam, apabila diketahui mereka tidak mempunyai ketertarikan kepada wanita, Tapi bila sebaliknya, artinya diketahui bahwa mereka mempunyai kecenderungan kepada wanita, maka tidak boleh seorang wanita menampakkan auratnya di hadapan mereka (Syaikh Mustafa, 2004: 501-505).
Menurut Ulama Asy-Syafi’iah, seorang laki-laki walaupun sudah tua renta haram hukumnya melihat aurat wanita secara sengaja, karena pada dasarnya laki-laki tetap memiliki ketertarikan kepada wanita. Begitu pula sebaliknya, yaitu haram juga terhadap seorang wanita melihat kepada laki-laki (Al-Malibari, tt, 258-259).
Keempat, di hadapan wanita muslimah, itu dibolehkan terhadap seorang wanita menampakkan auratnya kepada sesama wanita, seperti halnya seorang laki-laki sesema laki-laki, karena pandangan seorang wanita kepada sesamanya tidak dikhawatirkan akan timbul dorongan nafsu syahwat. Yang membolehkan mereka bisa melihat aurat sesamanya adalah karena mereka sama jenis dan lebih ringan bahayanya (Syaikh Mustafa, 2004: 504).
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa, wanita wajib menutup seluruh tubuh mereka kecuali muka dan telapak tangan. Abu Hanifah menambahkan, selain wajah dan dua telapak tangan juga kaki boleh dinampakkan oleh seorang wanita. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita harus ditutup.
12
Terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan batasan aurat wanita, karena berbeda penafsiran mereka terhadap firman Allah:
ولا يبدين زينتهن الاما ظهر منها
”Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.” (Quraish Shihab, 2005: 162)
1.3.2. Identitas Muslimah
Firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
ذلك ادنى ان يعرف
”Yang demikian itu lebih mudah dikenal.”
Identitas atau kepribadian seseorang dapat tercermin lewat penampilan dan cara berpkaian, karena dengan penampilan tersebut seseorang dapat terbeda dengan yang lain. Rasulullah Saw menganjurkan agar berpakaian dan berpenampilan sebagaimana layaknya seorang muslim.
Sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang berbunyi:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم الرجل يلبس لياس المراة والمراة تلبس
لباس الرجل
”Rasulullah SAW.melarang laki-laki memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.”
Dengan penampilan dan cara berpakaian seseorang menggambarkan watak dan menjadi identitas bagi si pemakainya. Karena itu Allah memerintahkan wanita muslimah untuk menutup aurat agar terbeda dengan budak dan wanita nonmuslim sehingga tidak diganggu.
Identitas kepribadian seseorang dapat digolongkan kepada, kepribadian immaterial (ruhani) dan kepribadian material. Kepribadian immaterial adalah sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Hadid ayat 16 yang berbunyi:
االم يان للذين امنوا ان تخشع قلوبهم لذآرالله وما نزل من الحق ولايكونوا
آالذين اوتواالكتاب من قبل فطال عليهم الامدفقست قلوبهم وآثيرمنهم فاسقون
”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah
13
turun, dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al-Kitab (orang Yahudi dan Nasrani).Berlalulah masa yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik.”
Sedangkan identitas material adalah berupa pakaian yang melambangkan kewibawaan, keluhuran, dan kehormatan bagi si pemakai. Begitu juga seorang muslimah, jilbab dan menutup aurat adalah menjadi identitas bagi dirinya (Quraish Shihab, 2005: 170-171).
Tetapi realitas wanita sekarang lebih senang menampakkan perhiasan ketika keluar rumah, yang mereka pakai adalah pakaian bagus yang menurut mereka itu sudah dikategorikan sebagai pakaian muslimah, padahal sebagian aurat mereka kelihatan, karena itu ia menjadi sasaran gangguan orang-orang yang lemah imannya.
Lebih-lebih wanita muslimah di era modern ini, mereka beranggapan bahwa wanita kafir lebih hebat dari mereka, karena itu mereka meniru cara-cara wanita kafir, turut berpakaian transparan dan memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang sensitif bagi kaum pria. Mereka sebenarnya telah tertipu dengan fatamorgana yaitu menanggalkan identitas kepribadiannya sebagai seorang wanita muslimah yang dimuliakan Allah. Sedangkan wanita-wanita kafir mereka hidup tanpa ada rasa malu,tanpa kesucian dan tanpa moral.
Mengapa Islam sangat melarang hal-hal seperti itu? Karena pakaian yang membentuk lekuk tubuh dan menampakkan bagian-bagian tubuh yang sensitif dapat membangkitkan birahi dan syahwat kaum laki-laki. Maka tidak diragukan lagi bahwa wanita-wanita yang berpakaian seperti itu termasuk dalam cakupan Hadits Rasulullah Saw yang berbunyi:
ان من اهل النار نساء آاسيات عاريات مايلات مميلات لايدخلن الجنة ولا
يجدن ريحها
”Sesungguhnya di antara penghuni neraka itu adalah wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari kebenaran lagi mengundang
14
orang berbuat maksiat. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium harum syurga. (Said Abdul Azis Al-Jandul, 2003: 165).
Terlintas di benak kita, mengapa wanita yang harus menutup tubuh, bagaimana halnya dengan laki-laki.
Allah SWT, telah menciptakan bentuk tubuh wanita berbeda dengan laki-laki, wanita memiliki bentuk tubuh yang indah dan menarik, sehingga realitas kehidupan manusia mengakui hal tersebut, yaitu laki- laki berhias dan berpakaian yang menutupi seluruh tubuh hampir tidak ada yang nampak kecuali muka dan tangan. Sedangkan kaum wanita berhias dan berpakaian yang kelihatan aurat dan bentuk tubuh mereka. Itu disebabkan karena bentuk tubuh laki- laki yang kasar dan kurang menarik, sedangkan bentuk tubuh wanita terlihat lebih indah, lembut dan menarik.
Padahal Allah membedakan penutup tubuh laki- laki dan wanita adalah karena berbeda tingkatan fitnah dan lapangan kerja masing-masing. Tubuh laki- laki tidak menimbulkan rangsangan khusus kepada wanita, sebaliknya wanita dengan kelembutan dan keindahan bentuk tubuh mereka dapat menimbulkan rangsangannya tersendiri bagi laki- laki.
Begitu juga pekerjaan pokok masing-masing mereka, laki-laki bekerja mencari rezeki di luar rumah dengan berbagai macam pekerjaan, sungguh dapat merepotkan bila harus menutupi seluruh tubuh mereka. Sedangkan wanita bekerja di rumah mengasuh anak-anak, sebahagian besar waktu mereka terlindung di rumah dan tidak perlu menutup seluruh tubuh kecuali ada kebutuhan tertentu yang mengharuskan mereka untuk keluar rumah, apakah itu kebutuhan pribadi atau masyarakat, di saat itulah mereka diwajibkan untuk menutup seluruh tubuh (Abdul Halim Syuqqah, 1997: 27-28).
1.3.3. Pelindung Tubuh
Pakaian selain untuk menutpi aurat karena memenuhi tuntutan syara’ juga berfungsi sebagai pelindung tubuh, baik karena cuaca dingin ataupun karena cuaca panas, dan itu merupakan perlindungan secara fisik yang sangat dibutuhkan oleh tubuh setiap manusia.
15
Di sisi lain, pakaian itu dapat memberi pengaruh psikologis terhadap si pemakai. Seperti, bila seseorang ke pesta, tentu yang dipakai adalah pakaian yang sesuai dengan suasana pesta agar tidak minder dan risih. Kewibawaan dan terhormatnya seseorang juga tercermin dari pakaian yang dipakai. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab, sebagaimana tercantum dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
ذلك ادنى ان يعرق
” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (Quraish Shihab, 2005: 168-169).
Selain itu juga seluruh tubuh wanita itu zinah (perhiasan), maka wajib dilindungi agar tidak menimbulkan fitnah dan diganggu. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 31:
ولايبدين زينتهن الا لبعولتهن اوءابائهن اوءاباءبعولتهن
"Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka,kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka."
Zinah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut mencakup wajah dan anggota tubuh. Dengan demikian, wanita wajib menutup seluruh zinah mereka di depan laki-laki asing yang bukan maharamnya, agar tidak diganggu dan terjaga serta terlindungi dari pandangan laki-laki asing yang dapat menyebarkan bencana (Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001: 5).
Menurut Ibnu Katsir (tt, 402), pendapat yang masyhur di kalangan Jumhur ulama bahwa, zinah (perhiasan) yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah: wajah dan telapak tangan. Hal tersebut diperkuat oleh riwayat dalam kitab Shahihain dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Ketika saya mendengar suara Shofwan bin Mu’aththil, maka saya segera menutupi wajahku dan sesungguhnya ia pernah melihatku sebelum turunnya ayat hijab.”
16
Namun ada juga sebagian Ulama berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah zinah (perhiasan) yang wajib ditutup. Yang menjadi pegangan mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari ‘Aisyah ra:
ان المراة اذا بلغ المحيضلم يصلح ان يرى منها الا هذا وهذا واشار الى وجهه
وآفيه
“Apabila wanita telah mencapai usia dewasa, tidak boleh tampak daripadanya kecuali ini dan ini. “Beliau menunjuk pada wajah dan kedua tangannya.”
Padahal hadits tersebut adalah hadits lemah, yang tidak layak dijadikan sebagai dalil, karena terdapat beberapa cacat, antara lain terputusnya silsilah riwayat antara ‘Aisyah dan perawinya, lemahnya perawinya, yaitu Said bin Basyir, juga perawi yang bernama Qatadah tertuduh melakukan tadlis.
Namun apabila ada yang berpendapat bahwa hadits tersebut adalah hadits kuat, maka dapat dijelaskan bahwa hadits tersebut diucapkan sebelum turunnya ayat hijab (Majallatul Buhuts Al-Islamiyah, 33/114).
Perintah menutupi dan melindungi keindahan wanita serta anggota yang bisa menimbulkan godaan adalah ditujukan mepada wanita-wanita muda, sedangkan wanita lanjut usia yang tidak mempunyai gairah seks, dibolehkan membuka wajah asalkan mereka tidak berlebihan dalam berhias. Firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 60:
والقواعد من النساء التى لايرجون نكاحا فليس عليهن جناح ان يضعن ثيابهن
غير متبرجات بزينة وان يستعففن خيرلهن والله سميع عليم
" Dan perempuan- perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menaggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui." (Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001: 9-10).
Beranjak dari makna dan fungsi pakaian, yang telah dijelaskan di atas, yaitu sebagai penutup aurat, pelindung tubuh, dan identitas muslimah, juga sebagai ciri dari peraturan islam yang telah ditetapkan Allah SWT, sebagai benteng yang kuat, yang menjaga kehormatan, keluhuran, dan kemuliaan wanita.
17
Maka jelaslah bahwa, Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita yang mengenakan jilbab (menutup aurat).
Islam juga mensyari’atkan jilbab (penutup aurat), untuk menyempurnakan keadaan wanita ketika keluar rumah agar lebih terjaga dan terpelihara, yang nantinya mereka akan menjadi wanita-wanita yang membentuk generasi dan merajut masa depan ummat yang pada gilirannya telah ikut berperan dalam berjuang demi agama Allah.
2. TRADISI BERJILBAB MUSLIMAH MASA KINI
2.1. Islam tidak menentukan model dan bentuk jilbab
Bentuk dan model jilbab bukanlah satu ketetapan di dalam agama, tetapi disyaratkan harus memenuhi kriteria sebagai busana muslimah. Bagaimanapun model dan bentuk jilbab (busana muslimah) yang berlaku di kalangan masyarakat yang berbeda kebudayaan dan peradaban tetap diakui oleh Islam, selama tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam yang sebenarnya.
Sebagai bukti, Islam tidak merobah tradisi Jahiliyyah berpakaian, bahkan memasukkan unsur-unsur keseimbangan saja. Wanita-wanita Arab sebelum datangnya Islam mereka mengenakan pakaian dengan bentuk dan model tertentu, misalnya: baju panjang sebagai penutup tubuh, jilbab yang dipakai di atas baju panjang bersama kerudung dan cadar sebagai penutup wajah dan lubang pada bagian kedua mata.
Model dan bentuk pakaian yang dikenakan oleh mereka sesuai dengan ajaran Islam, tertutup seluruh tubuh dengan pakaian yang longgar dan kerudung sampai ke dada. Firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 31:
وليضربن بخمرهن على جيوبهن
“ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka” (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 36-37).
Karenanya Islam berpesan kepada wanita muslimah agar: (a) memperhatikan dalam memilih pakaian dan sempurna dalam menutup aurat; (b)
18
menggunakan jilbab dan mengulurkannya ke seluruh tubuh supaya terbeda dengan wanita budak.
ياايهاللنبي قل لازواجك وبناتك ونساءالمؤمنبن يدنين عليهن من جلابيبهن
ذلك ادنى ان يعرفن فلا يؤذين
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS Al- hzab: 59).
(c) wanita yang bercadar, melepaskannya pada waktu-waktu tertentu seperti waktu shalat, agar sempurna sujudnya kepada Allah dengan menyentuhkan wajah dan hidungnya ke tempat sujud, pada waktu ihram untuk menanggalkan lambang kemewahan. Sebahagian ulama Hanabilah berpendapat, bahwa wanita yang sedang berkabung karena kematian suami hendaknya melepaskan cadar, untuk menghindari bermegah-megah dan berhias.
Itulah beberapa pesan Islam tentang pakaian wanita. Namun yang perlu ditegaskan adalah esensi dari pakaian tersebut bukan bentuknya, yaitu sebagai penutup yang menutup perhiasan atau bagian-bagian yang mengandung dan mengundang fitnah. Sebagaimana ditegaskan dalam QS An-Nur ayat 31:
ولا يدنين زينتهن الا ما ظهر منها
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak dari padanya.”
Bentuk dan model pakaian bukanlah merupakan urusan ibadah, tapi aspek mu’amalah yang ketentuan hukumnya berporos pada maksud dan tujuan syari’at, dan termasuk tradisi yang kondisinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Karena itu, bagaimanapun bentuk dan model pakaian, asalkan memenuhi syari’at yang telah ditetapkan syara’, sesuai dengan iklim dan memudahkan wanita bergerak, maka pakaian seperti itu dapat diterima oleh syara’ (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 36-38).
2.2. Jilbab Masa Kini dalam Timbangan Syar’i
19
Berikut fenomena dan tradisi berpakaian wanita-wanita di bumi Sangaji Bima. Mereka berkerudung dengan cara yang unik, yaitu dengan mengikuti prinsip jilbab, tetapi lebih rumit, bentuk dan modelnya sama seperti kain sarung, satu dipakai di bagian atas dan satu lagi dipakai di bagian bawah, boleh dikatakan mereka menutup aurat dengan kain sarung. Itulah pakaian tradisional khas Bima yang diatur oleh syari’at Islam sebagai penutup aurat, yang diistilahkan dengan rimpu.
Kata salah seorang Imam Mesjid terbesar di Kabupaten Bima, yaitu Tuan Guru H. Yasin Latif, bahwa rimpu merupakan pakaian wanita untuk keperluan keluar rumah yang desain dan batasan-batasannya merujuk kepada pendapat Imam Syafi’i, yakni menutupi seluruh tubuh, kecuali mata.
Mereka membedakan rimpu tersebut kepada dua jenis, yaitu rimpu mpida dan rimpu colo. Rimpu mpida dipakai oleh gadis-gadis ketika keluar rumah, dan inilah rimpu yang menutupi seluruh tubuh kecuali mata. Sedangkan rimpu colo adalah rimpu yang dipakai oleh kaum ibu yang telah bersuami dan modelnya tidak menutupi bagian wajah.
Menurut catatan sejarah, rimpu mulai dikenakan sejak pemberlakuan syari’at Islam oleh Sultan Bima yang kedua, Sultan Abdul Khair Sirajuddin, pada sekitar tahun 1680, juga dibantu oleh para Ulama. Sultan memaklumatkan rimpu sebagai pakaian yang memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai penutup aurat dan penanda perempuan terhormat; Kedua, sebagai pembeda status marital (perkawinan) perempuan pemakainya, para gadis memakai rimpu mpida dan perempuan yang sudah berkeluarga memakai rimpu colo.
Para gadis diharuskan memakai rimpu mpida dimaksudkan sebagai langkah perlindungan keselamatan dan keamanan bagi mereka. Dan itu merupakan Undang-Undang Kesultanan yang memberikan perhatian besar bagi para gadis Bima.
Dalam proses pernikahanpun si gadis enggan dan malu untuk menemui laki-laki yang akan melamarnya, laki-laki tersebut hanya bisa mengetahui hal ihwal si gadis melalui keluarganya. Itu karena sudah menjadi adat-istiadat dan tradisi mereka mendidik anak gadisnya untuk menjaga dan memiliki rasa malu
20
dalam menghadapi laki-laki asing. Sehingga membuat mereka para orang tua enggan untuk menyekolahkan anak gadisnya ke sekolah-sekolah yang dibangun Belanda. Karena siswanya tidak mengenakan penutup kepala kecuali kalangan bangsawan.
Setelah masa kesultanan Bima berakhir, dan kemudian masyarakat Bima menjadi bagian dari wilayah hukum Republik Indonesia, tradisi memakai rimpu mpida bagi para gadis sudah semakin surut, karena mereka harus berangkat ke sekolah dengan memakai seragam yang tidak menutupi wajah, sehingga makin banyak gadis Bima yang meninggalkan rimpu.
Kini mereka memakai rimpu hanya dalam aktivitas sehari- hari, seperti ke pasar, ke sawah, tempat- tempat ramai, dan ke pemakaman. Hal ini terjadi karena mereka memahami rimpu sebatas mengikuti kebiasaan leluhur saja, dan karena rendahnya pemahaman terhadap sejarah rimpu dan hubungannya dengan ajaran Islam.
Komentar para gadis Bima masa kini yang telah mengalami dan mengikuti kemajuan dan berpendidikan tinggi (hasil wawancara kru Ummi), Rita Rahmawati, seorang serjana psikologi, yang juga aktivis remaja Mesjid Al- Muwahhidin menilai rimpu sebagai tafsiran orang Bima terhadap perintah Allah tentang jilbab. Sedang Mardiyah Hayati, aktifis Pemudi Persatuan Islam Bima, menghargai rimpu sebagai warisan budaya Bima yang harus dilestarikan. Tetapi dia sendiri kurang tertarik memakai rimpu karena desainnya yang dianggap kuno. Katanya rimpu itu identik dengan orang-orang tua. Kainnya kurang menarik untuk dipakai gadis-gadis remaja.
Menurut Rita, kalaupun rimpu dianggap kuno dan kemudian menghilang, itu wajar saja, karena desain pakaiannya yang tidak menarik. “Tetapi jilbab bisa mewakili rimpu, yang penting nilainya tidak hilang,” tambahnya.
Leni, aktifis yaysan Ta’awun Kampung Panaraga Bima, sepakat dengan Rita. Menurut Leni rimpu tak ada bedanya dengan jilbab, jadi kalau mereka (gadis Bima) tertarik dengan jilbab karena desainnya dianggap lebih cocok, ajak saja mereka untuk berjilbab (Majalah Wanita, Ummi, 2/XIII/2001).
21
Di sini kami berpendapat, kalaupun mereka memilih jilbab, apakah jilbab yang mereka pilih sudah sesuai dengan ketentuan syara’? ini perlu kita telusuri perkembangan jilbab masa kini di Indonesia. Rimpu yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat Bima dulunya, juga masih kurang cocok dengan apa yang telah ditetapkan syara’. Karena ketentuan syara’ untuk menutup aurat (seluruh anggota tubuh), lebih ditujukan kepada wanita muda, bukan kepada para gadis dan bukan untuk membedakan status marital (perkawinan). Hanya wanita-wanita lanjut usia yang sudah manopouse dan tidak ingin kawin lagi, yang diberikan keringanan dalam menutup aurat. Akan tetapi apabila mereka menyempurnakan dalam menutup aurat, itu lebih utama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 60:
والقواعد من النساء التى لايرجون نكاحا فليس عليهن جناح ان يضعن ثيابهن
غيرمتبرجات بزينة
“ Dan perempuan- perempuan tua yang telah terhenti (dari haidh dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.”
Dari fenomena yang terjadi di salah satu kabupaten yang ada di Indonesia, dapat tergambarkan bahwa, perkembangan jilbab di Indonesia dari tahun ke tahun dan dari masa ke masa, selalu terjadi perobahan sesuai dengan laju perkembangan zaman.
Salah satu penyebabnya adalah, salah persepsi tentang jilbab dari dulu hingga sekarang, yaitu dari kerudung berubah menjadi jilbab, dan karena meniru model Timur Tengah yang menjadi kewajibab syari’at Islam bagi kaum muslimah.
Kata Andree Fiellard, seorang Indonesianis dari Prancis, ketika mengadakan penelitian tetang perkembangan jilbab di Indonesia pada tahun 1991 dan hasil pengamatannya sekarang. Katanya: “Dulu ibu-ibu Aisyiah Muhammadiyah dan NU memakai kerudung berdasarkan kepantasan, bukan karena suatu kewajiban yang dibebankan syara’ kepada mereka.
Hal ini menarik sekali kalau kita kaitkan dengan fenomena pemberlakuan syari’at Islam yang sekarang sedang santer-santernya didengungkan. Yang diduga
22
bila syari’at diterapkan, maka yang akan menjadi korban adalah wanita, karena kebanyakan kasus penerapan syariat Islam di daerah-daerah sekarang ini, selalu dimulai dari kewajiban berjilbab bagi wanita.
Dalam penelitian tersebut Andree mendapat kesimpulan bahwa, salah persepsi tentang jilbab yang terjadi antar generasi adalah dalam menilai kepantasan. Kalangan yang lebih muda memakai jilbab karena itu pakaian yang lebih pantas bagi mereka. Sedang yang tua, mereka memakai kurudung. Bahkan dari kalangan NU terkadang mempersepsikan jilbab itulah kerudung, yang lehernya terbuka.
Terjadi pergeseran pemahaman tentang jilbab ini dari pengertian kepantasan menjadi sebuah aturan yang sangat formal dalam konteks pelaksanaan syari’at adalah: ada yang mengatakan, karena faktor arabisasi, yaitu: sesuatu yang datang dari Timur Tengah harus diikuti secara kasar.
Menurut para gadis sekarang yang tidak setuju dengan jilbab, mereka beralasan karena nenek moyang mereka dulu tidak berjilbab. Sedangkan yang pro dengan jilbab, mereka sadar, bahwa nenek moyang mereka dulu tidak mengerti tentang kewajiban berjilbab, maka mereka melakukannya sekarang (http://bicaramuslim.com).
Darul Nu’man juga mengemukakan tentang jilbab wanita masa kini. Bila seorang wanita berjilbab adalah untuk menjaga auratnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, maka bukan hanya marwah dirinya yang terjaga, juga marwah kaum muslimat lainnya. Itu artinya, harga diri wanita terlalu mahal, karena itu Islam menetapkan supaya wanita berpakaian longgar dengan warna yang tidak menarik, serta menutup seluruh badannya, dari kepala hingga kaki agar badannya tidak terpamerkan di depan khalayak ramai.
Alhamdulillah, sekarangpun telah banyak wanita-wanita yang berjilbab. Itu dapat kita lihat di mana-mana, dari kalangan bawahan hingga atasan, begitu juga dari golongan pelajar sekolah hingga pejabat-pejabat.
Tetapi walau bagaimanapun gaya jilbab yang dipakai, namun masih saja kurang sempurna, karena leher, dada, kaki dan sebagainya masih kelihatan. Pada waktu yang sama seorang wanita berjilbab tetapi roknya terbelah samping atau
23
belakang, ada juga yang memakai jilbab tetapi berpakaian ketat, dan masih banyak gaya-gaya berjilbab yang turut direka untuk wanita-wanita Islam masa kini.
Begitu juga diciptakannya model jilbab yang bermacam-macam dengan dihiasi berbagai hiasan seperti manik-manik, broach yang menarik dan berwarna-warni, sehingga fungsi jilbab yang tadinya untuk terpelihara wanita dari fitnah, malah sebaliknya. Semakin banyak mengundang perhatian laki-laki asing karena indahnya pakaian dan jilbab yang dikenakan oleh wanita.
Sehingga hikmah berjilbab (menutup aurat), tidak dapat dirasakan oleh wanita-wanita sekarang, yaitu agar terjaga marwah dan terpelihara dari gangguan laki-laki. Karena mereka berjilbab tetapi tetap saja berhias-hias. Sehingga semakin besar riak dan bangga yang timbul dalam hati walaupun mereka berjilbab. Padahal, berjilbab termasuk salah satu amalan yang mulia, dan telah ikut berperan dalam menegakkan syari’at.
Kesimpulannya, wanita berjilbab tetapi lalai dari shalat, berjilbab tetapi masih keluar dengan teman laki-laki, berjilbab tetapi masih terlibat dalam pergaulan bebas, berjilbab tetapi masih menyentuh tangan-tangan yang bukan mahramnya. Dan bermacam – macam maksiat yang dilakukan oleh orang-orang berjilbab, hingga kepada yang lebih besar, seperti zina, khalwat dan sebagainya.
Sehingga nilai jilbab sudah dicemari oleh orang–orang seperti yang disebutkan di atas. Muslimah lain yang benar–benar memelihara nilai jilbab, juga tercemar karena ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap agamanya. Begitu juga wanita-wanita nonmuslim, menjadi tawar hatinya untuk masuk Islam karena sikap umat Islam itu sendiri yang tidak menjaga kemuliaan hukum yang telah ditetapkan syara’ (http://www.jais.net.my).
Catatan Penutup
SUNGGUH fenomena jilbab pada zaman sekarang, membuat kita di satu sisi patut bersyukur, wanita sudah tidak malu berjilbab di manapun tempatnya, sehingga jilbab benar-benar telah membudaya di masyarakat dan dianggap suatu yang lumrah. Namun di sisi lain jilbab yang sesungguhnya harus memenuhi 24
ketentuan syara’ sebagaimana tersebut di atas, seakan telah berubah fungsinya. Jilbab bukan lagi sebagai pakaian syar’i. Tapi lebih terkesan trendy dan mode atau lebih dikenal dengan sebutan jilbab funky.
Padahal Islam telah mengatur sedemikian rupa cara bergaul, berpakaian dan menutup aurat, melalui ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Saw, tetapi muslimah sekarang, tidak konsekuen dengan apa yang telah ditetapkan syara’, mereka lebih senang mengikuti propaganda kemaksiatan, akibat pengaruh modernisasi dan westernisasi. Mereka lupa dengan Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 120: “orang- orang yahudi tidak akan pernah senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.”
Perangkap utama yang dimanfaatkan oleh Yahudi untuk menghancurkan umat Islam adalah wanita. Karena wanita dengan mudah dan bebas mengekploitasikan auratnya yang seharusnya ditutup.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dan Bazzar, dengan tegas Rasullah bersabda: “Siapa saja dari seorang wanita yang membuka pakaiannya selain di rumahnya sendiri, maka Allah akan merobek tirai kehormatannya.”
Karena itu, sangat wajar bila wanita dikatakan sebagai aurat, sebab, bila mereka keluar rumah dengan berpakaian yang tidak memadai, artinya tidak sesuai dengan ketentuan syara’, maka bersiaplah Syaitan akan memanfaatkannya sebagai racun bagi laki-laki.
Islam datang untuk menyelamatkan wanita dalam segala sisi kehidupan, diwajibkan wanita untuk berhijab adalah salah satu metode yang sangat bijaksana untuk menutupi segala pintu- kemaksiatan yang timbul karena wanita.
Wahai muslimah sejati! Mari kita renungi sebait kata yang diucapkan oleh seorang penyair:
Ibu adalah pendidik (sekolah)
Apabila kamu mempersiapkannya (sebaik mungkin),
Berarti kamu telah mempersiapkan generasi yang baik dan
kokoh akarnya (potensial) 25
Referensi
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap Al-Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya.
Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jilid 4, Jakarta.
Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Darul Haq, Jakarta.
Abu Ubaidah Ibrahim bin Mahmud Abdurradhi, 2005, Wanita Pengubah Sejarah, Najla Press, Jakarta.
Asy-Syarbini, al-Khatib, tt, Mughni-al-Muhtaj, Jilid IV, al-Tawfiqiyah, Mesir.
Al-Sayyid, Abu Bakar, tt, I’anatuth – thalibin, Dar al – Fikr, Jilid III, Bairut.
Al-Malibari, tt, Fathul – Mu’in, Dar al – Fikr, Bairut.
Http://bicaramuslim.com, diakses 1 November 2006.
Http://www.jais.net.my, diakses 1November 2006.
Ibrahim Muhammad Al – Jamal, tt, Fiqih Wanita, C V. Asy – Syifa’, Semarang.
Ibnu Katsir, tt, Tafsir al – Qur’an al – ‘Azhim, Jilid V, al – Tawfiqiyah, Mesir.
M. Qurash Shihab, 2005, Wawasan Al - Qur’an, Cetakan XVI, PT Mizan Pustaka, Bandung.
Majallatul Buhuts Al – Islamiyah, 33 / 114.
Majalah Wanita, UMMI, edisi spesial, 2 / XIII / 2001.
Syaikh Imad Zaki Al – Barudi, 2003, Tafsir Wanita, Pustaka Al – Kautsar, Jakarta.
Syaikh Mustafa Abdul Ghaith, Syaikh Islam Darbalah, 2004, 1000 Tanya Jawab Muslimah, Pustaka Al- Kautsar, Jakarta.
Sa’id Abdul Aziz Al-Jandul, 2003, Wanita di Antara Fitrah, Hak, Dan Kewajiban (Al-Jinsun Na’im Fi Zhillil Islam), Darul Haq, Jakarta.
26
Bagian Dua
HAK WANITA DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Oleh: Azizah Muhammad
TAK dapat dipungkiri, bahwa kaum wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang relatif sama. Mereka dianugerahkan potensi yang sama oleh Allah SWT, sehingga dapat melakukan kegiatan masing-masing dan memikul tanggung jawab. Dalam hukum Islam, wanita diletakkan dalam kerangka yang sama dengan pria. Apabila pria dapat melakukan muamalah, seperti berjual beli, memberikan kesaksian dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti Islam memberikan kepada kaum wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan pria. Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara kaum pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak warisan, talak dan kesaksian di pengadilan.
Dalam masalah warisan, Islam telah menentukan hukum yang konsekuen terhadap wanita, seperti yang tersebut dalam QS An-Nisa’ ayat 11, Allah SWT berfirman:
...يوصيكم الله فى اولادآم للذآرمثل حظ الانثيين
“... Allah telah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
1
Ketentuan ini berlaku bagi para ‘ashabah (kerabat dekat si mati) yaitu putra-putrinya, saudara kandung dan saudara seayah. Dalam keadaan yang lain, Islam juga menentukan bahwa bagian yang diterima wanita adalah sama dengan bagian yang diterima oleh pria. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12:
وا ن آا ن رجل يورث آللة ا وا مراة وله اخ اواخت فلكل وا حد منهما ا لسد س فا ن آا نوا ا
آثر من ذ لك فهم شرآا ء فىالثلث …
“...Jika seseorang meninggal dunia (baik laki-laki maupun perempuan) yang mewariskan kalalah (tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak) tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seayah), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga ...”
Ketentuan pembagian harta seperti ini hanya berlaku bagi saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, karena pengertian “al-kalalah“ ialah orang yang tidak mempunyai ayah, anak-anak dan saudara sekandung atau sebapak. Dalam Kamus Al-Munjid disebutkan, arti al-kalalah adalah orang yang tidak ada anak dan ayah baginya. Tentunya setiap ketentuan hukum dalam pembagian warisan mengandung hikmah-hikmah tersendiri.
Namun musuh-musuh Islam atau orang-orang orientalis yang tidak senang terhadap Islam, menuduh bahwa Islam telah mendiskriminasikan kaum wanita dan tidak berlaku adil terhadap mereka, merampas hak-hak kaum wanita dan tidak menempatkan mereka pada posisi yang layak. Sehingga muncullah slogan-slogan yang intinya menyatakan bahwa Islam mendiskriminasikan wanita, lalu berbagai 2
seminar digelar dengan tema: tegakkan emansipasi wanita, yang pada akhirnya persoalan bermuara pada satu pertanyaan: Mengapa Islam memberikan bagian kepada wanita hanya separo dari bagian pria dalam pembagian warisan?
Mereka menganggap bahwa kebutuhan material dan beban yang harus ditanggung oleh kaum wanita adalah sama seperti kaum pria. Lebih-lebih lagi kalau wanita tersebut berstatus sebagai janda, yang tentunya memiliki peran ganda; sebagai ibu dalam mengurus anak, juga sebagai ayah dalam menafkahi anak. Jadi, ketika syari’at Islam memutuskan hukum tentang pembagian warisan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11, maka mereka menganggap bahwa bahwa Islam telah menyia-nyiakan hak kaum hawa dan ini bertentangan dengan seruan emansipasi yang digembar-gemborkan mereka untuk mempersamakan kedudukan wanita dengan pria, sehingga mereka menganggap aturan Islam semacam ini tidak layak untuk masa kini.
Akankah kita tinggal diam menerima sejumlah opini yang berusaha menjatuhkan Islam? Apakah kita akan membiarkan pemikiran-pemikiran semacam ini meracuni jiwa-jiwa saudara kita sesama wanita yang masih lemah pegangannya sehingga mereka membenci Islam, agamanya sendiri?
Sebagai seorang wanita, penulis dengan tegas menolak bahwa Islam mendiskriminasikan wanita, sekali-kali tidak. Wanita, selamanya wanita. Allah SWT menciptakan dan memberikan aturan kehidupan kepadanya. Semua problema yang dihadapi kaum wanita muslimah dewasa ini sebenarnya muncul dari pola hidup yang jauh dari koridor Islam, artinya pola kehidupan yang berpijak pada pemikiran Barat.
3
Hak Wanita Dalam Pembagian Warisan
1. Ahli Waris dari Pihak Wanita
ADA tiga unsur yang bertalian dengan masalah warisan: Pertama, al-warist yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si mati; Kedua, al-muwarrist yaitu orang yang meninggal dunia atau si mati yang meninggalkan harta pusaka, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati; Ketiga, al-maurust yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil biaya-biaya tajhiz, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini dalam istilah ilmu faraidh lebih dikenal dengan sebutan tirkah.1
Dalam uraian ini, saya hanya membahas unsur pertama saja, yaitu al-warist (ahli waris). Dan juga tidak menertibkan uraian pusaka ahli waris berdasarkan kelompok ashabul furudh, kelompok ‘ashabah, kelompok dzawil arham, tetapi hanya mengkhususkan topik pembahasan tentang ahli waris wanita saja.
Ahli waris dari pihak wanita berjumlah sepuluh orang, yaitu (1) anak perempuan; (2) cucu perempuan dari anak laki-laki; (3) ibu; (4) ibu dari bapak
1 Menurut versi ulama Syafi’yah dan Hanabilah, tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mati baik berupa harta benda maupun hak-hak. 4
(nenek); (5) ibu dari ibu (nenek); (6) saudara perempuan yang seibu-sebapak; (7) saudara perempuan yang sebapak; (8) saudara perempuan yang seibu; (9) istri; dan (10) perempuan yang memerdekakan mayat.
2. Kadar Harta Warisan yang Diperoleh Wanita
SETIAP ahli waris mempunyai bagian yang berbeda-beda. Masing-masing ahli waris tidak hanya memiliki satu macam bagian. Pada umumnya keadaan jumlah ahli waris yang ada mempengaruhi besarnya jumlah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris. Syari’at Islam telah menetapkan bagian harta warisan untuk wanita, yaitu seperempat, seperdelapan, seperdua, sepertiga, dua pertiga dan seperenam. Perincian mengenai hukum masing-masing bagian tersebut juga telah dijelaskan secara mendetail, sehingga dapat diketahui kapankah wanita itu memperoleh bagian seperempat, sepertiga, seperdua dan lain-lain. Hal semacam ini tidak terdapat dalam syari’at atau undang – undang manapun selain Islam.
2.1. Anak Perempuan Shulbiah
YANG dimaksud dengan anak perempuan shulbiah adalah anak perempuan yang dilahirkan secara langsung dari orang yang meninggal, baik yang meninggal itu bapaknya atau ibunya. Istilah shulbiah ini untuk membedakan anak perempuan yang dilahirkan melalui perantara (misalnya anak perempuan dari anak laki-lakinya si
5
mati) dengan anak perempuan yang dilahirkan langsung dari si mati (Rahman, 1981: 160).
Di dalam mempusakai harta peninggalan orang tuanya, anak perempuan shulbiah mempunyai tiga kemungkinan, yaitu seperdua, dua pertiga, dan usbhah.
2.1.1. Seperdua
Anak perempuan shulbiah mendapat bagian seperdua jika ia hanya seorang diri dan tidak mempunyai mu’ashishib (‘ashabah)2 yaitu anak laki-laki. Bilamana ia tidak seorang diri, artinya si mati meninggalkan anak perempuan selain dia, maka mereka memperoleh bagian dua pertiga dari harta warisan. Dan bila ia mempunyai mu’ashshib (anak laki-laki), maka ia menjadi ‘ashabah bil ghair, yakni sama-sama menerima sisa harta warisan dari ashabul furudh3 atau menerima seluruh harta warisan apabila si mati tidak mempunyai ahli waris ashabul furudh, dengan ketentuan bahwa ia menerima seperdua bagian anak laki-laki (Al-Bakr, tt, 224).
Anak perempuan tidak memperoleh bagian seperdua ketika terdapat mu’ashshib (anak laki-laki), karena kalau anak perempuan mendapat seperdua, maka bagiannya sama dengan anak laki-laki atau melebihinya dalam sebagian keadaan. Hal semacam ini tidak layak menurut pandangan Islam (As-Shabuni, tt, 41).
Dalil-dalil yang menetapkan bagian anak perempuan seperdua, antara lain adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11:
2 Secara etimologi, ‘ashabah adalah anak dan kerabat seseorang dari pihak ayah. Dalam ilmu waris, ‘ashabah dapat diartikan sebagai ahli waris yang tidak memperoleh bagian-bagian tertentu dalam suatu pembagian harta warisan.
3 Ashhabul furudh adalah ahli waris yang ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari furudhul muqaddarah dalam pembagian harta warisan.
6
وا ن آا نت و ا حدة فلها ا لنصف...
“Jika ia hanya seorang diri, maka baginya adalah seperdua...”
Qiyas aula dengan ketentuan bagian saudari dalam firman Allah SWT pada QS An-Nisa’ ayat 176: ... ...وله ا خت فلها نصف ما ترك
“…dan ia mempunyai seorang saudari, maka bagian saudari tersebut adalah separo dari harta yang ditinggalkan…”
Dalam ayat tersebut ditetapkan bahwa saudari memperoleh separo dari harta peninggalan dengan syarat bahwa si mati yang diwarisinya tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua (artinya ia dalam keadaan kalalah). Jika seorang saudari berhak memperoleh separo harta peninggalan, maka anak perempuan lebih berhak memperoleh separo dari harta peninggalan tersebut, karena pertalian nasabnya dengan si mati lebih dekat dari pada saudari. Artinya, jika ahli waris yang jauh pertalian nasabnya dapat memperoleh separo harta, apalagi orang yang pertalian nasabnya dengan si mati lebih dekat, maka ia lebih lebih berhak memperolehnya (Rahman, 1981: 161).
2.1.2. Dua Pertiga
Anak perempuan shulbiah memperoleh bagian dua pertiga dengan syarat anak perempuan tersebut dua orang atau lebih, dan tidak bersama-sama dengan orang yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah, dalam hal ini anak laki-laki dari si mati (Dahlan, 2003: 312).
7
Dalil-dalil yang menetapkan bagian dua pertiga ini antara lain, adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11: ... فان آان نساء فوق اثنتين فلهن ثلثاماترك
“… maka apabila anak perempuan lebih dari dua orang, mereka mendapat dua pertiga bagian dari harta yang ditinggalkan…”
Menurut bunyi ayat tersebut, anak perempuan mendapat dua pertiga apabila jumlahnya lebih dari dua atau dengan kata lain mulai dari tiga ke atas. Namun yang dimaksud dengan firman Allah SWT “fauqa isnataini“ adalah dua orang atau lebih, hal ini karena diqiyaskan dengan bagian dua orang saudari dalam firman Allah SWT pada QA An-Nisa’ ayat 176 yang berbunyi: .... فان آانتااثنتين فلهماالثلثان مماترك
“... maka jika saudari itu dua orang, bagian mereka adalah dua pertiga dari yang ditinggalkan...”
Jika dua orang saudari yang pertalian nasabnya dengan si mati sudah jauh mendapat dua pertiga harta warisan, maka adalah logis sekali andaikata bagian dua orang anak perempuan yang pertalian nasabnya dengan si mati lebih dekat mendapat dua pertiga (Katsir, tt, 504).
Menurut analisa yang lain, dijelaskan bahwa lafadh “fauqa“ adalah sebagai silah (preposisi) belaka, bukan sebagai lafadh yang pada hakikatnya menunjukkan “lebih banyak“ atau “di atasnya“. Ada juga yang menganalisa, bahwa lafadh “fauqa“ berfungsi untuk menghilangkan dugaan (daf’u tawahhum) bertambahnya bagian sebab bertambahnya jumlah orang, artinya tatkala timbul pengertian bahwa dengan
8
diberikannya sepertiga bagian untuk seorang anak perempuan, jika ia bersama dengan seorang anak laki-laki, sesuai dengan ketentuan Allah SWT “lizzakari mitslu hadhdhil untsain”, maka dua orang anak perempuan memperoleh dua pertiga bagian, akan timbul dugaan bahwa kalau anak perempuan lebih dari dua orang maka memperoleh bagian lebih dari dua pertiga (As-Sayuthi, tt, 206).
Selain itu, ada dalil lain berupa hadist yang diriwayatkan oleh Jabir ra yang menceritakan Sa’ad bin Ar-Rabi’ dengan Rasulullah Saw tentang bagian kedua anak perempuan Sa’ad. Ia berkata:
“Ya Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’ad bin Al Rabi’ yang ayahnya gugur sebagai pahlawan syahid dalam Perang Uhud bersamamu, dan paman mereka telah mengambil seluruh harta peninggalan ayah mereka, sehingga mereka tidak memperoleh bagian sedikitpun dari harta itu, sedangkan perkawinan mereka memerlukan uang. Nabi Saw bersabda: Allah akan memberi keputusan hukum tentang hal itu. Maka turunlah ayat mengenai hukum warisan. Kemudian Rasulullah Saw mengirimkan utusan kepada paman mereka, dan beliau berkata; berikanlah untuk dua orang putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan untuk ibu mereka seperdelapan bagian, sedangkan sisanya adalah untukmu.” (HR Abu Daud).
2.1.3. Ushbah
Ushbah, dengan syarat apabila ia bersama-sama dengan anak laki-laki dari si mati dengan pembagian masing-masing 2 :1.
2.2. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki (Bint al-ibn)
CUCU perempuan dari anak laki-laki adalah anak perempuan dari anak laki-laki orang yang meninggal (bintul ibni) dan anak perempuan dari cucu laki-laki dari anak laki-laki (bintul-ibnil-ibni) betapapun jauh menurunnya (Rahman, 1981: 174).
9
Cucu perempuan dari anak laki-laki ada kemungkinan mendapat warisan dalam kedudukannya sebagai ashabul furudh dan ada kemungkinan sebagai ‘ashabah. Dalam kedua status itu, cucu perempuan dari anak laki-laki mempunyai kemungkinan sebagai berikut:
2.2.1. Seperdua
Cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagian seperdua dengan syarat ia hanya seorang diri, tidak ada laki-laki yang menjadi mu’ashshibnya, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki dan tidak ada pula putra dan putri kandung si mati.
Dasar hukumnya sama dengan dasar hukum yang telah ditetapkan pada angka perempuan, karena cucu perempuan dari anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak perempuan jika tidak ada anak perempuan (Ash Shabuni, tt, 42). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: .... يوصيكم الله فى اولادآم
“... Allah mewasiatkan bagimu pembagian pusaka untuk anak-anakmu...”
Lafadh “aulad“ itu meliputi anak-anak dan cucu dari anak laki-laki selama tidak ada anak kandung. Dengan demikian, bagian cucu perempuan adalah identik dengan anak perempuan kandung (Rahman, 1981: 175).
2.2.2. Dua Pertiga
Cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh dua pertiga dengan syarat tidak terdapat anak kandung dari si mati dan tidak terdapat saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah (putra dari anak laki-laki).
10
Dasar hukumnya adalah ijma’ ulama, bahwa anak dari anak laki-laki (cucu) menggantikan kedudukan anak ketika ia tidak ada (As Shabuni, tt, 45).
2.2.3. Seperenam dari Seluruh Harta sebagai Penyempurna Dua Pertiga
Maksudnya bagian seperenam ini merupakan pengembangan dari kedudukannya ketika mendapat bagian dua pertiga, yakni ketika ia bersama-sama dengan anak perempuan kandung. Kedudukan anak perempuan kandung tersebut dalam pewarisan identik dengan kedudukan cucu perempuan dari anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki akan memperoleh bagian seperenam sebagai penyempurna dua pertiga bila ia bersama-sama dengan anak perempuan kandung tunggal dan tidak bersama-sama dengan mu’ashshib yang sederajat atau yang lebih tinggi derajatnya yang dapat menghijabnya.
Dasar hukumnya ada dua, yakni: Pertama, dengan mengistimbathkan kandungan ayat 176 yang menjelaskan bahwa bagian anak perempuan yang tunggal adalah seperdua dan dua orang anak perempuan atau lebih adalah dua pertiga, sebagai berikut:
“Oleh karena cucu perempuan dari anak laki-laki identik dengan anak perempuan kandung, maka jika cucu perempuan dari anak laki-laki mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan, maka mereka akan memperoleh dua pertiga. Hal ini disebabkan mereka dianggap seperti anak perempuan kandung. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam QS An-Nisa’ ayat 11, bahwa bagian anak perempuan kandung adalah seperdua. Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa bagian cucu perempuan dari anak laki-laki adalah seperenam sebagai pelengkap dua pertiga” (Rahman, 1981: 175).
Kedua, sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadist berikut ini (Al-Asqalani, 1995: 404):
11
قضى النبى صلى الله عليه وسلم لللا بنه النصف وابنة اللابن السدس تكميلة للثلثين ومابقى فلاخت
“Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk anak perempuan separo, cucu perempuan dari anak laki- laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudari“ (HR Bukhari).
2.2.4. ‘Ushbah
‘Ushbah, dengan syarat ia bersama-sama dengan ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya, dalam hal ini cucu laki-laki. Dalam keadaan ini ada tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, mendapat seluruh harta jika tidak ada ahli waris lainnya, dengan ketentuan 1 : 2 (satu untuk cucu perempuan dari anak laki-laki dan dua untuk cucu laki-laki dari anak laki-laki). Kedua, hanya menerima sisa harta dari ashabul furudh dengan ketentuan seperti di atas. Ketiga, jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa (Dahlan, 2003: 312).
2.3. Istri
SEBAGAI ahli waris yang tergolong ashabul furudh, istri memiliki dua kemungkinan, yaitu:
2.3.1. Seperempat
Seperempat, bila suaminya tidak meninggalkan far’u waris, yaitu anak (laki-laki dan perempuan), cucu perempuan dari anak laki-laki hingga ke bawah, cucu laki-laki dari anak laki-laki hingga ke bawah, baik anak itu berasal dari istri itu atau 12
lainnya (Al-Bakr, tt, 229). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi: … ولهن الربع مماترآتم ان لم يكن لكم ولد
“… para istri mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak …“
2.3.2. Seperdelapan
Seperdelapan, bila suaminya meninggalkan far’u waris (anak laki-laki dan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi: ... فان آان لكم ولدفلهن الثمن مما ترآتم من بعدوصية توصون بهااودين
“… jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta peninggalan yang kamu tinggalkan, setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau setelah dilunasi hutang… “
Bagian istri itu, baik seorang maupun banyak adalah seperempat atau seperdelapan. Hal ini disebabkan, bila seorang suami memiliki empat orang istri, maka bagian mereka seluruhnya adalah seperempat atau seperdelapan. Tidaklah setiap orang istri mendapat seperempat atau seperdelapan karena akan menghabiskan seluruh harta (Ash-Shabuni, tt, 43).
2.4. Ibu
13
SEBAGAI ahli waris, ibu memiliki tiga kemungkinan, yaitu sepertiga, seperenam, dan sepertiga sisa.
2.4.1. Sepertiga
Sepertiga, dengan syarat tidak bersama-sama dengan anak ataupun cucu dari anak laki-laki dan tidak bersama-sama dengan dua orang atau lebih saudara ataupun saudari si mati, baik sekandung semuanya, seayah ataupun seibu (Al-Bajuri, tt, 78-79). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: ... فان لم يكن له ولدوورثه ابواه فللامه الثلث
“… jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga…”
2.4.2. Seperenam
Seperenam, bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’u waris si mati yakni anak ataupun cucu dari anak laki-laki dan bersama-sama dengan dua orang saudara ataupun saudari si mati baik sekandung semuanya, seayah, seibu atau campuran (Al-Bakr, tt, 230). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: ... وللابويه لكل واحد منهماالسدس مما ترك ان آان له ولد
“…dan untuk ibu-bapak, masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika meninggalkan mempunyai anak…”
Kemudian lanjutan dari ayat tersebut berbunyi: ... فان آان له ولد فللاامه السدس
14
“… jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam…”
Menurut bunyi ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa ibu memperoleh bagian seperenam itu dalan dua keadaan, yaitu (Rahman, 1981: 223): Pertama, si mati mempunyai anak ataupun cucu dari anak laki-laki; Kedua, si mati mempunyai beberapa saudara (ikhwah).
Seluruh fuqaha’ telah sepakat bahwa bagian ibu seperenam itu jika dalam salah satu dari dua keadaan di atas. Hanya saja yang masih diperselisihkan adalah tentang minimal pengertian jama’ yang terkandung dalam lafadh “ikhwah“. Namun kebanyakan para sahabat, tabi’in, dan umhur fuqaha berpendapat bahwa pengertian jama’ yang terkandung dalam lafadh “ikhwah“ itu minimal dua orang. Misalnya dalam firman Allah SWT dalam QS As-Shad ayat 21 yang berbunyi: ... وهل اتاك نباءالخصم اذتسورواالمحراب
“Dan apakah sudah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar?...”
Orang-orang yang menaiki pagar (mihrab) itu sebenarnya hanya dua orang saja, walaupun dilukiskan dengan fi’il yang pelakunya banyak, yaitu dengan susunan kalimat “idz tasawwaruu”. Pengertian yang demikian itu dapat dipahamkan dari ayat berikutnya yang berbunyi: ... خصمان بغى بعضناعلى بعض
“... (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zhalim kepada yang lain….”
15
Dan juga Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: ... الاثنان فمافوقهماجماعة
“Dua orang dan seterusnya itu dianggap sebagai suatu jama’ah…” (HR Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni).
2.4.3. Sepertiga Sisa (Sulus al-Baqi)
Kedudukan semacam ini hanya apabila ia bersama-sama dengan suami atau istri dan ayah dari si mati. Kasus semacam ini dikenal dengan istilah al-gharawain.4
2.5. Nenek (Al-Jaddah)
DALAM pewarisan, nenek memiliki dua status, yaitu (Al-Khatib, tt, 16): Pertama, nenek sejati (al-jaddah as-shahihah), yaitu nenek yang mata rantai nasabnya dengan si mati dihubungkan oleh perempuan, seperti ibu dari ibunya ibu (ummu-ummil-ummi) atau oleh laki-laki seperti ibu dari bapaknya bapak (umum-abil-abi) atau oleh perempuan dan kemudian oleh laki-laki seperti ibu dari ibunya bapak (ummu-ummil-abi).
Kedua, nenek tidak sejati (al-jaddah ghairu shahihah), yaitu nenek yang pertalian nasabnya dengan si mati dihubungkan oleh seorang laki-laki di antara dua orang perempuan, seperti ibu dari bapaknya ibu (ummu-abil-ummi). 4 Al-Bajuri, Ibrahim, Op cit, hal 78. Al-Gharawain adalah lafadh tasniah dari lafadh gharra yang bermakna bintang yang cemerlang. Dikatakan bintang cemerlang karena dua masalah tersebut sangat masyhur.
16
Nenek sejati termasuk ahli waris ashabul furudh, sedangkan nenek tidak sejati termasuk golongan dzawil arham. Sebagai ahli waris yang memilki bagian yang telah tetap, nenek sejati memperoleh bagian seperenam dengan syarat si mati tidak meninggalkan ibu. Bagian nenek sejati tersebut tidak ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, tetapi melalui Hadis Rasulullah Saw (Al Hafidh, tt, 5), yang menyebutkan bahwa:
عن قبيصة بن ذؤيب رضى الله عنه قال : جاءت الجدة الى ابى بكررضى الله عنه تساله
ميراثها فقال : مالك فى آتاب الله شيءوماعلمت لك فىسنة نبى الله صلى الله عليه وسلم
شيءافارجعى حتى ا سا ل الناس فسا ل فقال المغيرة بن سعبة حضرت رسول الله صلى الله
عليه وسلم اعطاها السدس فقال ابو بكر هل معك غيرك ؟ فقام محمدبن مسلمة الانصارى فقال
مثل ما قاله المغيرة بن سعبة فانفذه لها ابوبكر رضى الله عنه ثم جاء ت الجدة الاخرى الى عمر
رضى الله عنه تساله ميراثها فقال مالك فى آتاب الله شيء وماآان القضاء الذى قضى به الا
لغيرك وما انابزائد فى الفراءض ولكن هوذلك السدس فان اجتمعتمافيه فهوبينكماوايتكما ماخلت
به فهولها
“Berita dari Qabishah bin Dzuaib ra menjelaskan: Seorang nenek datang menghadap Abu Bakar ra, menanyakan pewarisannya. Jawab Abu Bakar: “Kamu tidak mempunyai hak sedikitpun menurut ketentuan kitab Allah dan saya tidak tahu sedikitpun berapa hakmu di dalam Sunnah Nabi. Oleh karena itu kembalilah sampai aku menanyakan kepada seseorang.” Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada al-Mughirah, jawab al-Mughirah bin Syu’bah:” Aku pernah mengetahui bahwa Rasulullah SAW memberikan pusaka kepada nenek seperenam bagian.“ sela Abu Bakar “Apakah ada orang lain bersama kamu?” Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri seraya berkata seperti yang pernah dikatakan oleh al-Mughirah. Kemudian Abu Bakar melaksanakan (memberikan) seperenam bagian kepada nenek. Lalu datang nenek yang lain menghadap Umar ra (juga) menanyakan hak warisnya., jawab Umar ra:”Kamu tidak mempunyai hak sedikitpun dalam kitab Allah dan tidak ada ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kecuali selain kamu. Saya tidak menambah dalam ketentuan faraidh tetapi hanya seperenam itulah. Karenanya jika kamu berdua bersama-sama seperenam itu untuk kamu berdua dan siapa saja di antara kamu berdua yang menyendiri maka seperenam itu untuknya.”
2.6. Saudari Kandung (Al-Ukht-Syaqiqah)
17
BAGIAN saudari kandung di dalam pusaka-mempusakai itu ada lima macam, yaitu seperdua, duapertiga, ‘ushbah bil ghair, ‘ushbah ma’al ghair, gugur hak waris.
2.6.1. Seperdua
Seperdua, bila ia hanya seorang diri dan tidak terdapat saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabahnya. Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 176 yang berbunyi:
يستفتونك قل الله يفتيكم فى الكللة ان امرؤاهلك ليس له ولدوله اخت فلهانصف ماترك
وهويرثها ان لم يكن لها ولد
“Mereka minta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah bahwa Allah SWT memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yakni jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu separo dari harta yang ditinggalkannya itu dan saudara laki-laki mewarisi harta saudara perempuannya jika ia tidak mempunyai anak…”
2.6.2. Duapertiga
Dua pertiga, yakni jika dua orang atau lebih dengan syarat: (a) tidak terdapat anak laki-laki atau anak perempuan atau ayah atau kakek; (b) tidak terdapat saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah; (c) tidak terdapat cucu perempuan atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 176, yang berbunyi: ... فان آانتااثنتين فلهماالثلثان مماترك
“Maka jika saudara perempuan itu dua orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan…”
18
2.6.3. Ushbah Bil Ghair
‘Ushbah bil ghair5, yakni bila seorang diri ataupun banyak, mewarisi bersama-sama dengan saudara kandung, dalam keadaan seperti ini mereka dapat memperoleh seluruh harta peninggalan atau atau sisa harta dari dzawil furudh dengan ketentuan bahwa penerimaan saudara adalah dua kali lipat penerimaan saudari.
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 176, yang berbunyi:
...وان آانوااخوة رجالاونساءفللذآرمثل حضا الانثيين يبين الله لكم ان تضلووالله بكل
شيءعليم
“…Dan jika ahli waris terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan maka yang laki-laki sebanyak dua orang perempuan. Allah menjelaskan ketentuan ini kepadamu agar kamu tiada tersesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
2.6.4. ‘Ushbah Ma’al Ghair
‘Ushbah ma’al ghair6, yakni bila ia mewarisi bersama-sama dengan: (a) seorang atau beberapa orang anak perempuan; (b) seorang atau beberapa orang cucu perempuan dari anak laki-laki; (c) anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dengan ketentuan saudari kandung tersebut tidak bersama-sama dengan saudara kandung yang menjadi mu’ashshibnya
2.6.5. Gugur Hak Waris
5 ‘Ushbah bil ghair adalah setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ‘ashabah bersama-sama dengannya dalam suatu pembagian harta warisan 6 ‘Ushbah ma’al ghair adalah setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ‘ashabah, tetapi ahli waris yang dibutuhkan itu tidak bersama-sama dengannya menjadi ‘ashabah.
19
Gugur hak warisnya baik ia bersama-sama dengan saudara laki-laki atau tidak, yakni apabila bersama-sama dengan ahli waris yang dapat menghalangnya (Dahlan, 2003: 314).
2.7. Saudari Seayah (Al-Ukht Li Al-Ab)
SAUDARI seayah dalam hal pusaka-mempusakai termasuk ahli waris ashabul furudh dan ‘ashabah. Sebagai ashabul furudh, ia mempunyai tiga kemungkinan, yaitu seperdua, duapertiga, dan seperenam.
2.7.1. Seperdua
Seperdua, dengan syarat: (a) tidak terdapat bersamanya seorang saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah (saudara laki-laki seayah); (b) hanya seorang saja; (c) tidak terdapat furu’ maupun ashal dari si mati; (d) tidak terdapat saudari seayah seibu.
Dasar hukumnya sama dengan dasar hukum yang berlaku pada saudari yang seayah seibu.
2.7.2. Duapertiga
Dua pertiga, dengan syarat: (a) tidak ada anak laki-laki atau ayah atau kakek; (b) tidak ada saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah (saudara laki-laki seayah); (c) tidak ada anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki seayah seibu atau saudara perempuan seayah seibu; (d) terdiri dari dua orang atau lebih.
20
Dasar hukum sama dengan dasar hukum yang berlaku pada saudari seayah seibu (Ash Shabuni, tt, 46).
2.7.3. Seperenam
Seperenam, baik jika sendirian maupun berdua atau lebih, dengan ketentuan bersama-sama dengan saudara perempuan kandung (Rasyid, 1985: 372). Dalam kedudukannya sebagai ‘ashabah, ia mempunyai dua kemungkinan, yaitu: (a) menjadi ‘ashabah bil ghair, jika bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah. Dalam keadaan ini berlaku ketentuan laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan; (b) menjadi ‘ashabah ma’al ghair, yakni jika ia mewarisi bersama-sama dengan: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Dalam hal ini ia mendapat sisa peninggalan setelah para ahli waris tersebut mengambil bagiannya. Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh, maka ia tidak mendapatkan apa – apa (Rahman, 1981: 312).
2.8. Saudari Seibu (Al-Ukht Li Al-Umm)
SEBAGAI ashabul furudh, saudari seibu mempunyai dua kemungkinan, yaitu seperenam dan sepertiga.
2.8.1. Seperenam
Seperenam, bila seorang diri. Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi:
21
... وان آان رجل يورث آللة اوامراءة وله اخ اواخت فلكل واحد منهماالسدس
“Jika seseorang meninggal dunia tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai anak (kalalah), tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu adalah seperenam harta…”
2.8.2. Sepertiga
Sepertiga, dengan syarat: (a) tidak ada pokok atau cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu). Itulah yang dimaksud dengan kata “kalalah“; (b) jumlah mereka ada dua orang atau lebih.
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi:
...فان آانوااآثرمن ذلك فهم شرآاءفى الثلث من بعد وصية يوصى بهااودين غيرمضاروصية
من الله والله عليم حليم
“ ... Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian sepertiga, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”
2.9. Perempuan yang Memerdekakan Hamba Sahaya (Maulal ‘Ataqah)
MENURUT kenyataan, pengertian budak dalam arti yang sebenarnya sudah tidak didapatkan lagi pada zaman modern sekarang ini. Di negara-negara yang berkonstitusi Islam, perbudakan itu sudah dihapus oleh undang-undang dan dilarang keras karena bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan hilangnya perbudakan,
22
hak wala’ yang menjadi hak prioritas tuan yang membebaskannya akan ikut hilang pula.
Namun demikian, sebagai kelengkapan kodifikasi hukum Islam yang tidak terhapus oleh syari’at, di sini kami akan menguraikan juga hak pusaka wala’. Perempuan yang memerdekakan hamba (budak) tergolong ahli waris ‘ashabah. Ia hanya dapat menerima warisan apabila yang diwarisi tidak meninggalkan ahli waris, baik ashabul furudh maupun ‘ashabah (Dahlan, 2003: 314).
3. Mengapa Bagian Wanita Hanya Sebahagian?
PENCIPTA hukum yang bijaksana telah menetapkan bagian wanita hanya separo dari pria (dalam keadaan tertentu). Syariat memberikan bagian kepada pria lebih banyak dari pada wanita karena pria memerlukan biaya yang besar dalam memberi nafkah, memikul tanggung jawab berniaga, mencari penghasilan dan menanggung beban yang berat (Ibn Katsir, tt, 504).
Untuk mensejahterakan keluarganya, tidak mustahil kaum pria harus menjelajahi daratan, mengarungi lautan, berjemur di bawah terik matahari dan berbasah kuyup di bawah derasnya hujan. Berbeda dengan wanita, karena dalam segala zaman kehidupan wanita tidak terlepas dari tanggung jawab pria. Pada waktu kecil di bawah perlindungan ayahnya yang membelanjai hidupnya. Setelah dewasa, dia bersuami. Sebagai istri, ia di bawah tanggung jawab suaminya. Kalau suaminya telah tiada, dia di bawah tanggung jawab anak-anaknya yang laki-laki. Kendatipun ada juga wanita yang memiliki keahlian dalam bekerja, namun syari’at dan tabi’at
23
tetap membebankan tanggung jawab yang berat itu kepada pria. Oleh karena itu adalah wajar dan adil kalau bagian pria sebanyak dua kali lipat dari bagian wanita (Hamka, 2003: 1116).
Nah, jika demikian, bagaimanakah mereka dapat menuduh bahwa Islam menganiaya wanita dan merampas hak-haknya? Islam telah mendiskriminasikan kaum wanita? Sebelum datangnya Islam, wanita tidak berhak sedikitpun menerima harta warisan, tapi justru wanita itu yang dijadikan barang warisan sebagaimana harta kekayaan lainnya. Di zaman pra Islam, janda dari orang yang meninggal dunia merupakan bagian dari harta warisan. Kebiasaan mewarisi janda tersebut dibatalkan oleh syari’at Islam melalui QS An-Nisa’ ayat 19, yang berbunyi:
يايهاالذين امنوالايحل لكم ان ترثواالنساءآرهاولاتعضلوهن لتذهبواببعضمااتيتموهن
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan perkawinan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”
Inilah sikap Islam terhadap wanita. Islam menyingkiri kezaliman dari pundaknya dan menolak penganiayaan terhadapnya. Islam menjadikannya sebagai pewaris setelah dahulunya tidak mewarisi apa-apa.
Sesungguhnya sistem waris dalam Islam merupakan sistem yang sesuai dengan fitrah. Juga sejalan dengan berbagai realitas kehidupan; keluarga dan kemanusiaan pada semua keadaan. Hal ini tampak jelas ketika kita membandingkannya dengan sistem lain, mana saja yang dikenal oleh umat manusia pada masa Jahiliah klasik hingga Jahiliah modern, di belahan bumi manapun.
24
Sistem waris dalam Islam merupakan sistem yang mengapresiasi makna solidaritas keluarga secara utuh, dan membagi bagian-bagian sesuai dengan kadar kewajiban dari setiap individu yang ada di dalam keluarga dalam solidaritas ini. Juga sistem ini merupakan sistem yang memelihara dasar pembentukan keluarga umat manusia dari satu jiwa. Ia tidak menghalangi wanita atau anak kecil semata-mata karena kewanitaannya atau kekecilannya. Karena di samping memelihara berbagai kemaslahatan sebagaimana telah kami jelaskan, ia juga mengistimewakan prinsip kesatuan. Sehingga ia tidak mengistimewakan satu jenis atas jenis yang lain, kecuali berdasarkan kadar beban tanggungannya dalam solidaritas keluarga.
Dari sini, wajarkah orang yang mengatakan bahwa Islam telah merampas hak-hak wanita dalam warisan? Ataukah ia menuntut persamaan hak waris antara pria dan wanita, sementara wanita tidak dibebani menanggung nafkah seorangpun, tidak menafkahi suaminya, anak-anaknya, ayah-ibunya dan sanak saudaranya.
Apakah dengan begitu syari’at Islam telah berlaku adil kepada wanita dan memperhatikan nasibnya? Ataukah justru Islam mendiskriminasikan wanita? Semua itu merupakan pemikiran-pemikiran yang menodai ajaran Islam dan berusaha melakukan tipu daya terhadap wanita dan menggodanya supaya membangkang terhadap ajaran Islam dan menuntut persamaan hak dengan pria.
Catatan Penutup
25
HUKUM waris telah ada dan dikenal oleh bangsa Arab jahiliah sejak zaman pra Islam. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa yang dapat mewarisi hanyalah orang yang sudah dapat mempertahankan kehormatan keluarganya. Dengan demikian anak-anak dan wanita tidak mempunyai hak mewarisi.
Setelah Islam datang, persoalan hukum waris disempurnakan bahkan persoalan faraidh merupakan ketentuan Allah SWT yang sangat terperinci di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dasar-dasar mengenai pewarisan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an memiliki kadar kesadaran dan keadilan yang cukup tinggi.
Dalam syari’at Islam telah dijelaskan secara terperinci untuk wanita yaitu: seperempat, seperdelapan, seperdua, sepertiga dan seperenam. Perincian mengenai hukum masing-masing bagian tersebut juga telah dijelaskan secara mendetail, sehingga dapat diketahui kapankah wanita itu memperoleh bagian seperempat, seperdua, seperenam dan lain-lain. Hal semacam ini tidak terdapat dalam agama manapun, selain Islam.
Islam telah memberikan ketentuan hukum, yaitu bukan saja laki-laki yang mendapat warisan meskipun tanggung jawab lebih besar, wanita pun berhak mendapatkannya. Laki-laki mendapat dua kali lebih banyak dari yang didapatkan wanita sebab wanita itu menurut Islam terlepas dari tanggung jawab laki-laki.
Referensi
26
Abi Daud, Al-Hafidh, tt, Sunan Abi Daud, Dar al Fikr, Beirut.
Al-Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, 1995, Bulughul Maram, Terjemahan: H. Mahrus Ali, Mutiara Ilmu, Surabaya.
Al-Bajuri, Ibrahim, tt, Al-Hasyiah ‘ala Syarh ibn Qasim, Toha Putra, Semarang.
Al-Bakr, Sayid, tt, I’anah at-Thalibin, Toha Putra, Semarang.
Al-Hafidh Abi Daud ibn Sulaiman, tt, Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Khatib, Muhammad Asy-Syarbainy, tt, Mughny al – Muhtaj; syarh ‘ala matni Minhaj Abi zakaria Yahya ibn Syarafu an – Nawawy, Jilid III, Dar al – Fikr, Beirut.
Ash Sayuti, Jalaluddin dan Al Mahalli, Jalaluddin, tt, Tafsir Jalalain, Dar al Fikr, Beirut.
Ash Shabuni, Muhammad Ali, tt, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Mutiara Ilmu, Surabaya.
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), 2003, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. IV, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Darajdat, Zakiah, 1995, Ilmu Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Hamka, 2003, Tafsir Al-Azhar, Cet. V, Pustaka Nasional Pte. Ltd., Singapura.
Katsir, Ibnu, tt, Tafsir Al-Qur’an al-Qarim, Dar al Fikr, Beirut.
Nasution, Harun dkk, 2002, Ensiklopedi Islam Indonesia, Cet. II, Djambatan, Jakarta.
Rahman, Fatchur, 1981, Ilmu Waris, Cet. II, PT Al-Ma’arif, Bandung.
Rasjid, Sulaiman, 1985, Fiqh Islam, Kurnia Esa, Jakarta.
27
Bagian Tiga
HUBUNGAN PRIA DAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Junaidah Mahmud
MANUSIA diciptakan berbagai suku bangsa untuk saling kenal-mengenal, menyayangi dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hujuraat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Dalam penafsiran ayat tersebut banyak yang keliru, karena di dalam prakteknya realitas menunjukkan betapa pergaulan yang terjadi antara pria dan wanita, baik itu mahram maupun bukan mahram tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an, hukum-hukumnya banyak yang dilalaikan.
Dalam Al-Qur’an sangat banyak kita temui pernyataan bahwa Al-Qur’an merupakan satu kitab yang memberi pengajaran-pengajaran, peringatan-peringatan untuk dijalani dan diamalkan, antara lain, seperti firman Allah SWT dalam QS An-Nuur ayat 1 yang berbunyi:
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ
تَذَآَّرُونَ
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.”
Mengingat berarti menjalankan semua yang telah diatur ketentuannya dalam Al-Qur’an, sebab kalau tidak sebagai disebut dalam QS Thaahaa ayat 124, yang berbunyi:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِآْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Dalam ayat selanjutnya, Allah menyatakan tentang pertanyaan orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah SWT, mengapa mereka dihimpunkan dalam keadaan buta? Padahal di dunia mereka mempunyai mata serta dapat melihat. Allah menjawab dengan firmannya: “Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan” (QS Thaahaa: 126).
Petunjuk-petunjuk Allah itu merupakan hal terpenting yang mesti diikuti dan diimani, karena iman itu dasar yang menentukan diterimanya amal ibadah seseorang, bukan yang lain.
Iman mempunyai arti mempercayai dan meyakini akan adanya Allah, malaikat, Rasul, dan hal-hal ghaib lainnya berdasarkan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw seperti yang termuat dalam Rukun Iman.
Kewajiban Rasul hanya menyampaikan wahyu Allah, baik itu berupa perintah maupun larangan kepada segenap umatnya, karena risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu universal, tidak untuk satu golongan, walaupun beliau dari bangsa Arab.
Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu bersifat umum dapat dibuktikan dengan QS Sabaa’ ayat 28, yang berbunyi:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ آَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا...
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…”
Sebahagian dari umat ada yang mendapat pancaran Nur Ilahi untuk mengikuti ajaran tersebut, sehingga ia tertuntun ke jalan yang lurus dan benar, dan ada pula yang tersesat tidak dapat menemukan kebenaran.
Allah tidak akan menurunkan azab kepada suatu kaum yang melakukan kezaliman terhadap diri sendiri maupun orang lain, sebelum mengutus seorang Rasul yang menyampaikan Wahyu kepada mereka. Hal ini seperti difirmankan Allah dalam QS Yunus ayat 47 yang berbunyi:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَسُولٌ ...
“…Dan tiap-tiap umat mempunyai Rasul.”
Berdasarkan isi ajaran Al-Qur’an, setiap umat di manapun ia berada di muka bumi ini mempunyai seorang Rasul yang menyampaikan wahyu. Oleh karena demikian umat Islam wajib percaya kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, yaitu Kitab Taurat, Injil, dan Zabur.
Al-Qur’an dengan pokok-pokok isi yang dikandungnya bukan sebagai beban bagi yang mengikutinya, dan sangat ironis apabila ada golongan yang berfaham bahwa Islam itu merupakan agama yang hanya menyulitkan.
Allah berfirman dalam QS Thaahaa ayat 2-3: “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; akan tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)”. Bahkan Islam juga melarang pertanyaan-pertanyaan yang menyebabkan kemudharatan.
Shahib Taisir Akhlaq dalam kitabnya, halaman pertama ada menyebutkan “ta’rif” daripada taqwa, yaitu: ”Menjunjung segala perintah dan menjauhi segala larangannya baik secara lahiriah (terang-terangan) maupun bathiniah (sembunyi- sembunyi)”.
Oleh karena itu, manusia sama kedudukannya di sisi Allah SWT, kelebihannya hanya terletak pada tingkatan orang-orang yang bertaqwa.
Dalam QS Al-Hujuraat ayat 13, Allah berfirman:
إِنَّ أَآْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاآُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
Adapun ketakutan seorang hamba kepada Khaliqnya, tergantung kepada sedikit banyaknya pengetahuan tentang ke-Agungannya dan menyadari akan kerendahan dirinya. Karena orang yang jahil akan ketuhanan melazimi jauh hati dari ketakutan.
Seperti firman Allah dalam QS Faathir ayat 28 yang berbunyi:
... إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء .ُ..
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...”
Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat tersebut ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, dengan berpegang kepada apa yang telah Allah turunkan dan memperhatikan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah dalam alam semesta. Allah yang telah kuasa menjadikannya dari tiada kepada ada dan lebih mudah baginya meniadakan sesuatu yang telah ada.
Sangat tinggi kedudukan orang-orang yang mempunyai ilmu, sehingga di kalangan para sahabat ketika dikatakan berdiri pada saat kedatangan Rasulullah Saw, maka mereka berdiri karena kemuliaannya. Demikian pula pada zaman sekarang ini, jika hadir para ‘alim ulama pada tempat-tempat seperti majelis taklim, dianjurkan untuk berdiri sebagai penghormatan terhadap ilmunya.
Tentang penghargaan terhadap orang-orang berilmu tersebut, dalam QS Al- Mujaadilah ayat 11, Allah berfirman:
...يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ...
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Adapun hikmah di turunkan ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain seperti tersebut dalam firman Allah berikut: Pertama, supaya jangan ada yang mengatakan : “Amat besar pernyataan atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang Aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokan (Agama Allah )” (QS Az-Zumar ayat 56); Kedua, atau supaya jangan ada yang berkata: “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah Aku termasuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Az-Zumar ayat 57); Ketiga, atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab:
“Kalau sekiranya Aku dapat kembali (ke dunia), niscaya Aku akan termasuk orang- orang yang berbuat baik” (QS Az-Zumar ayat 58).
Demikianlah sebahagian dari banyaknya hikmah-hikmah diturunkan Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia di dalam kehidupan dunia, baik yang berkaitan dengan yang ghaib (Allah) maupun sesama makhluk, khususnya manusia, di dalam pergaulan sehari-hari, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, namun segala tingkah laku dan perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah.
Allah berfirman dalam QS Yunus ayat 61: “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca satu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauh Mahfuzh)”.
1. Pergaulan Antara Pria dan Wanita yang Bukan Mahram
DALAM hal pergaulan antara pria dan wanita yang bukan mahram menurut Islam. Usaha-usaha pokok yang terlebih dahulu dilakukan, antara lain:
1.1. Menjaga Mata
Allah SWT dalam QS An-Nuur ayat 30, berfirman sebagai berikut:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ...
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ...
Demikian juga dalam QS Al-Ahzab ayat 53, Allah SWT berfirman:
...وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ...
“…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir…”
Mata merupakan anugerah Allah SWT dan sebagai nikmat dari padanya yang wajib disyukuri dan menjaganya dari sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, dan
mempergunakannya pada tempat-tempat yang di ridhanya, seperti membaca Al-Qur’an, memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam ini, dan lain sebagainya.
Di samping itu, mata juga merupakan amanah dari Allah SWT yang akan diminta pertanggunganjawabannya di akhirat kelak, ia akan mempersaksikan diri terhadap segala perbuatan yang pernah diembannya.
Sebahagian orang ada berpendapat bahwa; pandangan, ciuman yang sengaja di lakukan oleh yang bukan mahram termasuk dosa kecil. Padahal Imam Ghazali yang merupakan Hujjah Islam pernah berkata: “Setiap kesengajaan itu dosa besar, dan setiap yang dilarang oleh Allah, maka itu dosa besar”.
Meskipun makhluk ini dikatakan dapat melihat, namun pada hakikatnya yang mengetahuinya segala sesuatu hanyalah Allah SWT walaupun manusia itu sendiri terkadang tidak menyadari apa yang dialaminya.
Seperti difirmankan Allah SWT dalam QS Al-Mu’min ayat 19, yang berbunyi sebagai berikut:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
Yang dimaksud dengan “Pandangan mata yang khianat " ialah pandangan terlarang, seperti memandang kepada wanita yang bukan mahramnya, demikian juga sebaliknya.
Setiap yang terlihat oleh mata, lazim memberi bekas ke dalam hati, namun tidak lazim apa yang dirasa oleh hati dapat dilihat oleh mata, seperti halnya orang buta.
Itu sebabnya dalam ayat, setelah disebutkan kata “a’yun” yang berarti pandangan mata diiringi dengan kata “tukhfishshudur” (tersimpan di hati).
Mengenai pandangan yang diharamkan, itu sangat banyak terjadi dalam pergaulan lawan jenis yang bukan mahram.
Wanita merupakan tempat utama memuaskan hawa nafsu, bila seorang pria berhadapan dengan wanita, akan berkecamuk berbagai macam perasaan, dan menimbulkan nafsu syahwat.
Disebabkan oleh mata, maka fitnah yang paling besar untuk pria adalah wanita, karena wanita itu seperti yang digambarkan oleh sebuah Hadits yang diriwayatkan Al-Ashfahani dari Khalid bin Zaid Al-Yahni dengan Isnad yang tiada diketahui padanya:
اَلنِّسَاءُ حَبائِلُ اشَّيْطَانَ
“Wanita itu jaringan syaithan”.
Sebagaimana sebuah kisah yang terjadi antara Nabi Musa as dengan iblis, ketika Nabi Musa as bertanya kepada iblis: “Apabila manusia berbuat sesuatu, maka bagaimana cara iblis mendapat kemenangan di atas manusia itu? Iblis tersebut menjawab: “Apabila manusia itu mengherani dirinya sendiri (u’jub), merasa banyak amalnya dan lupa akan dosa-dosanya.”
Iblis itu memperingatkan Nabi Musa as dengan tiga perkara, salah satu di antaranya adalah: “Jangan berada di tempat sepi berdua-dua dengan wanita yang tiada halal, karena apabila seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita yang tiada halal baginya, maka dialah temannya. Ia goda laki-laki itu dengan wanita tersebut, dan wanita tersebut dengan laki-laki itu.”
Pada akhirnya iblis itu menyesal dengan berkata: Aduhai, telah diketahui oleh anak Adam hal yang ditakutkan olehnya.
Pada ayat yang telah lalu sebutnya, menunjukkan perintah menahan pandangan untuk laki-laki saja, karena terdapat ibarat “Al-Mu’minin”. Dalam ilmu Nahu kalimat itu dipakai untuk tazkir (bermakna laki-laki), pada ayat selanjutnya Allah SWT juga menjelaskan dengan firmannya dalam QS An-Nuur ayat 31 yang berbunyi:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ ...
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Demikianlah Allah SWT telah menjelaskan hukum-hukum itu, supaya tidak ada keragu-raguan di dalamnya.
1.2. Menjaga Kemaluan
Salah satu sifat yang dapat menjadikan orang-orang Mukmin beruntung, sebagaimana tercantum dalam QS Al-Mu’minun ayat 5-6 adalah: “Orang-orang yang menjaga kemaluannya” kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki,1 maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Dalam hal ini, menjaga kemaluan dari yang diharamkan merupakan kewajiban, ada tempat-tempat atau saat-saat tertentu seseorang itu boleh menyalurkan nafsu kemaluannya, yaitu terhadap istri-istri yang sah dan halal untuk digauli.
Salah satu contoh istri yang sah namun tidak halal untuk digauli yaitu, istri yang belum suci dari pada haidh.
Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 222 berfirman:
...فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِوَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“...Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Maksud dari ayat tersebut, seseorang baru boleh menyetubuhi istrinya apabila sudah mandi dari pada hadas. Ada pula yang menafsirkan sesudah berhenti darah yang ke luar.
Apabila persyaratan seperti tersebut telah ada, maka suami boleh mendatanginya dengan jalan ma’ruf, sesuai dengan yang diinginkan.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُآُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”2
Sifat lain yang membuat orang mukmin beruntung yaitu, memelihara shalat, dengan mengetahui segala haiat, ab’adh, kewajiban (rukun-rukunnya) dan mengerjakannya pada awal tiap-tiap waktu.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Ankabut ayat 45:
1 Maksudnya: Budak-budak belian yang terdiri dari Wanita-wanita yang ditawan oleh orang-orang Islam dalam peperangan dengan orang-orang kafir.
2 Yaitu melalui farji.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”
Dengan mengetahui hakikat sembahyang, akan terhindar dari berbagai kemungkaran yang ada dalam kehidupan.
1.3. Tidak Menampakkan Perhiasan
Perhiasan identik dengan wanita, terhadap wanita, memakai pakaian seperti emas, perak dan kain sutera bukan suatu larangan, lain halnya dengan kaum pria yang telah mencapai batasan taklif, hukum memakainya adalah haram.
Perhiasan seperti tersebut itu merupakan pakaian yang dibedakan bagi wanita, tetapi tidak boleh dinampakkan kecuali yang biasa nampak saja.
Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS An-Nuur ayat 31, yang berbunyi:
...وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ...
“… Dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
Larangan tersebut tidaklah mutlak, ada pihak-pihak tertentu yang dibolehkan untuk memperlihatkannya. Seperti, suami, ayah, baik ayah sendiri maupun ayah suami, demikian juga terhadap anak-anaknya semua yang menjadi mahram baginya.
Ada juga pihak-pihak yang bukan mahram diperbolehkan untuk menampakkan perhiasan seperti tersebut dalam QS An-Nuur ayat 31, yaitu: “Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”.
Menampakkan perhiasan di sini dapat diartikan ke dalam dua pengerian: Pertama, tampak hakiki, seperti tidak memakai kudung supaya nampak perhiasan yang dipakai di telinga dan lehernya; Kedua, tampak majasi, seperti larangannya tersebut dalam QS An-Nuur ayat 31, yaitu: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
1.4. Memakai Kudung (Jilbab)
Yang harus diperhatikan di sini adalah bagaimana cara berjilbab yang benar menurut Islam? Dalam QS An-Nuur ayat 31, disebutkan:
...وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ...
“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”
Orang-orang yang beriman, seluruhnya mengaku kebenaran adanya perintah berjilbab dalam Islam, akan tetapi jilbab yang dikenakan oleh sebahagian besar wanita muslimah tidak sesuai dengan perintah agama.
Agama menganjurkan kepada wanita-wanita muslimah untuk menutupkan kain kudung sampai ke dadanya supaya tidak nampak tempat-tempat perhiasan, dan tidak memakai pakaian yang membentuk lekukan tubuh karena itu merupakan cara untuk menjaga kesucian jiwa dan raga.
Mengingat kekejian yang terjadi akibat pergaulan yang tiada halal, agama menganjurkan nikah. Apabila seorang pria telah ada hajat bagi watha’ (bersetubuh). Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 3:
...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاع...
“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas menunjukkan pengakuan Islam terhadap adanya poligami, dan poligami yang dilakukan tidak boleh lebih dari empat orang wanita.
Pengakuan Islam terhadap adanya poligami, dengan wujudnya syarat-syarat tertentu, seperti yang dijelaskan pada kelanjutan ayatnya, yaitu: apabila seorang suami dapat berlaku adil dalam mengurus hak-hak isteri atasnya, seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Jika persyaratan seperti tersebut tidak dapat dipenuhi, Islam hanya membenarkan nikah dengan seorang saja.
Sebahagian Khawarij mengharuskan bagi seorang pria menikahi wanita sampai sembilan orang, dengan menghimpunkan makna dua, tiga dan empat. Namun maksud dari pada ayat tersebut tidak boleh lebih di atas empat orang wanita. Wallahu a’lam.
2. Pergaulan Suami Isteri
SESEORANG dapat disebut suami atau istri apabila telah menjalani satu akad yang memuat beberapa rukun dan beberapa syarat atau disebut dengan nikah.
Dalam Islam terdapat lima macam hukum, atau disebut dengan Al-ahkamul khamsah, yakni: Pertama, jaiz (harus/boleh). Jaiz merupakan hukum aslinya (asalnya) pernikahan, bagi tiap-tiap orang yang memenuhi syarat nikah. Karena Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan kebutuhan biologis;
Kedua, sunnah, bagi mereka yang ingin kawin, dan mempunyai kemampuan fisik serta mental dan kebutuhan rumah tangga;
Ketiga, wajib, bagi yang telah berkeinginan untuk kawin dan mempunyai kemampuan fisik serta mental dan biaya rumah tangga serta khawatir akan melakukan kekejian bila tidak menikah;
Keempat, makruh, bagi yang belum punya keinginan untuk menikah, sehingga dikhawatirkan ia akan melalaikan kewajibannya;
Kelima, haram, bagi yang mempunyai niat tidak baik di dalam pelaksanaannya. Seperti; ingin menyakiti wanita yang dinikahinya.
Di samping untuk menjaga diri seseorang agar tidak mudah melakukan kekejian seperti perzinaan, perkawinan juga bertujuan untuk dapat menyalurkan nafsu seksual dengan wajar dan sah, karena itu merupakan fitrah manusia sehingga Islam mensyari’atkan.
Sang hujjatul Islam, Imamul Ghazali berpendapat di dalam kitab karya besarnya Ihya’ulumuddin Juzuk 3 Halaman 96 bahwa: “Nafsu keinginan bersetubuh itu telah menguasai manusia untuk dua faedah. Salah satu di antaranya yaitu: Kekalnya keturunan dan terus-menerusnya ada manusia.”
Dalam kehidupan berumah tangga, terhadap suami dan istri mempunyai hak-hak dan kewajiban sendiri-sendiri.
2.1. Kewajiban suami/hak istri terhadap suami, antara lain:
2.1.1. Bergaul dengan baik
Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Syaikh Muhammad bin Umar dalam Kitab ‘Uquduulujain halaman 3 menafsirkan ayat tersebut, bahwa seorang suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya di segi bermalam, nafkah dan bagus dalam berbicara.
2.1.2. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga karena para suami mempunyai kelebihan tingkatan dari pada istrinya, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ ...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
2.1.3. Kebebasan Berfikir
Memberikan kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri, sepanjang tidak menyalahi dengan ajaran agama, supaya tidak mendorong isteri ke hal-hal yang salah.
2.2. Hak suami terhadap istri, antara lain;
Melayani apa yang menjadi kesenangan suami, rajin merawat dan menjaga dirinya serta harta suaminya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda:
خَيْرُ النَِسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ اِذَا بَصَرْتَ وَتَطِعُكَ اِذَا اَمَرَتَ وَتَحْفَضُا
غَيْبَتَكَ فِنَفْسِهَا وَمَالِكَ (رواه الطبرانى)
“Wanita yang paling baik adalah wanita yang menarik hatimu bila kau pandang dan taat bila kau perintah, dan tahu menjaga kehormatannya bila kau sedang pergi dan berhati-hati menjaga hartamu” (HR Thabrani).
Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 34 berfirman:
...فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri3 ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).4”
3 Maksudnya memelihara farji dan lainnya.
4 Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik.
Seorang istri yang melalaikan kewajiban-kewajiban itu akan menggugurkan hak-haknya yang wajib atas suami memberikan ketika isteri masih berada dalam ketaatannya itu.
Allah dalam ayat yang sama berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya5, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”
Berdasarkan ayat tersebut, bila istri tidak mentaati Allah dan nusyuz terhadap suaminya, pertama-tama yang diperintahkan kepada suami, untuk memberi pengajaran terhadap istri, dengan cara memisahkan tempat tidur.
Syaikh Ibrahim Al-Bajury dalam kitabnya halaman 134 berpendapat: “Seorang suami apabila tidak berkata-kata dengan isterinya karena keingkarannya, hukumnya haram apabila lebih dari tiga hari”. Karena ada hadist shahih menyatakan bahwa orang Muslim tidak dibenarkan untuk tidak berkata-kata sesama Muslim jika lebih dari tiga hari. Pada Sunan Abi Daud juga disebutkan; “Orang yang tidak berkata-kata di atas tiga hari, ia masuk neraka.”
Imam Nawawi menambahkan, terdapatnya hukum haram dalam hal ini apabila suami tidak berkata-kata dengan istri yang nusyuz lebih dari tiga hari tanpa uzur syar’i,6 apabila ada tiada mengapa lebih dari batasan yang disebutkan.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mempunyai hikmah-hikmah tertentu, antara lain agar lebih mudah dihafal dan diamalkan.
Dalam QS Al-Furqaan ayat 32 disebutkan: “… mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Kemudian dalam ayat itu juga Allah menjawab dengan firmannya: Demikianlah supaya kami memperkuat hatimu dengannya.”
5 Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban suami istri seperti, tidak mau melayani ketika diminta, meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
6 Uzur yang dibenarkan oleh Agama, Seperti diam sebagai pengajaran dari pada maksiat.
Demikian juga kaitannya dengan ingkarnya istri terhadap suami. Apabila telah diberi pengajaran berupa memisahkan tempat tidur, namun masih tetap dalam keingkarannya, Islam mengharuskan bagi suami melalui tahap berikutnya, yaitu boleh memukul yang tidak membawa kepada melukai dan bukan pada wajahnya.
Yang perlu digarisbawahi, khususnya bagi para wanita (istri) ialah, dengan sebab nusyuz dapat menggugurkan nafkah baik lahir maupun batin.
Pernikahan yang memuat lima rukunnya, yaitu, suami, istri, dua orang saksi serta sighat (lafadz) merupakan syari`at yang terdahulu semenjak zaman Aba Basyar (Bapak manusia) yaitu Nabi Adam as dan berlaku hingga hari qiamat (dalam syurga).
Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya halaman 90 menyebutkan: “Dalam syurga dibolehkan bagi insan untuk menikah walaupun dengan mahramnya, selain asal (orang tua) dengan furuk (anak-anaknya) atau sebaliknya.”
3. Pokok-Pokok Hukum Perceraian
Adapun hal-hal yang terjadi khusus dalam sebuah perkawinan, antara lain, yaitu: khulu’, thalaq, ila’, zhihar, li’an, iddah.
3.1. Khulu’
Khulu’ adalah permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut ‘iwadhnya. Pembayaran yang dilakukan oleh istri harus dimaklumi kadar jumlahnya, supaya tidak terjadi perdawaan dari kedua belah pihak.
Khulu’ adalah milik pribadi wanita, suami tidak boleh rujuk kecuali bila istri bersedia kembali dan dengan diadakannya pernikahan yang baru, seperti halnya thalaq raj’i bila telah habis masa iddahnya.
Khulu’ dapat dilakukan walaupun dalam masa haidh, artinya; tidak terdapat hukum haramnya, lain halnya dengan thalaq, walaupun thalaqnya jatuh, tetapi jika terjadi dalam masa wanita belum suci dari pada haidh, hukumnya adalah haram.
Dalil tentang adanya khulu’, firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 229:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
3.2. Thalaq
Setiap suami isteri mendambakan keharmonisan dalam rumah tangga, apabila kelanggengan itu tidak dapat dipelihara dan jaga, dalam arti suami tidak menerima kekurangan yang dimiliki isterinya seperti, kurang memperhatikan kewajiban-kewajiban setelah diberi pengajaran, dihalalkan untuk men-thalaq-nya.
Seandainya suami dapat dengan ikhlas menerima kekurangan tersebut sesungguhnya itu lebih diridhai dan dicintai oleh Allah.
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
لَيْسَ شَيْئٌ مِنْ اْلَحَلاَلِ أَبْغَضَ اِلَى اللَّهِ مِنَ الطَّلآقِ
(رواودوحاآم)
“Tidak ada sesuatu dari perbuatan hala yang dibenci Allah dari pada thalaq” (HR. Abu Daud dan Hakim).
Thalaq menurut bahasa adalah lepas ikatan, yaitu melepaskan ikatan suami istri, dengan lafadh-lafadh dan niat-niat tertentu.
Tentang adanya thalaq, Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Syarat untuk jatuh thalaq, dua yaitu: mukallaf dan bukan orang yang dipaksa.
Banyak orang yang berpendapat tentang jatuh tidaknya thalaq orang yang sengaja mabuk, jika tidak disengaja, seperti dipaksa, tidak jatuh thalaqnya.
Syaikh Ibrahim mengatakan: Jatuhnya thalaq pemabuk itu sebagai ganjaran atau siksaan terhadapnya.
Berdasarkan syarat tersebut, maka dapat diketahui ada empat orang yang tidak jatuh thalaqnya walaupun dilafadzkan dengan lafadz yang jelas. Keempat orang tersebut yaitu shabi (anak kecil), orang gila, orang yang bermimpi dan orang-orang yang dipaksa thalaqnya.
Lafadz thalaq ada dua, yaitu: (a) sharih (lafadz yang jelas), yaitu lafadz thalaq yang khusus dan tiada ihtimal untuk yang lain, seperti; Engkau terthalaq; (b) kinayah (sindiran) yaitu lafadz-lafadz thalaq yang ihtimal bagi yang lain. Seperti: Engkau terlepas.
Lafadz itu dapat diartikan terlepas ikatan suami istri atau terlepas dari yang lain dari itu.
Seorang istri dapat dihukumi terletak apabila suami telah melafadzkan kata-kata thalaq, baik dengan cara kinayah ataupun lafadz sharih. Akan tetapi jika suami menthalaq istri dengan cara kinayah harus disertai dengan niat thalaqnya, karena di situ letak perbedaan lafadz sharih dan lafadz kinayah di samping yang telah disebutkan.
Syaikh Ibrahim Bajuri dalam Kitabnya Juzuk kedua, halaman 143 menyebutkan thalaq ada dua macam; (1) thalaq sunnah (jaiz/harus), yaitu; suami menthalaq istri yang belum digauli, dalam masa suci; (2) thalaq bid’ah (haram) yaitu: suami menceraikan istrinya dalam masa haidhh atau dalam masa suci, di mana suami telah mencampurinya.
Berdasarkan sunnah dan bid’ahnya thalaq ada dua macam: (1) thalaq raj’i, yaitu: thalaq satu atau dua, suami boleh kembali kepada isterinya sebelum habis masa iddahnya, suami wajib memberikan kepada istrinya tempat tinggal, nafkah, dan pakaian, kecuali apabila ia nusyuz sebelum thalaq atau dalam pengertian ‘iddah menurut lima mazhab: (2) thalaq bain, yaitu thalaq tiga, suami tidak dibenarkan untuk kembali kepada istri.
Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 230 berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.”
Berdasarkan ayat tersebut, apabila suami menthalaq istri (thalaq tiga), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Maksud dengan menikah di sini yaitu: disyaratkan untuk dapat kembalinya suami yang pertama kepada istri dengan dinikahi istrinya itu oleh suami yang lain, beserta wujud watha,
walaupun tidak inzal (ke luar mani), sebagaimana tersebut dalam hadits dan ijma’ para ulama mengatakan demikian.
Di samping itu, setelah istri bainah (yang ter-thalaq tiga) tersebut menikah dan disetubuhi oleh suami kedua kemudian di-thalaqnya pula, disyaratkan lalu iddah untuk dapat kembalinya bekas suami pertama.
Setelah memenuhi persyaratan tersebut dan menganggap dapat melaksanakan perintah Allah SWT dibolehkan untuk kembali kepada istri dengan diadakan nikah yang baru dilengkapi dengan syarat-syaratnya: akad, mahar, wali beserta saksi.
3.3. Ila’
Ila’ yaitu bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau tidak menyebutkan batas waktunya. Dengan sumpah ini, seorang wanita menderita karena tidak dicampuri dan tidak pula diceraikan.
Dalam masa ila’ tersebut, suami boleh kembali (ruju’) menyetubuhi istrinya dengan membayar kaffarah atau menceraikan.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 226:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kepada orang-orang yang meng-ila' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam masa ila’ suami wajib memberikan nafkah dan pakaian yang bersifat lahiriah kepada istri karena yang imtina’ (tertegah watha’) dari pihak suami, lain halnya dengan istri nusyuz (tidak mau disetubuhi) yang menyebabkan gugur nafkahnya itu.
3.4. Zhihar
Zhihar yaitu perkataan seorang suami kepada isterinya: “Punggungmu seperti punggung ibuku” ataupun perkataan lain yang sama maksudnya. Yang jadi adat bagi orang Arab Jihiliyah bila suami berkata demikian kepada isterinya, maka isteri itu haram untuk selama-lama.
Setelah Islam datang, maka kebiasaan Jihiliyah yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu halal kembali baginya dengan membayar
kaffarah (denda). Selama belum membayar denda, haram atasnya bercampur dengan isterinya itu.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Mujaadilah ayat 3:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Di samping denda yang telah disebutkan berupa memerdekakan budak yang mu’minah tanpa cacat, apabila tidak mendapatkannya wajib berpuasa dua bulan berturut-turut dengan niat kaffarah pada waktu malam. Jika itupun tidak kuasa dilakukan wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin, dan masing-masing mendapatkan satu mud.
3.5. Li’an
Dalil tentang adanya li’an firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 6:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Berdasarkan ayat tadi, yaitu tuduhan suami terhadap isteri bahwa ia berzina tanpa mempunyai saksi-saksi, dan anak yang dilahirkan oleh istrinya bukan anaknya. Orang yang telah menuduh isterinya berbuat zina tanpa mengajukan empat orang saksi, harus bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya itu, kemudian ia bersumpah sekali lagi bahwa ia akan mendapat laknat Allah jika ia berdusta.
Dengan demikian, berlaku bagi suami dengan sebab li’annya lima hukum: (1) gugur had (deranya); (2) berlaku dera terhadap istri; (3) putus ikatan pernikahan; (4) ternafi anak dari suami; (5) dan haram istri tersebut untuk dirinya selama-lamanya.
Apabila suami yang telah menuduh istrinya itu tidak memberikan bukti atau tidak mengajukan kesaksian sendiri dengan bersumpah, maka terhadapnya dikenakan had (dera) atas tuduhannya itu:
Dalil firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونََ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik7 (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ketika seseorang menuduh orang lain melakukan satu kekejian tidak boleh tidak daripada mengajukan empat orang saksi, karena zina merupakan urusan yang sangat besar pengaruhnya dalam mendapatkan ganjaran, baik terhadap orang yang menuduh maupun yang tertuduh. Wallahu ‘Alam.
3.6. ‘Iddah
‘Iddah merupakan masa menunggu karena untuk mengetahui keadaan rahimnya, atau karena ta’abbud, atau karena kesedihan atas suaminya, dengan Quru’ bulan atau wadha’ (melahirkan).
Wanita ber’iddah (mu’taddah) ada dua macam:
3.6.1. Mutawaffa’anh (‘iddah wafat)
Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya jika dalam keadaan hamil, ‘iddahnya sampai melahirkan, itu berlaku apabila pasti atau ada kemungkinan bahwa anak itu adalah anaknya. Jika tidak demikian, seperti anak kecil, puntung sekali zakar, ‘iddahnya dengan bulan (empat bulan sepuluh hari), bukan dengan melahirkan, karena anak itu tidak boleh dihubungkan dengan laki-laki seperti tersebut itu. Demikianlah pendapat sahabat-sahabat Syafi’i (mazhab).
Wanita yang telah meninggal suami berkewajiban menahan diri untuk tidak memakai sesuatu untuk maksud perhiasan (ziinah), seperti jenis pakaian sutra, pakaian berwarna. Di samping itu wanita ber’iddah tersebut wajib menahan diri dari memakai
7 Maksudnya di sini ialah: Wanita-wanita yang suci, akil baligh dan muslimah.
parfum, baik pada badan maupun pakaian dan tidak boleh ke luar rumah kecuali ada keperluan hajat.
Adapun wanita yang meninggal suaminya, sedangkan ia dalam keadaan tidak hamil (masih kosong), maka masa ‘iddahnya empat bulan, sepuluh hari.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS A-Baqarah ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Apabila telah habis masa ‘iddah tiada mengapa wanita itu berhias, bepergian ataupun menerima pinangan.
3.6.2. Ghairu mutawaffa’anh (bukan ‘iddah wafat)
Wanita yang bercerai hidup dengan suaminya, baik itu thalaq, fasakh ataupun li’an tiada sunyi dari salah satu dari pada tiga situasi atau kondisi.
Pertama, wanita (istri) yang masih mempunyai masa-masa haidh, ‘iddahnya tiga kali suci (Quru’).
Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 228, berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Dalam masa ‘iddah, istri yang raj’iyah mempunyai dua penantian: (a) menunggu rujukan dari suaminya; (b) menunggu habisnya masa ‘iddah, kemudian bebas dari ikatan perkawinan.
Seorang istri yang bain hanya terdapat satu penantian yaitu menunggu habis masa ‘iddah untuk lepas dari pernikahan.
Kedua, wanita (istri) tidak berhaidh.
Wanita yang tidak mempunyai haidhh ketika dithalaq ada dua: (1) shaqhirah (wanita kecil) yaitu belum haidh sama sekali dan belum mencapai usia manopuose; (2) Aaisah (manopuose) tentang ‘iddah bagi keduanya Allah SWT berfirman dalam QS At-Thalaq ayat 4:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.”
Dua masalah tersebut itu pada wanita yang bukan wafat suaminya. Adapun apabila wafat suaminya, maka ‘iddah keduanya tetap dengan empat bulan sepuluh hari.
Ketiga, wanita (istri) hamil.
Bila suami meninggal dunia, sedang istri dalam keadaan hamil, maka wanita tersebut wajib ber’iddah sampai ia melahirkan.
Karena Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 4 berfirman:
...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. At-Thalaq : 4).
Dalam ajaran Islam, seorang suami wajib memberikan nafkah terhadap istrinya yang bain baik bainnya itu dengan sebab khulu’, thalaq tiga atau fasakh jika ia dalam keadaan hamil selama dalam masa ‘iddahnya itu berdasarkan pendapat shahih (Imam Malik, Syafi’i dan Hanafi).
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ آُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Wanita yang bercerai hidup dengan suaminya (shairu mutawaffa ‘annh) berlaku ‘iddah seperti yang telah disebutkan dengan syarat apabila suami itu telah menggaulinya.
Adapun apabila suami itu belum pernah mencampurinya, maka terhadap istri tidak ada ‘iddahnya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Kewajiban di atas suami memberikan mut’ah8 kepada istri yang diceraikannya sebelum dicampuri. Wallahu A’lam.
4. Analisis
ULAMA-ulama, baik itu ulama mutaqaddimin (salaf), maupun ulama yang mutakhirin telah banyak mengiftakan hukum-hukum agama. Tugas kita adalah mempelajari, memahami serta dapat memaknai intisari hukum itu sendiri.
Salah satu ajaran agama yang mesti difahami betul-betul adalah: bagaimana cara berpakaian yang benar dalam pergaulan?
Andai saja para wanita memakai pakaian longgar, memakai jilbab sampai menutupi dadanya, dengan niat menjunjung perintah Allah SWT, memelihara diri, tentu dapat menghambat timbulnya berbagai kekejian.
Sekarang malah sebaliknya, hampir seluruh wanita muslimah memakai pakaian yang membentuk tubuh, memakai jilbab tidak untuk menutupi dadanya memakai celana jeans ketat yang seharusnya dipakai pria, sehingga bila diperhatikan wanita yang berpakaian demikian sama dengan wanita yang telanjang, bedanya mungkin di segi tidak nampaknya warna kulit tubuh saja.
Sebenarnya apa yang dicari dari penampilan demikian? Itu seharusnya yang mesti ditanya pada diri sendiri oleh masing-masing individu yang mendambakan kebahagiaan dunia dan akhirat.
8 Yang dimaksud dengan “mut’ah” di sini yaitu: pemberian untuk menyenangkan hati istri yang diceraikan sebelum dicampuri.
Lain halnya lagi wanita yang telah bersuami, ia memakai perhiasan, parfum, pakaian yang bagus-bagus bukan di depan suaminya, padahal agama hanya membenarkan hal-hal yang demikian jika dilakukan di depan suami atau mahram-mahramnya.
Bukankah telah diketahui, bahwa istri yang baik yaitu: menarik jika diperhatikan, jika di depan suami kita kelihatan kumuh, bagaimana bisa dikatakan kita berusaha mencapai keluarga yang harmonis?
Catatan Penutup
BERDASARKAN uraian yang telah disebutkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain mengenai pembahasan pergaulan pria dan wanita yang bukan mahram.
Kita harus mentahbiskan atau mengabdikan diri kepada prinsip Al-Quran yang telah mengatur dengan rapi teori-teori untuk dipraktekkan dengan konsekuen.
Di antara ajaran-ajaran Islam yang wajib dijalankan yaitu menjaga mata serta kemaluan dari hal-hal yang diharamkan, karena dasar tersebut ada disebutkan dalam Al-Quran.
QS Al-Mukminun ayat 5, menjelaskan tentang salah satu sifat yang dapat membawa orang mukmin beruntung, yaitu: Orang-orang yang menjaga kemaluannya dari yang diharamkan, seperti menjaganya dari pergaulan bebas (seks bebas) yang sedang marak-maraknya sekarang ini.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pergaulan di sini yaitu memakai kudung bagi wanita.
Memakai kudung atau segala sesuatu yang dapat menutupi aurat merupakan kewajiban. Dan hingga saat ini kudung itu merupakan suatu fenomena yang mesti kita kembali kepada Al-Quran.
Al-Quran memberikan solusi, bagaimana cara berkudung yang benar menurut Islam? Dalam QS An-Nur ayat 31, Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
Dapat disaksikan, mayoritas wanita muslimah memakai kudung, akan tetapi minoritas dari wanita muslimah itu yang betul-betul melaksanakan sesuai dengan tuntutan agama.
Di samping itu juga, manusia ini dilengkapi dengan kebutuhan biologis, maka bila seseorang telah ada keinginan menyalurkan kebutuhan tersebut, Islam menganjurkan untuk nikah.
Wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria, Islam membatasinya empat orang. Dan di sini perlu perhatian dan mesti diingat, banyak orang hanya memperhatikan pada sisi kebolehannya saja tanpa mempertimbangkan sampai di mana agama itu membenarkan demikian.
Berlaku adil di segi lahiriah yang sesuai dengan kebutuhan para isteri, suatu kewajiban, dan hal itu menjadi patokan utama yang menentukan boleh tidaknya melakukan poligami.
Perlu ditekankan, bahwa berlaku adil bagi seorang pria yang poligami merupakan hal yang berat, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya, yaitu mereka yang benar-benar mengerti dan dapat menyingkapi arti ajaran itu sendiri.
Dalam kehidupan berumah tangga, suami isteri harus memperhatikan kewajiban-kewajiban masing-masing, seperti memelihara hak isteri, demikian pula sebaliknya, isteri menjaga hak-hak suaminya.
Oleh karena demikian, setiap individu dalam hidup bermasyarakat baik itu dalam pergaulan halal maupun tidak halal, perlu pengetahuan dan pengertian yang mendetail tentang hukum-hukum agama yang berhubungan dengan peranannya masing-masing. Wallahu’aklam.
Referensi
Al- Bajuriy, Syaikh Ibrahim, Sunan Abi Daud, Hasyiyah Al-Haramain Jeddah Indonesia, tt, Jilid II.
Al-Bajuriy, Syaikh Ibrahim, Imam Nawawi, Hasyiyah, Alharamain Jeddah Indonesia, tt, Jilid II.
Al-Masudi, Hafidh Hasan, Tafsir Akhlak, Sumber Keluarga, Semarang.
Ibnu Umar Nawawi, Muhammad, ‘Uquduulujain, Thuha Putra, Semarang, tt.
Muhammad bin Muhammad Ghazaly, Imam Abi Hamid, Ihya’ulumuddin, Darul Kitab Ilmiah Bairut, Lebanon, tt, Jilid III.
RHA Soenardjo dkk (Penterjemah), Terjemahan Al-Quran, 1971, Al Madinah An-Nabawiyyah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif (Lembaga Percetakan Al-Quran Raja Fahd).
Beragam Transaksi Perbankan (non-tunai) dalam Genggaman
BSM Mobile Banking GPRS (MBG) memudahkan Anda dalam melakukan transaksi perbankan dengan teknologi GPRS di ponsel Anda. Cek saldo, dan transfer antar rekening BSM, dapat dilakukan tanpa harus bernajak dari tempat Anda.
Manfaat BSM MBG :
Mudah dan informatif: menu transaksi MBG mudah dimengerti dan mudah penggunaannya.
Murah: biaya transaksi sebesar biaya GPRS*+Rp500,-**
Fleksibel: fasilitas ini dapat dilakukan pada semua jenis SIM Card GSM dan ponsel yang menggunakan teknologi GSM.
* Biaya pulsa kurang dari Rp50,-/transaksi
** Dapat berubah sesuai ketentuan bank.
Ragam layanan transaksi
Cek saldo.
Ganti PIN ATM.
Transfer uang antar rekening Bank Syariah Mandiri.
Transfer uang antar bank anggota ATM Bersama.*)
Transfer uang antar bank melalui SKN.*)
Pembayaran zakat.
*) dalam pengembangan.
Syarat mendapatkan layanan MBG
Memiliki rekening tabungan atau giro BSM.
Memiliki BSM Card.
Menggunakan kartu ponsel berbasis GSM dan tersedia fasilitas GPRS.
Menggunakan ponsel berfasilitas GPRS.
Mengisi formulir permohonan BSM MBG.
Aktivasi dan Setting GPRS di Ponsel
Langkah-langkah Men-download Aplikasi BSM MBG
1. Aktifkan dahulu fasilitas GPRS kartu selular Anda.
2. Sesuaikan setting GPRS di ponsel dengan kartu selular yang dipakai.
3. Pastikan ponsel Anda adalah ponsel dengan kualifikasi MIDP 2 dan GPRS kelas 10.
4. Download aplikasi menu BSM MBG ke ponsel dengan alamat:
‘mobile.syariahmandiri.co.id’ dan pilih aplikasi Menu BSM Mobile GPRS.
Bagian Lima
JILBAB DAN AURAT WANITA DALAM KONTEKS ISLAM
Oleh: Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi
ISLAM sebagai agama yang mempunyai aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, di mana di dalamnya terdapat aturan-aturan hukum yang mengatur masalah-masalah yang ada dalam kehidupan manusia, mana yang baik maupun yang buruk, begitu juga dengan masalah pakaian, baik terhadap laki-laki maupun bagi perempuan sebagai alat untuk menutupi aurat yang telah digaris oleh syara’, yang pada intinya pakaian itu baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan untuk digunakan sebagai penutup aurat sebagaimana telah termauktub di dalam Al Qur'an dan Hadist.
Islam tidak melarang pengikutnya untuk mengikuti mode asalkan guntingan mode tersebut mempunyai seni yang tidak bertentangan dengan syara’. Perkembangan peradaban dunia dengan segala perubahan dan dampak yang ditimbulkannya telah membawa manusia semakin jauh dengan Allah SWT. Gerakan emansipasi wanita terus menggebrek dan memberikan suntikan injeksi kebarat-baratan dengan dalil sebagai masalah yang mendasar bagi kemajuan sosial.
Kemajuan fisik pada pribadi manusia haruslah diiringi dengan peningkatan moral pada pribadi manusia itu sendiri. Di sinilah peranan kita sebagai wanita muslimah dalam menghadapi mode-mode Barat yang masuk ke Timur, yang dibawa oleh para misionaris asing yang tanpa kita sadari kita telah terjerumus ke dalam kehidupan mereka.
Seperti yang dikatakan Umar bin Khathab ra, dikala mencium bau kebudayaan Barat yang masuk ke daerah Timur, beliau langsung berargumen: “apabila kebudayaan Barat dan Timur sudah bercampur maka rusaklah alam ini.”
Dewasa ini Jilbab bukanlah topeng badut untuk merogo kantongnya yang kesepian, tapi jilbab adalah perisai penyelamat. Dia bukan hanya penyelamatkan
- 1 -
diri dari mata-mata yang nakal, atau laki-laki hidung belang, tetapi dapat menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga pada diri seseorang yakni iman.
Mungkin akhir-akhir ini kata jilbab semakin marak terdengar di telinga kita seiring dengan semakin maraknya saudara-saudara kita para muslimah memakainya dalam kehidupannya sehari-hari. Tapi apakah sebenarnya yang dimaksud dengan jilbab itu? Apa pula dasar hukumnya dan mengapa Islam mewajibkan kaum hawa untuk mengenakannya? Apa hikmah di balik helaian penutup aurat tersebut?
Dalam Kamus Bahasa Arab Al-Munjid, jilbab diartikan sebagai Alqamisu wa Tsaubul wasi’ yang bermakna pakaian lebar atau pakaian luas. Di dalam permasalahan ini penulis ingin mengangkat tentang permasalahan jilbab sebagai pakaian keagungan dan kebesaran sekaligus pakaian kebanggaan wanita muslimah yang diliputi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Sehingga yang menjadi permasalahan sekarang adalah manakah batas-batas aurat itu? Untuk aurat laki-laki sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, dan Hakim adalah dari pusar sampai dengan lutut. Bagian itulah yang bagi laki-laki harus ditutup, sedangkan bagian yang lainnya boleh ditampakkan.
"Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah lewat di depan Ma'mar kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat". (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim).
Lalu di manakah kedudukan aurat wanita yang sebenarnya? Oleh karenanya, kali ini penulis ingin memaparkan sebisa mungkin tentang hal tersebut, dengan bahasa yang mudah dipahami yang berdalilkan dari Al-Quran, Hadist, Kitab, juga dari beberapa pendapat ulama-ulama yang telah masyhur yang kami kutip dari beberapa buku karyanya, yang Insya Allah dengan tulisan ini mudah-mudahan penulis bisa memberi untaian yang berharga pada akhwat-akhwat sekalian.
A. JILBAB DALAM BINGKAI SYARA’
1. Perbedaan Jilbab dan Kerudung
- 2 -
1.1. Pengertian Jilbab.
Jilbab menurut pengertian etimologi yang diambil dari bentuk jama’ yaitu Jalabibon ( جلابيب ) yakni yang bermakna kain yang dipakai oleh seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab berasal dari bahasa arab yang artinya pakaian lapang yang dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan dua telapak tangan. Dalam Kamus Al-Munjid karangan Al-Farahidi (100-170 H) Jilbab berarti: Al-Qamisu Auwist Tsaubul Wasi’ ( القمس اوالثوب الوسع ) yang mana maknanya: Pakaian yang lebar atau pakaian yang besar.
Al-Mahilly dan As-Sayuthiy mengungkapkan arti Jilbab adalah sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan menurut Yulienni (www.waspada.co.id, diakses 20 November 2006) dalam tulisannya yang berjudul “Perbedaan Jilbab dan Kerudung” mengatakan definisi Jilbab yang diterangkan dalam Kamus Al-Muhith adalah: “Pakaian yang besar untuk wanita, yang dapat menutupi pakaian rumahnya seperti milhafah (mantel).”
Jauhari dalam Ash Shihah mengatakan Jilbab adalah kain penutup tubuh wanita dari atas sampai bawah. Khaththath Usman Thaha menjelaskan dalam “Tafsir wa Bayan” menjelaskan Jilbab adalah apa-apa yang dapat menutupi seperti sprai atas tubuh wanita hingga mendekati tanah. Sayyid Sabiq menerangkan Jilbab adalah baju mantel. Dalam Kitab “Mujam Al Wasith Jilbab” diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah seperti mantel.
Sedangkan Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Al Munawwir mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang panjang sejenis jubah. Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa: Al Jalaabib yang terdapat dalam QS An-Nur ayat 31 adalah jamak dari “Al-Jilbaab”, yaitu pakaian yang lebih besar dari pada “Al-Khimar”. Jilbab menurut beliau adalah pakaian yang menutup seluruh badan (http://www.riamilarasari.blogspot.com).
Jilbab berasal dari kata verbal yakni jalab yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk
- 3 -
tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks Al-Qur’an tentang jilbab agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut.
Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Abbas dan Abidah Al-Samani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah berikut seluruh tubuhnya kecuali satu mata. Dalam keterangan lain disebutkan sebagai mata sebelah kiri. Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan, makna mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya dengan membiarkan kedua matanya. Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar dari pada kerudung, tetapi lebih kecil daripada selendang, yang jilbab tersebut dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung.
Pendapat ini yang telah diutarakan oleh sebahagian ahli fiqh seperti: Ibnu Mas’ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair al-Nakha’i, Atha Al-Khurasani dan lain-lain. Yang diserupakan bagaikan “Izar” sekarang. Al-Jauhari yang merupakan ahli bahasa terkemuka, berpendapat Izar adalah: Pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan. Sementara Az-Zuhaili di dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa para ulama ahli tafsir seperti Ibnu Al-Jauzi, at-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu As-Sa’ud, Al-Jashash dan ar-Razi menafsirkan bahwa mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, tubuh dan kulit dari pandangan orang lain yang bukan keluarga dekatnya.
Mengenai latar belakang turunnya ayat ini yang ada di dalam sejumlah riwayat, satu di antaranya yang telah disampaikan oleh Ibnu Sa’ad dalam bukunya Al-Thabaqat yang telah dinaqal dari Abu Malik: “Suatu malam, para isteri Nabi Saw keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Saat itu, kaum munafiq menggoda dan mengganggu (melecehkan) mereka. Mereka mengadukan peristiwa itu kepada Nabi. Ketika Nabi menegur, kaum munafiq itu berkata, “Kami kira mereka perempuan-perempuan budak.” Lalu turun surat Al-Ahzab ayat 59 . Ibnu Jarir At-Thabari yang merupakan seorang guru para ahli-ahli tafsir,
- 4 -
menyimpulkan ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak.
Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak. Karena, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga, Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. (http://joelc.wordpress.com).
1.2. Pengertian Kerudung
Agama Islam adalah sebagai salah satu agama yang sangat menjunjung tinggi hak-hak perorangan sekaligus agama terakhir yang telah Allah SWT turunkan langsung melalui Jibrail kepada Rasulullah Saw dan merupakan ajaran yang terlengkap dan paling sempurna bagi sekalian manusia. Sebagian besar dari hak-hak tersebut adalah agama Islam mengatur bagaimana tata aturan berbusana bagi kaum hawa yang telah digarisbawahi syara’. Islam mengatur bahwa busana seorang wanita terdiri dari bagian atas yang dinamakan khimar (kerudung) dan jilbab sebagai pakaian bagian bawah, Yulienni menyebutkan Khimar atau kerudung adalah: Apa yang dapat menutupi kepala, leher dan sebagian dada tanpa menutupi muka. Batas bawah yang ditutup oleh kerudung adalah bagian kerah baju yang memperlihatkaan leher dan dada. (http://www.riamilarasari. blogspot.com).
Sedangkan kerudung menurut Fathan mengartikan tudung atau kerudung ialah penutup kepala dan leher sampai dada wanita. Pengertian dari Khumur pada QS An-Nur ayat 31, sebagaiman yang telah termaktub di dalam kitab “Tafsir Ibnu Katsir” merupakan jamak dari “khimar” yang mana artinya “Apa yang dipakai untuk menutupi kepalanya.”
Sedangkan menurut Said bin Jubair ayat tersebut memerintahkan kepada perempuan untuk menutup dada dan leher jangan sampai kelihatan sesuatu pun darinya. Batas yang ditutup dengan kerudung dinamakan Juyuub yang merupakan jamak dari Al-Juyuub atau Jayib yang merupakan bagian kerah baju yang memperlihatkan leher dan dada.
- 5 -
Dari uraian di atas dapatlah kita berkesimpulan bahwa jilbab merupakan pakaian yang lapang yang menutup aurat wanita (seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan tangan). Jadi pada pengertian bahasa Arab maka kita harus menggunakan istilah khimar bukan jilbab. Dikarenakan jilbab berbeda pengertian dengan kerudung. Kerudung merupakan kain yang digunakan untuk menutupi kepala dan leher hingga dada, sedangkan jilbab meliputi keseluruhan pakaian yang menutup mulai dari kepala sampai kaki kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang mengenakan jilbab pasti berkerudung, tetapi orang yang berkerudung belum tentu berjilbab.
2. Hukum Berjilbab Bukanlah Persoalan Khilafiah
SEORANG muslimah adalah seorang wanita yang mengaku dirinya beriman kepada Allah di mana keimanannya itu diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari. Dan pengamalan dari keimanan ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mengenakan jilbab bagi seorang wanita adalah merupakan suatu perintah dari Allah SWT di mana hukumnya adalah wajib yang bila dikerjakan berpahala dan bila ditinggalkan akan mendapat siksa.
Dalam Perspektif Islam, wanita muslimah yang telah baliqh diwajibkan memakai Jilbab, masalah berjilbab bukanlah persoalan khilafiah (Perbedaan pendapat). Coba perhatikan, dalam beberapa explamation (keterangan) ayat-ayat Allah, dan dari sejumlah Hadist Rasulullah tidak ada satupun dalil yang menyatakan bahwa berjilbab hukumnya sunnat atau mubah. Dan dari decree (ketetapan) keempat mazhab tidak ada yang menyatakan bahwa hukum berjilbab tidak wajib, mereka sepakat bahwasanya berjilbab merupakan perintah yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan.
Tetapi Profesor Quraish Shihab Sudah lama berpendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka. Dalam bukunya, Quraish menyimpulkan, bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka
- 6 -
interpretasi (penafsiran). Dia juga mengatakan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan. Masih menurut Quraish, perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
Tetapi Pandangan tersebut mendapat kritikan dari Dr. Eli Maliki. Membahas, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka. Berjilbab bukanlah masalah khilafiah. Tetapi ia telah mempunyai decree yang sudah jelas. Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi di antara pembaca. Batas aurat wanita memang begitu fleksibel, yakni tergantung pada situasi dan kondisi. (http://www.mailarchive. com/kasma).
Merujuk pada beberapa pendapat yang telah di paparkan bahwa hukum menutup aurat adalah wajib, dan bukanlah masalah khilafiah. Jadi jelaslah bahwa apabila wanita yang telah sampai umur (baliqh) tidak mengenakan Jilbab maka hukumnya berdosa.
Sedangkan bagi perempuan yang sudah tua yang sudah manopause (lanjut usia) tidak wajib lagi mengenakan jilbab, tetapi masih harus menutup auratnya berdasarkan ayat QS An-Nur ayat 60:
والقواعد من النساء اللاتى لايرجون نكاحا فليس عليهن جناح ان يضعن
ثيابهن غير متبرجات بزينة وان يستعففن خير لهن والله سميع عليهم
- 7 -
"Dan perempuan-perempuan tua (yang telah berhenti dari haid) yang tiada ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka meninggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan (kecantikan), dan berlaku sopan adalah baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Sementara Hamka ketika menafsirkan ayat ini mengatakan "maka tidaklah mengapa jika wanita Qawaid (tua) ini tidak berpakaian lengkap, artinya menanggalkan pakaian luarnya yang dipakai untuk menutupi daya tarik tubuhnya”.
Sedangkan di dalam “Tafsir Jalalain” yang dikarang Jalaluddin Al-Mahilly dan Jalaluddin As-Sayuthiy (2004) mengartikan "pakaian mereka" dengan "jilbab mereka”.
Jadi perempuan yang manopause tidak lagi wajib memakai jilbab tapi cukup memakai pakaian yang mampu menutup aurat-nya dan tidak menonjolkan kecantikannya.
3. Jilbab dalam Perspektif Fiqh
DALAM membicarakan soal pakaian wanita, Islam tidak menetapkan pakaian tertentu, tetapi wanita Islam hanya perlu mengikuti garis panduan syara’.
Seperti yang dituliskan Fathan, Ada beberapa syarat Jilbab yang sah dipakai yakni: (a) Jilbab yang dipakai haruslah menutupi seluruh tubuhnya, selain yang telah dikecualikan yakni muka dan dua telapak tangan; (b) Jilbab yang dipakai bukan untuk perhiasan kecantikan, tidak berbentuk pakaian aneh sehinnga dapat menarik perhatian orang, dan tidak berparfum; (c) Jilbab yang dipakai tidak sempit, sehingga tampak bentuk tubuhnya; (d) Jilbab yang dipakai tidak menampakkan betisnya/kakinya; (e) Jilbab yang dipakai tidak menampakkan rambut dan lehernya walaupun sedikit; (f) Jilbab yang dipakai tidak menyerupai pakaian laki-laki, dan pakaian wanita kafir.
Dengan ini, Islam akan mulai dihormati dan diakui "Islam is really beautiful", karena seluruh individu Islam sudah cantik kepribadiannya. Karenanya para wanita-wanita Islam mestilah memulai melangkah sebagai agen pengembang
- 8 -
agama melalui “wear’s of moslemah” (pakaian-pakaian yang indah di mata syara’).
4. Hikmah Berjilbab
TIMBULNYA semangat berjilbab akhir-akhir ini hampir sama nasibnya dengan semangat pakai helm. Helm dipakai setelah tahu bahwa banyak orang yang kena geger otak pada saat kecelakaan karena tidak memakainya. Begitu juga dengan pemakaian Jilbab akhir-akhir ini, mereka memakai Jilbab dikarenakan takut ketahuan boroknya, atau karena adanya sanksi dari pihak terkait (polisi syariat), tetapi semua itu akan sia-sia belaka apabila tidak didasari dengan kesadaran dan ketaqwaan.
Begitu pentingnya jilbab bagi seorang muslimah sehingga dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
"Telah berkata Ummu 'Athiyah saya bertanya: 'Ya Rasulullah apakah salah seorang dari kami dinyatakan bersalah bila ia tidak keluar (pergi ke tanah lapang) karena ia tidak mempunyai jilbab?' Maka sabdanya: 'Hendaklah temannya meminjamkan jilbab untuknya'."
Rasulullah mewajibkan seorang muslimah untuk mengenakan jilbabnya dalam keadaan apapun, begitu pentingnya hal ini sehingga apabila seorang muslimah tidak mempunyai jilbab, beliau menyuruh temannya untuk meminjaminya.
Betapa banyak hikmah yang terdapat dengan berjilbab, salah satunya saja seperti yang dikisahkan oleh KH. Abu Bakar dalam bukunya “Jilbab dalam Sorotan Populer”.
“Pada suatu hari seorang wanita anggota pengajian di Solo pergi ke Jogja untuk menjenguk anaknya yang kuliah di Universitas Gajah Mada. Wanita ini kelihatan khusyu’ dengan berjilbab, dalam perjalanannya, tak lama kemudian ia mampir ke sebuah warung bakso karena perutnya lapar. Wanita itu pun langsung meminta dibuatkan semangkuk bakso. Seperti kena pukau, pedagang bakso tersebut memandang perempuan setengah baya tersebut, jantungnya pun berdetak kencang dan bergetar, dan dengan perasaan yang sangat malu pedagang tersebut berkata pada wanita setengah baya itu... ”maaf bu ini bakso babi...”, perempuan tersebut pun terkejut dan langsung mengucap: Astaghfirullah...! Alhamdulillah, makasih pak karena telah memberi tahu saya, jadi - 9 -
baksonya nggak jadi saya beli ya pak... ”ia... bu nggak apa” jawab pedagang tersebut dengan perasaan yang sangat malu.
Cerita di atas jelaslah betapa besar hikmah yang dapat kita ambil, secara tidak sadar jilbab telah menjaganya dari yang diharamkan agama, dan telah menjadi perisai imannya.
Mungkin itu merupakan salah satu hikmah dari sekian banyak hikmah yang didapati dari berjilbab. Mungkin belum cukup menyadarkan kita dengan contoh tersebut, lihatlah untaian Firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
يا ايها النبي قل لازوجك وبناتك ونساء المؤمنين يد نين عليهن
من جلبيبهن ذلك ادنى هن يعرفن فلا يؤذين وآان الله غفورا
رحيما
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka berjilbab menutup auratnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal dan supaya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Mengutip pendapat Muhammad bin Sirin, Ibnu Jarir bercerita, “Saya tanya kepada Abidah al-Samani mengenai ayat ”Yudnina ‘alaihinna min jalabihinna” (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan kepalanya sembil menampakkan mata kirinya”. Ibnu Al-Arabi dalam “Tafsir Ahkam Al-Qur’an”, ketika membicarakan ayat ini menyebutkan untuk menutup wajahnya dengan kain sehingga tidak tampak kecuali mata kirinya.
Lihatlah betapa Islam sangat menjaga kaum wanita. Tetapi mereka tidak menyadari akan hal tersebut, bahkan sebagian dari mereka masih ada yang beranggapan bahwa Islam ini agama yang kolot, agama yang tidak adil karena telah membedakan antara hak laki-laki dan wanita, hingga lahirlah emansipasi wanita atau prisip gender equality yang sedang marak-maraknya di permasalahkan pada saat sekarang ini, sehingga masih ada sebahagian kelompok yang memberi kekuasan penuh kepada kaum wanita. Padahal Rasulullah Saw - 10 -
dengan jelas mengatakan dalam sebuah hadistnya yang bersumber dari Abu Bakar ra (HR Bukhari):
عن ابى بكرة رضى الله عنه قال قال رسول الله ص م لن يفلح قوم ولوا
امرهم امراءة
“Dari Abi Bakar r.a ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW; Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaannya/perkaranya kepada wanita.”
Dalam hadist yang lain, Nabi juga bersabda: “Dari Abi Huraira ra Rasulullah Saw bersabda: Rusaklah laki-laki apabila taat terhadap wanita… (HR Ahmad).
Betapa agama Islam sangat perhatian dalam menjaga dan melindungi kaum wanita. Yakni dengan menyuruh menutup sekalian auratnya. Lihat saja Anjuran dan perintah untuk menutup aurat kepada kaum wanita tidaklah cukup sekali, firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31 menegaskan:
وليضربن بخمرهن
“Dan hendaklah mereka para wanita-wanita muslimah menurunkan Jilbabnya atas sekeliling leher dan pangkal dadanya.”
Ayat tentang khimar di atas turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani’), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Ayat di atas dengan tegas memerintahkan kepada para wanita muslimah untuk menutupi bagian badan yang tidak ditutupi oleh kerah kebaya atau pangkal dada dan leher. (http://www.smu-net.com).
Diberitakan dari Aisyah ra, dikala ayat ini turun, para muhajirat langsung menggunting kainnya untuk dijadikan kerudung. Dengan artian para muhajirat tersebut langsung menutup seluruh badannya dengan kain baju, sedangkan bagian yang tidak ditutupi oleh baju, yakni pangkal dada dan batang leher langsung ditutupi dengan selendang. Dan Aisyah pun langsung berargumen bahwasanya beruntunglah para muhajirat yang sewaktu turun ayat Allah tersebut mereka langsung merobek kainnya untuk menutup aurat mereka.”
- 11 -
Betapa semangat ketaatan wanita muhajirat tersebut menjalankan syariat Islam di masa kehidupan Rasulullah Saw, sehingga mata-mata keranjang tidak lagi sempat mengumbar hawa nafsunya.
Islam sangatlah menganjurkan kepada seluruh pengikutnya agar menutupi seluruh auratnya, supaya mereka dapat terpelihara dari gangguan liar, karena jilbab merupakan sarana yang paling baik untuk melindungi aurat dan dengan berjilbab wanita tersebut dapat menunjukkan identitas muslimah yang sejati. Tetapi ini semua tidak lepas dengan niat yang tulus karena Allah dan dengan mengedepankan ketaqwaan, kesadaran, dan keiklasan. Insya Allah!
4.1. Jilbab sebagai Identitas Muslimah Sejati
Allah memberikan kewajiban untuk berjilbab agar para wanita mukmin mempunyai ciri khas dan identitas tersendiri yang membedakannya dengan orang-orang nonmuslim. Dengan mengenakan jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak membuka auratnya di sembarang tempat, maka seorang muslimah itu bagaikan sebuah batu permata yang terpajang di etalase yang tidak sembarang orang dapat mengambil dan memilikinya, bukan seperti batu yang berserakan di jalan di mana setiap orang dapat dengan mudah mengambilnya, kemudian menikmatinya, lalu membuangnya kembali.
Allah berfirman dalam QS An-Nahl ayat 97:
من عمل صالحا من ذآر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة
ولنجزينهم أجرهم بأحسن ماآانوا يعملون
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Di samping Jilbab merupakan pakaian ketaqwaan, posisi Jilbab juga bisa berfungsi sebagai symbol identity of moslemah. Hal tersebut sesuai dengan ayat Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
ذلك ادنى ان يعرفن
“…Bahwa dengan berjilbab itu supaya kamu lebih dikenal…”
- 12 -
Dalam pergaulan muda-mudi saat ini, seolah-olah sudah tidak ada aturan yang mampu mencegah perbuatan-perbuatan mereka yang telah menjurus kepada hal-hal yang dapat merusak moralnya. Lihat saja seperti kehidupan di negara-negara Barat yang dilakukan oleh para muda-mudi yang hidup bersama tanpa hubungan mahram, mereka beranggapan bahwa dengan demikian mereka dapat melampiaskan nafsu seksnya dan dengan menelan pil antihamil, sehingga tidak mengganggu study mereka.
Hal seperti inilah yang sudah meracuni jiwa muda-mudi Islam saat ini, yang lebih parahnya lagi masih ada dari mereka yang beranggapan kuno apabila belum merasakan free sex tersebut. Masya Allah!
Seorang yang ikhlas dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya khususnya dalam mengenakan busana muslimah, Insya Allah ia akan selalu menyadari bahwa dia selalu membawa nama dan identitas Islam dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga apabila suatu saat dia melakukan kekhilafan, maka ia akan lebih mudah ingat kepada Allah dan kembali ke jalan yang diridhai-Nya.
4.2. Jilbab Dapat Mencegah Perzinaan
Kita tahu bahwa hampir semua agama mengutuk perzinaan, karena ia dapat merusak citra kemanusiaan yang disiplin, dan teratur baik. Namun anehnya sepanjang sejarah selalu diikuti dengan permasalahan pelacuran. Ini dikarenakan perzinaan yang sangat sukar diberantas.
Kembali kepada konsep Islam yang melarang perzinaan, dan sangat mengutuk perbuatan tersebut, seperti yang terdapat dalam QS Al-Isra ayat 23:
ولا تقربوا الزنا انه آان فاحشة وساء سبيلا
“Janganlah enkau mendekati zina, karena sesungguhnya perbuatan zina itu keji dan cara yang jahat…”
- 13 -
Ayat di atas sangatlah jelas bahwa Allah melarang perbuatan zina tersebut. Hal ini mudah dipahami, dengan seluruh tubuh yang tertutup kecuali muka dan dua telapak tangan, maka tidak akan mungkin ada laki-laki iseng yang tertarik untuk menggoda dan mencelakakannya selama ia tidak berperilaku yang berlebih-lebihan. Sehingga kejadian seperti perkosaan, perzinaan, dan sebagainya dapat dihindarkan.
Oleh sebab itu, Islam mempunyai inisiatif yang tepat untuk mencegah hal itu, yakni dengan menyuruh umatnya untuk menutup aurat agar terhindar dari perbuatan keji tersebut. Karenanya Jilbab sebagai busana muslimah yang diketengahkan oleh Al-Quran dan Hadist merupakan salah satu cara mencegah perzinaan. Insya Allah!
4.3. Jilbab Sebagai Benteng Moral
Ketinggian moral bangsa, menunjukkan baik dan makmurnya kehidupan bangsa, tetapi sebaliknya apabila kemampuan teknologinya diakui, negaranya super power tetapi moralnya tidak ada, maka bersiap-siaplah menemui kejatuhannya.
Tokoh ilmu jiwa, Frued dari Jerman sebagaimana dikutip Masrur, berpendapat, bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga unsur yakni: (Id= Nafsu), (Ego= Aqal), (Super Ego = Moral). Apabila nafsu dan aqal sudal rusak maka moralpun akan ikut rusak pula.
Hal ini tentu tidak terlepas dari peranan wanita. Bahkan kekutan dunia terletak pada wanita, Seperti yang dikatakan oleh Hukama:
“Wanita adalah tiang negara, jika wanita baik, maka negara akan baik, dan jika wanitanya rusak, maka negara juga akan rusak.”
Jika dibuat perbandingan dari segi harta dunia, seperti intan dan berlian, ianya dibungkus dengan rapi dan disimpan pula di dalam peti besi yang berkunci. Begitu juga diumpamakan dengan wanita, Karena wanita yang bermaruah tidak akan memamerkan tubuhnya di khalayak umum. Mereka masih bisa tampil di hadapan masyarakat tetapi masih bersesuaian dengan garisan syara’. Wanita tidak sepatutnya mengorbankan maruah dirinya semata-mata untuk mengejar pangkat, derajat, nama, harta dan kemewahan dunia.
- 14 -
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dengan diwajibkannya jilbab sebagai busana muslimah ternyata banyak membawa manfaat dan hikmah bagi yang memakainya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 191:
ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
4.4. Jilbab Pakaian Ketaqwaan
Firman Allah dalam QS Al-A’raf ayat 26
يبني ادم قد انزلنا عليكم لباسا يؤري سوء تكم وريشا ولباس التقوي
ذلك خير ذلك من ايت الله لعلهم يذآرون
“Hai manusia anak cucu adam, sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu pakaian-pakaian yang menutup auratmu, juga telah menurunkan pakaian-pakaian yang mengindahkanmu. akan tetapi ketahuilah bahwa taqwa adalah sebaik-baik pakaian. Dan yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah mudah-mudahan kamu menjadi orang yang memperoleh peringatan.”
Lihatlah, seiring dengan perkembangan zaman di era globalisasi saat ini banyak perubahan-perubahan yang kita lihat, sehingga telah membawa kita jauh dari jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT, khususnya para wanita saat ini yang berlomba-lomba mengikuti mode yang dibawa oleh para misionaris asing, yang mungkin tanpa disadari, mereka telah terpengaruh oleh budaya luar tersebut.
Begitu pula dengan kedudukan Jilbab saat ini, seiring dengan perkembangan gaya dan mode di zaman sekarang ini, kedudukan Jilbab pun telah berubah pula, ini semua dikarenakan berpakaian yang tidak didasari dengan ketaqwaan melainkan hanya ingin mengikuti trend dan dikarenakan culture Barat yang telah meracuni generasi Islam.
Padahal ayat Allah di atas jelas berargumen bahwa pakaian taqwalah yang paling baik daripada pakaian kebendaan. Jadi, apabila taqwa yang dikedepankan maka otomatis pakaian yang kita pakai akan semata-mata karena Allah SWT, dan
- 15 -
tidak akan terpengaruh dengan gaya dan mode. Karena hal tersebut termasuk kedalam berhias secara jahiliah yang sangat dilarang.
Sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 33:
ولاتبرجن تبرج الجاهلية الأولى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilah dulu.”
Walhasil, sepatutnya pakaian bagi seorang wanita mukmin itu adalah bukan saja menutup auratnya, tetapi sekaligus menutup maruahnya sebagai seorang wanita, yaitu pakaian dan tudung yang tidak menampakkan bentuk tubuh badan wanita, dan tidak berhias yang berlebihan yang mana akan menjadikan daya tarikan kepada lelaki bukan muhrimnya. Sekaligus pakaian muslimah tersebut dapat melindungi wanita dari bahan gangguan lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Karenanya dalam surat QS Al-Ahzab ayat 59, disebutkan:
أن يعرفن فلايؤذين
” (BerJilbab itu) supaya kamu tidak diganggu…”
Jika kita melakukan observasi, coba perhatikan semula jilbab yang dipakai dengan tujuan untuk menutupi aurat, namun sekarang jilbab sudah banyak mengalami perubahan, kain yang semula tebal sekarang makin menipis, ukurannya yang semula panjang hingga bisa menutupi seluruh auratnya, tetapi sekarang ukurannya makin memendek, sehingga menampakan rambut dan batang leher, ditambah lagi dengan beberapa tambahan hiasan dengan tujuan agar memikat para peminat, ini semua tidak lepas dari perkembangan mode saat ini, walhasil kepalanya memang tertutup tetapi Aurat dan bentuk lekuk tubuhnya seperti orang yang tidak berpakaian.
Ini sama saja halnya dengan telanjang, dan orang seperti ini adalah termasuk kedalam golongan umat yang tidak pernah disaksikan oleh Nabi tetapi telah disaksikan pada zaman sekarang, dan golongan ini tidak akan masuk syurga, dan tidak akan pernah bisa mencium baunya. Masya Allah!
- 16 -
Hal tersebut sesuai dengan sebuah hadist yang bersumber dari Abi Hurairah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال رسل الله ص م صنفان من اهل النار لم
ارهما قوم معهم سياط آااذناب البقريضربون بها الناس ونساء آاسيات عاريات
مميلات مائلات رؤوسهن آائسنمة البخت المائلة لايدخلن الجنة ولا يجدن ريحها
وان ريحها ليوجد من مسيرة آذا وآذا (رواه مسلم)
“Dua golongan penduduk neraka yang tidak pernah aku saksikan (semasa hidupku); Pertama, kaum yang memiliki cemiti (cambuk) seperti ekor lembu di mana mereka mempergunakannya untuk memukul manusia (penguasa yang kejam); Kedua, wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mereka melengak-lengokkan tubuhnya dan (rambut) kepalanya bagaikan punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk syurga, tidak pula mencium baunya, meskipun bau syurga tersebut dapat tercium dari bau yang sangat dekat.”
Akhwat, hadist di atas sangatlah jelas bahwa bagaimana seharusnya pakaian wanita muslimah yang sebenarnya. Ini semua tidak lepas dari niat ikhlas semata-mata karena Allah, dan berpakaian yang didasari dengan ketaqwaan, dan keiklasan, dan dengan mengharap keridhaan-Nya, janganlah karena mengharap syurga-Nya. Seperti sebait syair yang dilantunkan oleh seorang sufiah yang terkenal yakni Rabiah Al-Adawiyah:
“Lebih baik masuk neraka karena ridha Allah,
Dari pada masuk syurga karena murka Allah.”
B. AURAT WANITA DALAM PERSPEKTIF SYARA’
1. Pengartian Aurat
AURAT menurut etimologi berasal dari bahasa Arab: ’Auraton yakni, aib. Sedangkan menurut termiologi, aurat ialah “bahagian tubuh seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan muhrimnya.” Teungku Hasbi As-Siddiqie mengatakan menutup aurat ialah menutup bagian anggota yang dipandang buruk bila terlihat oleh seseorang, atau yang membuat malu orang yang melihatnya.
Tegasnya, yang dinamakan dengan menutup aurat ialah menutup bagian anggota yang tak layak dilihat orang, atau tak layak terlihat dan tampak kepada orang lain. Dan dalam perspektif Islam, terdapat beberapa keadaan di mana setiap - 17 -
individu muslim dilarang dan dibenarkan untuk membuka auratnya kepada orang-orang tertentu saja.
2. Perintah Menutup Aurat
Perintah menutup aurat terdapat dalam QS Al-A’raf ayat 26:
يبني ادم قد انزلنا عليكم لباسا يؤري سوء تكم وريشا ولباس التقوي ذلك
خير ذلك من ايت الله لعلهم يذآرون
“Hai manusia anak cucu Adam, sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu pakaian-pakaian yang menutup auratmu, juga telah menurunkan pakaian-pakaian yang mengindahkanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa taqwa adalah sebaik-baik pakaian. Dan yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah mudah-mudahan kamu menjadi orang yang memperoleh peringatan.”
Berkaitan dengan hukum aurat perempuan, secara jelas telah dinyatakan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an sebagai suatu perintah dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh hamba-Nya yang mukmin. Adalah menjadi suatu kemestian wajib bagi setiap wanita untuk menutup seluruh auratnya. Kiranya ada di antara mereka yang ingkar dengan perintah yang sudah termaktub dalam Kitabullah, maka bersiap-siaplah menerima siksaan Allah SWT.
Sebagaimana dalam firman Allah QS An-Nisa’ ayat 14:
ومن يعص الله ورسوله و يتعد حدوده يدخله
نارا
“Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya, dan melanggar seluruh ketentuannya, niscaya Allah memasukkannya kedalam neraka.”
Menurut Yusuf Qardhawi, di seluruh kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah aurat wanita yang boleh ditampakkan. Ketika membahas makna “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya”.
Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. Di antara ulama Mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa
- 18 -
wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya dihukumnkan mustahab (sunnat).
Tetapi dalam QS Al-Ahzab ayat 53, dijelaskan bahwa apabila wanita muslimah meminta sesuatu keperluan kepada ajnabinya maka diperintahkan untuk memintanya di belakang hijab.
واذا سءلتموهن متعا فسءلواهن من وراء حجاب
“Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada para istri-istri nabi, maka mintalah dibelakang hijab…”
Namun dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang bersumberkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Dari Aisyah ra, Rasulullah Saw bersabda: "Hai Asmaa'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila telah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini (Rasulullah berkata sambil menunjuk muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangannya)".
Akan tetapi Hadist ini lemah, jadi tidaklah patut jika dijadikan sebuah hujjah, dikarenakan hadist ini terputus silsilah riwayat antar Aisyah dan perawinya. Juga dikarenakan bertentangannya hadist tersebut dengan dengan dalil-dalil syar’i yang memerintahkan untuk menutupi seluruh auratnya termasuk muka dan dua telapak tangan. Kalaulah hadist ini shahih, dapat dijelaskan bahwasanya hadist ini turun sebelum turunnya ayat hijab. Dengan demikian hadist tersebut masih perlu diskusikan.1 Dalam hal ini, beberapa ulama mempertegas bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ini seperti yang telah termaktub dalam buku Al-Hijab yang ditulis oleh As-Syeikh Soleh Fauzan. Jadi dapat disimpulkan bahwa menutup seluruh aurat bagi wanita termasuk muka dan dua telapak tangan adalah wajib
3. Batas-Batas Aurat Wanita
3.1. Persfektif Fiqh 1 Karena belum ada satu keputusan apakah hadist tesebut kuat atau dhaif, jadi untuk keluar dari pendapat tersebut sebaiknya kita berpegang pada pendapat yang mengatakan wajib, agar lebih ihtiyath (pasti).
- 19 -
Aurat wanita dalam perspektif fiqih adalah seluruh tubuhnya. Tetapi lain halnya pada waktu shalat, kedudukan auratnya yakni selain muka dan dua telapak tangan, selain itu seruhnya harus ditutupi dengan kain yang tebal (yang tidak kelihatan waran kulitnya).
Tetapi aurat tersebut tidak diperuntukkan kepada wanita budak (a’mmah), karena aurat mereka disejajarkan dengan kaum lelaki, yakni mereka hanya diperintahkan untuk menutupi antara pusar dan lutut saja, sedangkan pusar dan lutut diwajibkan, karena dua anggota tersebut akan menyempurnakan anggota yang diperintahkan wajib untuk ditutupi. Karena berdasarkan suatu kaedah (qawae’d) fiqih yakni:
“Ma la yatimmu wajib illa bihi fahuwa wajib”2
Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh melihat sebagian aurat wanitanya yang lain, baik dengan syahwat maupun tidak. Perhatikan Hadist berikut ini:
Dari Muhammad bin Jahsy berkata: Rasulullah lewat di depan Ma'mar kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat." (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim)
Sementara ulama seperti Ibnu Hazm dan sebagian ulama Maliki berpendapat bahwa paha itu bukan aurat. Sedangkan aurat perempuan dalam hubungannya dengan lelaki yang bukan muhrimnya ialah seluruh badannya, kecuali muka dan dua telapak tangan.
a. Kedudukan Aurat Wanita
Perhatikan firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31:
قل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن
إلاماظهر منها وليضرين بخمرهن على جيوبهن ولايبدين زينتهن إلالبعولتهن
أواباءبعولتهن أوأبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بنى إخوانهن أو نسائهن
أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولى الإ بة من الرجال او الطفل الذين لم
يظهروا على عورات النساء ولايضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
2 Maksudnya, pada awal lutut dan pusat tidak diwajibkan untuk ditutupi, tapi dikarenakan hal tersebut akan menyempurnakan hal yang wajib ditutupi (kemaluannya), maka hal yang tidak wajib tersebut berubah kepada wajib.
- 20 -
Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, melainkan kepada: (1) Suami-suami mereka, (2) Bapak-bapak mereka, (3) Bapak-bapak bagi suami mereka, (4) Anak-anak mereka, (5) Anak-anak bagi suami mereka, (6) Saudara laki-laki mereka, (7) Anak bagi saudara laki-laki mereka, (8) Anak bagi saudara perempuan mereka, (9) Wanita-wanita Islam, (10) Hamba-hamba mereka, (11) Orang-orang yang tidak berkeinginan kepada wanita, (12) Anak-anak yang belum mempunyai keinginan/yang belum mengerti tentang aurat wanita.”
Maksud dari kata perhiasan pada ayat di atas yakni, wajah dan dua telapak tangan. Dua perhiasan tersebut boleh-boleh saja dilihat oleh lelaki lain asalkan tidak menimbulkan fitnah, demikian menurut pendapat yang membolehkannya. Tetapi menurut pendapat yang lain mutlak diharamkan melihat dua perhiasan tersebut oleh lelaki yang bukan muhrimnya, sebab merupakan sumber fitnah. Dan pendapat yang kedua ini lebih kuat guna untuk menutup pintu fitnah.
Iman Syafi’i berpendapat; perhiasan yang dimaksudkan dalam ayat di atas terbagi kepada dua makna yaitu: (1) perhiasan yang bersifat fisik, separti muka, badan, dan sebagainya; (2) perhiasan yang bersifat nonfisik, seperti pakaian, make-up, perhiasan, dan sebagainya.
Pemahaman terhadap ayat ini, lebih mendekati kepada kebenaran beberapa pendapat ulama yang mengatakan, bahwa aurat wanita dalam hubungan dengan mahramnya hanyalah antara pusar dan lutut, begitu pula hubungannya dengan perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut kiranya lebih mendekati kepada pendapat sebagian ulama yakni, aurat wanita terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak nampak ketika melayani, sedangkan aurat yang nampak seperti ketika bekerja di rumah itu sah-sah saja.
Karenanya, umat Islam digalakkan dengan mengawali diri sedini mungkin agar tidak melanggar batasan-batasan yang telah digariskan oleh Al-Quran dan Hadist. Terutama dalam soal berhias dan berpakaian.
b. Aspek Hukum dan Sosial
Ayat di atas menjelaskan tentang dua aspek kehidupan manusia, yaitu aspek sosial dan aspek hukum. Dalam aspek hukum, Allah SWT menjelaskan tentang disyari'atkannya hijab, dan berbicara tentang hal-hal lain yang berkaitan dengan seluk beluk wanita, mulai dari soal aurat, batasan yang boleh dilihat dan yang tidak boleh. Termasuk apakah wajah termasuk aurat yang berimplikasi
- 21 -
diwajibkannya niqab (cadar) atau wajah tidak termasuk aurat sehingga tidak wajib niqab. Hal lain adalah tentang siapa saja yang boleh melihat aurat wanita, dan hukum melihat lawan jenis. Dalam aspek sosial, ayat ini berbicara tentang aturan hubungan lawan jenis dan akibat-akibat yang ditimbulkan jika aturan itu dilanggar.
c. Hukum Melihat Lawan Jenis
Dalam ayat ini Allah SWT, menjelaskan bahwa seorang Muslim atau Muslimah tidak boleh (haram) melihat lawan jenisnya yang bukan muhrim, kecuali orang-orang yang dikecualikan dalam ayat tersebut. Meski demikian melihat atau memandang dapat diperbolehkan (halal) jika pandangan tersebut hanya satu kali dan tidak disengaja, karena ketidaksengajaan merupakan perbuatan di luar kemauan manusia yang dilakukan tanpa kesadaran. Lain halnya jika pandangan pertama itu diikuti dengan pandangan yang berikutnya, karena pandangan yang kedua tersebut pada dasarnya berasal dari setan dan akan menimbulkan fitnah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada Ali ra:
"Hai Ali, janganlah mengikuti setiap pandangan, sesungguhnya yang pertama itu (tidak sengaja) untukmu dan yang berikutnya dari setan."
Atas dasar itulah, maka tak aneh jika ayat di atas mewajibkan setiap mukimin dan mukminah untuk menundukkan pandangan sebagai solusi dari terbukanya pintu setan dan fitnah.
d. Aurat Wanita bagi Laki-laki
Asy-Syafi'iyyah dan Al Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya, Imam Ahmad berkata: "Seluruh yang ada pada tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya". Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat: "Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan.".
Masalah zinah yang boleh dinampakkan dalam ayat tersebut mempunyai banyak interpretasi, salah satunya seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Masud dan para jamaah sebagai pakaian luar. Tetapi para jumhur yang lain menafsirkan dengan muka dan dua telapak tangan. Pendapat pertama tersebut lebih sahih untuk
- 22 -
dijadikan sebuah hujjah karena lebih sesuai dengan syara’. Sebagian ahli ilmu mengemukakan bahwa pendapat kedua tersebut berlaku sebelum turun perintah yang mewajibkan hijab, karena pada mulanya para wanita menampakkan wajah dan dua telapak tangannya dihadapan lelaki, kemudian turun ayat hijab (QS 33:53).
Dalil Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam firman Allah SWT tersebut, ditegaskan tidak boleh bagi wanita menampakkan "zinah" mereka, zinah itu terbagi kepada dua bagian: Pertama, zinah yang berasal penciptaan, seperti wajah karena asalnya adalah indah dan sumber fitnah; Kedua, zinah yang dapat dicapai oleh manusia. Seperti yang dapat dicapai dengan mempercantik diri, seperti make-up dan lain sebagainya. Dalam ayat tersebut juga memaparkan haram bagi wanita menampakkan zinahnya dan ia harus menutup seluruh perhiasan yang ada padanya, termasuk wajah dan telapak tangan
e. Perbedaan Kedudukan Aurat Wanita.
Pada aurat wanita terdapat perbedaan dalam beberapa keadaan di antaranya:
Pertama, aurat ketika shalat, seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan;
Kedua, aurat wanita ketika sendirian adalah bagian antara pusat dan lutut;
Ketiga, aurat wanita dengan mahramnya adalah pusat dan lutut. Walau pun begitu wanita dituntut agar menutup seluruh bagian tubuh yang membawa kepada syahwat lelaki walaupun itu mahram sendiri. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31.
Syara’ telah menggariskan golongan yang dianggap sebagai mahram kepada seorang wanita yaitu: (1) suami; (2) bapak; (3) mertua; (4) anak kandung; (5) anak-anak suami.
Dalam perkara ini, Islam membolehkan isteri untuk bergaul dengan anak suami, karena wanita tersebut telah dianggap dan berperan sebagai ibu kepada anak-anak suaminya: (1) saudara lelaki kandung; (2) anak dari saudara laki-laki; (3) Anak dari saudara perempuan; (4) sesama wanita muslim; (5) hambanya sahaya; (6) orang tua yang tidak lagi mempunyai nafsu syahwat; (7) anak-anak
- 23 -
kecil yang belum mengerti terhadap aurat wanita. Bagi anak-anak yang mempunyai syahwat tetapi belum baligh, dilarang menampakkan aurat terhadap mereka.
Keempat, aurat ketika di hadapan ajnabi: Kewajiban menutup seluruh aurat di hadapan lelaki ajnabi amatlah penting dan perlu diperhatikan oleh setiap wanita. Begitu pula wanita yang bersuami, karena dengan menutup aurat, ia akan dapat membantu suaminya, yang mana dosa seorang isteri yang membuka auratnya akan ditanggung oleh suaminya. Oleh karenanya, para wanita perlu memahami batas-batas aurat ketika berhadapan dengan orang-orang yang tertentu, dalam keadaannya yang berbeda-beda.
Kelima, aurat ketika di hadapan wanita kafir: Aurat wanita apabila berhadapan atau bergaul dengan wanita nonmuslim adalah seluruh tubuhnya, kecuali yang terlihat sewaktu menjalankan rutinitas sehari-hari. Dari Abdullah bin Abbas, ada yang menyatakan Rasulullah Saw pernah bersabda yang maksudnya: "Tidak halal kaum wanita Islam dilihat oleh kaum Yahudi dan Nasrani".
Keenam, aurat ketika bersama suami: Apabila seorang isteri bersama suaminya di tempat yang terlindung dari pandangan orang lain, maka Islam telah memberi dispensasi dengan tiada membataskan aurat kepada suaminya.
“Dari Mu'awiyah bin Haidah mengatakan: "Aku pernah bertanya: Ya Rasulullah, bagaimanakah aurat kami, apakah boleh dilihat oleh orang lain?" Baginda menjawab: "Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau terhadap hamba abdi milikmu". Aku bertanya lagi: "Ya Rasulullah, bagaimanakah kalau ramai orang mandi bercampur-baur di satu tempat?" Baginda menjawab: "Berusahalah seboleh mungkin agar engkau tidak dapat melihat aurat orang lain dan ia pun tidak dapat melihat auratmu". Aku masih bertanya lagi: "Ya Rasullullah, bagaimanakah kalau orang mandi sendirian?" Baginda menjawab: "Seharuslah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada orang lain". (Hadis riwayat Iman Ahmad dan Abu Dawud).
f. Beberapa Hal yang Dilarang Kepada Wanita.
Pertama, Menyerupai Laki-Laki
Kata menyerupai memiliki pengertian yang sangat umum, yakni menyerupai dari hal berpakaian, tingkah laku, dan sebagainya. Imam Al-Grazali mengatakan bahwa sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan
- 24 -
masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal yang menentang dengan tabiatnya. Ia juga menambahkan bahwa Rasulullah Saw pernah meghitung orang-orang yang dilaknat di dunia, yakni orang-orang yang mengubah dirinya dari asal kejadian yang telah Allah ciptakan. Allah dan Rasulnya melaknat wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita.
“Dari Abu Hurairah ra telah meriwayatkan, maksudnya: Rasulullah Saw telah melaknat laki-laki yang berpakaian perempuan, dan perempuan yang berpakaian laki-laki. (HR Ahmad)
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, Rasulullah Saw melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki. (HR Bukhari).
Kedua, Tabarruj
- تبرج يتبرج Tabarruj berasal dari fiil madhi, yakni: yang berfaedah kepada “taklif”, yakni senantiasa, (selalu atau tidak habis-habisnya). Jadi tabarruj dapat diartikan: Berpakaian yang selalu berlebihan, dengan niat yang ingin memperlihatkannya kepada orang lain. Sedangkan menurut Abu Fathan dalam bukunya, mengartikan tabarruj dengan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata. Menurut para mujtahid yang dimaksud tabarruj ialah: Wanita yang keluar dan berjalan di hadapan laki-laki. Qatarada mengartikan tabarruj ialah: Wanita yang berjalan dengan menampakkan lenggokan jalannya. Sedangkan Muqqatil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tabarruj ialah: Memamerkan perhiasan yang dipakainya.
Allah dan Rasulullah sangat melarang orang yang berlebih-lebihan dalam berpakaian, karena dapat membawaki kepada sifat angkuh dan sombong. Berlebih-lebihan, yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan yang dimaksud dengan kesombongan ialah perasaan yang bermaksud untuk bermegah-megah, dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Allah SWT sangat membenci kepada hambanya yang sombong.
Seperti dalam Firman-Nya:
والله لايحب آل مختال فخور
“Allah Tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan sombong…” (QS Al-Hadid ayat 23).
- 25 -
Syaikh Al-Maududi dalam tafsir Al-Hijabnya, kata tabarruj bila dikaitkan dengan seorang wanita, ia memiliki tiga pengertian: (1) menampakkan keelokan wajah dan bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi ajnabinya; (2) memamerkan pakaian dan perhiasan yang indah dihadapan lelaki yang bukan muhrimnya; (3) memamerkan diri dan jalan yang berlenggak-lenggok dihadapan ajnabinya.
Beberapa cara menghindari tabarruj: (1) menundukkan pandangan; (2) tidak bergaul bebas, sehingga terjadi persentuhan antara laki-laki dan perempuan.
Seperti dalam QS An-Nur ayat 31:
ولايبدين زينتهن إلاماظهر منها
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya.”
Al-Barudi, dalam tafsirnya memaparkan tiga pendapat mengenai perhiasan yang zahir, yakni:
(a) Abdullah bin Masud berpendapat, perhiasan yang zahir yaitu: Pakaian yang khusus.
(b) Ibnu abbas dan Miswar mengatakan, pakaian yang zahir yakni celak mata dan cincin. Seperti dalam sebuah hadist yang dima’khudzkan dari Ibni Abbas: “ari Ibnu Abbas, Bersabda Nabi Saw: Perhiasan yang zahir itu adalah adalah celak mata, bekas pacar di tangan, dan cincin.” (H.R.Ibnu Jarir).
(c) Pakaian yang zahir ialah, wajah dan dua telapak tangan.
Ketiga, Mengubah Ciptaan Allah
Allah SWT memberikan anugerah kepada setiap insan di muka bumi ini. Dan menciptakannya dengan sebaik-baik mungkin. Tapi sangat disayangkan apabila pemberian Allah tersebut semula merupakan sebagai suatu anugerah, kini berubah menjadi laknat-Nya. Itulah golongan hamba-hamba-Nya yang merubah ciptaan-Nya. Khalid bin Abdurrahman Asy-Syayi, dalam bukunya menuliskan golongan orang-orang yang termasuk mengubah ciptaan Allah ialah:
(a) Al-Washilah ialah Wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut wanita yang lain atau menyambungnya dengan benda lain seperti sanggul.
- 26 -
(b) Al-Mustaushilah ialah Orang yang meminta disambungkan rambutnya.
(c) Al-Wasyimah ialah wanita yang suka mentato tubuhnya.
(d) Al-Mustausyimah ialah wanita yang meminta untuk mentato dirinya.
(e) Al-Mutanamishah ialah wanita yang mencabut seluruh bulu yang tumbuh di sekitar wajahnya. Seperti Alis.
(f) Al-Mutafallijat ialah wanita yang mengikir giginya.
“Dari Ibnu Umar. Rasulullah Saw melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya, dan wanita yang membuat tato (dengan tusukan jarum), pada tangan dan wajahnya, dan wanita yang meminta diperbuat demikian”. (HR Bukhari-Muslim).
“Dari Abdullah Ibnu Masu’d, Rasulullah Saw bersabda: “Allah mengutuk wanita-wanita yang mentato, dan yang meminta ditatokan, dan yang mencukur alisnya, dan yang memasang gigi palsu, untuk kecantikan dirinya, dan yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Keempat, Memakai Farfum
“Dari Abu Musa Al-Asy'ari, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Siapa saja wanita yang memakai wewangian kemudian berjalan melewati suatu kaum dengan maksud agar mereka mencium keharumannya, maka ia telah berzina.” (HR. Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Maksud “Berzina” dalam hadist tersebut ialah wanita tersebut menjadi penyebab timbulnya zina. Dengan demikian wanita tersebut termasuk kepada wanita fasiq, sedangkan perbuatannya tergolong kepada maksiat.
Kelima, Menolak Panggilan Suami Untuk Tidur Bersama.
“Dari Abi Huraira ra, Rasulullah Saw bersabda: Apabila seorang lelaki mengajak isterinya ke tempat tidur tetapi ia menolak, sehingga suaminya jengkel dan marah terhadapnya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi”. (HR. Bukhari-Muslim).
Keenam, Durhaka Kepada Suami.
“Dari Abu Bakar ra, Rasulullah Saw bersabda: Perempuan manapun yang menyiksa suaminya dengan lidahnya, maka ia mendapat laknat Allah dan kemurkaan-Nya, serta malaikat-malaikat dan manusia seluruhnya”.
Ketujuh, Berkhalwat Dengan Lelaki yang Bukan Mahram
- 27 -
Dari Umar bin Khatab ra, Rasulullah Saw bersabda: Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, karena sesungguhnya setan adalah yang ketiga. (HR. Imam Ahmad dan Baihaqi).
Kedelapan, Memandang yang Diharamkan
Dalam QS An-Nur ayat 26, disebutkan:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka…”
Kesembilan, Bersalaman dengan Lelaki yang Bukan Mahram
Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah Saw bersabda: Ditikam oleh seseorang di belakang kamu di kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya dari pada ia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya”. (HR Thabrani).
Kesepuluh, Keluar Rumah Tampa Ada Keperluan
Dalam QS Al-Ahzab ayat 33, Allah berfirman:
وقرن فى بيوتكن ولاتبرجن تبرج الجاهلية
“Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah zaman dahulu”.
Dari Ibni Abbas ra, Rasulullah Saw bersabda: Perempuan manapun yang keluar dari rumah tanpa seizin suaminya, maka dilaknat oleh segala sesuatu yang matahari dan bulan terbit menyinarinya, sehingga ia kembali ke rumah suaminya”.
Kesebelas, Masuk Permandian Awam
Islam memperhatikan masalah pemeliharaan aurat, maka Rasulullah melarang wanita memasuki pemandian umum, guna untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.
“Dari Aisyah ra, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang perempuan masuk pemandian, kemudian beliau membolehkan laki-laki
- 28 -
masuk pemandian dengan memakai kain”. (HR Abu Daud, Tarmizi, dan Ibnu Majah).
Keduabelas, Mempercayai Dukun atau Peramal
Dalam QS Aj-Jin ayat 26-27, Allah SWT berfirman:
عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا , إلا من ارتضى من
رسول
“Dia adalah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib, maka ia tidak memperlihat kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.”
Catatan Penutup
MERUJUK pada uraian yang telah di paparkan oleh penulis, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi, terutama tentang problematika berpakaian. Apalagi perubahan di era yang telah mengubah mode, atau trend yang telah menjadi sebuah panutan. Sebagai umat Islam, wanita muslimah harus konsekuen pada prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh agama. Jadi, pada dasarnya tata cara pergaulan termasuk di dalamnya berpakaian telah diatur rapi oleh syara’, kita hanya menjalankan saja dan tidak perlu mencetak hukum baru karena niat yang ingin berpacu dengan mode.
Jilbab dan khimar telah di ketengahkan oleh Al-Quran dan Hadist kepada hamba Allah yang beriman. Pelaksanaan terhadap dua perintah Allah SWT tersebut seharusnya bisa dijalankan semata-mata karena dorongan keimanan, dan karena keyakinan bahwa Islam diturunkan untuk memberikan aturan yang dapat memecahkan problematika seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Bukan karena arus mode yang ada.
Diwajibkannya jilbab sebagai busana muslimah yang ternyata banyak membawa manfaat dan hikmah bagi yang memakainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
- 29 -
"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran ayat 191).
Di sini penulis juga ingin mempertegaskan bahwa wanita yang sudah sampai umur (baliqh), diwajibkan untuk menutup seluruh tubuhnya, termasuk muka dan dua telapak tangan, karena hal tersebut telah disepakati oleh ulama-ulama terkemuka, dan merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan. Oleh karenanya kita perlu menggalakkan sedini mungkin untuk Wear of Moslemah, agar semua individu Islam bisa menjadi Islam is Really Beautiful.
Demikianlah sebagai penutup marilah kita renungkan firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 85 berikut :
"Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat."
Referensi
Abu Fathan (ed), 1992, Panduan Wanita Sholeha, Asasuddin Press, Jakarta.
Anonim, 1996, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan, Karya Thoha Putra, Semarang.
Anonim, tt, Jilbab dalam Sorotan Populer, […]
Husein Muhammad, Kiai Haji, Jilbab, diakses November 2006 dari: http//joelc.wordpress.com.
Ibnu Masyuri Al-Aziziy, 2006, Menggapai Mutiara di Era Modern, Al-Aziziyah, Kediri.
Imam Al-Ghazali, tt, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Putra Pelajar, Yogyakarta.
Imam Jalaluddin Al-Mahilliy, Imam Jalaluddin As-Sayuthi, 2004, Tafsir Jalalain, Cetakan VIII, Sinar Baru Al-Gensindo, Bandung.
- 30 -
Muhammad Ali Hasyimiy, 1996, Jatidiri Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Muhammad Hasbi As-Siddiqie, Teungku, tt, Al-Islam, Jilid 2, ttp, […]
Muhammad Usman El-Muhammady, Konsep Nur Muhammad di Dunia Melayu dalam Konteks Wacana Sunni, diakses November 2006 dari http://bicaramuslim.com.
Nasaruddin Umar, Fenomena Jilbab, diakses November 2006 dari http://www.smu-net.com.
Rahmi Khairul, Mendiskusikan Jilbab, diakses November 2006 dari http://www.mailarchive.com/kasma.
Riami Larasari, Jilbab dalam Pandangan Syara’, diakses November 2006 dari http://www.riamilarasari.blogspots.com.
Said Abi Bakri bin Said Muhammad Syatha, tt, Lanatutthalibin, Jilid I, Thoha Putra, Semarang.
Syeikh Iman Zaki Al-Barudi, 2004, Tafsir Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Amin bin Yahya Al-Wazan, Fatwa-fatwa tentang Wanita, Ahmad Amin Sjihab (Penterjemah), Darul Haq, Jakarta.
Yulieni, Antara Jilbab dan Kerudung, […], diakses November 2006 dari http://www.waspada.co.id.
- 31 -
Bagian Enam
KEUTAMAAN WANITA SALEHAH DALAM ISLAM
Oleh: Safrida Hamdani
ARUS globalisasi saat ini dari hari ke hari semakin membutakan mata manusia untuk mengenal tata cara kehidupan yang bernuasa Islami terutama bagi umat muslim saat ini.
Mendengar kata singkat “wanita“ yang memiliki sejuta makna yang terkandung dalamnya, seperti kita mendengar kehidupan seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan tanpa wanita. Ia bagai embun pagi yang tak pernah henti-hentinya memberi kesegaran.
Dengan adanya wanita shalehah, dunia akan tercipta dengan keharmonisan, kedamaian serta keberkahan baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat.
Allah telah memberikan sebuah penghargaan yang begitu besar kepada para wanita-wanita yang shalehah dengan sebuah sandangan “ummu warabbah al-bait” (ibu dan pengatur rumah tangga). Di dalam rahim setiap ibu berdenyut sebuah kehidupan baru.
Bahkan jika kita ingin cinta suci, temukanlah di batin wanita. Wanita ibarat lebah muda yang selalu dipercaya dan selalu memberi kekuatan, kemuliaannya tidak bisa diukur dengan ukuran dunia. Karena para wanita shalehah yang akan menjadi bidadari syurga nanti. Untuk mencari wanita yang shalehah pada zaman era globalisasi ini tidak semudah yang kita pikirkan. Ulama fiqah mengatakan di dalam kitab “Iannatutthalibin” bahwa mencari wanita yang shalehah ibarat kita mencari burung gagak yang putih.
1
Lalu apa sebenarnya makna dari wanita yang shalehah? Sekian banyak definisi dari wanita yang tahu dan hanya menguraikan bahwa wanita shalehah adalah nafas kehidupan atau perhiasan dunia yang paling berharga.
Sabda Rasulullah Saw, dalam salah satu hadist yang diriwayatkan Muslim berbunyi:
الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المراة الصالحة
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah”
Perlu kita akui bahwa untuk menemukan wanita shalehah tidak semudah yang kita bayangkan dikarenakan pada zaman era seperti ini begitu hebatnya pengaruh budaya Barat, berbagai macam cara usaha mereka untuk merusak generasi muda Islam. Wanita shalehah merupakan dambaan bagi setiap laki-laki dan ia kelak akan menjadi permata hati bagi suami dan menjadi penerang bagi kehidupan keluarga jika ia menjadi seorang istri (Abdurrahman, 1999: 5).
Kita akan mencoba menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan wanita shalehah dalam Islam yang tujuan dan maksudnya tertuju bagi saudari-saudari kita yang lagi sedih, berkecil hati, akan masalah perbedaan antara laki-laki dengan perempuan serta kelebihan laki-laki dengan perempuan.
Kita harus ingat, bahwa ini bukan lagi zaman Jahiliah yang mereka itu selalu merendahkan dan meremehkan kaum wanita dan menganggap wanita si pembawa sial, maka saya rasa tidak sepantasnya kita menyalahkan satu sama lain dikarenakan Allah SWT sendiri telah menempatkan wanita dan laki-laki pada tingkatan dan derajat yang sama. Dengan kata lain wanita memiliki semua bakat untuk berkembang, tanpa cacat dan kesalahan, dan ia juga memiliki seluruh faktor kesempurnaan sebagaimana pria.
2
Di dalam penulisan yang singkat ini terdapat beberapa keutamaan- utamaan wanita yang mungkin bisa kita jadikan arah serta pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari.
1. Wanita Shalehah Merupakan Perhiasan Dunia yang Terbaik
ALLAH SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 34, berfirman:
فاالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله …
“... Istri-istri shalehah adalah isteri-isteri yang taat lagi setia kepada suami dan memelihara kehormatannya sewaktu ditinggal suaminya.“
Dari firman Allah di atas, dapat kita tahu bahwa mereka adalah para wanita dan tidak mau digunakan untuk kepentingan bisnis, baik atas nama iklan, peragaan busana, artis sinetron maupun bintang-bintang lainnya. Mereka tidak ingin dikenal oleh orang banyak, mereka akan merasa rugi jika auratnya ada yang melihat selain muhrimnya. Wanita shalehah ibarat madu yang selalu melihat dengan mata dan mencium dan berkata-kata dengan mulut dan mendengar dengan telinga untuk segala hal-hal yang baik. Ia tidak akan pernah hinggap di tempat-tempat kotor dan ia juga memilih makanan yang halal dan baik dalam artikata wanita shalehah tidak akan tinggal di tempat yang penuh dengan kemaksiatan (Anonim, 1978: 67).
Begitu banyak anggapan orang awam yang mengatakan bahwa wanita hanyalah pemberi kepuasan bagi laki-laki semata. Padahal jika kita sadari wanita tidak ubahnya seperti cahaya yang selalu menjadi penerang dalam kegelapan.
Hadist Nabi mengatakan bahwa: baik buruknya dunia karena wanita. Hadits ini mengingatkan kita untuk selalu menjadi wanita yang shalehah dan
3
menjadi perhiasan dunia yang baik yang akan menyinari kehidupan di dalam dunia ini.
Allah memuliakan mereka dengan kemulian yang pas, imbang, tengah-tengah, manis, dan adil. Allah juga memerintahkan kepada mereka untuk berhijab sebagai perindungan serta membebaskan para wanita dari kezaliman syahwat, Allah tak pernah melarang mereka untuk beramal ibadah dalam interaksi dengan sangat nyaman dengan laki-laki dan membebaskan mereka dari tuduhan-tuduhan yang syubhat lagi yang mengekang (Mahridi, 2004: 37).
2. Wanita Shalehah Sama Derajatnya dengan Laki-Laki
RASULULLAH Saw, bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan Muslim (dikutip dari Mahridi, 2004: 34): “Sesungguhnya wanita merupakan mitra sejajar dengan laki-laki.”
Islam menempatkan mereka sejajar dengan kaum Adam, baik di lapangan pendidikan, ekonomi, sosial, maupun politik. Begitu juga halnya dalam memperoleh syurga. Islam menempatkan sama, dalam arti kata wanita shalehah tidak hanya berdiam diri di rumah saja, tetapi ia juga berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 228 (Anonim, 1978: 28), berbunyi:
ولهن مثل الذى عليهن ماالمعروف والرجال عليهن درجة …
“... dan para wanita mempunyai hal yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suani mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”
4
Banyak sekali kita dapati sekarang wanita diperlakukan semena-mena, padahal Allah sendiri telah menyatakan dalam Al-Qur’an, bahwa wanita dan laki-laki sama derajatnya.
Islam memperlakukan wanita dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bahwa wanita dengan shalehah dianggap tiang negara yang kokoh, Islam tidak pernah mendiskreditkan salah satunya, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya para kaum Jahiliah saja yang menganggap bahwa wanita tidak sama derajat dengan lelaki, mereka beranggapan bahwa wanita lemah tidak bisa diajak kompromi. Tapi ketika Islam datang wanita diangkat derajatnya menjadi sama dengan laki-laki, mereka menjadi layak untuk di puji.
Allah SWT dalam QS Al-Hujarat ayat 13 berfirman bahwa: “tiada beda antara laki-laki dengan si wanita di mata Allah dan sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah hanyalah orang bertaqwa”.
Secara fisik lelaki memang lebih kuat dari wanita, tetapi secara psikologis wanita juga mempunyai sifat yang sangah mudah dipahami oleh anak-anak dalam mendidiknya.
Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa hanya orang mulialah yang menghormati kaum wanita dan hanya orang hinalah yang merendahkan kaum wanita. Dengan melihat hadits tersebut, timbul pertanyaan, mengapa masih ada sebagian orang yang menghina kaum wanita? Begitu banyak harga diri wanita yang telah dihancurkan oleh sebagian laki-laki yang menganggap wanita hanya pemuas nafsu belaka. Orang yang belum membuka mata terhadap siapa wanita itu, perlu dari sekarang untuk belajar menghargai dan menjaga kaum hawa. Sebagaimana sabda Rasullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad
5
dan Boihaqi: “Sesungguhnya wanita adalah belahan yang tak terpisah dari laki-laki.”
3. Wanita Shalehah dalam Naungan Islam
MEREKA telah mendapatkan ketenteraman dan harga diri sebagai wanita mulia sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw sebagai bukti Islam sangatlah menghormati wanita, mereka bukanlah makhluk kedua, bukan pula pelengkap penderita, mereka adalah sosok yang punya andil dalam kemajuan peradaban.
Para wanita shalehah yang akan menjadi cermin bagi kemajuan peradaban, jika mereka baik maka dunia pun akan menjadi indah. Karena kedudukan yang sangat tinggi mereka junjung saat ini, maka mereka patut untuk dibanggakan demi kemajuan dan kedamaian suatu negara.
Kita harus tahu bagaimana para wanita-wanita Arab menjaga dirinya dari yang bukan muhrimnya, mereka yang menjaga auratnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki karena mereka tahu bagaimana Allah telah memberikan kemuliaan dan naungan yang sangat mulia kepada mereka.
Kutipan yang saya ambil dari Kitab “Uqudul Lijjain” (Syaikh Muhammad Umar, 1294 H: 8), menyebutkan tiga ciri wanita shalehah, yakni: (a) menutup aurat atau wajah dari pandangan ajnabi; (b) taat kepada suami dan kepada orang tua; (c) memelihara dirinya dari harta suami pada saat suami berada di luar rumah.
Adapun ciri wanita shalehah juga adalah melaksanakan shalat lima waktu dan berpuasa. Ciri-ciri ini merupakan ciri utama bagi wanita shalehah. Namun demikian, keshalehan itu juga ditentukan oleh sejauhmana seorang wanita itu shaleh dengan lingkungan sekitarnya.
6
Dalam buku yang saya baca, Ahmad Muhammad Jamal (2002) Stein royen menyatakan: “kamu wanita telah menemukan apa yang mereka cari terus-menerus dalam naungan Islam, sebab agama telah menempatkan mereka pada posisi sentral ketika agama lain menghina mereka.”
Dalam kutipan di atas jelas bahwa Islam telah mengangkat kaum wanita dari berbagai fungsi, posisi, serta peran, Islam membawa wanita dari dapur, sumur, dan ranjang para kaum awam melangkah menuju perpustakaan alam semesta yang penuh dengan ayat-ayat Allah SWT.
Banyak yang mengira pandangan dan perlakuan merendahkan terhadap wanita hanya ada di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. Tapi sebenarnya berlanjut pada masa-masa setelah Jahiliyah. Nilai wanita masih bermasalah dalam segala kekejian persepsi dan perlakuan yang dilakuakan oleh para filsuf dan masyarakat Yunani, peradaban Romawi Tiongkok, Persia, raja-raja Eropa abad pertengahan, abad kegelapan hingga abad revolusi para kaum Yahudi. Hanya Islam yang dari awal berkehendak membebaskan wanita dari diskriminasi semacam ini.
Islam sangatlah jeli dalam mengarah dan membina wanita, bahkan sebahagian ulama berpendapat bahwa wanita haram keluar rumah, kecuali dengan muhrimnya. Timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah wanita yang berdakwah sekarang bukanlah wanita shalehah? Tentu saja tidak seperti itu. Maksud shalehah di sini bukan berarti ia tidak boleh meneruskan dakwah untuk kemajuan Islam, tetapi wanita shalehah di sini adalah wanita yang selalu bisa memberi ide cemerlang serta dorongan di mana saja ia berada asalkan ia masih berada dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agama Islam. 7
Ini merupakan sebuah bukti bahwa Islam tak pernah membiarkan para wanita berkeliaran dengan kezaliman yang hanya membuat mereka akan hina pada pandangan orang banyak.
Timbul pertanyaan, kenapa wanita sekarang begitu dekat dengan budaya-budaya Barat? Itu semua disebabkan mereka tidak pernah tahu bahwa Allah telah memberikan sebuah kemuliaan yang tak tertandingi.
Islam benar-benar memberikan penghargaan dan perlindungan, Islam tidak memandang wanita dalam dengan kehinaan, memperbudak bahkan martabatnya direndahkan, harga diri mereka dilecehkan dan penganiaan yang bermacam-macam.
Tetapi Islam malah sebaliknya, Islam memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Sementara di kalangan orang Arab masa dahulu, meskipun wanita diberi kebebasan yang cukup memadai, tetapi mereka masih saja menindas dan memperlakukan wanita dengan kasar. Semua yang dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam datang tidak pernah terjadi ketika Islam sudah datang. Islam merupakan agama yang paling mulia derajatnya dan paling tinggi kedudukannya, Islam adalah agama Allah yang tidak kenal dengan kebatilan dari sisi manapun, Islam membersihkan wanita dengan menghargai martabatnya dan meninggikan kedudukan para wanita yang hilang haknya, mengaruniainya kehormatan yang tidak boleh diinjak-injak, Islam memberikan keputusan yang bijaksana kepada wanita dan hak untuk mengelola apa yang ia miliki.
Islam berjuang mengakhiri penindasan orang zalim yang telah menzalimi kaum wanita, melepaskan belenggu perbudakan darinya dan mengeluarkannya dari kegelapan ke alam yang terang benderang, mengeluarkannya dari kegelapan
8
kehinaan dan penyiksaan yang pedih serta memanjakan hak-haknya dengan benteng yang kokoh.
4. Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
SUDAH tidak asing lagi bagi kita tentang sebuah hadist yang menyatakan bahwa “Syurga di bawah telapak kaki ibu.”
Hadist tersebut menunjukkan bahwa keridhaan Allah terletak pada keridhaan ayah dan ibu, begitu juga sebaliknya jika Allah murka, itu juga karena murka kita pada ibu dan bapak. “Ketika seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah: kepada siapa aku harus berbakti? kemudian Rasul menjawab: ibumu, kemudian ia bertanya lagi, kemudian kepada siapa lagi ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: ibumu, kemudian ia bertanya lagi, Rasulullah juga menjawab: ibumu. Dan hingga kali keempat ia bertanya, baru Rasulullah menjawab: bapakmu.”
Begitu besarnya derajat seorang ibu, jangan pernah kita menyia-nyiakan mereka, jangan pernah menyakiti mereka, mengatakan “ah” saja Allah begitu murka kepada kita, apalagi menyakiti hatinya.
Ini merupakan keutamaan yang paling berharga yang telah diceritakan oleh Allah kepada kita para wanita.
Wanita shalehah merupakan kunci utama bagi seseorang untuk masuk ke dalam syurga Allah, jika kita durhaka kepada mereka, jangankan mendapat syurga, merasakan nikmatnya saja jangan pernah bermimpi.
9
Oleh karena itu hormatilah wanita sebagaimana Sabda Rasulullah Saw: “yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik memperlakukan isterinya.”
Semua ini merupakan ungkapan keunggulan wanita dalam Islam. Islam juga menempatkan wanita pada posisi yang sangat terhormat, sedangkan agama lain hanya menganggap sebagai keranjang sampah, hina dan menyesatkan.
5. Di Belakang Kesuksesan Laki-Laki Ada Wanita Shalehah
SUDAH tidak dapat dipungkiri lagi, memang sudah menjadi lumrah jika wanita merupakan penunjang dalam karir serta kesuksesan para laki-laki. Sebagai bukti wanita sebagai penunjang kesuksesan, akan kita uraikan kisah Rasulullah saat beliau berada di Gua hirak.
Ketika Rasulullah berada di Gua hirak, Malaikat Jibril menghampiri beliau sambil berkata “bacalah”, kemudian Rasul menjawab: “saya tidak bisa membaca.” Kemudian Jibril berkata lagi “bacalah” dengan seraya Rasul merasa gugup, ketakutan dan berkeringat dingin membasahi tubuhnya, dan menghampiri sang istri tercinta (Khadijah), saat itu Khadijah melihat Rasulullah sangat ketakutan dan Khadijah segera menyelimuti Rasulullah, khadijah menanyakan apa yang telah terjadi dengan Rasulullah. Rasulullah menceritakan apa yang semua dialaminya di Gua Hira.
Kemudian Khadijah mengajak Rasulullah untuk menemui sang pamannya (Warakah bin Nofal), ia merupakan seorang pendeta, setelah keduanya bertemu dengan Waraqah, mereka menceritakan apa yang dialami oleh Rasulullah di Gua Hira, Warakah mengatakan: “wahai keponakanku bersyukurlah kamu, bahwa
10
suamimu itu merupakan seorang utusan Tuhan, yang akan membawa ajaran-ajaran yang benar dan yang berada di Gua Hira itu adalah seorang malaikat (Jibril namanya).
Kemudian Rasulullah pulang bersama Khadijah untuk mengajarkan ajaran-ajaran Allah dan wanita pertama masuk Islam adalah Khadijah. Saat itu Khadijah-lah yang memberi dorongan kepada Rasullah untuk melangsungkan dakwahnya, Khadijah memberikan sejumlah hartanya untuk berbekalan Rasullah dalam berdakwah, ini merupakan sebuah kemulian Islam terhadap para wanita-wanita shalehah. Masih banyak lagi para wanita-wanita yang menjadi pendorong dalam kesuksesan menyebarkan dakwah tentang ajaran Allah mereka adalah: Fatimah Az Zuhra, Umu Salamah, Zainab, Hamidah, Sausan, Halimah, dan Aisyah.
6. Wanita Shalehah Merupakan Tokoh Utama dalam Kehidupan
SEBUAH fakta bahwa wanita merupakan tokoh utama dalam kehidupan baik dia seorang isteri maupun telah menjadi seorang ibu, walaupun wanita dikatakan sebagai fitnah, tapi kata fitnah ini harus kita artikan dengan makna yang positif, dengan demikian wanitalah yang akan mewarnai kehidupan dengan corak ragan yang nyata, ia merupakan pendidik utama dalam pangkuan seseorang, wanitalah seorang yang bisa menepati ke jenjang yang lebih tinggi.
Singkatnya wanita dalam lingkup kelurga merupakan arena penyokong utama kemajuan dan kenyamanan dalam kehidupan, tidaklah benar kalau ia yang menjadi penyebab kedewasaan orang lain, wanita sejati dan shalehah adalah mitra istimewa dalam kehidupan.
11
Dengan demikian wanita sebagai seorang ibu atau isteri merupakan pilar keluarga sama dengan peran yang diembankan oleh seorang ayah bahkan dapat kita simpulkan posisi wanita dalam keluarga lebih unggul dari pada posisi laki-laki. Wanita adalah pendidik dan pengasuh para wanita dan pria terhormat, dari pangkuan seorang wanitalah seorang laki-laki menempati jenjang yang tinggi di pangkuan wanita merupakan tempat pendidik orang-orang besar, wanita dan pria.“
Perlu kita ingat bahwa pendidikan utama yang dibutuhkan oleh sianak adalah didikan dari keluarga, sedangkan yang berperan sebagai pendidik yang lebih mengetahui dalam keluarga ialah seorang ibu, mereka tidak akan menjadikan anak yang shaleh dan shalehah, jika dalam keluarga hancur, amburadul jika penuh dengan caci maki.
Jika seorang ibu berhasil mendidik anak-anaknya dengan sempurna dalam keluarga, maka kita tidak perlu gelisah, Insya Allah mereka akan terbawa ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT, tetapi jika seandainya peran seorang ibu gagal dalam mendidik keluarga maka janganlah kita heran kenapa mereka begitu sulit menuju kejalan yang benar, begitu juga jika seorang wanita berperan sebagai seorang isteri, karena isteri merupakan salah satu penunjang keberhasilan dalam melakukan dakwah sang suaminya.
Jangan pernah kita menyia-yiakan kemuliaan serta kelebihan yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, yaitu dengan julukan “ummu warabbah al-bait (wanita sebagai pengatur rumah tangga yang baik). Wanita shalehah-lah yang selalu memahami akan fitrahnya, ia akan menjadi cahaya bagi peradaban yang akan datang.
12
7. Wanita Tempat Berbagi Suka dan Duka
SEBAGAI wanita shalehah, dibebankan kita untuk melaksanakan tiga kewajiban, yaitu kewajiban kepada Allah, kewajiban kepada suami, dan kewajiban kepada anak-anak.
Kewajiban kepada Allah merupakan kewajiban yang paling utama yang harus dipenuhi oleh seorang wanita. Seorang wanita shalehah-lah yang selalu taat kepada sang suami ia akan mendapat indahnya nikmat syurga bila ia memenuhi kewajibannya kepada seorang suami. Wanita merupakan tempat curahan suka dan duka sang suami jika ia menjadi seorang isteri kelak, alangkah indahnya jika seorang wanita selalu menjadi tempat curahan bagi suami. Kala susah wanitalah yang menjadi arahan dan dorongan sebagai penunjang kesuksesan, dengan senyuman saja keputusan bisa menjadi sebuah harapan serta kegelapan bisa menjadi terang. Saat duka datang, wanitalah yang membuat ketenangan, ia selalu memberi kesejukan, kedamaian yang tak tertandingi.
Kemudian yang terakhir adalah kewajiban seorang wanita terhadap anak-anak, seorang anak bisa tersenyum lebar bila seorang ibu selalu berada di dekatnya, semua suka duka yang ia hadapi hanya nasehat seorang ibu yang bisa membuat ia menjadi lebih bahagia dan tenang.
Ibu merupakan kata penegasan pendidikan pertama, tempat seorang anak mempertanyakan sesuatu yang belum ia mengerti dengan bahasa yang begitu akrab, berjuta harapan serta keinginan yang sangat mendalam tentang semua yang belum ia mengerti, ia merupakan tempat pengaduan yang paling tepat pada saat ia 13
sedang terluka, belaian yang paling tentram saat ia gelisah dan dekapan yang paling aman pada saat ia merasa ketakutan.
Wanita shalehah adalah perpustakaan yang paling lengkap, lapangan yang paling luas, kelas yang paling nyaman. Dan pribadi seorang wanita shalehah tidak bisa tertandingi ketika seseorang membutuhkannya. Betapa besar peranan ia dalam membangun kemajuan bangsa sebuah kisah di antara wanita shalehah yang ia seorang wanita yang paling mahir bersyair, ia mendidik anak-anaknya serta mengorbankan hidupnya untuk membesarkan mereka, ia selalu memberikan semangat kepada anak-anaknya saat anak-anaknya ingin berperang dan ia selalu berpesan kepada anak-anaknya: apabila kalian telah melihat peperangan maka janganlah kalian mundur selangkahpun supaya kalian mendapatkan fahala di akhirat, di negeri keabadian.
Inilah salah satu bukti bahwa betapa besarnya peranan wanita dalam membangun dan mengembangkan generasi Islam. Wanita shalehah bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan si buah hatinya, mengenai hal ini ia tidak pernah mau berpindah tangan kepada orang lain, untuk itu dikatakan bahwa rumahlah madrasah pertama bagi anak-anak, sebegitu pentingnya peranan seorang ibu dalam pendidikan anaknya.
Oleh karena itu, jika di dunia modern seperti saat ini masih ada yang menyia-nyiakan kaum wanita shalehah dan selalu menzaliminya, mudah-mudahan Allah SWT mempertahankan mereka dengan laki-laki yang beriman di akhirat kelak, seperti seorang laki-laki yang mulia. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah ini merupakan doa istri Rasullullah Aisyah ra.
14
8. Wanita adalah Sebagai Manusia Individu
DARI sekian banyak keutamaan-keutamaan yang telah penulis tulis dalam karangan ini, penulis ingin menguraikan tentang wanita dalam Al-Qur’an sebagai manusia individu yang diciptakan oleh Allah SWT dengan sempurna.
Berbicara tentang perbedaan antara wanita sebagai individu dengan wanita sebagai bagian dari masyarakat ialah Al-Qur’an telah memperlakukan wanita sebagai manusia individu baik laki-laki maupun perempuan secara sama, berkenaan dengan spritualitas hak perempuan tidak berbeda dengan hak lelaki. Di dunia ini, setiap individu telah diberikan tanggung jawab dan kemampuan dalam berbicara, berbicara akan kemampuan Allah SWT tidak pernah membeda-bedakan di antara wanita dan laki-laki.
Perlu diketahui, bahwa para pengarang muslim telah mengeluarkan penfsiran inipun mengakui bahwa Al-Qur’an bertujuan untuk menegakkan keadilan. Wanita muslimah pada awal munculnya Islam ikut berperang mendampingi kaum pria, perawat pasukan yang terluka, membantu membalut perban untuk menghentikan darah yang mengalir, memperkuat tulangnya yang patah mempompa semangat perjuangan, berpatroli di antara barisan pasukan, mempertaruhkan nyawanya menentang kematian, merelakan tubuhnya dihantam anak panah.
Semua ini yang akan penulis sebut nantinya sudah pernah dilakukan oleh wanita-wanita muslim yang telah terdahulu. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka, mereka telah menjadi wanita-wanita yang terbaik di dunia ini.
15
9. Hak-Hak Wanita dalam Islam
WANITA adalah mata air kebahagian dalam kehidupan, sumber kasih sayang dan kelembutan wanita adalah tiang dan rahasia kesuksesan laki-laki dalam bekerja. Wanita dapat membagikan keberanian dan semangatnya, wanita adalah teman hidup suaminya, sekaligus menjadi sumber ketenangan batin di dalam kehidupan Islam. Tetapi mengapa masyarakat Arab Jahiliah sangat benci kepada anak perempuan, padahal Allah SWT telah berfirman dalam QS An-Nahlu ayat 58-59 yang artinya: ”Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah mukanya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya, apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburnya ke dalam tanah hidup-hidup? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Berbicara mengenai wanita dalam Islam akan panjang sekali tetapi nyaman, menarik, dan jauh dari sasarannya manis menegakkan jiwa dan menarik hati semenjak menyingsingnya mentari Islam, telah menyempatkan iman kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya. Di dalam Islam, wanita dicipatakan untuk ikut berbagi manis dan pahitnya kehidupan bersama pria, agar ia menjadi tempat bagi pria menyampaikan ceritanya dengan demikian, wanita adalah penasehat pertama bagi manusia sekaligus menjadi pendidik, dan tempat belajar sebelum seseorang mengenal berbicara, wanita shalehah-lah yang menanam kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sifat-sifat terpuji pada diri manusia sehingga ia menjadi orang yang terpandang dan berani.
16
Catatan Penutup
DALAM penulisan ini saya menyimpulkan bahwa wanita shalehah merupakan sosok peranan utama dalam sebuah kehidupan demi menunjang masa depan yang cerah, ia memiliki sifat alamiah dan hakikat dalam menuntun dan mengarah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sebagai wanita muslimah, kita wajib menjaga kodrat-kodrat wanita sebagaimana yang telah diterapkan dalam agama Islam baik itu dari Al-Quran, maupun Al-Hadis, kita hanya bisa menengadah tangan dan pinta kepada Allah SWT, semoga kita menjadi wanita shalehah yang akan melangkah kaki pertama untuk memasuki syurga-Nya.
Referensi
Anonim, 1978, Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Pentafsir Al-Quran, Jakarta.
Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, 2000, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jakarta.
Abdurrahman Ahmad, 1999, Fadhilah Wanita Sholehah, Pustaka Nawawi, Cirebon.
Abu Al-Ghifari, 2003, Wanita bukan Makhluk Penggoda, Mujahid Press, Bandung.
Mahridi Mahdi, 2004, Wanita Ideal Menurut Islam, Pustaka Zahara, Jakarta.
Muhammad Jamil Zainu, 2002, Penghormatan Islam terhadap Wanita, Pustaka Arafah, Solo.
Syaikh Muhammad Umar, 1294 H, Uqudullijjain, Indonesia, Pustaka Jeddah.
Syaikh Abu Bakri bin Muhammad Asy-Syatha, tt, Ianatut Thalibin, Toha Putra, Semarang.
17
18
BIODATA PENULIS
SITI ZALIKHA H. IBRAHIM, lahir di Pulo Keunari, Pidie, 1 Januari 1975. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun dan mengkoordinir MUDI Post. Selain di dayah, ia juga sebagai Mahasiswi Fakultas Syariah STAI Al-‘Aziziyah, Samalanga, Kabupaten Bireun. Selama ini dipercayakan beberapa jabatan, antara lain: Ketua Sanggar Keputrian Dayah MUDI Mesjid Raya, dan Ketua Bagian Kesejahteraan Mahasiswi STAI Al-‘Aziziyah, Samalanga.
AZIZAH MUHAMMAD, lahir di Paloh Punti, Pidie, 2 Juni 1985. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun dan Mahasiswi Fakultas Dakwah STAI Al-‘Aziziyah Samalanga serta anggota Rabithah Bahasa Arab MUDI Mesjid Raya, Samalanga. Alumni SMU Darussa’dah (Pidie) ini pernah meraih Juara Harapan I Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Tingkat Nasional (2006).
JUNAIDAH MAHMUD, lahir di Gampong Lam Leupung, Aceh Besar, 22 April 1982. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Dayah Putri Ruhul Fatayat, Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar.
MAISARAH H. MUHAMMAD, lahir di Samalanga, 12 Agustus 1984. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun. Sekarang juga tercatat sebagai Mahasiswi Fakultas Syariah STAI Al-‘Aziziyah Samalanga dan anggota Rabithah Bahasa Arab MUDI Mesjid Raya, Samalanga. Mengelola MUDI Post, dengan posisi Wakil Pimpinan Redaksi.
SITI RADHIAH H. RIDHWAN GAPI, lahir di Langsa, 21 Juni 1987. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun. Sekarang juga tercatat sebagai anggota Rabithah Bahasa Arab MUDI Mesjid Raya, Samalanga.
SAFRIDA HAMDANI, lahir di Langsa, 5 April 1987. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga dan Mahasiswi Fakultas Syariah STAI Al-‘Aziziyah, Samalanga, Kabupaten Bireun.
Kumpulan Tulisan Santriwati Aceh
Siti Zalikha H. Ibrahim,
Azizah Muhammad
Junaidah Mahmud
Maisarah H. Muhammad
Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi
Safrida Hamdani
PENGANTAR LAPENA
ALHAMDULILLAH, buku ini sudah lahir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kesederhanaan hasil, buku ini diharapkan dapat menjawab sebagian persoalan di kalangan penuntut ilmu, terutama dari dayah untuk mencurahkan pemikirannya lewat tulisan. Dikatakan sederhana, karena persoalan yang diangkat oleh penulis, masih dirasakan kurang, terutama segi metodologi penulisan. Dapat dikatakan bahwa buku ini, bukan merupakan buku yang sangat ilmiah.
Sebagai bagian dari tim pendampingan penulisan buku ini, kami menyadari bahwa apa yang dituliskan, bisa saja masih ada ruang untuk diperdebatkan. Pun demikian kembali ke persoalan awal, bahwa buku ini ditulis oleh para penulis yang memang baru memulai: buku ini bukan ditulis oleh penulis yang bergelar master atau doktoral atau teungku-teungku yang sudah mempunyai pengalaman yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sungguh tak elok bila membandingkan apa yang ditulis ini dengan kemampuan pembaca yang mungkin melebihi dari pengalaman para penulis.
Kami mengharapkan adanya proses penyempurnaan dari buku ini yang berlangsung terus-menerus dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan di Aceh pada masa depan. Bagi pembaca yang merasakan bahwa masih ada sesuatu yang bisa diperdebatkan, tentu akan berusaha mengajak diskusi secara mendalam dengan penulis. Demikian juga penulis, dengan adanya buku ini, setidaknya akan menyadari bila di kemudian hari merasakan ada kekurangan dari tulisannya.
Pada akhirnya buku ini menjadi media untuk saling menyempurnakan yang prasyaratnya selalu harus ada dua pihak di dalamnya: ada penulis dan ada pembaca.
Seperti yang kami kemukakan di awal, bahwa buku ini tidak terlalu ilmiah. Dari awal, kami menyerahkan kebebasan kepada penulis untuk menuliskan pemikirannya. Untuk membantu proses ini, kami melaksanakan dua kali workshop penulisan.
Buku ini sendiri dihasilkan dari sebuah program dengan jangka waktu empat bulan, yang dilaksanakan Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh dengan biaya dari Satker BRR – Pemulihan dan Peningkatan Kualitas Kehidupan Keagamaan NAD-Nias. Untuk menghasilkan sebuah buku, bagi penulis pemula, waktu empat bulan tersebut dirasakan sangat singkat. Memahami kondisi ini, Lapena meminta dua kali perpanjangan waktu, dan Satker BRR menerima permintaan ini dan menambah waktu hingga program ini berakhir pada 15 Desember 2006.
Nama program ini adalah workshop dan Penulisan Buku Oleh Santriwati Dayah Salafiah di Aceh. Seluruh santriwati dayah salafi dibuka kesempatan untuk ikut program ini, yang diundang melalui selebaran yang dikirim ke dayah-dayah dan memasang iklan di Harian Serambi Indonesia, masing-masing pada 10 Juli 2006 dan 13 Juli 2006. Panitia juga berusaha melakukan kontak dengan beberapa
dayah dan meminta secara langsung. Penyebaran ini juga masih terbantu dengan pemberitaan di Harian Serambi Indonesia pada 11 Juli 2006 pada halaman 2.
Iklan tersebut memberi batas waktu sampai dengan 10 Agustus 2006. Dalam batas waktu tersebut, ada 64 santriwati yang menelepon panitia menanyakan syarat dan proses penulisan intisari karya tulis sebagaimana yang dimintakan panitia. Namun sampai 10 Agustus 2006, karya yang masuk ke panitia hanya enam karya. Panitia memperpanjang dua hari lagi sampai 12 Agustus 2006 dengan alasan ada beberapa santriwati yang menelepon mengaku sedang membuat intisari tulisannya, tapi tetap tak ada karya yang bertambah.
Keenam intisari tulisan yang masuk ke panitia, yakni: Siti Radhiah (Aurat wanita dalam perspektif Islam), Maisarah (Poligami dalam Islam), Azizah Muhammad (Aborsi, Halal atau Haram?), Safrida (Wanita dalam Bingkai Islam), Siti Zalikha (Keluarga Berencana dalam perspektif Islam), dan Junaidah (Insaf).
Enam intisari tulisan inilah yang kemudian diundang untuk mengikuti presentasi di hadapan tim penilai yang telah ditentukan. Dalam pertemuan pertama dengan penulis, ada satu permintaan penulis yang akhirnya disepakati antara tim penilai, penulis, dan panitia, yakni menyepakati keenam orang yang mengirimkan intisari tulisannya untuk bisa mengikuti program ini. Presentasi dilakukan pada 26 Agustus 2006 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan workshop penulisan pada 27 Agustus 2006. Kedua kegiatan berlangsung di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Panjangnya jangka waktu antara pengumuman dengan pelaksanaan workshop lebih disebabkan oleh hal teknis, khususnya dalam hal komunikasi dan budaya. Awalnya panitia kesulitan mencari tempat karena menyangkut dengan santriwati. Setelah hal ini dikomunikasikan dengan pimpinan MUDI, alhamdulillah, ditanggapi dengan sangat baik dan pimpinan MUDI menawarkan dayah yang berhadapan dengan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-‘Aziziyah, Samalanga ini sebagai tempat pelaksanaan workshop. Tak menunggu waktu, panitia langsung mengkomunikasikan dengan orang-orang yang akan terlibat di dalamnya.
Workshop dilakukan untuk mendapatkan rumusan tentang rencana tindak lanjut dalam penulisan buku beserta memperdalam tema-tema yang sudah ditulis. Dari workhop, bisa menentukan rancangan sistematika secara jelas buku santriwati ini. Workshop ini juga sangat membantu santriwati untuk mengkomunikasikan berbagai persoalan yang dihadapi dalam proses penulisan buku ini.
Dalam workshop tersebut, menghadirkan pemateri, antara lain: Drs. Fuad Mardhatillah UY. Tiba, M.A (Staf Ahli Kepala BRR Bidang Transformasi Sosial), M. Rizwan Ali, S.Ag., M.A (Penulis dan Staf Pengajar Universitas Malikul Saleh), Teungku M. Jafar, S.HI (STAIN Lhokseumawe), Sulaiman Tripa, dan D. Kemalawati. Materi yang dibahas masing-masing: Strategi Menulis, Menulis: Hal yang Boleh dan Tak Boleh Dilakukan dalam Menulis, Menulis di Dayah: Antara Populer dan Ilmiah, Bagaimana Menjadi Penulis, dan Manajemen Waktu dalam Menulis.
Workshop ini dibuka oleh Deputi BRR Bidang Sosial, Agama dan Budaya, Dr. Teuku Safir Wijaya, yang dihadiri oleh pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya, Satker Agama (diwakili Juniazi Yahya, S.Ag), Manager Dayah BRR (Teungku Muntasir), Rakhmat Fadhli (BRR), peserta penulis, dan santriwati nonpenulis yang diharapkan akan menjadi penulis nantinya.
Panitia sengaja melibatkan sekitar 37 santriwan dan santriwati dalam workshop ini karena ada keinginan untuk lahirnya banyak menulis dari dayah. Jadi di samping para penulis buku yang merasakan manfaat, pelaksanaan acara tersebut di dayah juga sangat membantu santri dalam mengkomunikasikan permasalahan menulis yang dialami oleh mereka.
Khusus bagi penulis buku, melalui kegiatan tersebut, mereka membuat rencana penulisan tiga bulan dengan tema-tema yang sudah ada dan ada yang diubah. Penulis akan melakukan riset kepustakaan untuk menentukan sistematika secara jelas. Keenam penulis juga sudah mempunyai outline tentang masalah yang akan dikembangkan dan ditulis.
Sejak selesai workshop itulah penulis mulai melakukan penulisan buku ini. dalam masa tiga bulan tersebut, dengan dibantu seorang fasilitator dari Rabithah Raliban Aceh (Salwa Hayati, S.Ag), panitia selalu menjalin komunikasi melalui telepon dengan dua kali tatap muka untuk melakukan evaluasi terhadap buku yang ditulis.
Dalam proses pendampingan ini, masalah yang muncul paling banyak adalah persoalan teknis menulis sebagaimana telah disampaikan dalam workshop pertama. Hingga naskah yang dikirim ke panitia pada minggu kedua November 2006, keluhan penulis masih pada seputar teknis menulis tersebut.
Seperti yang direncanakan dari awal, bahwa atas naskah yang sudah dikirim, panitia juga meminta penulis untuk mendiskusikan dengan tim yang diundang pada workshop kedua yang berlangsung di Banda Aceh pada 26 November 2006. Workshop kedua ini, mendiskusikan naskah yang dikirim kepada panitia masing-masing berjudul: Jilbab dan Aurat Wanita dalam Konteks Islam (Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi), Islamikah Tradisi Jilbab Kita? (Siti Zalikha H. Ibrahim), Hubungan Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam (Junaidah Mahmud), Poligami dan Hak Keistimewaan dalam Islam (Maisarah H. Muhammad), Hak Wanita dalam Pembagian Warisan (Azizah Muhammad), dan Keutamaan Wanita Salehah dalam Islam (Safrida Hamdani).
Untuk membantu kegiatan ini, ada beberapa orang yang mengkritisi tulisan, yakni: Prof. Dr. Syahrizal (IAIN Ar-Raniry), Dr. Nurjannah Ismail, M.A (IAIN Ar-Raniry), Drs. Fuad Mardhatillah UY. Tiba, M.A (Staf Ahli Kepala BRR Bidang Transformasi Sosial), Dr. Mohd Harun Al Rasyid (FKIP Unsyiah), Sulaiman Tripa dan D. Kemalawati (Lapena). Namun Prof. Dr. Syahrizal tidak bisa hadir karena ada kegiatan penting lain dan beliau menitipkan tulisan yang telah diberi catatan-catatan kepada penulis. Harus diakui, bahwa waktu yang mendadak sangat berpengaruh kepada proses pembacaan naskah secara mendetail.
Ada satu hal penting yang umumnya dikomentari tim pengkritisi saat itu, bahwa kemampuan untuk menulis sudah mulai terlihat, walau harus diakui, menurut pengkritisi, isi tulisan masih ada ruang untuk diperdebatkan.
Kami, tentu harus menegaskan bahwa para pengkritisi yang melihat tulisan ini, telah berdiskusi dengan penulis atau memberikan catatan, tapi proses penyempurnaan tulisan, sepenuhnya dilakukan oleh penulis sendiri. Jadi, isi dalam buku ini adalah pemikiran dari penulis.
Bagi kami sendiri, isi sangat penting untuk menegaskan bagaimana pemikiran penulis terhadap khalayak, walau masih ada hal-hal yang perlu diperdebatkan. Namun demikian, rangsangan untuk menulis juga harus diberikan seiring dengan penekanan pentingnya isi dari apa yang ditulis tersebut.
Atas dasar tersebut, kami sendiri ingin menyampaikan bahwa: kalaulah nantinya dari tulisan ini masih ada kekurangan, bukankah ini kemudian bisa didiskusikan secara terus-menerus dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan –khususnya ilmu pengetahuan agama di Aceh: tanah yang pernah berkibar dengan pemikiran-pemikiran Islam pada masa lalu?
Kemudian dalam melakukan pengeditan bahasa, ada beberapa penulis yang sepertinya berbahasa Melayu yang kental, sehingga dengan komunikasi dengan penulis berusaha diarahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Inilah sambutan kami atas pengalaman lebih dari empat bulan mendampingi program ini. Banyak orang yang memiliki kontribusi hingga buku ini menjadi sebuah kenyataan.
Atas terbitnya buku ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak: Bapak Teuku Safir Wijaya, Bapak Fuad Mardhatillah, Bapak Hasan Basri M. Nur, Teungku Muntasir, Bapak Rakhmat Fadhil, Bapak Taufiq, Bapak Juniazi, Bapak Syahrizal, Ibu Nurjannah, Teungku M. Jakfar, Bapak Rizwan Ali, serta Ibu Salwa Hayati yang telah membantu dan ikut memberi kontribusi dalam kegiatan ini.
Selain semua orang yang telah disebutkan di atas, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Teungku Hasanul, selaku pimpinan MUDI Mesjid Raya yang menerima kami dengan tangan terbuka. Kemudian teman-teman di MUDI Post (Teungku Saiful, Teungku Andi, dan teman-teman) yang turut membantu Lapena lewat kegiatan ini –kami berharap pertemuan itu bisa berarti bagi masa depan penulisan di dayah.
Selain itu, tentu banyak yang lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Teman-teman di Lapena: Saiful, Erwin, Sari, Mutia, terima kasih atas semangat yang ikhlas.
Sekecil apapun, kami sangat mengharapkan buku ini akan bermanfaat bagi perjalanan peradaban di masa depan, seraya memohon maaf atas kekurangan kami yang mungkin tidak memuaskan.
Semoga. Amien.
Lamnyong, 2 Desember 2006
Helmi Hass
Sulaiman Tripa
Mohd. Harun Al Rasyid
D. Kemalawati
PENGANTAR BRR
SEJAK zaman dahulu, tradisi menulis dalam masyarakat Aceh didominasi kaum laki-laki, meskipun sejumlah tokoh perempuan Aceh pernah memegang tampuk kekuasaan dalam pemerintahan atau menjadi komandan perang di medan laga. Akibatnya, wacana pemikiran, terutama dalam aspek sosial-keagamaan, dinilai sering bias gender. Kaum perempuan kerap disodori hasil ijtihad ulama laki-laki untuk diikuti dan diamalkan, dengan tanpa menanyai pendapat kaum perempuan itu sendiri.
Dominasi kaum laki-laki dalam kehidupan sosial-keagamaan saatnya untuk diakhiri. Keterlibatan kaum perempuan dalam mewarnai khazanah intelektual dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan non-formal, seperti pesantren tradisional yang di Aceh dikenal sebagai dayah salafiyah. Jika diberi ruang gerak yang cukup, pengajar perempuan dan santriwati di dayah salafiyah ternyata memiliki potensi untuk mengembangkan diri. Hanya saja selama ini perhatian kepada mereka sering terabaikan. Dan, ini merupakan sebuah dosa kita pada umat.
Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias melalui Direktorat Agama telah membuka wawasan baru dalam kehidupan di dayah salafiyah. Direktorat Agama BRR bersama Lapena (Institute for Culture and Society) Banda Aceh telah mendorong dan memfasilitasi santriwati untuk mengekspresikan gagasan yang selama ini terpendam. Hasilnya, sebanyak enam orang santriwati yang berasal dari dayah-dayah salafiyah di Aceh melakukan kajian keagamaan mengenai perempuan dari perspektif Islam. Kajian yang dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan itu kemudian dirangkum menjadi sebuah buku berjudul: Wanita dan Islam: Kumpulan Tulisan Santriwati Aceh.
Enam orang santriwati itu berasal dari dua dayah terbesar di Aceh, yaitu Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (Mudi) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun dan Dayah Ruhul Fatayat, Seulimuem, Aceh Besar. Para santriwati ini menulis enam topik yang antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Kajian dan ulasan mereka cukup menarik untuk dibaca, karena merupakan pemikiran orisinil pelajar pesantren tradisional dengan merujuk pada sumber-sumber utama Islam, Al-Qur’an dan Hadits, di samping tetap memperhatikan karya-karya ulama klasik dan modern.
Buku ini merupakan karya perdana santriwati dayah salafiyah di Aceh. Kerja keras para penulis -- Siti Zalikha, Azizah Muhammad, Siti Radhiah, Maisyarah, Junaidah Mahmud dan Safrida Hamdani -- patut dihargai dan diharapkan menjadi inspirator bagi lahirnya penulis-penulis baru di kalangan perempuan Aceh, khususnya di kalangan pesantren. Upaya mencurahkan pikiran dan menggoreskan tinta di atas kertas untuk kemudian disebar dalam masyarakat merupakan sesuatu yang sangat berharga. Karya ini diharapkan akan menjadi bahan rujukan dan bahan bacaan masyarakat luas sekaligus memperkaya khazanah intelektual Aceh.
Mudah-mudahan dengan lahirnya karya ini akan mendorong keinginan perempuan Aceh lainnya untuk bertafakkur dan menuangkan gagasannya dalam
tulisan, sehingga mempermulus jalan bagi terwujudnya era renaissance Aceh. Sejatinya perempuan Aceh melahirkan karya-karya yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat, sehingga umat tidak hanya terpaku pada karya-karya klasik warisan ulama abad pertengahan, yang mayoritas merupakan karya kaum laki-laki. Kepada para penulis diharapkan untuk terus mengembangkan potensi diri, sehingga menemukan jati diri yang sesungguhnya dalam upaya menuju sosok transformator dalam masyarakat.
Akhirnya, kepada tim kecil Lapena -- Sulaiman Tripa, Helmi Hass, Mohd. Harun Al Rasyid, D. Kemalawati -- yang telah bersusah payah dalam memfasilitasi dan mengarahkan para penulis hingga diluncurkannya karya ini ke publik diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Ungkapan senada juga disampaikan kepada Bapak T. Safir Iskandar Wijaya, Deputi Bidang Agama, Sosial dan Budaya BRR NAD-Nias, Sdr. Syafiq Hasyim, gender advisor pada BRR NAD-Nias, Bapak H.Fuad Mardhatillah UY.Tiba, Staf Ahli Transformasi Sosial BRR NAD-Nias, Bapak Rahmad Fadli, Plt. Direktur Agama BRR NAD-Nias, Teungku Muntasir, Manager Pengembangan Dayah BRR NAD-Nias, Teungku Hasanoel Bashry, Pimpinan Dayah MUDI Samalanga, Waled Husaini, pimpinan Dayah Ruhul Fatayat Seulimuem, serta Sdr. Juniazi dan Sdr. Erawadi, staf satuan kerja Pemulihan dan Pengingkatan Kualitas Keagamaan BRR NAD-Nias. Semoga jerih payah mereka mendapat imbalan setimpal dari Sang Pencipta. Amien.
Selamat membaca!
Banda Aceh, 02 Desember 2006
Manager Agama
BRR NAD-Nias
Hasan Basri M. Nur
DAFTAR ISI
PENGANTAR LAPENA
PENGANTAR BRR
Bagian Satu:
ISLAMIKAH TRADISI JILBAB KITA?
> > > Siti Zalikha H. Ibrahim
Bagian Dua:
HAK WANITA DALAM PEMBAGIAN WARISAN
> > > Azizah Muhammad
Bagian Tiga:
HUBUNGAN PRIA DAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
> > > Junaidah Mahmud
Bagian Empat:
POLIGAMI DAN HAK KEISTIMEWAAN DALAM ISLAM
> > > Maisarah H. Muhammad
Bagian Lima:
JILBAB DAN AURAT WANITA DALAM KONTEKS ISLAM
> > > Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi
Bagian Enam:
KEUTAMAAN WANITA SALEHAH DALAM ISLAM
> > > Safrida Hamdani
BIODATA PENULIS
Bagian Satu
ISLAMIKAH TRADISI JILBAB KITA?
Oleh: Siti Zalikha H. Ibrahim
KESADARAN dalam menjalankan petunjuk agama adalah ciri wanita muslimah yang selalu berhati-hati dalam segala hal, khususnya dalam berpakaian dan berpenampilan. Jilbab menjadi pakaian kebanggaan mereka, dan selalu berusaha untuk tampil yang terbaik, tidak berlebih-lebihan dan menyerupai wanita kafir. Dia tidak mau terperangkap pada perbudakan mode yang diatur oleh toko-toko busana dan orang-orang yang tidak mengakui kebesaran Allah, seperti yang dilakukan oleh wanita-wanita pemboros dan bodoh.
Pernahkah terlintas di benak kita, mengapa mereka berjilbab? Dan siapa yang menyuruhnya? Mereka sadar bahwa itu adalah perintah Allah bukan karena mengikuti mode dan adat istiadat yang diwariskan oleh orang tua mereka. Seperti halnya kebanyakan wanita-wanita sekarang, mereka berpakaian layaknya dikatakan sebagai pembungkus tubuh, karena sempit, sehingga keindahan dan kecantikan tubuh menjadi tontonan dan dinikmati oleh orang-orang yang tidak berhak. Itu karena pengaruh mode yang semakin hari semakin bertambah deras lajunya dengan terbentang berbagai sarana informasi yang tidak mengenal batas dan waktu. Mereka beranggapan bahwa itu adalah busana muslimah yang sebenarnya. Padahal sebahagian aurat mereka terpampang keluar, seperti muka, leher, tangan dan kaki,
Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah, karena mereka salah persepsi tentang jilbab, di samping karena keimanan mereka yang sangat menipis.
1. Konsepsi Jilbab Menurut Al-Quran
1.1. Jilbab dalam Terminologi Al-Quran
Kata “Jilbab” jamaknya “Jalabib” menurut Kamus Arab-Indonesia Terlengkap Al-Munawwir (1997), adalah: baju kurung panjang sejenis jebah.
1
Menurut Syaikh Imad Zaki Al-Barudi (2003: 642), di dalam bukunya “Tafsir Wanita”, Jilbab adalah pakaian yang meliputi tubuh wanita di luar pakaian dalamnya dan tutup kepala (khimar).
Menurut Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya “Al-Kasysyaf”, Jilbab adalah pakaian yang lebih luas daripada kerudung tetapi lebih sempit daripada selendang.
Menurut Ibnu ‘Athiyyah di dalam tafsirnya “Al-Muharrirul-Wajiiz”, Jilbab adalah pakaian yang lebih besar dari pada kerudung. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dan Ibnu Mas’ud ra bahwa jilbab adalah rida’ (selendang).
Menurut Al-Khathib Asy-Syarbini di dalam Tafsirnya “As-Sirajul Munir”, Jilbab adalah segala sesuatu yang dipergunakan untuk menutupi, baik yang berupa pakaian luar, pakaian dalam, dan pakaian yang digunakan untuk menutupi (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 45-47).
Allah SWT dalam QS 33 ayat 59 berfirman:
يايهاالني قل لازواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابهن ذلك
ادنى ان يعرفن فلايؤذين وآان الله غفورارحيما
”Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat tersebut jelas bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh agar terbeda dengan yang bukan muslimah.
Para Mufassirin berbeda pendapat mengenai bentuk penjuluran jilbab yang diperintahkan Allah. Sebahagian mereka berpendapat: Allah SWT memerintahkan kepada istri-istri kaum mukmin jika keluar rumah untuk suatu keperluan, hendaknya mereka menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab, dan hendaknya menampakkan hanya satu mata.
Sebahagian yang lain mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan mengulurkan jilbab adalah mengikat jilbab pada dahi. Tetapi kedua pendapat tersebut menyebutkan bahwa mereka harus berjilbab dan menutup wajah dengan jilbab (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 45).
2
Basyar berpendapat: Allah memerintahkan kepada wanita merdeka untuk menurunkan jilbab ke keningnya, supaya mudah dikenal dan tidak diganggu. Karena kala itu para budak jika berjalan selalu diganggu (Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, 2003: 640).
Al-Wahidi di dalam tafsirnya “Al-Wajiiz fi Tafsiril Qur’anil ‘Aziz”, berpendapat: Allah memerintahkan mereka untuk melabuhkan selendang dan selimut mereka agar diketahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka.
Ibnu Abbas dan Ubaidah as-Salmani berpendapat: yang demikian itu diperintahkan Allah, apabila si wanita melipatnya sehingga tidak nampak darinya kecuali hanya satu mata yang dengannya dia melihat. Ibnu Abbas dan Qatadah juga berpendapat, yang demikian itu apabila si wanita melipatkan jilbab ke dahi dan mengikatkannya kemudian menjulurkannya ke hidung, menutup dada dan sebahagian besar wajah, yang tampak adalah kedua belah matanya.
Asy-Syarbini di dalam tafsirnya “As-Sirajul” Munir berpendapat: Jika yang dimaksud dengan “jilbab”adalah gamis1, maka yang dimaksud dengan mengulurkannya adalah: menyempurnakannya hingga menutup tubuh dan kedua kaki. Apabila yang ditutup itu kepala, maka maksudnya adalah: menutup wajah dan leher. Jika yang dimaksud adalah yang menutup pakaian, maka maksud mengulurkan di situ adalah: memanjangkan dan melonggarkannya hingga menutupi seluruh tubuh. Dan jika yang dimaksud selain selimut atau kerudung, maka artinya adalah menutup wajah dan kedua tangan.
Dari pendapat Mufassirin tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa mengulurkan jilbab itu mengandung banyak keadaan (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 45), yaitu: Pertama, mengulurkan ke wajah dan menampakkan satu mata; Kedua, mengulurkannya hingga ke kening; Ketiga, mengulurkannya ke wajah dan menampakkan kedua mata; Keempat, mengulurkan selendang dan selimut; Kelima, memakai jilbab atau menghias diri dengan sebahagian jilbab yang mereka miliki; Keenam, menutup kepala dengan selimut yang meliputi tubuh mereka; Ketujuh, jika yang dimaksud dengan jilbab itu qamis (baju
1 Gamis adalah: Jebah atau baju kurung yang longgar dan panjangnya sampai menutupi mata kaki.
3
panjang), maka mengulurkannya hingga menutup dan kedua kakinya; Kedelapan, jika yang dimaksud dengan itu adalah sesuatu yang menutup kepala, maka mengulurkannya adalah ialah menutup wajah dan lehernya; Kesembilan, jika yang dimaksud dengan “jilbab” itu sesuatu yang menutup pakaian, maka mengulurkannya adalah memanjangkan dan meluaskannya sehingga menutup tubuh dan pakaiannya; Kesepuluh, jika yang dimaksud dengan “jilbab” itu lebih kecil daripada selimut, maka mengulurkannya adalah menutup wajah dan kedua tangan.
Sebagian Ulama yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “jilbab” adalah sesuatu (kain) yang menutupi kepala, wajah dan badan, di atas pakaian luar, apabila hanya yang menutupi kepala disebut khimar.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa, yang dimaksud dengan “jilbab” yang sebenarnya menurut Al-Qur’an (syara’) adalah sesuatu yang menutupi aurat, bukan yang hanya menutupi kepala saja.
Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 31 berfirman:
وقل للمؤمنات يغضضن من ابصارهن ويحفظن فجورهن ولايبدين زينتهن الا
ماظهر منها وليضربن بخمورهن على جيوبهن ولايبدين زينتهن الا لبعولتهن
اوءابايهن اوءاباء بعولتهن اوابنايهن اوابناءبعولتهن اواخوانهن اوبني اخوانهن
اوبني اخواتهن اونسايهن اوماملكت ايمانهن اوالتابعين غير اولى الاربة من
الرجال اوالطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولايضربن بارجلهن ليعلم
مايخفين من زينتهن وتوبواالى الله جميعا ايه المؤمنون لعلكم تفلحون
”Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlahmereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecualikepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara- saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka,atau putra-putra saudara perempuan mereka,atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”
4
Ibnu Mas’ud dan para Jama’ah menafsirkan kata-kata الاماظهر adalah pakaian luar. Sebahagian yang lain menafsirkannya dengan wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat yang pertama lebih shahih karena lebih sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan dengan kedua ayat yang telah disebutkan. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa artinya adalah wajah dan telapak tangan, ada sebagian ahli ilmu menyatakan bahwa pendapat itu berlaku sebelum turunnya ayat hijab, yang mewajibkan para istri Nabi dan wanita muslimah lainnya untuk menutup wajah dan telapak tangannya di segala kondisi.
خمور Dari firman Allah di atas dapat dipahami bahwa: Lafadz adalah jamak dari خمار artinya: penutup kepala dan sekitarnya. Disebut khimar karena fungsinya menutupi apa yang ada di bawahnya. جيب di Kata- kata dalam ayat tersebut bermakna lubang pakaian, jika khimar dipakaikan ke atas kepala dan wajah maka lubang tersebut tertutupi.
ولايبدين زينتهن Selanjutnya firman Allah hingga akhir ayat, yang dimaksud dengan zinnah dalam ayat tersebut adalah mencakup wajah, dan anggota tubuh. Itu artinya wanita wajib menutup seluruh zinnahnya agar tidak diganggu dan menyebarkan fitnah (Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001: 4).
Kebanyakan ulama tafsir terjadi khilaf pendapat dalam menafsirkan kata-kata الا الا ماظهر الا yang ada pada firman Allah sebagian berpendapat di situ bermakna “tetapi (istisna munqathi’)”.2 Sebagian yang lain mengatakan “tetapi (istisna’ muttashil”).3
الا Apabila diartikan dengan tetapi (istisna munqati’), ini bermakna: “Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali,” tetapi apabila tidak sengaja, seperti ditiup angin dan lain-lain, maka itu dapat dimaafkan.
Dan apabila diartikan dengan tetapi (istisna muttashil), ini bermakna: “Janganlah wanita- wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) kecuali apa yang tampak.” Redaksi ini jelas keliru, karena apa yang tampak tentu sudah kelihatan, jadi tidak ada hikmahnya dilarang.
2 Istisna Munqathi’ adalah: istilah Bahasa Arab, artinya: yang dikecualikan bukanlah bagian / jenis yang disebutkan sebelumnya.
3 Istisna Muttashil adalah istilah Bahasa Arab, artinya: yang dikecualikan merupakan bagian / jenis yang disebutkan sebelumnya.
5
Ada juga yang berpendapat, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat tersebut. kalimat dimaksud menjadi penggalan ayat dan mengandung makna: ”Janganlah mereka (wanita-wanita)menampakkan hiasan (badan mereka).Maka apabila disengaja berdausa,dan apabila tidak disengaja dimaafkan.”
Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa, tidak ditentukan batas hiasan yang boleh dinampakkan,sehingga seluruh anggota badan tidak boleh nampak kecuali dalam keadaan terpaksa (Quraish Shihab, 2005: 173).
Sabda Rasulullah Saw:
فاعتدي في بيت ابن عمك ابن ام مكتوم فاءنه ضرير البصر وانك اذا وضعت
خمارك لم يرك
”Jalanilah masa ‘iddahmu di rumah anak pamanmu Ibnu Ummi Maktum, karena dia adalah seorang laki- laki yang buta mata dan jika engkau melepas kerudungmu ia tidak dapat melihatmu.”
Hadits tersebut adalah dalil wajibnya seorang wanita menutup wajah dan seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Sedangkan dalil yang menunjukkan keharaman seorang laki-laki melihat lawan jenisnya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizi dari Buraidah ra, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib ra (Abu Ubaidah, 2005: 37):
يا علي لاتتبع النظرة النظرة فاءنما لك الاولى وليست لك الاخرة
”Hai Ali, jangan engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya) karena boleh bagimu yang pertama tapi tidak yang berikutnya.”
Selanjutnya ada juga yang memahami kata-kata:“kecuali apa yang tampak” dalam arti yang biasa dan dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak. Kebutuhan yang dimaksudkan disini apabila menimbulkan kesulitan jika bagian badan tersebut ditutup.Mayoritas Ulama memahami penggalan ayat tersebut dengan pendapat yang ketiga ini.
1.2. Pakaian Muslimah dalam Ketentuan Al-Qur’an
6
Pakaian dan perhiasan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan selalu identik dengan wanita. Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah untuk pakaian, yaitu: Libas, tsiab dan sarabil4. Kata libas dimaksudkan dalam Al-Qur’an, pakaian lahir maupun batin, yang makna dasarnya adalah: penutup, apapun yang ditutup tidak harus kepada “menutup aurat” (Quraish Shihab, 2005: 155).
Ada juga yang berpendapat, Libas adalah pakaian atau busana yang biasa dipakai kaum wanita, meskipun sampai menutup wajahnya, namun masih memungkinkan wanita memandang laki-laki. Dan itu adalah pakaian yang dipakai untuk umum wanita, sebalik hijab, hanya terkhusus kepada istri-istri Nabi (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 26).
Sedangkan tsiab menunjukkan pakaian lahir, yang diambil dari kata-kata “tsaub,” artinya kembali, yaitu kembali kepada keadaan semula sesuai dengan ide pertamanya .
Firman Allah SWT dalam QS Al-A’raf ayat 22:
فلما ذاقاالشجرة بدت لهما سوءتهما وطفقا يخصفان عبيهما من ورق الجنة
”Setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu, tampaklah bagi keduanya aurat auratnya,dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun syurga.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah “tertutupnya aurat”, namun karena godaan syaitan aurat manusia terbuka. Dengan demikian,menutup aurat dengan pakaian adalah kembali kepada ide dasar.
Karena membuka aurat merupakan ide syaitan maka tanda-tanda kehadiran syaitan adalah terbuka auratnya.
Istilah yang ke tiga untuk pakaian adalah “sarabil,” dalam Al-Qur’an disebutkan di dalam dua ayat, yaitu: pertama, QS An-Nahlu ayat 81, diartikan dengan pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya
4 Kata Libas disebutkan dalam Al- Qur’an sebanyak sepuluh kali, tsiab delapan kali dan sarabil tiga kali.
7
dalam peperangan; Kedua, QS Ibrahim ayat 50, yang menceritakan tentang pakaian orang-orang yang berdosa di hari kemudian ”pakaian mereka dari pelangkin”.
Dari penjelasan ini dapat terpahami bahwa, pakaian ada juga berfungsi sebagai alat penyiksaan,itu karena mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT (Quraish Shihab, 2005: 159-161).
Disyari’atkan berpakaian bagi wanita, elain untuk menutup tubuh juga untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan terbeda dari yang lain dan sebagai penghormatan bagi wanita muslimah. Itu artinya Islam sangat memperhatikan dan menyempurnakan keadaan wanita ketika keluar rumah agar lebih terjaga dan terpelihara. Pernahkah kita melihat bahwa: wanita yang sering diganggu oleh lelaki jalang adalah mereka yang suka bersolek ala Jahiliyah dan berpakaian tetapi nampak sebahagian aurat mereka?
Fakhrur Razi berkata: ”Pada masa Jahiliyah wanita-wanita merdeka dan budak sama-sama keluar rumah dengan terbuka kepala dan wajahnya, maka mereka selalu dikuntit oleh para pezina sehingga terjadilah berbagai tuduhan dan prasangka. Karena itulah Allah memerintahkan kepada wanita-wanita merdeka untuk memakai jilbab (berbusana muslimah).” (Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, 2003: 642).
Dan mereka (wanita Jahiliyah) juga suka melemparkan ujung kerudung kepala ke arah punggung, dengan memperlihatkan leher dan telinga mereka. Allah melarang hal tersebut dengan firman dalam QS Al-Ahzab ayat 33:
ولاتبرجن تبرج الجهلية الاولى
”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dulu.”
Sabda Rasulullah Saw (HR Ahmad dan Muslim):
وعن ابي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صنفان من اهل
النار لم ارهما: قوم معهم سياط آاذناب البقريضربون ناس ونساء آاسيات عاريات
مميلات مايلات رءوسهن آاسنمة البخت المايلة لايدخلن الجنة ولايجدن ريحها
ليوجد من مسيرة آذاوآذا
8
”Dan dari Abi Hurairah ra berkata: Sabda Rasulullah saw: ada dua golongan ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya, yaitu kaum lelaki memegang cemati bagaikan ekor sapi dipukulkan pada orang lain, dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, serong dan menyerongkan, kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring. Mereka tidak bisa masuk syurga dan tak bisa merasakan baunya, padahal bau syurga itu sebenarnya dapat dirasakan dari jarak sekian-sekian.”
Yang dimaksud dengan kata-kata “dua golongan ahli neraka” dalam hadits di atas adalah: sebagai kecaman terhadap dua golongan tersebut. Menurut Imam An-Nawawi, hadits ini termasuk di antara sekian mu’jizat Nabi. Karena kedua-dua golongan itu benar-benar ada pada masa An-Nawawi.
Asy-Syaukani meneruskan keterangannya: Adapun yang dimaksud dengan kata-kata “berpakaian tapi telanjang” menurut salah seorang ulama maksudnya: mau menikmati anugerah Allah tapi enggan mensyukurinya. Ada juga yang mengartikan: menutupi sebagian tubuhnya dan membiarkan bagian yang lain terbuka, agar kecantikannya dilihat orang. Dan ada juga yang mengartikan: memakai pakaian tipis transparan sehingga warna kulitnya tetap kelihatan (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, tt, 129).
Allah SWT, telah menciptakan bentuk tubuh wanita berbeda dengan laki-laki, wanita memiliki bentuk tubuh yang indah dan menarik, sehingga realitas kehidupan manusia mengakui hal tersebut, yaitu laki- laki berhias dan berpakaian yang menutupi seluruh tubuh hampir tidak ada yang nampak kecuali muka dan tangan. Sedangkan kaum wanita berhias dan berpakaian yang kelihatan aurat dan bentuk tubuh mereka. Itu disebabkan karena bentuk tubuh laki-laki yang kasar dan kurang menarik, sedangkan bentuk tubuh wanita terlihat lebih indah, lembut dan menarik.
Padahal Allah membedakan penutup tubuh laki-laki dan wanita adalah karena berbeda tingkatan fitnah dan lapangan kerja masing-masing. Tubuh laki- laki tidak menimbulkan rangsangan khusus kepada wanita, sebaliknya wanita dengan kelembutan dan keindahan bentuk tubuh mereka dapat menimbulkan rangsangannya tersendiri bagi laki- laki.
9
Begitu juga pekerjaan pokok masing-masing mereka, laki-laki bekerja mencari rezeki di luar rumah dengan berbagai macam pekerjaan, sungguh dapat merepotkan bila harus menutupi seluruh tubuh mereka. Sedangkan wanita bekerja di rumah mengasuh anak-anak, sebahagian besar waktu mereka terlindung di rumah dan tidak perlu menutup seluruh tubuh kecuali ada kebutuhan tertentu yang mengharuskan mereka untuk keluar rumah, apakah itu kebutuhan pribadi atau masyarakat, di saat itulah mereka diwajibkan untuk menutup seluruh tubuh (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 27).
1.3. Fungsi Pakaian menurut Al-Quran
Firman Allah SWT dalam QS Al-A’raf ayat 26, berbunyi:
يابني ءادم قد انزلنا عليكم لباسا يورى سوءتكم وريشاولباس التقوى ذلك خير
”Wahai putra-putri Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga(pakaian)bulu(untuk menjadi perhiasan),dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.”
Maksud dari ayat di atas adalah menjelaskan fungsi dari pakaian,yaitu:
1.3.1. Penutup Aurat
Aurat berasal dari kata “ar” yang berarti “onar, aib,” dan tercela”. Sedangkan anggota tubuh kita tidak satupun ada yang buruk, semua bermanfaat, termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk. Pakaian dalam fungsinya sebagai penutup, tentu akan menutupi segala yang enggan untuk diperlihatkan, sekalipun seluruh badannya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan hukum, aurat adalah anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu (Quraish Shihab, 2005: 161).
Al-Mawaridi, di dalam kitab “Mughni al-Muhtaj” (halaman 221) berpendapat bahwa, aurat wanita selain di hadapan suaminya dibagi kepada dua pembahagian, yaitu “aurat qubra” dan “aurat sughra”. Aurat qubra adalah: aurat yang wajib ditutup ketika shalat, yang meliputi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan aurat sughra adalah: aurat yang haram dilihat oleh siapapun selain suami, yaitu meliputi antara pusat dan lutut.
10
Sayed Abu Bakar Al-Masyhuri di dalam kitabnya “I’anatuththalibin” juz I (halaman 113) berpendapat bahwa, aurat wanita merdeka sekalipun masih anak-anak (belum baligh) terbagi empat, yaitu:
Pertama, seluruh tubuh sampai ke bawah telapak tangan, apabila wanita itu berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki asing yang bukan mahramnya. Menurut salah satu pendapat baik laki-laki itu sepupu, tetangga atau lainnya.
Kedua, antara pusat dan lutut, itu aurat wanita di hadapan mahram atau dalam kegelapan yang tidak seorangpun melihatnya.
Ketiga, bagian-bagian yang biasa terlihat saat melakukan aktivitas di rumah, misalnya, rambut, kepala, leher, kedua tangan dari ujung jari sampai siku, juga kedua kaki dan betis, itu auratnya di hadapan wanita kafir.
Keempat, seluruh tubuh dari atas sampai ke bawah telapak kaki kecuali muka dan telapak tangan, itu terkhusus di dalam shalat.
Syaikh Mustafa Abul Ghaith dan Syaikh Islam Darbalah di dalam bukunya “1000 Tanya Jawab Muslimah” (halaman 501), merincikan pembahagian aurat wanita kepada beberapa pembahagian lagi, yaitu:
Pertama, di hadapan anak-anak. Kondisi anak-anakpun terbagi tiga, yaitu (1) anak-anak yang belum mengerti tentang perhiasan wanita dan belum mempunyai keinginan nafsu pada wanita. Itu boleh seorang wanita menampakkan auratnya, hal tersebut jelas disebutkan di dalam firman Allah SWT QS An-Nur ayat 31:
اوالطفل الذين لم يظهروا على عورت النساء ولايضربن بارجلهن ليعلم
مايخفين من زينتهن وتوبوا الى الله جميعاايه المؤمنون لعلكم تفلحون
”Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki merekaagar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(2) anak-anak yang sudah mengerti tentang wanita tetapi tidak diketahui adanya keinginan kepada wanita, maka seorang wanita boleh memperlihatkan auratnya sebatas yang bisa diperlihatkan di depan mahramnya.
11
(3) anak-anak yang sudah mengerti tentang aurat wanita dan diketahui adanya keinginan pada wanita. Maka dalam kondisi seperti ini seorang wanita wajib menutup auratnya sama seperti di hadapan seseorang yang sudah baligh.
Kedua, dihadapan banci (waria), biasanya seorang waria tidak mempunyai ketertarikan kepada wanita. Maka boleh terhadap seorang wanita menampakkan perhiasannya. Sebagian Ulama mengelompokkan waria tersebut sebagaimana pelayan-pelayan yang tidak memiliki keinginan kepada wanita.
Ketiga, di hadapan orang yang dikebiri, orang yang tidak mampu melakukan hubungan badan, dan di hadapan laki-laki yang sudah tua renta. Aurat wanita di hadapan mereka sama seperti di hadapan maharam, apabila diketahui mereka tidak mempunyai ketertarikan kepada wanita, Tapi bila sebaliknya, artinya diketahui bahwa mereka mempunyai kecenderungan kepada wanita, maka tidak boleh seorang wanita menampakkan auratnya di hadapan mereka (Syaikh Mustafa, 2004: 501-505).
Menurut Ulama Asy-Syafi’iah, seorang laki-laki walaupun sudah tua renta haram hukumnya melihat aurat wanita secara sengaja, karena pada dasarnya laki-laki tetap memiliki ketertarikan kepada wanita. Begitu pula sebaliknya, yaitu haram juga terhadap seorang wanita melihat kepada laki-laki (Al-Malibari, tt, 258-259).
Keempat, di hadapan wanita muslimah, itu dibolehkan terhadap seorang wanita menampakkan auratnya kepada sesama wanita, seperti halnya seorang laki-laki sesema laki-laki, karena pandangan seorang wanita kepada sesamanya tidak dikhawatirkan akan timbul dorongan nafsu syahwat. Yang membolehkan mereka bisa melihat aurat sesamanya adalah karena mereka sama jenis dan lebih ringan bahayanya (Syaikh Mustafa, 2004: 504).
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa, wanita wajib menutup seluruh tubuh mereka kecuali muka dan telapak tangan. Abu Hanifah menambahkan, selain wajah dan dua telapak tangan juga kaki boleh dinampakkan oleh seorang wanita. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita harus ditutup.
12
Terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan batasan aurat wanita, karena berbeda penafsiran mereka terhadap firman Allah:
ولا يبدين زينتهن الاما ظهر منها
”Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.” (Quraish Shihab, 2005: 162)
1.3.2. Identitas Muslimah
Firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
ذلك ادنى ان يعرف
”Yang demikian itu lebih mudah dikenal.”
Identitas atau kepribadian seseorang dapat tercermin lewat penampilan dan cara berpkaian, karena dengan penampilan tersebut seseorang dapat terbeda dengan yang lain. Rasulullah Saw menganjurkan agar berpakaian dan berpenampilan sebagaimana layaknya seorang muslim.
Sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang berbunyi:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم الرجل يلبس لياس المراة والمراة تلبس
لباس الرجل
”Rasulullah SAW.melarang laki-laki memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.”
Dengan penampilan dan cara berpakaian seseorang menggambarkan watak dan menjadi identitas bagi si pemakainya. Karena itu Allah memerintahkan wanita muslimah untuk menutup aurat agar terbeda dengan budak dan wanita nonmuslim sehingga tidak diganggu.
Identitas kepribadian seseorang dapat digolongkan kepada, kepribadian immaterial (ruhani) dan kepribadian material. Kepribadian immaterial adalah sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Hadid ayat 16 yang berbunyi:
االم يان للذين امنوا ان تخشع قلوبهم لذآرالله وما نزل من الحق ولايكونوا
آالذين اوتواالكتاب من قبل فطال عليهم الامدفقست قلوبهم وآثيرمنهم فاسقون
”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah
13
turun, dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al-Kitab (orang Yahudi dan Nasrani).Berlalulah masa yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik.”
Sedangkan identitas material adalah berupa pakaian yang melambangkan kewibawaan, keluhuran, dan kehormatan bagi si pemakai. Begitu juga seorang muslimah, jilbab dan menutup aurat adalah menjadi identitas bagi dirinya (Quraish Shihab, 2005: 170-171).
Tetapi realitas wanita sekarang lebih senang menampakkan perhiasan ketika keluar rumah, yang mereka pakai adalah pakaian bagus yang menurut mereka itu sudah dikategorikan sebagai pakaian muslimah, padahal sebagian aurat mereka kelihatan, karena itu ia menjadi sasaran gangguan orang-orang yang lemah imannya.
Lebih-lebih wanita muslimah di era modern ini, mereka beranggapan bahwa wanita kafir lebih hebat dari mereka, karena itu mereka meniru cara-cara wanita kafir, turut berpakaian transparan dan memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang sensitif bagi kaum pria. Mereka sebenarnya telah tertipu dengan fatamorgana yaitu menanggalkan identitas kepribadiannya sebagai seorang wanita muslimah yang dimuliakan Allah. Sedangkan wanita-wanita kafir mereka hidup tanpa ada rasa malu,tanpa kesucian dan tanpa moral.
Mengapa Islam sangat melarang hal-hal seperti itu? Karena pakaian yang membentuk lekuk tubuh dan menampakkan bagian-bagian tubuh yang sensitif dapat membangkitkan birahi dan syahwat kaum laki-laki. Maka tidak diragukan lagi bahwa wanita-wanita yang berpakaian seperti itu termasuk dalam cakupan Hadits Rasulullah Saw yang berbunyi:
ان من اهل النار نساء آاسيات عاريات مايلات مميلات لايدخلن الجنة ولا
يجدن ريحها
”Sesungguhnya di antara penghuni neraka itu adalah wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari kebenaran lagi mengundang
14
orang berbuat maksiat. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium harum syurga. (Said Abdul Azis Al-Jandul, 2003: 165).
Terlintas di benak kita, mengapa wanita yang harus menutup tubuh, bagaimana halnya dengan laki-laki.
Allah SWT, telah menciptakan bentuk tubuh wanita berbeda dengan laki-laki, wanita memiliki bentuk tubuh yang indah dan menarik, sehingga realitas kehidupan manusia mengakui hal tersebut, yaitu laki- laki berhias dan berpakaian yang menutupi seluruh tubuh hampir tidak ada yang nampak kecuali muka dan tangan. Sedangkan kaum wanita berhias dan berpakaian yang kelihatan aurat dan bentuk tubuh mereka. Itu disebabkan karena bentuk tubuh laki- laki yang kasar dan kurang menarik, sedangkan bentuk tubuh wanita terlihat lebih indah, lembut dan menarik.
Padahal Allah membedakan penutup tubuh laki- laki dan wanita adalah karena berbeda tingkatan fitnah dan lapangan kerja masing-masing. Tubuh laki- laki tidak menimbulkan rangsangan khusus kepada wanita, sebaliknya wanita dengan kelembutan dan keindahan bentuk tubuh mereka dapat menimbulkan rangsangannya tersendiri bagi laki- laki.
Begitu juga pekerjaan pokok masing-masing mereka, laki-laki bekerja mencari rezeki di luar rumah dengan berbagai macam pekerjaan, sungguh dapat merepotkan bila harus menutupi seluruh tubuh mereka. Sedangkan wanita bekerja di rumah mengasuh anak-anak, sebahagian besar waktu mereka terlindung di rumah dan tidak perlu menutup seluruh tubuh kecuali ada kebutuhan tertentu yang mengharuskan mereka untuk keluar rumah, apakah itu kebutuhan pribadi atau masyarakat, di saat itulah mereka diwajibkan untuk menutup seluruh tubuh (Abdul Halim Syuqqah, 1997: 27-28).
1.3.3. Pelindung Tubuh
Pakaian selain untuk menutpi aurat karena memenuhi tuntutan syara’ juga berfungsi sebagai pelindung tubuh, baik karena cuaca dingin ataupun karena cuaca panas, dan itu merupakan perlindungan secara fisik yang sangat dibutuhkan oleh tubuh setiap manusia.
15
Di sisi lain, pakaian itu dapat memberi pengaruh psikologis terhadap si pemakai. Seperti, bila seseorang ke pesta, tentu yang dipakai adalah pakaian yang sesuai dengan suasana pesta agar tidak minder dan risih. Kewibawaan dan terhormatnya seseorang juga tercermin dari pakaian yang dipakai. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab, sebagaimana tercantum dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
ذلك ادنى ان يعرق
” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (Quraish Shihab, 2005: 168-169).
Selain itu juga seluruh tubuh wanita itu zinah (perhiasan), maka wajib dilindungi agar tidak menimbulkan fitnah dan diganggu. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 31:
ولايبدين زينتهن الا لبعولتهن اوءابائهن اوءاباءبعولتهن
"Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka,kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka."
Zinah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut mencakup wajah dan anggota tubuh. Dengan demikian, wanita wajib menutup seluruh zinah mereka di depan laki-laki asing yang bukan maharamnya, agar tidak diganggu dan terjaga serta terlindungi dari pandangan laki-laki asing yang dapat menyebarkan bencana (Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001: 5).
Menurut Ibnu Katsir (tt, 402), pendapat yang masyhur di kalangan Jumhur ulama bahwa, zinah (perhiasan) yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah: wajah dan telapak tangan. Hal tersebut diperkuat oleh riwayat dalam kitab Shahihain dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Ketika saya mendengar suara Shofwan bin Mu’aththil, maka saya segera menutupi wajahku dan sesungguhnya ia pernah melihatku sebelum turunnya ayat hijab.”
16
Namun ada juga sebagian Ulama berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah zinah (perhiasan) yang wajib ditutup. Yang menjadi pegangan mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari ‘Aisyah ra:
ان المراة اذا بلغ المحيضلم يصلح ان يرى منها الا هذا وهذا واشار الى وجهه
وآفيه
“Apabila wanita telah mencapai usia dewasa, tidak boleh tampak daripadanya kecuali ini dan ini. “Beliau menunjuk pada wajah dan kedua tangannya.”
Padahal hadits tersebut adalah hadits lemah, yang tidak layak dijadikan sebagai dalil, karena terdapat beberapa cacat, antara lain terputusnya silsilah riwayat antara ‘Aisyah dan perawinya, lemahnya perawinya, yaitu Said bin Basyir, juga perawi yang bernama Qatadah tertuduh melakukan tadlis.
Namun apabila ada yang berpendapat bahwa hadits tersebut adalah hadits kuat, maka dapat dijelaskan bahwa hadits tersebut diucapkan sebelum turunnya ayat hijab (Majallatul Buhuts Al-Islamiyah, 33/114).
Perintah menutupi dan melindungi keindahan wanita serta anggota yang bisa menimbulkan godaan adalah ditujukan mepada wanita-wanita muda, sedangkan wanita lanjut usia yang tidak mempunyai gairah seks, dibolehkan membuka wajah asalkan mereka tidak berlebihan dalam berhias. Firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 60:
والقواعد من النساء التى لايرجون نكاحا فليس عليهن جناح ان يضعن ثيابهن
غير متبرجات بزينة وان يستعففن خيرلهن والله سميع عليم
" Dan perempuan- perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menaggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui." (Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001: 9-10).
Beranjak dari makna dan fungsi pakaian, yang telah dijelaskan di atas, yaitu sebagai penutup aurat, pelindung tubuh, dan identitas muslimah, juga sebagai ciri dari peraturan islam yang telah ditetapkan Allah SWT, sebagai benteng yang kuat, yang menjaga kehormatan, keluhuran, dan kemuliaan wanita.
17
Maka jelaslah bahwa, Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita yang mengenakan jilbab (menutup aurat).
Islam juga mensyari’atkan jilbab (penutup aurat), untuk menyempurnakan keadaan wanita ketika keluar rumah agar lebih terjaga dan terpelihara, yang nantinya mereka akan menjadi wanita-wanita yang membentuk generasi dan merajut masa depan ummat yang pada gilirannya telah ikut berperan dalam berjuang demi agama Allah.
2. TRADISI BERJILBAB MUSLIMAH MASA KINI
2.1. Islam tidak menentukan model dan bentuk jilbab
Bentuk dan model jilbab bukanlah satu ketetapan di dalam agama, tetapi disyaratkan harus memenuhi kriteria sebagai busana muslimah. Bagaimanapun model dan bentuk jilbab (busana muslimah) yang berlaku di kalangan masyarakat yang berbeda kebudayaan dan peradaban tetap diakui oleh Islam, selama tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam yang sebenarnya.
Sebagai bukti, Islam tidak merobah tradisi Jahiliyyah berpakaian, bahkan memasukkan unsur-unsur keseimbangan saja. Wanita-wanita Arab sebelum datangnya Islam mereka mengenakan pakaian dengan bentuk dan model tertentu, misalnya: baju panjang sebagai penutup tubuh, jilbab yang dipakai di atas baju panjang bersama kerudung dan cadar sebagai penutup wajah dan lubang pada bagian kedua mata.
Model dan bentuk pakaian yang dikenakan oleh mereka sesuai dengan ajaran Islam, tertutup seluruh tubuh dengan pakaian yang longgar dan kerudung sampai ke dada. Firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 31:
وليضربن بخمرهن على جيوبهن
“ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka” (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 36-37).
Karenanya Islam berpesan kepada wanita muslimah agar: (a) memperhatikan dalam memilih pakaian dan sempurna dalam menutup aurat; (b)
18
menggunakan jilbab dan mengulurkannya ke seluruh tubuh supaya terbeda dengan wanita budak.
ياايهاللنبي قل لازواجك وبناتك ونساءالمؤمنبن يدنين عليهن من جلابيبهن
ذلك ادنى ان يعرفن فلا يؤذين
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS Al- hzab: 59).
(c) wanita yang bercadar, melepaskannya pada waktu-waktu tertentu seperti waktu shalat, agar sempurna sujudnya kepada Allah dengan menyentuhkan wajah dan hidungnya ke tempat sujud, pada waktu ihram untuk menanggalkan lambang kemewahan. Sebahagian ulama Hanabilah berpendapat, bahwa wanita yang sedang berkabung karena kematian suami hendaknya melepaskan cadar, untuk menghindari bermegah-megah dan berhias.
Itulah beberapa pesan Islam tentang pakaian wanita. Namun yang perlu ditegaskan adalah esensi dari pakaian tersebut bukan bentuknya, yaitu sebagai penutup yang menutup perhiasan atau bagian-bagian yang mengandung dan mengundang fitnah. Sebagaimana ditegaskan dalam QS An-Nur ayat 31:
ولا يدنين زينتهن الا ما ظهر منها
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak dari padanya.”
Bentuk dan model pakaian bukanlah merupakan urusan ibadah, tapi aspek mu’amalah yang ketentuan hukumnya berporos pada maksud dan tujuan syari’at, dan termasuk tradisi yang kondisinya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Karena itu, bagaimanapun bentuk dan model pakaian, asalkan memenuhi syari’at yang telah ditetapkan syara’, sesuai dengan iklim dan memudahkan wanita bergerak, maka pakaian seperti itu dapat diterima oleh syara’ (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 36-38).
2.2. Jilbab Masa Kini dalam Timbangan Syar’i
19
Berikut fenomena dan tradisi berpakaian wanita-wanita di bumi Sangaji Bima. Mereka berkerudung dengan cara yang unik, yaitu dengan mengikuti prinsip jilbab, tetapi lebih rumit, bentuk dan modelnya sama seperti kain sarung, satu dipakai di bagian atas dan satu lagi dipakai di bagian bawah, boleh dikatakan mereka menutup aurat dengan kain sarung. Itulah pakaian tradisional khas Bima yang diatur oleh syari’at Islam sebagai penutup aurat, yang diistilahkan dengan rimpu.
Kata salah seorang Imam Mesjid terbesar di Kabupaten Bima, yaitu Tuan Guru H. Yasin Latif, bahwa rimpu merupakan pakaian wanita untuk keperluan keluar rumah yang desain dan batasan-batasannya merujuk kepada pendapat Imam Syafi’i, yakni menutupi seluruh tubuh, kecuali mata.
Mereka membedakan rimpu tersebut kepada dua jenis, yaitu rimpu mpida dan rimpu colo. Rimpu mpida dipakai oleh gadis-gadis ketika keluar rumah, dan inilah rimpu yang menutupi seluruh tubuh kecuali mata. Sedangkan rimpu colo adalah rimpu yang dipakai oleh kaum ibu yang telah bersuami dan modelnya tidak menutupi bagian wajah.
Menurut catatan sejarah, rimpu mulai dikenakan sejak pemberlakuan syari’at Islam oleh Sultan Bima yang kedua, Sultan Abdul Khair Sirajuddin, pada sekitar tahun 1680, juga dibantu oleh para Ulama. Sultan memaklumatkan rimpu sebagai pakaian yang memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai penutup aurat dan penanda perempuan terhormat; Kedua, sebagai pembeda status marital (perkawinan) perempuan pemakainya, para gadis memakai rimpu mpida dan perempuan yang sudah berkeluarga memakai rimpu colo.
Para gadis diharuskan memakai rimpu mpida dimaksudkan sebagai langkah perlindungan keselamatan dan keamanan bagi mereka. Dan itu merupakan Undang-Undang Kesultanan yang memberikan perhatian besar bagi para gadis Bima.
Dalam proses pernikahanpun si gadis enggan dan malu untuk menemui laki-laki yang akan melamarnya, laki-laki tersebut hanya bisa mengetahui hal ihwal si gadis melalui keluarganya. Itu karena sudah menjadi adat-istiadat dan tradisi mereka mendidik anak gadisnya untuk menjaga dan memiliki rasa malu
20
dalam menghadapi laki-laki asing. Sehingga membuat mereka para orang tua enggan untuk menyekolahkan anak gadisnya ke sekolah-sekolah yang dibangun Belanda. Karena siswanya tidak mengenakan penutup kepala kecuali kalangan bangsawan.
Setelah masa kesultanan Bima berakhir, dan kemudian masyarakat Bima menjadi bagian dari wilayah hukum Republik Indonesia, tradisi memakai rimpu mpida bagi para gadis sudah semakin surut, karena mereka harus berangkat ke sekolah dengan memakai seragam yang tidak menutupi wajah, sehingga makin banyak gadis Bima yang meninggalkan rimpu.
Kini mereka memakai rimpu hanya dalam aktivitas sehari- hari, seperti ke pasar, ke sawah, tempat- tempat ramai, dan ke pemakaman. Hal ini terjadi karena mereka memahami rimpu sebatas mengikuti kebiasaan leluhur saja, dan karena rendahnya pemahaman terhadap sejarah rimpu dan hubungannya dengan ajaran Islam.
Komentar para gadis Bima masa kini yang telah mengalami dan mengikuti kemajuan dan berpendidikan tinggi (hasil wawancara kru Ummi), Rita Rahmawati, seorang serjana psikologi, yang juga aktivis remaja Mesjid Al- Muwahhidin menilai rimpu sebagai tafsiran orang Bima terhadap perintah Allah tentang jilbab. Sedang Mardiyah Hayati, aktifis Pemudi Persatuan Islam Bima, menghargai rimpu sebagai warisan budaya Bima yang harus dilestarikan. Tetapi dia sendiri kurang tertarik memakai rimpu karena desainnya yang dianggap kuno. Katanya rimpu itu identik dengan orang-orang tua. Kainnya kurang menarik untuk dipakai gadis-gadis remaja.
Menurut Rita, kalaupun rimpu dianggap kuno dan kemudian menghilang, itu wajar saja, karena desain pakaiannya yang tidak menarik. “Tetapi jilbab bisa mewakili rimpu, yang penting nilainya tidak hilang,” tambahnya.
Leni, aktifis yaysan Ta’awun Kampung Panaraga Bima, sepakat dengan Rita. Menurut Leni rimpu tak ada bedanya dengan jilbab, jadi kalau mereka (gadis Bima) tertarik dengan jilbab karena desainnya dianggap lebih cocok, ajak saja mereka untuk berjilbab (Majalah Wanita, Ummi, 2/XIII/2001).
21
Di sini kami berpendapat, kalaupun mereka memilih jilbab, apakah jilbab yang mereka pilih sudah sesuai dengan ketentuan syara’? ini perlu kita telusuri perkembangan jilbab masa kini di Indonesia. Rimpu yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat Bima dulunya, juga masih kurang cocok dengan apa yang telah ditetapkan syara’. Karena ketentuan syara’ untuk menutup aurat (seluruh anggota tubuh), lebih ditujukan kepada wanita muda, bukan kepada para gadis dan bukan untuk membedakan status marital (perkawinan). Hanya wanita-wanita lanjut usia yang sudah manopouse dan tidak ingin kawin lagi, yang diberikan keringanan dalam menutup aurat. Akan tetapi apabila mereka menyempurnakan dalam menutup aurat, itu lebih utama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 60:
والقواعد من النساء التى لايرجون نكاحا فليس عليهن جناح ان يضعن ثيابهن
غيرمتبرجات بزينة
“ Dan perempuan- perempuan tua yang telah terhenti (dari haidh dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.”
Dari fenomena yang terjadi di salah satu kabupaten yang ada di Indonesia, dapat tergambarkan bahwa, perkembangan jilbab di Indonesia dari tahun ke tahun dan dari masa ke masa, selalu terjadi perobahan sesuai dengan laju perkembangan zaman.
Salah satu penyebabnya adalah, salah persepsi tentang jilbab dari dulu hingga sekarang, yaitu dari kerudung berubah menjadi jilbab, dan karena meniru model Timur Tengah yang menjadi kewajibab syari’at Islam bagi kaum muslimah.
Kata Andree Fiellard, seorang Indonesianis dari Prancis, ketika mengadakan penelitian tetang perkembangan jilbab di Indonesia pada tahun 1991 dan hasil pengamatannya sekarang. Katanya: “Dulu ibu-ibu Aisyiah Muhammadiyah dan NU memakai kerudung berdasarkan kepantasan, bukan karena suatu kewajiban yang dibebankan syara’ kepada mereka.
Hal ini menarik sekali kalau kita kaitkan dengan fenomena pemberlakuan syari’at Islam yang sekarang sedang santer-santernya didengungkan. Yang diduga
22
bila syari’at diterapkan, maka yang akan menjadi korban adalah wanita, karena kebanyakan kasus penerapan syariat Islam di daerah-daerah sekarang ini, selalu dimulai dari kewajiban berjilbab bagi wanita.
Dalam penelitian tersebut Andree mendapat kesimpulan bahwa, salah persepsi tentang jilbab yang terjadi antar generasi adalah dalam menilai kepantasan. Kalangan yang lebih muda memakai jilbab karena itu pakaian yang lebih pantas bagi mereka. Sedang yang tua, mereka memakai kurudung. Bahkan dari kalangan NU terkadang mempersepsikan jilbab itulah kerudung, yang lehernya terbuka.
Terjadi pergeseran pemahaman tentang jilbab ini dari pengertian kepantasan menjadi sebuah aturan yang sangat formal dalam konteks pelaksanaan syari’at adalah: ada yang mengatakan, karena faktor arabisasi, yaitu: sesuatu yang datang dari Timur Tengah harus diikuti secara kasar.
Menurut para gadis sekarang yang tidak setuju dengan jilbab, mereka beralasan karena nenek moyang mereka dulu tidak berjilbab. Sedangkan yang pro dengan jilbab, mereka sadar, bahwa nenek moyang mereka dulu tidak mengerti tentang kewajiban berjilbab, maka mereka melakukannya sekarang (http://bicaramuslim.com).
Darul Nu’man juga mengemukakan tentang jilbab wanita masa kini. Bila seorang wanita berjilbab adalah untuk menjaga auratnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, maka bukan hanya marwah dirinya yang terjaga, juga marwah kaum muslimat lainnya. Itu artinya, harga diri wanita terlalu mahal, karena itu Islam menetapkan supaya wanita berpakaian longgar dengan warna yang tidak menarik, serta menutup seluruh badannya, dari kepala hingga kaki agar badannya tidak terpamerkan di depan khalayak ramai.
Alhamdulillah, sekarangpun telah banyak wanita-wanita yang berjilbab. Itu dapat kita lihat di mana-mana, dari kalangan bawahan hingga atasan, begitu juga dari golongan pelajar sekolah hingga pejabat-pejabat.
Tetapi walau bagaimanapun gaya jilbab yang dipakai, namun masih saja kurang sempurna, karena leher, dada, kaki dan sebagainya masih kelihatan. Pada waktu yang sama seorang wanita berjilbab tetapi roknya terbelah samping atau
23
belakang, ada juga yang memakai jilbab tetapi berpakaian ketat, dan masih banyak gaya-gaya berjilbab yang turut direka untuk wanita-wanita Islam masa kini.
Begitu juga diciptakannya model jilbab yang bermacam-macam dengan dihiasi berbagai hiasan seperti manik-manik, broach yang menarik dan berwarna-warni, sehingga fungsi jilbab yang tadinya untuk terpelihara wanita dari fitnah, malah sebaliknya. Semakin banyak mengundang perhatian laki-laki asing karena indahnya pakaian dan jilbab yang dikenakan oleh wanita.
Sehingga hikmah berjilbab (menutup aurat), tidak dapat dirasakan oleh wanita-wanita sekarang, yaitu agar terjaga marwah dan terpelihara dari gangguan laki-laki. Karena mereka berjilbab tetapi tetap saja berhias-hias. Sehingga semakin besar riak dan bangga yang timbul dalam hati walaupun mereka berjilbab. Padahal, berjilbab termasuk salah satu amalan yang mulia, dan telah ikut berperan dalam menegakkan syari’at.
Kesimpulannya, wanita berjilbab tetapi lalai dari shalat, berjilbab tetapi masih keluar dengan teman laki-laki, berjilbab tetapi masih terlibat dalam pergaulan bebas, berjilbab tetapi masih menyentuh tangan-tangan yang bukan mahramnya. Dan bermacam – macam maksiat yang dilakukan oleh orang-orang berjilbab, hingga kepada yang lebih besar, seperti zina, khalwat dan sebagainya.
Sehingga nilai jilbab sudah dicemari oleh orang–orang seperti yang disebutkan di atas. Muslimah lain yang benar–benar memelihara nilai jilbab, juga tercemar karena ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap agamanya. Begitu juga wanita-wanita nonmuslim, menjadi tawar hatinya untuk masuk Islam karena sikap umat Islam itu sendiri yang tidak menjaga kemuliaan hukum yang telah ditetapkan syara’ (http://www.jais.net.my).
Catatan Penutup
SUNGGUH fenomena jilbab pada zaman sekarang, membuat kita di satu sisi patut bersyukur, wanita sudah tidak malu berjilbab di manapun tempatnya, sehingga jilbab benar-benar telah membudaya di masyarakat dan dianggap suatu yang lumrah. Namun di sisi lain jilbab yang sesungguhnya harus memenuhi 24
ketentuan syara’ sebagaimana tersebut di atas, seakan telah berubah fungsinya. Jilbab bukan lagi sebagai pakaian syar’i. Tapi lebih terkesan trendy dan mode atau lebih dikenal dengan sebutan jilbab funky.
Padahal Islam telah mengatur sedemikian rupa cara bergaul, berpakaian dan menutup aurat, melalui ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Saw, tetapi muslimah sekarang, tidak konsekuen dengan apa yang telah ditetapkan syara’, mereka lebih senang mengikuti propaganda kemaksiatan, akibat pengaruh modernisasi dan westernisasi. Mereka lupa dengan Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 120: “orang- orang yahudi tidak akan pernah senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.”
Perangkap utama yang dimanfaatkan oleh Yahudi untuk menghancurkan umat Islam adalah wanita. Karena wanita dengan mudah dan bebas mengekploitasikan auratnya yang seharusnya ditutup.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dan Bazzar, dengan tegas Rasullah bersabda: “Siapa saja dari seorang wanita yang membuka pakaiannya selain di rumahnya sendiri, maka Allah akan merobek tirai kehormatannya.”
Karena itu, sangat wajar bila wanita dikatakan sebagai aurat, sebab, bila mereka keluar rumah dengan berpakaian yang tidak memadai, artinya tidak sesuai dengan ketentuan syara’, maka bersiaplah Syaitan akan memanfaatkannya sebagai racun bagi laki-laki.
Islam datang untuk menyelamatkan wanita dalam segala sisi kehidupan, diwajibkan wanita untuk berhijab adalah salah satu metode yang sangat bijaksana untuk menutupi segala pintu- kemaksiatan yang timbul karena wanita.
Wahai muslimah sejati! Mari kita renungi sebait kata yang diucapkan oleh seorang penyair:
Ibu adalah pendidik (sekolah)
Apabila kamu mempersiapkannya (sebaik mungkin),
Berarti kamu telah mempersiapkan generasi yang baik dan
kokoh akarnya (potensial) 25
Referensi
Ahmad Warson Munawwir, 1997, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap Al-Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya.
Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jilid 4, Jakarta.
Amin bin Yahya Al-Wazan, 2001, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Darul Haq, Jakarta.
Abu Ubaidah Ibrahim bin Mahmud Abdurradhi, 2005, Wanita Pengubah Sejarah, Najla Press, Jakarta.
Asy-Syarbini, al-Khatib, tt, Mughni-al-Muhtaj, Jilid IV, al-Tawfiqiyah, Mesir.
Al-Sayyid, Abu Bakar, tt, I’anatuth – thalibin, Dar al – Fikr, Jilid III, Bairut.
Al-Malibari, tt, Fathul – Mu’in, Dar al – Fikr, Bairut.
Http://bicaramuslim.com, diakses 1 November 2006.
Http://www.jais.net.my, diakses 1November 2006.
Ibrahim Muhammad Al – Jamal, tt, Fiqih Wanita, C V. Asy – Syifa’, Semarang.
Ibnu Katsir, tt, Tafsir al – Qur’an al – ‘Azhim, Jilid V, al – Tawfiqiyah, Mesir.
M. Qurash Shihab, 2005, Wawasan Al - Qur’an, Cetakan XVI, PT Mizan Pustaka, Bandung.
Majallatul Buhuts Al – Islamiyah, 33 / 114.
Majalah Wanita, UMMI, edisi spesial, 2 / XIII / 2001.
Syaikh Imad Zaki Al – Barudi, 2003, Tafsir Wanita, Pustaka Al – Kautsar, Jakarta.
Syaikh Mustafa Abdul Ghaith, Syaikh Islam Darbalah, 2004, 1000 Tanya Jawab Muslimah, Pustaka Al- Kautsar, Jakarta.
Sa’id Abdul Aziz Al-Jandul, 2003, Wanita di Antara Fitrah, Hak, Dan Kewajiban (Al-Jinsun Na’im Fi Zhillil Islam), Darul Haq, Jakarta.
26
Bagian Dua
HAK WANITA DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Oleh: Azizah Muhammad
TAK dapat dipungkiri, bahwa kaum wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang relatif sama. Mereka dianugerahkan potensi yang sama oleh Allah SWT, sehingga dapat melakukan kegiatan masing-masing dan memikul tanggung jawab. Dalam hukum Islam, wanita diletakkan dalam kerangka yang sama dengan pria. Apabila pria dapat melakukan muamalah, seperti berjual beli, memberikan kesaksian dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti Islam memberikan kepada kaum wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan pria. Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara kaum pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak warisan, talak dan kesaksian di pengadilan.
Dalam masalah warisan, Islam telah menentukan hukum yang konsekuen terhadap wanita, seperti yang tersebut dalam QS An-Nisa’ ayat 11, Allah SWT berfirman:
...يوصيكم الله فى اولادآم للذآرمثل حظ الانثيين
“... Allah telah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
1
Ketentuan ini berlaku bagi para ‘ashabah (kerabat dekat si mati) yaitu putra-putrinya, saudara kandung dan saudara seayah. Dalam keadaan yang lain, Islam juga menentukan bahwa bagian yang diterima wanita adalah sama dengan bagian yang diterima oleh pria. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12:
وا ن آا ن رجل يورث آللة ا وا مراة وله اخ اواخت فلكل وا حد منهما ا لسد س فا ن آا نوا ا
آثر من ذ لك فهم شرآا ء فىالثلث …
“...Jika seseorang meninggal dunia (baik laki-laki maupun perempuan) yang mewariskan kalalah (tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak) tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seayah), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga ...”
Ketentuan pembagian harta seperti ini hanya berlaku bagi saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, karena pengertian “al-kalalah“ ialah orang yang tidak mempunyai ayah, anak-anak dan saudara sekandung atau sebapak. Dalam Kamus Al-Munjid disebutkan, arti al-kalalah adalah orang yang tidak ada anak dan ayah baginya. Tentunya setiap ketentuan hukum dalam pembagian warisan mengandung hikmah-hikmah tersendiri.
Namun musuh-musuh Islam atau orang-orang orientalis yang tidak senang terhadap Islam, menuduh bahwa Islam telah mendiskriminasikan kaum wanita dan tidak berlaku adil terhadap mereka, merampas hak-hak kaum wanita dan tidak menempatkan mereka pada posisi yang layak. Sehingga muncullah slogan-slogan yang intinya menyatakan bahwa Islam mendiskriminasikan wanita, lalu berbagai 2
seminar digelar dengan tema: tegakkan emansipasi wanita, yang pada akhirnya persoalan bermuara pada satu pertanyaan: Mengapa Islam memberikan bagian kepada wanita hanya separo dari bagian pria dalam pembagian warisan?
Mereka menganggap bahwa kebutuhan material dan beban yang harus ditanggung oleh kaum wanita adalah sama seperti kaum pria. Lebih-lebih lagi kalau wanita tersebut berstatus sebagai janda, yang tentunya memiliki peran ganda; sebagai ibu dalam mengurus anak, juga sebagai ayah dalam menafkahi anak. Jadi, ketika syari’at Islam memutuskan hukum tentang pembagian warisan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 11, maka mereka menganggap bahwa bahwa Islam telah menyia-nyiakan hak kaum hawa dan ini bertentangan dengan seruan emansipasi yang digembar-gemborkan mereka untuk mempersamakan kedudukan wanita dengan pria, sehingga mereka menganggap aturan Islam semacam ini tidak layak untuk masa kini.
Akankah kita tinggal diam menerima sejumlah opini yang berusaha menjatuhkan Islam? Apakah kita akan membiarkan pemikiran-pemikiran semacam ini meracuni jiwa-jiwa saudara kita sesama wanita yang masih lemah pegangannya sehingga mereka membenci Islam, agamanya sendiri?
Sebagai seorang wanita, penulis dengan tegas menolak bahwa Islam mendiskriminasikan wanita, sekali-kali tidak. Wanita, selamanya wanita. Allah SWT menciptakan dan memberikan aturan kehidupan kepadanya. Semua problema yang dihadapi kaum wanita muslimah dewasa ini sebenarnya muncul dari pola hidup yang jauh dari koridor Islam, artinya pola kehidupan yang berpijak pada pemikiran Barat.
3
Hak Wanita Dalam Pembagian Warisan
1. Ahli Waris dari Pihak Wanita
ADA tiga unsur yang bertalian dengan masalah warisan: Pertama, al-warist yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) dan hubungan hak perwalian dengan si mati; Kedua, al-muwarrist yaitu orang yang meninggal dunia atau si mati yang meninggalkan harta pusaka, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati; Ketiga, al-maurust yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil biaya-biaya tajhiz, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini dalam istilah ilmu faraidh lebih dikenal dengan sebutan tirkah.1
Dalam uraian ini, saya hanya membahas unsur pertama saja, yaitu al-warist (ahli waris). Dan juga tidak menertibkan uraian pusaka ahli waris berdasarkan kelompok ashabul furudh, kelompok ‘ashabah, kelompok dzawil arham, tetapi hanya mengkhususkan topik pembahasan tentang ahli waris wanita saja.
Ahli waris dari pihak wanita berjumlah sepuluh orang, yaitu (1) anak perempuan; (2) cucu perempuan dari anak laki-laki; (3) ibu; (4) ibu dari bapak
1 Menurut versi ulama Syafi’yah dan Hanabilah, tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mati baik berupa harta benda maupun hak-hak. 4
(nenek); (5) ibu dari ibu (nenek); (6) saudara perempuan yang seibu-sebapak; (7) saudara perempuan yang sebapak; (8) saudara perempuan yang seibu; (9) istri; dan (10) perempuan yang memerdekakan mayat.
2. Kadar Harta Warisan yang Diperoleh Wanita
SETIAP ahli waris mempunyai bagian yang berbeda-beda. Masing-masing ahli waris tidak hanya memiliki satu macam bagian. Pada umumnya keadaan jumlah ahli waris yang ada mempengaruhi besarnya jumlah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris. Syari’at Islam telah menetapkan bagian harta warisan untuk wanita, yaitu seperempat, seperdelapan, seperdua, sepertiga, dua pertiga dan seperenam. Perincian mengenai hukum masing-masing bagian tersebut juga telah dijelaskan secara mendetail, sehingga dapat diketahui kapankah wanita itu memperoleh bagian seperempat, sepertiga, seperdua dan lain-lain. Hal semacam ini tidak terdapat dalam syari’at atau undang – undang manapun selain Islam.
2.1. Anak Perempuan Shulbiah
YANG dimaksud dengan anak perempuan shulbiah adalah anak perempuan yang dilahirkan secara langsung dari orang yang meninggal, baik yang meninggal itu bapaknya atau ibunya. Istilah shulbiah ini untuk membedakan anak perempuan yang dilahirkan melalui perantara (misalnya anak perempuan dari anak laki-lakinya si
5
mati) dengan anak perempuan yang dilahirkan langsung dari si mati (Rahman, 1981: 160).
Di dalam mempusakai harta peninggalan orang tuanya, anak perempuan shulbiah mempunyai tiga kemungkinan, yaitu seperdua, dua pertiga, dan usbhah.
2.1.1. Seperdua
Anak perempuan shulbiah mendapat bagian seperdua jika ia hanya seorang diri dan tidak mempunyai mu’ashishib (‘ashabah)2 yaitu anak laki-laki. Bilamana ia tidak seorang diri, artinya si mati meninggalkan anak perempuan selain dia, maka mereka memperoleh bagian dua pertiga dari harta warisan. Dan bila ia mempunyai mu’ashshib (anak laki-laki), maka ia menjadi ‘ashabah bil ghair, yakni sama-sama menerima sisa harta warisan dari ashabul furudh3 atau menerima seluruh harta warisan apabila si mati tidak mempunyai ahli waris ashabul furudh, dengan ketentuan bahwa ia menerima seperdua bagian anak laki-laki (Al-Bakr, tt, 224).
Anak perempuan tidak memperoleh bagian seperdua ketika terdapat mu’ashshib (anak laki-laki), karena kalau anak perempuan mendapat seperdua, maka bagiannya sama dengan anak laki-laki atau melebihinya dalam sebagian keadaan. Hal semacam ini tidak layak menurut pandangan Islam (As-Shabuni, tt, 41).
Dalil-dalil yang menetapkan bagian anak perempuan seperdua, antara lain adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11:
2 Secara etimologi, ‘ashabah adalah anak dan kerabat seseorang dari pihak ayah. Dalam ilmu waris, ‘ashabah dapat diartikan sebagai ahli waris yang tidak memperoleh bagian-bagian tertentu dalam suatu pembagian harta warisan.
3 Ashhabul furudh adalah ahli waris yang ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari furudhul muqaddarah dalam pembagian harta warisan.
6
وا ن آا نت و ا حدة فلها ا لنصف...
“Jika ia hanya seorang diri, maka baginya adalah seperdua...”
Qiyas aula dengan ketentuan bagian saudari dalam firman Allah SWT pada QS An-Nisa’ ayat 176: ... ...وله ا خت فلها نصف ما ترك
“…dan ia mempunyai seorang saudari, maka bagian saudari tersebut adalah separo dari harta yang ditinggalkan…”
Dalam ayat tersebut ditetapkan bahwa saudari memperoleh separo dari harta peninggalan dengan syarat bahwa si mati yang diwarisinya tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua (artinya ia dalam keadaan kalalah). Jika seorang saudari berhak memperoleh separo harta peninggalan, maka anak perempuan lebih berhak memperoleh separo dari harta peninggalan tersebut, karena pertalian nasabnya dengan si mati lebih dekat dari pada saudari. Artinya, jika ahli waris yang jauh pertalian nasabnya dapat memperoleh separo harta, apalagi orang yang pertalian nasabnya dengan si mati lebih dekat, maka ia lebih lebih berhak memperolehnya (Rahman, 1981: 161).
2.1.2. Dua Pertiga
Anak perempuan shulbiah memperoleh bagian dua pertiga dengan syarat anak perempuan tersebut dua orang atau lebih, dan tidak bersama-sama dengan orang yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah, dalam hal ini anak laki-laki dari si mati (Dahlan, 2003: 312).
7
Dalil-dalil yang menetapkan bagian dua pertiga ini antara lain, adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11: ... فان آان نساء فوق اثنتين فلهن ثلثاماترك
“… maka apabila anak perempuan lebih dari dua orang, mereka mendapat dua pertiga bagian dari harta yang ditinggalkan…”
Menurut bunyi ayat tersebut, anak perempuan mendapat dua pertiga apabila jumlahnya lebih dari dua atau dengan kata lain mulai dari tiga ke atas. Namun yang dimaksud dengan firman Allah SWT “fauqa isnataini“ adalah dua orang atau lebih, hal ini karena diqiyaskan dengan bagian dua orang saudari dalam firman Allah SWT pada QA An-Nisa’ ayat 176 yang berbunyi: .... فان آانتااثنتين فلهماالثلثان مماترك
“... maka jika saudari itu dua orang, bagian mereka adalah dua pertiga dari yang ditinggalkan...”
Jika dua orang saudari yang pertalian nasabnya dengan si mati sudah jauh mendapat dua pertiga harta warisan, maka adalah logis sekali andaikata bagian dua orang anak perempuan yang pertalian nasabnya dengan si mati lebih dekat mendapat dua pertiga (Katsir, tt, 504).
Menurut analisa yang lain, dijelaskan bahwa lafadh “fauqa“ adalah sebagai silah (preposisi) belaka, bukan sebagai lafadh yang pada hakikatnya menunjukkan “lebih banyak“ atau “di atasnya“. Ada juga yang menganalisa, bahwa lafadh “fauqa“ berfungsi untuk menghilangkan dugaan (daf’u tawahhum) bertambahnya bagian sebab bertambahnya jumlah orang, artinya tatkala timbul pengertian bahwa dengan
8
diberikannya sepertiga bagian untuk seorang anak perempuan, jika ia bersama dengan seorang anak laki-laki, sesuai dengan ketentuan Allah SWT “lizzakari mitslu hadhdhil untsain”, maka dua orang anak perempuan memperoleh dua pertiga bagian, akan timbul dugaan bahwa kalau anak perempuan lebih dari dua orang maka memperoleh bagian lebih dari dua pertiga (As-Sayuthi, tt, 206).
Selain itu, ada dalil lain berupa hadist yang diriwayatkan oleh Jabir ra yang menceritakan Sa’ad bin Ar-Rabi’ dengan Rasulullah Saw tentang bagian kedua anak perempuan Sa’ad. Ia berkata:
“Ya Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’ad bin Al Rabi’ yang ayahnya gugur sebagai pahlawan syahid dalam Perang Uhud bersamamu, dan paman mereka telah mengambil seluruh harta peninggalan ayah mereka, sehingga mereka tidak memperoleh bagian sedikitpun dari harta itu, sedangkan perkawinan mereka memerlukan uang. Nabi Saw bersabda: Allah akan memberi keputusan hukum tentang hal itu. Maka turunlah ayat mengenai hukum warisan. Kemudian Rasulullah Saw mengirimkan utusan kepada paman mereka, dan beliau berkata; berikanlah untuk dua orang putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan untuk ibu mereka seperdelapan bagian, sedangkan sisanya adalah untukmu.” (HR Abu Daud).
2.1.3. Ushbah
Ushbah, dengan syarat apabila ia bersama-sama dengan anak laki-laki dari si mati dengan pembagian masing-masing 2 :1.
2.2. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki (Bint al-ibn)
CUCU perempuan dari anak laki-laki adalah anak perempuan dari anak laki-laki orang yang meninggal (bintul ibni) dan anak perempuan dari cucu laki-laki dari anak laki-laki (bintul-ibnil-ibni) betapapun jauh menurunnya (Rahman, 1981: 174).
9
Cucu perempuan dari anak laki-laki ada kemungkinan mendapat warisan dalam kedudukannya sebagai ashabul furudh dan ada kemungkinan sebagai ‘ashabah. Dalam kedua status itu, cucu perempuan dari anak laki-laki mempunyai kemungkinan sebagai berikut:
2.2.1. Seperdua
Cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagian seperdua dengan syarat ia hanya seorang diri, tidak ada laki-laki yang menjadi mu’ashshibnya, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki dan tidak ada pula putra dan putri kandung si mati.
Dasar hukumnya sama dengan dasar hukum yang telah ditetapkan pada angka perempuan, karena cucu perempuan dari anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak perempuan jika tidak ada anak perempuan (Ash Shabuni, tt, 42). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: .... يوصيكم الله فى اولادآم
“... Allah mewasiatkan bagimu pembagian pusaka untuk anak-anakmu...”
Lafadh “aulad“ itu meliputi anak-anak dan cucu dari anak laki-laki selama tidak ada anak kandung. Dengan demikian, bagian cucu perempuan adalah identik dengan anak perempuan kandung (Rahman, 1981: 175).
2.2.2. Dua Pertiga
Cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh dua pertiga dengan syarat tidak terdapat anak kandung dari si mati dan tidak terdapat saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah (putra dari anak laki-laki).
10
Dasar hukumnya adalah ijma’ ulama, bahwa anak dari anak laki-laki (cucu) menggantikan kedudukan anak ketika ia tidak ada (As Shabuni, tt, 45).
2.2.3. Seperenam dari Seluruh Harta sebagai Penyempurna Dua Pertiga
Maksudnya bagian seperenam ini merupakan pengembangan dari kedudukannya ketika mendapat bagian dua pertiga, yakni ketika ia bersama-sama dengan anak perempuan kandung. Kedudukan anak perempuan kandung tersebut dalam pewarisan identik dengan kedudukan cucu perempuan dari anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki akan memperoleh bagian seperenam sebagai penyempurna dua pertiga bila ia bersama-sama dengan anak perempuan kandung tunggal dan tidak bersama-sama dengan mu’ashshib yang sederajat atau yang lebih tinggi derajatnya yang dapat menghijabnya.
Dasar hukumnya ada dua, yakni: Pertama, dengan mengistimbathkan kandungan ayat 176 yang menjelaskan bahwa bagian anak perempuan yang tunggal adalah seperdua dan dua orang anak perempuan atau lebih adalah dua pertiga, sebagai berikut:
“Oleh karena cucu perempuan dari anak laki-laki identik dengan anak perempuan kandung, maka jika cucu perempuan dari anak laki-laki mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan, maka mereka akan memperoleh dua pertiga. Hal ini disebabkan mereka dianggap seperti anak perempuan kandung. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam QS An-Nisa’ ayat 11, bahwa bagian anak perempuan kandung adalah seperdua. Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa bagian cucu perempuan dari anak laki-laki adalah seperenam sebagai pelengkap dua pertiga” (Rahman, 1981: 175).
Kedua, sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadist berikut ini (Al-Asqalani, 1995: 404):
11
قضى النبى صلى الله عليه وسلم لللا بنه النصف وابنة اللابن السدس تكميلة للثلثين ومابقى فلاخت
“Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk anak perempuan separo, cucu perempuan dari anak laki- laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudari“ (HR Bukhari).
2.2.4. ‘Ushbah
‘Ushbah, dengan syarat ia bersama-sama dengan ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya, dalam hal ini cucu laki-laki. Dalam keadaan ini ada tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, mendapat seluruh harta jika tidak ada ahli waris lainnya, dengan ketentuan 1 : 2 (satu untuk cucu perempuan dari anak laki-laki dan dua untuk cucu laki-laki dari anak laki-laki). Kedua, hanya menerima sisa harta dari ashabul furudh dengan ketentuan seperti di atas. Ketiga, jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa (Dahlan, 2003: 312).
2.3. Istri
SEBAGAI ahli waris yang tergolong ashabul furudh, istri memiliki dua kemungkinan, yaitu:
2.3.1. Seperempat
Seperempat, bila suaminya tidak meninggalkan far’u waris, yaitu anak (laki-laki dan perempuan), cucu perempuan dari anak laki-laki hingga ke bawah, cucu laki-laki dari anak laki-laki hingga ke bawah, baik anak itu berasal dari istri itu atau 12
lainnya (Al-Bakr, tt, 229). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi: … ولهن الربع مماترآتم ان لم يكن لكم ولد
“… para istri mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak …“
2.3.2. Seperdelapan
Seperdelapan, bila suaminya meninggalkan far’u waris (anak laki-laki dan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi: ... فان آان لكم ولدفلهن الثمن مما ترآتم من بعدوصية توصون بهااودين
“… jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta peninggalan yang kamu tinggalkan, setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau setelah dilunasi hutang… “
Bagian istri itu, baik seorang maupun banyak adalah seperempat atau seperdelapan. Hal ini disebabkan, bila seorang suami memiliki empat orang istri, maka bagian mereka seluruhnya adalah seperempat atau seperdelapan. Tidaklah setiap orang istri mendapat seperempat atau seperdelapan karena akan menghabiskan seluruh harta (Ash-Shabuni, tt, 43).
2.4. Ibu
13
SEBAGAI ahli waris, ibu memiliki tiga kemungkinan, yaitu sepertiga, seperenam, dan sepertiga sisa.
2.4.1. Sepertiga
Sepertiga, dengan syarat tidak bersama-sama dengan anak ataupun cucu dari anak laki-laki dan tidak bersama-sama dengan dua orang atau lebih saudara ataupun saudari si mati, baik sekandung semuanya, seayah ataupun seibu (Al-Bajuri, tt, 78-79). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: ... فان لم يكن له ولدوورثه ابواه فللامه الثلث
“… jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga…”
2.4.2. Seperenam
Seperenam, bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’u waris si mati yakni anak ataupun cucu dari anak laki-laki dan bersama-sama dengan dua orang saudara ataupun saudari si mati baik sekandung semuanya, seayah, seibu atau campuran (Al-Bakr, tt, 230). Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi: ... وللابويه لكل واحد منهماالسدس مما ترك ان آان له ولد
“…dan untuk ibu-bapak, masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika meninggalkan mempunyai anak…”
Kemudian lanjutan dari ayat tersebut berbunyi: ... فان آان له ولد فللاامه السدس
14
“… jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam…”
Menurut bunyi ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa ibu memperoleh bagian seperenam itu dalan dua keadaan, yaitu (Rahman, 1981: 223): Pertama, si mati mempunyai anak ataupun cucu dari anak laki-laki; Kedua, si mati mempunyai beberapa saudara (ikhwah).
Seluruh fuqaha’ telah sepakat bahwa bagian ibu seperenam itu jika dalam salah satu dari dua keadaan di atas. Hanya saja yang masih diperselisihkan adalah tentang minimal pengertian jama’ yang terkandung dalam lafadh “ikhwah“. Namun kebanyakan para sahabat, tabi’in, dan umhur fuqaha berpendapat bahwa pengertian jama’ yang terkandung dalam lafadh “ikhwah“ itu minimal dua orang. Misalnya dalam firman Allah SWT dalam QS As-Shad ayat 21 yang berbunyi: ... وهل اتاك نباءالخصم اذتسورواالمحراب
“Dan apakah sudah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar?...”
Orang-orang yang menaiki pagar (mihrab) itu sebenarnya hanya dua orang saja, walaupun dilukiskan dengan fi’il yang pelakunya banyak, yaitu dengan susunan kalimat “idz tasawwaruu”. Pengertian yang demikian itu dapat dipahamkan dari ayat berikutnya yang berbunyi: ... خصمان بغى بعضناعلى بعض
“... (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zhalim kepada yang lain….”
15
Dan juga Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: ... الاثنان فمافوقهماجماعة
“Dua orang dan seterusnya itu dianggap sebagai suatu jama’ah…” (HR Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni).
2.4.3. Sepertiga Sisa (Sulus al-Baqi)
Kedudukan semacam ini hanya apabila ia bersama-sama dengan suami atau istri dan ayah dari si mati. Kasus semacam ini dikenal dengan istilah al-gharawain.4
2.5. Nenek (Al-Jaddah)
DALAM pewarisan, nenek memiliki dua status, yaitu (Al-Khatib, tt, 16): Pertama, nenek sejati (al-jaddah as-shahihah), yaitu nenek yang mata rantai nasabnya dengan si mati dihubungkan oleh perempuan, seperti ibu dari ibunya ibu (ummu-ummil-ummi) atau oleh laki-laki seperti ibu dari bapaknya bapak (umum-abil-abi) atau oleh perempuan dan kemudian oleh laki-laki seperti ibu dari ibunya bapak (ummu-ummil-abi).
Kedua, nenek tidak sejati (al-jaddah ghairu shahihah), yaitu nenek yang pertalian nasabnya dengan si mati dihubungkan oleh seorang laki-laki di antara dua orang perempuan, seperti ibu dari bapaknya ibu (ummu-abil-ummi). 4 Al-Bajuri, Ibrahim, Op cit, hal 78. Al-Gharawain adalah lafadh tasniah dari lafadh gharra yang bermakna bintang yang cemerlang. Dikatakan bintang cemerlang karena dua masalah tersebut sangat masyhur.
16
Nenek sejati termasuk ahli waris ashabul furudh, sedangkan nenek tidak sejati termasuk golongan dzawil arham. Sebagai ahli waris yang memilki bagian yang telah tetap, nenek sejati memperoleh bagian seperenam dengan syarat si mati tidak meninggalkan ibu. Bagian nenek sejati tersebut tidak ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, tetapi melalui Hadis Rasulullah Saw (Al Hafidh, tt, 5), yang menyebutkan bahwa:
عن قبيصة بن ذؤيب رضى الله عنه قال : جاءت الجدة الى ابى بكررضى الله عنه تساله
ميراثها فقال : مالك فى آتاب الله شيءوماعلمت لك فىسنة نبى الله صلى الله عليه وسلم
شيءافارجعى حتى ا سا ل الناس فسا ل فقال المغيرة بن سعبة حضرت رسول الله صلى الله
عليه وسلم اعطاها السدس فقال ابو بكر هل معك غيرك ؟ فقام محمدبن مسلمة الانصارى فقال
مثل ما قاله المغيرة بن سعبة فانفذه لها ابوبكر رضى الله عنه ثم جاء ت الجدة الاخرى الى عمر
رضى الله عنه تساله ميراثها فقال مالك فى آتاب الله شيء وماآان القضاء الذى قضى به الا
لغيرك وما انابزائد فى الفراءض ولكن هوذلك السدس فان اجتمعتمافيه فهوبينكماوايتكما ماخلت
به فهولها
“Berita dari Qabishah bin Dzuaib ra menjelaskan: Seorang nenek datang menghadap Abu Bakar ra, menanyakan pewarisannya. Jawab Abu Bakar: “Kamu tidak mempunyai hak sedikitpun menurut ketentuan kitab Allah dan saya tidak tahu sedikitpun berapa hakmu di dalam Sunnah Nabi. Oleh karena itu kembalilah sampai aku menanyakan kepada seseorang.” Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada al-Mughirah, jawab al-Mughirah bin Syu’bah:” Aku pernah mengetahui bahwa Rasulullah SAW memberikan pusaka kepada nenek seperenam bagian.“ sela Abu Bakar “Apakah ada orang lain bersama kamu?” Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri seraya berkata seperti yang pernah dikatakan oleh al-Mughirah. Kemudian Abu Bakar melaksanakan (memberikan) seperenam bagian kepada nenek. Lalu datang nenek yang lain menghadap Umar ra (juga) menanyakan hak warisnya., jawab Umar ra:”Kamu tidak mempunyai hak sedikitpun dalam kitab Allah dan tidak ada ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kecuali selain kamu. Saya tidak menambah dalam ketentuan faraidh tetapi hanya seperenam itulah. Karenanya jika kamu berdua bersama-sama seperenam itu untuk kamu berdua dan siapa saja di antara kamu berdua yang menyendiri maka seperenam itu untuknya.”
2.6. Saudari Kandung (Al-Ukht-Syaqiqah)
17
BAGIAN saudari kandung di dalam pusaka-mempusakai itu ada lima macam, yaitu seperdua, duapertiga, ‘ushbah bil ghair, ‘ushbah ma’al ghair, gugur hak waris.
2.6.1. Seperdua
Seperdua, bila ia hanya seorang diri dan tidak terdapat saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabahnya. Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 176 yang berbunyi:
يستفتونك قل الله يفتيكم فى الكللة ان امرؤاهلك ليس له ولدوله اخت فلهانصف ماترك
وهويرثها ان لم يكن لها ولد
“Mereka minta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah bahwa Allah SWT memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yakni jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu separo dari harta yang ditinggalkannya itu dan saudara laki-laki mewarisi harta saudara perempuannya jika ia tidak mempunyai anak…”
2.6.2. Duapertiga
Dua pertiga, yakni jika dua orang atau lebih dengan syarat: (a) tidak terdapat anak laki-laki atau anak perempuan atau ayah atau kakek; (b) tidak terdapat saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah; (c) tidak terdapat cucu perempuan atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 176, yang berbunyi: ... فان آانتااثنتين فلهماالثلثان مماترك
“Maka jika saudara perempuan itu dua orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan…”
18
2.6.3. Ushbah Bil Ghair
‘Ushbah bil ghair5, yakni bila seorang diri ataupun banyak, mewarisi bersama-sama dengan saudara kandung, dalam keadaan seperti ini mereka dapat memperoleh seluruh harta peninggalan atau atau sisa harta dari dzawil furudh dengan ketentuan bahwa penerimaan saudara adalah dua kali lipat penerimaan saudari.
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 176, yang berbunyi:
...وان آانوااخوة رجالاونساءفللذآرمثل حضا الانثيين يبين الله لكم ان تضلووالله بكل
شيءعليم
“…Dan jika ahli waris terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan maka yang laki-laki sebanyak dua orang perempuan. Allah menjelaskan ketentuan ini kepadamu agar kamu tiada tersesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
2.6.4. ‘Ushbah Ma’al Ghair
‘Ushbah ma’al ghair6, yakni bila ia mewarisi bersama-sama dengan: (a) seorang atau beberapa orang anak perempuan; (b) seorang atau beberapa orang cucu perempuan dari anak laki-laki; (c) anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dengan ketentuan saudari kandung tersebut tidak bersama-sama dengan saudara kandung yang menjadi mu’ashshibnya
2.6.5. Gugur Hak Waris
5 ‘Ushbah bil ghair adalah setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ‘ashabah bersama-sama dengannya dalam suatu pembagian harta warisan 6 ‘Ushbah ma’al ghair adalah setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ‘ashabah, tetapi ahli waris yang dibutuhkan itu tidak bersama-sama dengannya menjadi ‘ashabah.
19
Gugur hak warisnya baik ia bersama-sama dengan saudara laki-laki atau tidak, yakni apabila bersama-sama dengan ahli waris yang dapat menghalangnya (Dahlan, 2003: 314).
2.7. Saudari Seayah (Al-Ukht Li Al-Ab)
SAUDARI seayah dalam hal pusaka-mempusakai termasuk ahli waris ashabul furudh dan ‘ashabah. Sebagai ashabul furudh, ia mempunyai tiga kemungkinan, yaitu seperdua, duapertiga, dan seperenam.
2.7.1. Seperdua
Seperdua, dengan syarat: (a) tidak terdapat bersamanya seorang saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah (saudara laki-laki seayah); (b) hanya seorang saja; (c) tidak terdapat furu’ maupun ashal dari si mati; (d) tidak terdapat saudari seayah seibu.
Dasar hukumnya sama dengan dasar hukum yang berlaku pada saudari yang seayah seibu.
2.7.2. Duapertiga
Dua pertiga, dengan syarat: (a) tidak ada anak laki-laki atau ayah atau kakek; (b) tidak ada saudara laki-laki yang menjadi ‘ashabah (saudara laki-laki seayah); (c) tidak ada anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki seayah seibu atau saudara perempuan seayah seibu; (d) terdiri dari dua orang atau lebih.
20
Dasar hukum sama dengan dasar hukum yang berlaku pada saudari seayah seibu (Ash Shabuni, tt, 46).
2.7.3. Seperenam
Seperenam, baik jika sendirian maupun berdua atau lebih, dengan ketentuan bersama-sama dengan saudara perempuan kandung (Rasyid, 1985: 372). Dalam kedudukannya sebagai ‘ashabah, ia mempunyai dua kemungkinan, yaitu: (a) menjadi ‘ashabah bil ghair, jika bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah. Dalam keadaan ini berlaku ketentuan laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan; (b) menjadi ‘ashabah ma’al ghair, yakni jika ia mewarisi bersama-sama dengan: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
Dalam hal ini ia mendapat sisa peninggalan setelah para ahli waris tersebut mengambil bagiannya. Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh ashabul furudh, maka ia tidak mendapatkan apa – apa (Rahman, 1981: 312).
2.8. Saudari Seibu (Al-Ukht Li Al-Umm)
SEBAGAI ashabul furudh, saudari seibu mempunyai dua kemungkinan, yaitu seperenam dan sepertiga.
2.8.1. Seperenam
Seperenam, bila seorang diri. Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi:
21
... وان آان رجل يورث آللة اوامراءة وله اخ اواخت فلكل واحد منهماالسدس
“Jika seseorang meninggal dunia tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai anak (kalalah), tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu adalah seperenam harta…”
2.8.2. Sepertiga
Sepertiga, dengan syarat: (a) tidak ada pokok atau cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu). Itulah yang dimaksud dengan kata “kalalah“; (b) jumlah mereka ada dua orang atau lebih.
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 12, yang berbunyi:
...فان آانوااآثرمن ذلك فهم شرآاءفى الثلث من بعد وصية يوصى بهااودين غيرمضاروصية
من الله والله عليم حليم
“ ... Jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian sepertiga, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.”
2.9. Perempuan yang Memerdekakan Hamba Sahaya (Maulal ‘Ataqah)
MENURUT kenyataan, pengertian budak dalam arti yang sebenarnya sudah tidak didapatkan lagi pada zaman modern sekarang ini. Di negara-negara yang berkonstitusi Islam, perbudakan itu sudah dihapus oleh undang-undang dan dilarang keras karena bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan hilangnya perbudakan,
22
hak wala’ yang menjadi hak prioritas tuan yang membebaskannya akan ikut hilang pula.
Namun demikian, sebagai kelengkapan kodifikasi hukum Islam yang tidak terhapus oleh syari’at, di sini kami akan menguraikan juga hak pusaka wala’. Perempuan yang memerdekakan hamba (budak) tergolong ahli waris ‘ashabah. Ia hanya dapat menerima warisan apabila yang diwarisi tidak meninggalkan ahli waris, baik ashabul furudh maupun ‘ashabah (Dahlan, 2003: 314).
3. Mengapa Bagian Wanita Hanya Sebahagian?
PENCIPTA hukum yang bijaksana telah menetapkan bagian wanita hanya separo dari pria (dalam keadaan tertentu). Syariat memberikan bagian kepada pria lebih banyak dari pada wanita karena pria memerlukan biaya yang besar dalam memberi nafkah, memikul tanggung jawab berniaga, mencari penghasilan dan menanggung beban yang berat (Ibn Katsir, tt, 504).
Untuk mensejahterakan keluarganya, tidak mustahil kaum pria harus menjelajahi daratan, mengarungi lautan, berjemur di bawah terik matahari dan berbasah kuyup di bawah derasnya hujan. Berbeda dengan wanita, karena dalam segala zaman kehidupan wanita tidak terlepas dari tanggung jawab pria. Pada waktu kecil di bawah perlindungan ayahnya yang membelanjai hidupnya. Setelah dewasa, dia bersuami. Sebagai istri, ia di bawah tanggung jawab suaminya. Kalau suaminya telah tiada, dia di bawah tanggung jawab anak-anaknya yang laki-laki. Kendatipun ada juga wanita yang memiliki keahlian dalam bekerja, namun syari’at dan tabi’at
23
tetap membebankan tanggung jawab yang berat itu kepada pria. Oleh karena itu adalah wajar dan adil kalau bagian pria sebanyak dua kali lipat dari bagian wanita (Hamka, 2003: 1116).
Nah, jika demikian, bagaimanakah mereka dapat menuduh bahwa Islam menganiaya wanita dan merampas hak-haknya? Islam telah mendiskriminasikan kaum wanita? Sebelum datangnya Islam, wanita tidak berhak sedikitpun menerima harta warisan, tapi justru wanita itu yang dijadikan barang warisan sebagaimana harta kekayaan lainnya. Di zaman pra Islam, janda dari orang yang meninggal dunia merupakan bagian dari harta warisan. Kebiasaan mewarisi janda tersebut dibatalkan oleh syari’at Islam melalui QS An-Nisa’ ayat 19, yang berbunyi:
يايهاالذين امنوالايحل لكم ان ترثواالنساءآرهاولاتعضلوهن لتذهبواببعضمااتيتموهن
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan perkawinan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”
Inilah sikap Islam terhadap wanita. Islam menyingkiri kezaliman dari pundaknya dan menolak penganiayaan terhadapnya. Islam menjadikannya sebagai pewaris setelah dahulunya tidak mewarisi apa-apa.
Sesungguhnya sistem waris dalam Islam merupakan sistem yang sesuai dengan fitrah. Juga sejalan dengan berbagai realitas kehidupan; keluarga dan kemanusiaan pada semua keadaan. Hal ini tampak jelas ketika kita membandingkannya dengan sistem lain, mana saja yang dikenal oleh umat manusia pada masa Jahiliah klasik hingga Jahiliah modern, di belahan bumi manapun.
24
Sistem waris dalam Islam merupakan sistem yang mengapresiasi makna solidaritas keluarga secara utuh, dan membagi bagian-bagian sesuai dengan kadar kewajiban dari setiap individu yang ada di dalam keluarga dalam solidaritas ini. Juga sistem ini merupakan sistem yang memelihara dasar pembentukan keluarga umat manusia dari satu jiwa. Ia tidak menghalangi wanita atau anak kecil semata-mata karena kewanitaannya atau kekecilannya. Karena di samping memelihara berbagai kemaslahatan sebagaimana telah kami jelaskan, ia juga mengistimewakan prinsip kesatuan. Sehingga ia tidak mengistimewakan satu jenis atas jenis yang lain, kecuali berdasarkan kadar beban tanggungannya dalam solidaritas keluarga.
Dari sini, wajarkah orang yang mengatakan bahwa Islam telah merampas hak-hak wanita dalam warisan? Ataukah ia menuntut persamaan hak waris antara pria dan wanita, sementara wanita tidak dibebani menanggung nafkah seorangpun, tidak menafkahi suaminya, anak-anaknya, ayah-ibunya dan sanak saudaranya.
Apakah dengan begitu syari’at Islam telah berlaku adil kepada wanita dan memperhatikan nasibnya? Ataukah justru Islam mendiskriminasikan wanita? Semua itu merupakan pemikiran-pemikiran yang menodai ajaran Islam dan berusaha melakukan tipu daya terhadap wanita dan menggodanya supaya membangkang terhadap ajaran Islam dan menuntut persamaan hak dengan pria.
Catatan Penutup
25
HUKUM waris telah ada dan dikenal oleh bangsa Arab jahiliah sejak zaman pra Islam. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa yang dapat mewarisi hanyalah orang yang sudah dapat mempertahankan kehormatan keluarganya. Dengan demikian anak-anak dan wanita tidak mempunyai hak mewarisi.
Setelah Islam datang, persoalan hukum waris disempurnakan bahkan persoalan faraidh merupakan ketentuan Allah SWT yang sangat terperinci di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dasar-dasar mengenai pewarisan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an memiliki kadar kesadaran dan keadilan yang cukup tinggi.
Dalam syari’at Islam telah dijelaskan secara terperinci untuk wanita yaitu: seperempat, seperdelapan, seperdua, sepertiga dan seperenam. Perincian mengenai hukum masing-masing bagian tersebut juga telah dijelaskan secara mendetail, sehingga dapat diketahui kapankah wanita itu memperoleh bagian seperempat, seperdua, seperenam dan lain-lain. Hal semacam ini tidak terdapat dalam agama manapun, selain Islam.
Islam telah memberikan ketentuan hukum, yaitu bukan saja laki-laki yang mendapat warisan meskipun tanggung jawab lebih besar, wanita pun berhak mendapatkannya. Laki-laki mendapat dua kali lebih banyak dari yang didapatkan wanita sebab wanita itu menurut Islam terlepas dari tanggung jawab laki-laki.
Referensi
26
Abi Daud, Al-Hafidh, tt, Sunan Abi Daud, Dar al Fikr, Beirut.
Al-Asqalani, Al Hafidh Ibnu Hajar, 1995, Bulughul Maram, Terjemahan: H. Mahrus Ali, Mutiara Ilmu, Surabaya.
Al-Bajuri, Ibrahim, tt, Al-Hasyiah ‘ala Syarh ibn Qasim, Toha Putra, Semarang.
Al-Bakr, Sayid, tt, I’anah at-Thalibin, Toha Putra, Semarang.
Al-Hafidh Abi Daud ibn Sulaiman, tt, Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Khatib, Muhammad Asy-Syarbainy, tt, Mughny al – Muhtaj; syarh ‘ala matni Minhaj Abi zakaria Yahya ibn Syarafu an – Nawawy, Jilid III, Dar al – Fikr, Beirut.
Ash Sayuti, Jalaluddin dan Al Mahalli, Jalaluddin, tt, Tafsir Jalalain, Dar al Fikr, Beirut.
Ash Shabuni, Muhammad Ali, tt, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Mutiara Ilmu, Surabaya.
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), 2003, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. IV, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Darajdat, Zakiah, 1995, Ilmu Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Hamka, 2003, Tafsir Al-Azhar, Cet. V, Pustaka Nasional Pte. Ltd., Singapura.
Katsir, Ibnu, tt, Tafsir Al-Qur’an al-Qarim, Dar al Fikr, Beirut.
Nasution, Harun dkk, 2002, Ensiklopedi Islam Indonesia, Cet. II, Djambatan, Jakarta.
Rahman, Fatchur, 1981, Ilmu Waris, Cet. II, PT Al-Ma’arif, Bandung.
Rasjid, Sulaiman, 1985, Fiqh Islam, Kurnia Esa, Jakarta.
27
Bagian Tiga
HUBUNGAN PRIA DAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Junaidah Mahmud
MANUSIA diciptakan berbagai suku bangsa untuk saling kenal-mengenal, menyayangi dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hujuraat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Dalam penafsiran ayat tersebut banyak yang keliru, karena di dalam prakteknya realitas menunjukkan betapa pergaulan yang terjadi antara pria dan wanita, baik itu mahram maupun bukan mahram tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an, hukum-hukumnya banyak yang dilalaikan.
Dalam Al-Qur’an sangat banyak kita temui pernyataan bahwa Al-Qur’an merupakan satu kitab yang memberi pengajaran-pengajaran, peringatan-peringatan untuk dijalani dan diamalkan, antara lain, seperti firman Allah SWT dalam QS An-Nuur ayat 1 yang berbunyi:
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ
تَذَآَّرُونَ
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.”
Mengingat berarti menjalankan semua yang telah diatur ketentuannya dalam Al-Qur’an, sebab kalau tidak sebagai disebut dalam QS Thaahaa ayat 124, yang berbunyi:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِآْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Dalam ayat selanjutnya, Allah menyatakan tentang pertanyaan orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah SWT, mengapa mereka dihimpunkan dalam keadaan buta? Padahal di dunia mereka mempunyai mata serta dapat melihat. Allah menjawab dengan firmannya: “Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan” (QS Thaahaa: 126).
Petunjuk-petunjuk Allah itu merupakan hal terpenting yang mesti diikuti dan diimani, karena iman itu dasar yang menentukan diterimanya amal ibadah seseorang, bukan yang lain.
Iman mempunyai arti mempercayai dan meyakini akan adanya Allah, malaikat, Rasul, dan hal-hal ghaib lainnya berdasarkan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw seperti yang termuat dalam Rukun Iman.
Kewajiban Rasul hanya menyampaikan wahyu Allah, baik itu berupa perintah maupun larangan kepada segenap umatnya, karena risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu universal, tidak untuk satu golongan, walaupun beliau dari bangsa Arab.
Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu bersifat umum dapat dibuktikan dengan QS Sabaa’ ayat 28, yang berbunyi:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ آَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا...
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…”
Sebahagian dari umat ada yang mendapat pancaran Nur Ilahi untuk mengikuti ajaran tersebut, sehingga ia tertuntun ke jalan yang lurus dan benar, dan ada pula yang tersesat tidak dapat menemukan kebenaran.
Allah tidak akan menurunkan azab kepada suatu kaum yang melakukan kezaliman terhadap diri sendiri maupun orang lain, sebelum mengutus seorang Rasul yang menyampaikan Wahyu kepada mereka. Hal ini seperti difirmankan Allah dalam QS Yunus ayat 47 yang berbunyi:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَسُولٌ ...
“…Dan tiap-tiap umat mempunyai Rasul.”
Berdasarkan isi ajaran Al-Qur’an, setiap umat di manapun ia berada di muka bumi ini mempunyai seorang Rasul yang menyampaikan wahyu. Oleh karena demikian umat Islam wajib percaya kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, yaitu Kitab Taurat, Injil, dan Zabur.
Al-Qur’an dengan pokok-pokok isi yang dikandungnya bukan sebagai beban bagi yang mengikutinya, dan sangat ironis apabila ada golongan yang berfaham bahwa Islam itu merupakan agama yang hanya menyulitkan.
Allah berfirman dalam QS Thaahaa ayat 2-3: “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; akan tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)”. Bahkan Islam juga melarang pertanyaan-pertanyaan yang menyebabkan kemudharatan.
Shahib Taisir Akhlaq dalam kitabnya, halaman pertama ada menyebutkan “ta’rif” daripada taqwa, yaitu: ”Menjunjung segala perintah dan menjauhi segala larangannya baik secara lahiriah (terang-terangan) maupun bathiniah (sembunyi- sembunyi)”.
Oleh karena itu, manusia sama kedudukannya di sisi Allah SWT, kelebihannya hanya terletak pada tingkatan orang-orang yang bertaqwa.
Dalam QS Al-Hujuraat ayat 13, Allah berfirman:
إِنَّ أَآْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاآُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
Adapun ketakutan seorang hamba kepada Khaliqnya, tergantung kepada sedikit banyaknya pengetahuan tentang ke-Agungannya dan menyadari akan kerendahan dirinya. Karena orang yang jahil akan ketuhanan melazimi jauh hati dari ketakutan.
Seperti firman Allah dalam QS Faathir ayat 28 yang berbunyi:
... إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء .ُ..
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...”
Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat tersebut ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, dengan berpegang kepada apa yang telah Allah turunkan dan memperhatikan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah dalam alam semesta. Allah yang telah kuasa menjadikannya dari tiada kepada ada dan lebih mudah baginya meniadakan sesuatu yang telah ada.
Sangat tinggi kedudukan orang-orang yang mempunyai ilmu, sehingga di kalangan para sahabat ketika dikatakan berdiri pada saat kedatangan Rasulullah Saw, maka mereka berdiri karena kemuliaannya. Demikian pula pada zaman sekarang ini, jika hadir para ‘alim ulama pada tempat-tempat seperti majelis taklim, dianjurkan untuk berdiri sebagai penghormatan terhadap ilmunya.
Tentang penghargaan terhadap orang-orang berilmu tersebut, dalam QS Al- Mujaadilah ayat 11, Allah berfirman:
...يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ...
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Adapun hikmah di turunkan ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain seperti tersebut dalam firman Allah berikut: Pertama, supaya jangan ada yang mengatakan : “Amat besar pernyataan atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang Aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokan (Agama Allah )” (QS Az-Zumar ayat 56); Kedua, atau supaya jangan ada yang berkata: “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah Aku termasuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Az-Zumar ayat 57); Ketiga, atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab:
“Kalau sekiranya Aku dapat kembali (ke dunia), niscaya Aku akan termasuk orang- orang yang berbuat baik” (QS Az-Zumar ayat 58).
Demikianlah sebahagian dari banyaknya hikmah-hikmah diturunkan Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia di dalam kehidupan dunia, baik yang berkaitan dengan yang ghaib (Allah) maupun sesama makhluk, khususnya manusia, di dalam pergaulan sehari-hari, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, namun segala tingkah laku dan perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah.
Allah berfirman dalam QS Yunus ayat 61: “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca satu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauh Mahfuzh)”.
1. Pergaulan Antara Pria dan Wanita yang Bukan Mahram
DALAM hal pergaulan antara pria dan wanita yang bukan mahram menurut Islam. Usaha-usaha pokok yang terlebih dahulu dilakukan, antara lain:
1.1. Menjaga Mata
Allah SWT dalam QS An-Nuur ayat 30, berfirman sebagai berikut:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ...
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ...
Demikian juga dalam QS Al-Ahzab ayat 53, Allah SWT berfirman:
...وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ...
“…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir…”
Mata merupakan anugerah Allah SWT dan sebagai nikmat dari padanya yang wajib disyukuri dan menjaganya dari sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, dan
mempergunakannya pada tempat-tempat yang di ridhanya, seperti membaca Al-Qur’an, memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam ini, dan lain sebagainya.
Di samping itu, mata juga merupakan amanah dari Allah SWT yang akan diminta pertanggunganjawabannya di akhirat kelak, ia akan mempersaksikan diri terhadap segala perbuatan yang pernah diembannya.
Sebahagian orang ada berpendapat bahwa; pandangan, ciuman yang sengaja di lakukan oleh yang bukan mahram termasuk dosa kecil. Padahal Imam Ghazali yang merupakan Hujjah Islam pernah berkata: “Setiap kesengajaan itu dosa besar, dan setiap yang dilarang oleh Allah, maka itu dosa besar”.
Meskipun makhluk ini dikatakan dapat melihat, namun pada hakikatnya yang mengetahuinya segala sesuatu hanyalah Allah SWT walaupun manusia itu sendiri terkadang tidak menyadari apa yang dialaminya.
Seperti difirmankan Allah SWT dalam QS Al-Mu’min ayat 19, yang berbunyi sebagai berikut:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
Yang dimaksud dengan “Pandangan mata yang khianat " ialah pandangan terlarang, seperti memandang kepada wanita yang bukan mahramnya, demikian juga sebaliknya.
Setiap yang terlihat oleh mata, lazim memberi bekas ke dalam hati, namun tidak lazim apa yang dirasa oleh hati dapat dilihat oleh mata, seperti halnya orang buta.
Itu sebabnya dalam ayat, setelah disebutkan kata “a’yun” yang berarti pandangan mata diiringi dengan kata “tukhfishshudur” (tersimpan di hati).
Mengenai pandangan yang diharamkan, itu sangat banyak terjadi dalam pergaulan lawan jenis yang bukan mahram.
Wanita merupakan tempat utama memuaskan hawa nafsu, bila seorang pria berhadapan dengan wanita, akan berkecamuk berbagai macam perasaan, dan menimbulkan nafsu syahwat.
Disebabkan oleh mata, maka fitnah yang paling besar untuk pria adalah wanita, karena wanita itu seperti yang digambarkan oleh sebuah Hadits yang diriwayatkan Al-Ashfahani dari Khalid bin Zaid Al-Yahni dengan Isnad yang tiada diketahui padanya:
اَلنِّسَاءُ حَبائِلُ اشَّيْطَانَ
“Wanita itu jaringan syaithan”.
Sebagaimana sebuah kisah yang terjadi antara Nabi Musa as dengan iblis, ketika Nabi Musa as bertanya kepada iblis: “Apabila manusia berbuat sesuatu, maka bagaimana cara iblis mendapat kemenangan di atas manusia itu? Iblis tersebut menjawab: “Apabila manusia itu mengherani dirinya sendiri (u’jub), merasa banyak amalnya dan lupa akan dosa-dosanya.”
Iblis itu memperingatkan Nabi Musa as dengan tiga perkara, salah satu di antaranya adalah: “Jangan berada di tempat sepi berdua-dua dengan wanita yang tiada halal, karena apabila seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita yang tiada halal baginya, maka dialah temannya. Ia goda laki-laki itu dengan wanita tersebut, dan wanita tersebut dengan laki-laki itu.”
Pada akhirnya iblis itu menyesal dengan berkata: Aduhai, telah diketahui oleh anak Adam hal yang ditakutkan olehnya.
Pada ayat yang telah lalu sebutnya, menunjukkan perintah menahan pandangan untuk laki-laki saja, karena terdapat ibarat “Al-Mu’minin”. Dalam ilmu Nahu kalimat itu dipakai untuk tazkir (bermakna laki-laki), pada ayat selanjutnya Allah SWT juga menjelaskan dengan firmannya dalam QS An-Nuur ayat 31 yang berbunyi:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ ...
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya…”
Demikianlah Allah SWT telah menjelaskan hukum-hukum itu, supaya tidak ada keragu-raguan di dalamnya.
1.2. Menjaga Kemaluan
Salah satu sifat yang dapat menjadikan orang-orang Mukmin beruntung, sebagaimana tercantum dalam QS Al-Mu’minun ayat 5-6 adalah: “Orang-orang yang menjaga kemaluannya” kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki,1 maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
Dalam hal ini, menjaga kemaluan dari yang diharamkan merupakan kewajiban, ada tempat-tempat atau saat-saat tertentu seseorang itu boleh menyalurkan nafsu kemaluannya, yaitu terhadap istri-istri yang sah dan halal untuk digauli.
Salah satu contoh istri yang sah namun tidak halal untuk digauli yaitu, istri yang belum suci dari pada haidh.
Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 222 berfirman:
...فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِوَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
“...Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Maksud dari ayat tersebut, seseorang baru boleh menyetubuhi istrinya apabila sudah mandi dari pada hadas. Ada pula yang menafsirkan sesudah berhenti darah yang ke luar.
Apabila persyaratan seperti tersebut telah ada, maka suami boleh mendatanginya dengan jalan ma’ruf, sesuai dengan yang diinginkan.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 223:
نِسَاؤُآُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”2
Sifat lain yang membuat orang mukmin beruntung yaitu, memelihara shalat, dengan mengetahui segala haiat, ab’adh, kewajiban (rukun-rukunnya) dan mengerjakannya pada awal tiap-tiap waktu.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Ankabut ayat 45:
1 Maksudnya: Budak-budak belian yang terdiri dari Wanita-wanita yang ditawan oleh orang-orang Islam dalam peperangan dengan orang-orang kafir.
2 Yaitu melalui farji.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”
Dengan mengetahui hakikat sembahyang, akan terhindar dari berbagai kemungkaran yang ada dalam kehidupan.
1.3. Tidak Menampakkan Perhiasan
Perhiasan identik dengan wanita, terhadap wanita, memakai pakaian seperti emas, perak dan kain sutera bukan suatu larangan, lain halnya dengan kaum pria yang telah mencapai batasan taklif, hukum memakainya adalah haram.
Perhiasan seperti tersebut itu merupakan pakaian yang dibedakan bagi wanita, tetapi tidak boleh dinampakkan kecuali yang biasa nampak saja.
Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS An-Nuur ayat 31, yang berbunyi:
...وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ...
“… Dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
Larangan tersebut tidaklah mutlak, ada pihak-pihak tertentu yang dibolehkan untuk memperlihatkannya. Seperti, suami, ayah, baik ayah sendiri maupun ayah suami, demikian juga terhadap anak-anaknya semua yang menjadi mahram baginya.
Ada juga pihak-pihak yang bukan mahram diperbolehkan untuk menampakkan perhiasan seperti tersebut dalam QS An-Nuur ayat 31, yaitu: “Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”.
Menampakkan perhiasan di sini dapat diartikan ke dalam dua pengerian: Pertama, tampak hakiki, seperti tidak memakai kudung supaya nampak perhiasan yang dipakai di telinga dan lehernya; Kedua, tampak majasi, seperti larangannya tersebut dalam QS An-Nuur ayat 31, yaitu: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
1.4. Memakai Kudung (Jilbab)
Yang harus diperhatikan di sini adalah bagaimana cara berjilbab yang benar menurut Islam? Dalam QS An-Nuur ayat 31, disebutkan:
...وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ...
“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”
Orang-orang yang beriman, seluruhnya mengaku kebenaran adanya perintah berjilbab dalam Islam, akan tetapi jilbab yang dikenakan oleh sebahagian besar wanita muslimah tidak sesuai dengan perintah agama.
Agama menganjurkan kepada wanita-wanita muslimah untuk menutupkan kain kudung sampai ke dadanya supaya tidak nampak tempat-tempat perhiasan, dan tidak memakai pakaian yang membentuk lekukan tubuh karena itu merupakan cara untuk menjaga kesucian jiwa dan raga.
Mengingat kekejian yang terjadi akibat pergaulan yang tiada halal, agama menganjurkan nikah. Apabila seorang pria telah ada hajat bagi watha’ (bersetubuh). Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 3:
...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاع...
“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas menunjukkan pengakuan Islam terhadap adanya poligami, dan poligami yang dilakukan tidak boleh lebih dari empat orang wanita.
Pengakuan Islam terhadap adanya poligami, dengan wujudnya syarat-syarat tertentu, seperti yang dijelaskan pada kelanjutan ayatnya, yaitu: apabila seorang suami dapat berlaku adil dalam mengurus hak-hak isteri atasnya, seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Jika persyaratan seperti tersebut tidak dapat dipenuhi, Islam hanya membenarkan nikah dengan seorang saja.
Sebahagian Khawarij mengharuskan bagi seorang pria menikahi wanita sampai sembilan orang, dengan menghimpunkan makna dua, tiga dan empat. Namun maksud dari pada ayat tersebut tidak boleh lebih di atas empat orang wanita. Wallahu a’lam.
2. Pergaulan Suami Isteri
SESEORANG dapat disebut suami atau istri apabila telah menjalani satu akad yang memuat beberapa rukun dan beberapa syarat atau disebut dengan nikah.
Dalam Islam terdapat lima macam hukum, atau disebut dengan Al-ahkamul khamsah, yakni: Pertama, jaiz (harus/boleh). Jaiz merupakan hukum aslinya (asalnya) pernikahan, bagi tiap-tiap orang yang memenuhi syarat nikah. Karena Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan kebutuhan biologis;
Kedua, sunnah, bagi mereka yang ingin kawin, dan mempunyai kemampuan fisik serta mental dan kebutuhan rumah tangga;
Ketiga, wajib, bagi yang telah berkeinginan untuk kawin dan mempunyai kemampuan fisik serta mental dan biaya rumah tangga serta khawatir akan melakukan kekejian bila tidak menikah;
Keempat, makruh, bagi yang belum punya keinginan untuk menikah, sehingga dikhawatirkan ia akan melalaikan kewajibannya;
Kelima, haram, bagi yang mempunyai niat tidak baik di dalam pelaksanaannya. Seperti; ingin menyakiti wanita yang dinikahinya.
Di samping untuk menjaga diri seseorang agar tidak mudah melakukan kekejian seperti perzinaan, perkawinan juga bertujuan untuk dapat menyalurkan nafsu seksual dengan wajar dan sah, karena itu merupakan fitrah manusia sehingga Islam mensyari’atkan.
Sang hujjatul Islam, Imamul Ghazali berpendapat di dalam kitab karya besarnya Ihya’ulumuddin Juzuk 3 Halaman 96 bahwa: “Nafsu keinginan bersetubuh itu telah menguasai manusia untuk dua faedah. Salah satu di antaranya yaitu: Kekalnya keturunan dan terus-menerusnya ada manusia.”
Dalam kehidupan berumah tangga, terhadap suami dan istri mempunyai hak-hak dan kewajiban sendiri-sendiri.
2.1. Kewajiban suami/hak istri terhadap suami, antara lain:
2.1.1. Bergaul dengan baik
Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Syaikh Muhammad bin Umar dalam Kitab ‘Uquduulujain halaman 3 menafsirkan ayat tersebut, bahwa seorang suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya di segi bermalam, nafkah dan bagus dalam berbicara.
2.1.2. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga karena para suami mempunyai kelebihan tingkatan dari pada istrinya, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ ...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
2.1.3. Kebebasan Berfikir
Memberikan kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri, sepanjang tidak menyalahi dengan ajaran agama, supaya tidak mendorong isteri ke hal-hal yang salah.
2.2. Hak suami terhadap istri, antara lain;
Melayani apa yang menjadi kesenangan suami, rajin merawat dan menjaga dirinya serta harta suaminya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda:
خَيْرُ النَِسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ اِذَا بَصَرْتَ وَتَطِعُكَ اِذَا اَمَرَتَ وَتَحْفَضُا
غَيْبَتَكَ فِنَفْسِهَا وَمَالِكَ (رواه الطبرانى)
“Wanita yang paling baik adalah wanita yang menarik hatimu bila kau pandang dan taat bila kau perintah, dan tahu menjaga kehormatannya bila kau sedang pergi dan berhati-hati menjaga hartamu” (HR Thabrani).
Allah SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 34 berfirman:
...فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri3 ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).4”
3 Maksudnya memelihara farji dan lainnya.
4 Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik.
Seorang istri yang melalaikan kewajiban-kewajiban itu akan menggugurkan hak-haknya yang wajib atas suami memberikan ketika isteri masih berada dalam ketaatannya itu.
Allah dalam ayat yang sama berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya5, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”
Berdasarkan ayat tersebut, bila istri tidak mentaati Allah dan nusyuz terhadap suaminya, pertama-tama yang diperintahkan kepada suami, untuk memberi pengajaran terhadap istri, dengan cara memisahkan tempat tidur.
Syaikh Ibrahim Al-Bajury dalam kitabnya halaman 134 berpendapat: “Seorang suami apabila tidak berkata-kata dengan isterinya karena keingkarannya, hukumnya haram apabila lebih dari tiga hari”. Karena ada hadist shahih menyatakan bahwa orang Muslim tidak dibenarkan untuk tidak berkata-kata sesama Muslim jika lebih dari tiga hari. Pada Sunan Abi Daud juga disebutkan; “Orang yang tidak berkata-kata di atas tiga hari, ia masuk neraka.”
Imam Nawawi menambahkan, terdapatnya hukum haram dalam hal ini apabila suami tidak berkata-kata dengan istri yang nusyuz lebih dari tiga hari tanpa uzur syar’i,6 apabila ada tiada mengapa lebih dari batasan yang disebutkan.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mempunyai hikmah-hikmah tertentu, antara lain agar lebih mudah dihafal dan diamalkan.
Dalam QS Al-Furqaan ayat 32 disebutkan: “… mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Kemudian dalam ayat itu juga Allah menjawab dengan firmannya: Demikianlah supaya kami memperkuat hatimu dengannya.”
5 Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban suami istri seperti, tidak mau melayani ketika diminta, meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
6 Uzur yang dibenarkan oleh Agama, Seperti diam sebagai pengajaran dari pada maksiat.
Demikian juga kaitannya dengan ingkarnya istri terhadap suami. Apabila telah diberi pengajaran berupa memisahkan tempat tidur, namun masih tetap dalam keingkarannya, Islam mengharuskan bagi suami melalui tahap berikutnya, yaitu boleh memukul yang tidak membawa kepada melukai dan bukan pada wajahnya.
Yang perlu digarisbawahi, khususnya bagi para wanita (istri) ialah, dengan sebab nusyuz dapat menggugurkan nafkah baik lahir maupun batin.
Pernikahan yang memuat lima rukunnya, yaitu, suami, istri, dua orang saksi serta sighat (lafadz) merupakan syari`at yang terdahulu semenjak zaman Aba Basyar (Bapak manusia) yaitu Nabi Adam as dan berlaku hingga hari qiamat (dalam syurga).
Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya halaman 90 menyebutkan: “Dalam syurga dibolehkan bagi insan untuk menikah walaupun dengan mahramnya, selain asal (orang tua) dengan furuk (anak-anaknya) atau sebaliknya.”
3. Pokok-Pokok Hukum Perceraian
Adapun hal-hal yang terjadi khusus dalam sebuah perkawinan, antara lain, yaitu: khulu’, thalaq, ila’, zhihar, li’an, iddah.
3.1. Khulu’
Khulu’ adalah permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut ‘iwadhnya. Pembayaran yang dilakukan oleh istri harus dimaklumi kadar jumlahnya, supaya tidak terjadi perdawaan dari kedua belah pihak.
Khulu’ adalah milik pribadi wanita, suami tidak boleh rujuk kecuali bila istri bersedia kembali dan dengan diadakannya pernikahan yang baru, seperti halnya thalaq raj’i bila telah habis masa iddahnya.
Khulu’ dapat dilakukan walaupun dalam masa haidh, artinya; tidak terdapat hukum haramnya, lain halnya dengan thalaq, walaupun thalaqnya jatuh, tetapi jika terjadi dalam masa wanita belum suci dari pada haidh, hukumnya adalah haram.
Dalil tentang adanya khulu’, firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 229:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
3.2. Thalaq
Setiap suami isteri mendambakan keharmonisan dalam rumah tangga, apabila kelanggengan itu tidak dapat dipelihara dan jaga, dalam arti suami tidak menerima kekurangan yang dimiliki isterinya seperti, kurang memperhatikan kewajiban-kewajiban setelah diberi pengajaran, dihalalkan untuk men-thalaq-nya.
Seandainya suami dapat dengan ikhlas menerima kekurangan tersebut sesungguhnya itu lebih diridhai dan dicintai oleh Allah.
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
لَيْسَ شَيْئٌ مِنْ اْلَحَلاَلِ أَبْغَضَ اِلَى اللَّهِ مِنَ الطَّلآقِ
(رواودوحاآم)
“Tidak ada sesuatu dari perbuatan hala yang dibenci Allah dari pada thalaq” (HR. Abu Daud dan Hakim).
Thalaq menurut bahasa adalah lepas ikatan, yaitu melepaskan ikatan suami istri, dengan lafadh-lafadh dan niat-niat tertentu.
Tentang adanya thalaq, Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Syarat untuk jatuh thalaq, dua yaitu: mukallaf dan bukan orang yang dipaksa.
Banyak orang yang berpendapat tentang jatuh tidaknya thalaq orang yang sengaja mabuk, jika tidak disengaja, seperti dipaksa, tidak jatuh thalaqnya.
Syaikh Ibrahim mengatakan: Jatuhnya thalaq pemabuk itu sebagai ganjaran atau siksaan terhadapnya.
Berdasarkan syarat tersebut, maka dapat diketahui ada empat orang yang tidak jatuh thalaqnya walaupun dilafadzkan dengan lafadz yang jelas. Keempat orang tersebut yaitu shabi (anak kecil), orang gila, orang yang bermimpi dan orang-orang yang dipaksa thalaqnya.
Lafadz thalaq ada dua, yaitu: (a) sharih (lafadz yang jelas), yaitu lafadz thalaq yang khusus dan tiada ihtimal untuk yang lain, seperti; Engkau terthalaq; (b) kinayah (sindiran) yaitu lafadz-lafadz thalaq yang ihtimal bagi yang lain. Seperti: Engkau terlepas.
Lafadz itu dapat diartikan terlepas ikatan suami istri atau terlepas dari yang lain dari itu.
Seorang istri dapat dihukumi terletak apabila suami telah melafadzkan kata-kata thalaq, baik dengan cara kinayah ataupun lafadz sharih. Akan tetapi jika suami menthalaq istri dengan cara kinayah harus disertai dengan niat thalaqnya, karena di situ letak perbedaan lafadz sharih dan lafadz kinayah di samping yang telah disebutkan.
Syaikh Ibrahim Bajuri dalam Kitabnya Juzuk kedua, halaman 143 menyebutkan thalaq ada dua macam; (1) thalaq sunnah (jaiz/harus), yaitu; suami menthalaq istri yang belum digauli, dalam masa suci; (2) thalaq bid’ah (haram) yaitu: suami menceraikan istrinya dalam masa haidhh atau dalam masa suci, di mana suami telah mencampurinya.
Berdasarkan sunnah dan bid’ahnya thalaq ada dua macam: (1) thalaq raj’i, yaitu: thalaq satu atau dua, suami boleh kembali kepada isterinya sebelum habis masa iddahnya, suami wajib memberikan kepada istrinya tempat tinggal, nafkah, dan pakaian, kecuali apabila ia nusyuz sebelum thalaq atau dalam pengertian ‘iddah menurut lima mazhab: (2) thalaq bain, yaitu thalaq tiga, suami tidak dibenarkan untuk kembali kepada istri.
Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 230 berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.”
Berdasarkan ayat tersebut, apabila suami menthalaq istri (thalaq tiga), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Maksud dengan menikah di sini yaitu: disyaratkan untuk dapat kembalinya suami yang pertama kepada istri dengan dinikahi istrinya itu oleh suami yang lain, beserta wujud watha,
walaupun tidak inzal (ke luar mani), sebagaimana tersebut dalam hadits dan ijma’ para ulama mengatakan demikian.
Di samping itu, setelah istri bainah (yang ter-thalaq tiga) tersebut menikah dan disetubuhi oleh suami kedua kemudian di-thalaqnya pula, disyaratkan lalu iddah untuk dapat kembalinya bekas suami pertama.
Setelah memenuhi persyaratan tersebut dan menganggap dapat melaksanakan perintah Allah SWT dibolehkan untuk kembali kepada istri dengan diadakan nikah yang baru dilengkapi dengan syarat-syaratnya: akad, mahar, wali beserta saksi.
3.3. Ila’
Ila’ yaitu bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau tidak menyebutkan batas waktunya. Dengan sumpah ini, seorang wanita menderita karena tidak dicampuri dan tidak pula diceraikan.
Dalam masa ila’ tersebut, suami boleh kembali (ruju’) menyetubuhi istrinya dengan membayar kaffarah atau menceraikan.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 226:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kepada orang-orang yang meng-ila' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam masa ila’ suami wajib memberikan nafkah dan pakaian yang bersifat lahiriah kepada istri karena yang imtina’ (tertegah watha’) dari pihak suami, lain halnya dengan istri nusyuz (tidak mau disetubuhi) yang menyebabkan gugur nafkahnya itu.
3.4. Zhihar
Zhihar yaitu perkataan seorang suami kepada isterinya: “Punggungmu seperti punggung ibuku” ataupun perkataan lain yang sama maksudnya. Yang jadi adat bagi orang Arab Jihiliyah bila suami berkata demikian kepada isterinya, maka isteri itu haram untuk selama-lama.
Setelah Islam datang, maka kebiasaan Jihiliyah yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu halal kembali baginya dengan membayar
kaffarah (denda). Selama belum membayar denda, haram atasnya bercampur dengan isterinya itu.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Mujaadilah ayat 3:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Di samping denda yang telah disebutkan berupa memerdekakan budak yang mu’minah tanpa cacat, apabila tidak mendapatkannya wajib berpuasa dua bulan berturut-turut dengan niat kaffarah pada waktu malam. Jika itupun tidak kuasa dilakukan wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin, dan masing-masing mendapatkan satu mud.
3.5. Li’an
Dalil tentang adanya li’an firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 6:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Berdasarkan ayat tadi, yaitu tuduhan suami terhadap isteri bahwa ia berzina tanpa mempunyai saksi-saksi, dan anak yang dilahirkan oleh istrinya bukan anaknya. Orang yang telah menuduh isterinya berbuat zina tanpa mengajukan empat orang saksi, harus bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya itu, kemudian ia bersumpah sekali lagi bahwa ia akan mendapat laknat Allah jika ia berdusta.
Dengan demikian, berlaku bagi suami dengan sebab li’annya lima hukum: (1) gugur had (deranya); (2) berlaku dera terhadap istri; (3) putus ikatan pernikahan; (4) ternafi anak dari suami; (5) dan haram istri tersebut untuk dirinya selama-lamanya.
Apabila suami yang telah menuduh istrinya itu tidak memberikan bukti atau tidak mengajukan kesaksian sendiri dengan bersumpah, maka terhadapnya dikenakan had (dera) atas tuduhannya itu:
Dalil firman Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونََ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik7 (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ketika seseorang menuduh orang lain melakukan satu kekejian tidak boleh tidak daripada mengajukan empat orang saksi, karena zina merupakan urusan yang sangat besar pengaruhnya dalam mendapatkan ganjaran, baik terhadap orang yang menuduh maupun yang tertuduh. Wallahu ‘Alam.
3.6. ‘Iddah
‘Iddah merupakan masa menunggu karena untuk mengetahui keadaan rahimnya, atau karena ta’abbud, atau karena kesedihan atas suaminya, dengan Quru’ bulan atau wadha’ (melahirkan).
Wanita ber’iddah (mu’taddah) ada dua macam:
3.6.1. Mutawaffa’anh (‘iddah wafat)
Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya jika dalam keadaan hamil, ‘iddahnya sampai melahirkan, itu berlaku apabila pasti atau ada kemungkinan bahwa anak itu adalah anaknya. Jika tidak demikian, seperti anak kecil, puntung sekali zakar, ‘iddahnya dengan bulan (empat bulan sepuluh hari), bukan dengan melahirkan, karena anak itu tidak boleh dihubungkan dengan laki-laki seperti tersebut itu. Demikianlah pendapat sahabat-sahabat Syafi’i (mazhab).
Wanita yang telah meninggal suami berkewajiban menahan diri untuk tidak memakai sesuatu untuk maksud perhiasan (ziinah), seperti jenis pakaian sutra, pakaian berwarna. Di samping itu wanita ber’iddah tersebut wajib menahan diri dari memakai
7 Maksudnya di sini ialah: Wanita-wanita yang suci, akil baligh dan muslimah.
parfum, baik pada badan maupun pakaian dan tidak boleh ke luar rumah kecuali ada keperluan hajat.
Adapun wanita yang meninggal suaminya, sedangkan ia dalam keadaan tidak hamil (masih kosong), maka masa ‘iddahnya empat bulan, sepuluh hari.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS A-Baqarah ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Apabila telah habis masa ‘iddah tiada mengapa wanita itu berhias, bepergian ataupun menerima pinangan.
3.6.2. Ghairu mutawaffa’anh (bukan ‘iddah wafat)
Wanita yang bercerai hidup dengan suaminya, baik itu thalaq, fasakh ataupun li’an tiada sunyi dari salah satu dari pada tiga situasi atau kondisi.
Pertama, wanita (istri) yang masih mempunyai masa-masa haidh, ‘iddahnya tiga kali suci (Quru’).
Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 228, berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Dalam masa ‘iddah, istri yang raj’iyah mempunyai dua penantian: (a) menunggu rujukan dari suaminya; (b) menunggu habisnya masa ‘iddah, kemudian bebas dari ikatan perkawinan.
Seorang istri yang bain hanya terdapat satu penantian yaitu menunggu habis masa ‘iddah untuk lepas dari pernikahan.
Kedua, wanita (istri) tidak berhaidh.
Wanita yang tidak mempunyai haidhh ketika dithalaq ada dua: (1) shaqhirah (wanita kecil) yaitu belum haidh sama sekali dan belum mencapai usia manopuose; (2) Aaisah (manopuose) tentang ‘iddah bagi keduanya Allah SWT berfirman dalam QS At-Thalaq ayat 4:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.”
Dua masalah tersebut itu pada wanita yang bukan wafat suaminya. Adapun apabila wafat suaminya, maka ‘iddah keduanya tetap dengan empat bulan sepuluh hari.
Ketiga, wanita (istri) hamil.
Bila suami meninggal dunia, sedang istri dalam keadaan hamil, maka wanita tersebut wajib ber’iddah sampai ia melahirkan.
Karena Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 4 berfirman:
...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. At-Thalaq : 4).
Dalam ajaran Islam, seorang suami wajib memberikan nafkah terhadap istrinya yang bain baik bainnya itu dengan sebab khulu’, thalaq tiga atau fasakh jika ia dalam keadaan hamil selama dalam masa ‘iddahnya itu berdasarkan pendapat shahih (Imam Malik, Syafi’i dan Hanafi).
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ آُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Wanita yang bercerai hidup dengan suaminya (shairu mutawaffa ‘annh) berlaku ‘iddah seperti yang telah disebutkan dengan syarat apabila suami itu telah menggaulinya.
Adapun apabila suami itu belum pernah mencampurinya, maka terhadap istri tidak ada ‘iddahnya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Kewajiban di atas suami memberikan mut’ah8 kepada istri yang diceraikannya sebelum dicampuri. Wallahu A’lam.
4. Analisis
ULAMA-ulama, baik itu ulama mutaqaddimin (salaf), maupun ulama yang mutakhirin telah banyak mengiftakan hukum-hukum agama. Tugas kita adalah mempelajari, memahami serta dapat memaknai intisari hukum itu sendiri.
Salah satu ajaran agama yang mesti difahami betul-betul adalah: bagaimana cara berpakaian yang benar dalam pergaulan?
Andai saja para wanita memakai pakaian longgar, memakai jilbab sampai menutupi dadanya, dengan niat menjunjung perintah Allah SWT, memelihara diri, tentu dapat menghambat timbulnya berbagai kekejian.
Sekarang malah sebaliknya, hampir seluruh wanita muslimah memakai pakaian yang membentuk tubuh, memakai jilbab tidak untuk menutupi dadanya memakai celana jeans ketat yang seharusnya dipakai pria, sehingga bila diperhatikan wanita yang berpakaian demikian sama dengan wanita yang telanjang, bedanya mungkin di segi tidak nampaknya warna kulit tubuh saja.
Sebenarnya apa yang dicari dari penampilan demikian? Itu seharusnya yang mesti ditanya pada diri sendiri oleh masing-masing individu yang mendambakan kebahagiaan dunia dan akhirat.
8 Yang dimaksud dengan “mut’ah” di sini yaitu: pemberian untuk menyenangkan hati istri yang diceraikan sebelum dicampuri.
Lain halnya lagi wanita yang telah bersuami, ia memakai perhiasan, parfum, pakaian yang bagus-bagus bukan di depan suaminya, padahal agama hanya membenarkan hal-hal yang demikian jika dilakukan di depan suami atau mahram-mahramnya.
Bukankah telah diketahui, bahwa istri yang baik yaitu: menarik jika diperhatikan, jika di depan suami kita kelihatan kumuh, bagaimana bisa dikatakan kita berusaha mencapai keluarga yang harmonis?
Catatan Penutup
BERDASARKAN uraian yang telah disebutkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain mengenai pembahasan pergaulan pria dan wanita yang bukan mahram.
Kita harus mentahbiskan atau mengabdikan diri kepada prinsip Al-Quran yang telah mengatur dengan rapi teori-teori untuk dipraktekkan dengan konsekuen.
Di antara ajaran-ajaran Islam yang wajib dijalankan yaitu menjaga mata serta kemaluan dari hal-hal yang diharamkan, karena dasar tersebut ada disebutkan dalam Al-Quran.
QS Al-Mukminun ayat 5, menjelaskan tentang salah satu sifat yang dapat membawa orang mukmin beruntung, yaitu: Orang-orang yang menjaga kemaluannya dari yang diharamkan, seperti menjaganya dari pergaulan bebas (seks bebas) yang sedang marak-maraknya sekarang ini.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pergaulan di sini yaitu memakai kudung bagi wanita.
Memakai kudung atau segala sesuatu yang dapat menutupi aurat merupakan kewajiban. Dan hingga saat ini kudung itu merupakan suatu fenomena yang mesti kita kembali kepada Al-Quran.
Al-Quran memberikan solusi, bagaimana cara berkudung yang benar menurut Islam? Dalam QS An-Nur ayat 31, Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
Dapat disaksikan, mayoritas wanita muslimah memakai kudung, akan tetapi minoritas dari wanita muslimah itu yang betul-betul melaksanakan sesuai dengan tuntutan agama.
Di samping itu juga, manusia ini dilengkapi dengan kebutuhan biologis, maka bila seseorang telah ada keinginan menyalurkan kebutuhan tersebut, Islam menganjurkan untuk nikah.
Wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria, Islam membatasinya empat orang. Dan di sini perlu perhatian dan mesti diingat, banyak orang hanya memperhatikan pada sisi kebolehannya saja tanpa mempertimbangkan sampai di mana agama itu membenarkan demikian.
Berlaku adil di segi lahiriah yang sesuai dengan kebutuhan para isteri, suatu kewajiban, dan hal itu menjadi patokan utama yang menentukan boleh tidaknya melakukan poligami.
Perlu ditekankan, bahwa berlaku adil bagi seorang pria yang poligami merupakan hal yang berat, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya, yaitu mereka yang benar-benar mengerti dan dapat menyingkapi arti ajaran itu sendiri.
Dalam kehidupan berumah tangga, suami isteri harus memperhatikan kewajiban-kewajiban masing-masing, seperti memelihara hak isteri, demikian pula sebaliknya, isteri menjaga hak-hak suaminya.
Oleh karena demikian, setiap individu dalam hidup bermasyarakat baik itu dalam pergaulan halal maupun tidak halal, perlu pengetahuan dan pengertian yang mendetail tentang hukum-hukum agama yang berhubungan dengan peranannya masing-masing. Wallahu’aklam.
Referensi
Al- Bajuriy, Syaikh Ibrahim, Sunan Abi Daud, Hasyiyah Al-Haramain Jeddah Indonesia, tt, Jilid II.
Al-Bajuriy, Syaikh Ibrahim, Imam Nawawi, Hasyiyah, Alharamain Jeddah Indonesia, tt, Jilid II.
Al-Masudi, Hafidh Hasan, Tafsir Akhlak, Sumber Keluarga, Semarang.
Ibnu Umar Nawawi, Muhammad, ‘Uquduulujain, Thuha Putra, Semarang, tt.
Muhammad bin Muhammad Ghazaly, Imam Abi Hamid, Ihya’ulumuddin, Darul Kitab Ilmiah Bairut, Lebanon, tt, Jilid III.
RHA Soenardjo dkk (Penterjemah), Terjemahan Al-Quran, 1971, Al Madinah An-Nabawiyyah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy Syarif (Lembaga Percetakan Al-Quran Raja Fahd).
Beragam Transaksi Perbankan (non-tunai) dalam Genggaman
BSM Mobile Banking GPRS (MBG) memudahkan Anda dalam melakukan transaksi perbankan dengan teknologi GPRS di ponsel Anda. Cek saldo, dan transfer antar rekening BSM, dapat dilakukan tanpa harus bernajak dari tempat Anda.
Manfaat BSM MBG :
Mudah dan informatif: menu transaksi MBG mudah dimengerti dan mudah penggunaannya.
Murah: biaya transaksi sebesar biaya GPRS*+Rp500,-**
Fleksibel: fasilitas ini dapat dilakukan pada semua jenis SIM Card GSM dan ponsel yang menggunakan teknologi GSM.
* Biaya pulsa kurang dari Rp50,-/transaksi
** Dapat berubah sesuai ketentuan bank.
Ragam layanan transaksi
Cek saldo.
Ganti PIN ATM.
Transfer uang antar rekening Bank Syariah Mandiri.
Transfer uang antar bank anggota ATM Bersama.*)
Transfer uang antar bank melalui SKN.*)
Pembayaran zakat.
*) dalam pengembangan.
Syarat mendapatkan layanan MBG
Memiliki rekening tabungan atau giro BSM.
Memiliki BSM Card.
Menggunakan kartu ponsel berbasis GSM dan tersedia fasilitas GPRS.
Menggunakan ponsel berfasilitas GPRS.
Mengisi formulir permohonan BSM MBG.
Aktivasi dan Setting GPRS di Ponsel
Langkah-langkah Men-download Aplikasi BSM MBG
1. Aktifkan dahulu fasilitas GPRS kartu selular Anda.
2. Sesuaikan setting GPRS di ponsel dengan kartu selular yang dipakai.
3. Pastikan ponsel Anda adalah ponsel dengan kualifikasi MIDP 2 dan GPRS kelas 10.
4. Download aplikasi menu BSM MBG ke ponsel dengan alamat:
‘mobile.syariahmandiri.co.id’ dan pilih aplikasi Menu BSM Mobile GPRS.
Bagian Lima
JILBAB DAN AURAT WANITA DALAM KONTEKS ISLAM
Oleh: Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi
ISLAM sebagai agama yang mempunyai aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, di mana di dalamnya terdapat aturan-aturan hukum yang mengatur masalah-masalah yang ada dalam kehidupan manusia, mana yang baik maupun yang buruk, begitu juga dengan masalah pakaian, baik terhadap laki-laki maupun bagi perempuan sebagai alat untuk menutupi aurat yang telah digaris oleh syara’, yang pada intinya pakaian itu baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan untuk digunakan sebagai penutup aurat sebagaimana telah termauktub di dalam Al Qur'an dan Hadist.
Islam tidak melarang pengikutnya untuk mengikuti mode asalkan guntingan mode tersebut mempunyai seni yang tidak bertentangan dengan syara’. Perkembangan peradaban dunia dengan segala perubahan dan dampak yang ditimbulkannya telah membawa manusia semakin jauh dengan Allah SWT. Gerakan emansipasi wanita terus menggebrek dan memberikan suntikan injeksi kebarat-baratan dengan dalil sebagai masalah yang mendasar bagi kemajuan sosial.
Kemajuan fisik pada pribadi manusia haruslah diiringi dengan peningkatan moral pada pribadi manusia itu sendiri. Di sinilah peranan kita sebagai wanita muslimah dalam menghadapi mode-mode Barat yang masuk ke Timur, yang dibawa oleh para misionaris asing yang tanpa kita sadari kita telah terjerumus ke dalam kehidupan mereka.
Seperti yang dikatakan Umar bin Khathab ra, dikala mencium bau kebudayaan Barat yang masuk ke daerah Timur, beliau langsung berargumen: “apabila kebudayaan Barat dan Timur sudah bercampur maka rusaklah alam ini.”
Dewasa ini Jilbab bukanlah topeng badut untuk merogo kantongnya yang kesepian, tapi jilbab adalah perisai penyelamat. Dia bukan hanya penyelamatkan
- 1 -
diri dari mata-mata yang nakal, atau laki-laki hidung belang, tetapi dapat menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga pada diri seseorang yakni iman.
Mungkin akhir-akhir ini kata jilbab semakin marak terdengar di telinga kita seiring dengan semakin maraknya saudara-saudara kita para muslimah memakainya dalam kehidupannya sehari-hari. Tapi apakah sebenarnya yang dimaksud dengan jilbab itu? Apa pula dasar hukumnya dan mengapa Islam mewajibkan kaum hawa untuk mengenakannya? Apa hikmah di balik helaian penutup aurat tersebut?
Dalam Kamus Bahasa Arab Al-Munjid, jilbab diartikan sebagai Alqamisu wa Tsaubul wasi’ yang bermakna pakaian lebar atau pakaian luas. Di dalam permasalahan ini penulis ingin mengangkat tentang permasalahan jilbab sebagai pakaian keagungan dan kebesaran sekaligus pakaian kebanggaan wanita muslimah yang diliputi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Sehingga yang menjadi permasalahan sekarang adalah manakah batas-batas aurat itu? Untuk aurat laki-laki sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, dan Hakim adalah dari pusar sampai dengan lutut. Bagian itulah yang bagi laki-laki harus ditutup, sedangkan bagian yang lainnya boleh ditampakkan.
"Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah lewat di depan Ma'mar kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat". (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim).
Lalu di manakah kedudukan aurat wanita yang sebenarnya? Oleh karenanya, kali ini penulis ingin memaparkan sebisa mungkin tentang hal tersebut, dengan bahasa yang mudah dipahami yang berdalilkan dari Al-Quran, Hadist, Kitab, juga dari beberapa pendapat ulama-ulama yang telah masyhur yang kami kutip dari beberapa buku karyanya, yang Insya Allah dengan tulisan ini mudah-mudahan penulis bisa memberi untaian yang berharga pada akhwat-akhwat sekalian.
A. JILBAB DALAM BINGKAI SYARA’
1. Perbedaan Jilbab dan Kerudung
- 2 -
1.1. Pengertian Jilbab.
Jilbab menurut pengertian etimologi yang diambil dari bentuk jama’ yaitu Jalabibon ( جلابيب ) yakni yang bermakna kain yang dipakai oleh seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab berasal dari bahasa arab yang artinya pakaian lapang yang dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan dua telapak tangan. Dalam Kamus Al-Munjid karangan Al-Farahidi (100-170 H) Jilbab berarti: Al-Qamisu Auwist Tsaubul Wasi’ ( القمس اوالثوب الوسع ) yang mana maknanya: Pakaian yang lebar atau pakaian yang besar.
Al-Mahilly dan As-Sayuthiy mengungkapkan arti Jilbab adalah sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan menurut Yulienni (www.waspada.co.id, diakses 20 November 2006) dalam tulisannya yang berjudul “Perbedaan Jilbab dan Kerudung” mengatakan definisi Jilbab yang diterangkan dalam Kamus Al-Muhith adalah: “Pakaian yang besar untuk wanita, yang dapat menutupi pakaian rumahnya seperti milhafah (mantel).”
Jauhari dalam Ash Shihah mengatakan Jilbab adalah kain penutup tubuh wanita dari atas sampai bawah. Khaththath Usman Thaha menjelaskan dalam “Tafsir wa Bayan” menjelaskan Jilbab adalah apa-apa yang dapat menutupi seperti sprai atas tubuh wanita hingga mendekati tanah. Sayyid Sabiq menerangkan Jilbab adalah baju mantel. Dalam Kitab “Mujam Al Wasith Jilbab” diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah seperti mantel.
Sedangkan Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Al Munawwir mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang panjang sejenis jubah. Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa: Al Jalaabib yang terdapat dalam QS An-Nur ayat 31 adalah jamak dari “Al-Jilbaab”, yaitu pakaian yang lebih besar dari pada “Al-Khimar”. Jilbab menurut beliau adalah pakaian yang menutup seluruh badan (http://www.riamilarasari.blogspot.com).
Jilbab berasal dari kata verbal yakni jalab yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk
- 3 -
tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks Al-Qur’an tentang jilbab agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut.
Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Abbas dan Abidah Al-Samani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah berikut seluruh tubuhnya kecuali satu mata. Dalam keterangan lain disebutkan sebagai mata sebelah kiri. Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan, makna mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya dengan membiarkan kedua matanya. Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar dari pada kerudung, tetapi lebih kecil daripada selendang, yang jilbab tersebut dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung.
Pendapat ini yang telah diutarakan oleh sebahagian ahli fiqh seperti: Ibnu Mas’ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair al-Nakha’i, Atha Al-Khurasani dan lain-lain. Yang diserupakan bagaikan “Izar” sekarang. Al-Jauhari yang merupakan ahli bahasa terkemuka, berpendapat Izar adalah: Pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan. Sementara Az-Zuhaili di dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa para ulama ahli tafsir seperti Ibnu Al-Jauzi, at-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu As-Sa’ud, Al-Jashash dan ar-Razi menafsirkan bahwa mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, tubuh dan kulit dari pandangan orang lain yang bukan keluarga dekatnya.
Mengenai latar belakang turunnya ayat ini yang ada di dalam sejumlah riwayat, satu di antaranya yang telah disampaikan oleh Ibnu Sa’ad dalam bukunya Al-Thabaqat yang telah dinaqal dari Abu Malik: “Suatu malam, para isteri Nabi Saw keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Saat itu, kaum munafiq menggoda dan mengganggu (melecehkan) mereka. Mereka mengadukan peristiwa itu kepada Nabi. Ketika Nabi menegur, kaum munafiq itu berkata, “Kami kira mereka perempuan-perempuan budak.” Lalu turun surat Al-Ahzab ayat 59 . Ibnu Jarir At-Thabari yang merupakan seorang guru para ahli-ahli tafsir,
- 4 -
menyimpulkan ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak.
Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak. Karena, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga, Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. (http://joelc.wordpress.com).
1.2. Pengertian Kerudung
Agama Islam adalah sebagai salah satu agama yang sangat menjunjung tinggi hak-hak perorangan sekaligus agama terakhir yang telah Allah SWT turunkan langsung melalui Jibrail kepada Rasulullah Saw dan merupakan ajaran yang terlengkap dan paling sempurna bagi sekalian manusia. Sebagian besar dari hak-hak tersebut adalah agama Islam mengatur bagaimana tata aturan berbusana bagi kaum hawa yang telah digarisbawahi syara’. Islam mengatur bahwa busana seorang wanita terdiri dari bagian atas yang dinamakan khimar (kerudung) dan jilbab sebagai pakaian bagian bawah, Yulienni menyebutkan Khimar atau kerudung adalah: Apa yang dapat menutupi kepala, leher dan sebagian dada tanpa menutupi muka. Batas bawah yang ditutup oleh kerudung adalah bagian kerah baju yang memperlihatkaan leher dan dada. (http://www.riamilarasari. blogspot.com).
Sedangkan kerudung menurut Fathan mengartikan tudung atau kerudung ialah penutup kepala dan leher sampai dada wanita. Pengertian dari Khumur pada QS An-Nur ayat 31, sebagaiman yang telah termaktub di dalam kitab “Tafsir Ibnu Katsir” merupakan jamak dari “khimar” yang mana artinya “Apa yang dipakai untuk menutupi kepalanya.”
Sedangkan menurut Said bin Jubair ayat tersebut memerintahkan kepada perempuan untuk menutup dada dan leher jangan sampai kelihatan sesuatu pun darinya. Batas yang ditutup dengan kerudung dinamakan Juyuub yang merupakan jamak dari Al-Juyuub atau Jayib yang merupakan bagian kerah baju yang memperlihatkan leher dan dada.
- 5 -
Dari uraian di atas dapatlah kita berkesimpulan bahwa jilbab merupakan pakaian yang lapang yang menutup aurat wanita (seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan tangan). Jadi pada pengertian bahasa Arab maka kita harus menggunakan istilah khimar bukan jilbab. Dikarenakan jilbab berbeda pengertian dengan kerudung. Kerudung merupakan kain yang digunakan untuk menutupi kepala dan leher hingga dada, sedangkan jilbab meliputi keseluruhan pakaian yang menutup mulai dari kepala sampai kaki kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang mengenakan jilbab pasti berkerudung, tetapi orang yang berkerudung belum tentu berjilbab.
2. Hukum Berjilbab Bukanlah Persoalan Khilafiah
SEORANG muslimah adalah seorang wanita yang mengaku dirinya beriman kepada Allah di mana keimanannya itu diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari. Dan pengamalan dari keimanan ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mengenakan jilbab bagi seorang wanita adalah merupakan suatu perintah dari Allah SWT di mana hukumnya adalah wajib yang bila dikerjakan berpahala dan bila ditinggalkan akan mendapat siksa.
Dalam Perspektif Islam, wanita muslimah yang telah baliqh diwajibkan memakai Jilbab, masalah berjilbab bukanlah persoalan khilafiah (Perbedaan pendapat). Coba perhatikan, dalam beberapa explamation (keterangan) ayat-ayat Allah, dan dari sejumlah Hadist Rasulullah tidak ada satupun dalil yang menyatakan bahwa berjilbab hukumnya sunnat atau mubah. Dan dari decree (ketetapan) keempat mazhab tidak ada yang menyatakan bahwa hukum berjilbab tidak wajib, mereka sepakat bahwasanya berjilbab merupakan perintah yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan.
Tetapi Profesor Quraish Shihab Sudah lama berpendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka. Dalam bukunya, Quraish menyimpulkan, bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka
- 6 -
interpretasi (penafsiran). Dia juga mengatakan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan. Masih menurut Quraish, perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
Tetapi Pandangan tersebut mendapat kritikan dari Dr. Eli Maliki. Membahas, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka. Berjilbab bukanlah masalah khilafiah. Tetapi ia telah mempunyai decree yang sudah jelas. Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi di antara pembaca. Batas aurat wanita memang begitu fleksibel, yakni tergantung pada situasi dan kondisi. (http://www.mailarchive. com/kasma).
Merujuk pada beberapa pendapat yang telah di paparkan bahwa hukum menutup aurat adalah wajib, dan bukanlah masalah khilafiah. Jadi jelaslah bahwa apabila wanita yang telah sampai umur (baliqh) tidak mengenakan Jilbab maka hukumnya berdosa.
Sedangkan bagi perempuan yang sudah tua yang sudah manopause (lanjut usia) tidak wajib lagi mengenakan jilbab, tetapi masih harus menutup auratnya berdasarkan ayat QS An-Nur ayat 60:
والقواعد من النساء اللاتى لايرجون نكاحا فليس عليهن جناح ان يضعن
ثيابهن غير متبرجات بزينة وان يستعففن خير لهن والله سميع عليهم
- 7 -
"Dan perempuan-perempuan tua (yang telah berhenti dari haid) yang tiada ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka meninggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan (kecantikan), dan berlaku sopan adalah baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Sementara Hamka ketika menafsirkan ayat ini mengatakan "maka tidaklah mengapa jika wanita Qawaid (tua) ini tidak berpakaian lengkap, artinya menanggalkan pakaian luarnya yang dipakai untuk menutupi daya tarik tubuhnya”.
Sedangkan di dalam “Tafsir Jalalain” yang dikarang Jalaluddin Al-Mahilly dan Jalaluddin As-Sayuthiy (2004) mengartikan "pakaian mereka" dengan "jilbab mereka”.
Jadi perempuan yang manopause tidak lagi wajib memakai jilbab tapi cukup memakai pakaian yang mampu menutup aurat-nya dan tidak menonjolkan kecantikannya.
3. Jilbab dalam Perspektif Fiqh
DALAM membicarakan soal pakaian wanita, Islam tidak menetapkan pakaian tertentu, tetapi wanita Islam hanya perlu mengikuti garis panduan syara’.
Seperti yang dituliskan Fathan, Ada beberapa syarat Jilbab yang sah dipakai yakni: (a) Jilbab yang dipakai haruslah menutupi seluruh tubuhnya, selain yang telah dikecualikan yakni muka dan dua telapak tangan; (b) Jilbab yang dipakai bukan untuk perhiasan kecantikan, tidak berbentuk pakaian aneh sehinnga dapat menarik perhatian orang, dan tidak berparfum; (c) Jilbab yang dipakai tidak sempit, sehingga tampak bentuk tubuhnya; (d) Jilbab yang dipakai tidak menampakkan betisnya/kakinya; (e) Jilbab yang dipakai tidak menampakkan rambut dan lehernya walaupun sedikit; (f) Jilbab yang dipakai tidak menyerupai pakaian laki-laki, dan pakaian wanita kafir.
Dengan ini, Islam akan mulai dihormati dan diakui "Islam is really beautiful", karena seluruh individu Islam sudah cantik kepribadiannya. Karenanya para wanita-wanita Islam mestilah memulai melangkah sebagai agen pengembang
- 8 -
agama melalui “wear’s of moslemah” (pakaian-pakaian yang indah di mata syara’).
4. Hikmah Berjilbab
TIMBULNYA semangat berjilbab akhir-akhir ini hampir sama nasibnya dengan semangat pakai helm. Helm dipakai setelah tahu bahwa banyak orang yang kena geger otak pada saat kecelakaan karena tidak memakainya. Begitu juga dengan pemakaian Jilbab akhir-akhir ini, mereka memakai Jilbab dikarenakan takut ketahuan boroknya, atau karena adanya sanksi dari pihak terkait (polisi syariat), tetapi semua itu akan sia-sia belaka apabila tidak didasari dengan kesadaran dan ketaqwaan.
Begitu pentingnya jilbab bagi seorang muslimah sehingga dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
"Telah berkata Ummu 'Athiyah saya bertanya: 'Ya Rasulullah apakah salah seorang dari kami dinyatakan bersalah bila ia tidak keluar (pergi ke tanah lapang) karena ia tidak mempunyai jilbab?' Maka sabdanya: 'Hendaklah temannya meminjamkan jilbab untuknya'."
Rasulullah mewajibkan seorang muslimah untuk mengenakan jilbabnya dalam keadaan apapun, begitu pentingnya hal ini sehingga apabila seorang muslimah tidak mempunyai jilbab, beliau menyuruh temannya untuk meminjaminya.
Betapa banyak hikmah yang terdapat dengan berjilbab, salah satunya saja seperti yang dikisahkan oleh KH. Abu Bakar dalam bukunya “Jilbab dalam Sorotan Populer”.
“Pada suatu hari seorang wanita anggota pengajian di Solo pergi ke Jogja untuk menjenguk anaknya yang kuliah di Universitas Gajah Mada. Wanita ini kelihatan khusyu’ dengan berjilbab, dalam perjalanannya, tak lama kemudian ia mampir ke sebuah warung bakso karena perutnya lapar. Wanita itu pun langsung meminta dibuatkan semangkuk bakso. Seperti kena pukau, pedagang bakso tersebut memandang perempuan setengah baya tersebut, jantungnya pun berdetak kencang dan bergetar, dan dengan perasaan yang sangat malu pedagang tersebut berkata pada wanita setengah baya itu... ”maaf bu ini bakso babi...”, perempuan tersebut pun terkejut dan langsung mengucap: Astaghfirullah...! Alhamdulillah, makasih pak karena telah memberi tahu saya, jadi - 9 -
baksonya nggak jadi saya beli ya pak... ”ia... bu nggak apa” jawab pedagang tersebut dengan perasaan yang sangat malu.
Cerita di atas jelaslah betapa besar hikmah yang dapat kita ambil, secara tidak sadar jilbab telah menjaganya dari yang diharamkan agama, dan telah menjadi perisai imannya.
Mungkin itu merupakan salah satu hikmah dari sekian banyak hikmah yang didapati dari berjilbab. Mungkin belum cukup menyadarkan kita dengan contoh tersebut, lihatlah untaian Firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
يا ايها النبي قل لازوجك وبناتك ونساء المؤمنين يد نين عليهن
من جلبيبهن ذلك ادنى هن يعرفن فلا يؤذين وآان الله غفورا
رحيما
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka berjilbab menutup auratnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal dan supaya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Mengutip pendapat Muhammad bin Sirin, Ibnu Jarir bercerita, “Saya tanya kepada Abidah al-Samani mengenai ayat ”Yudnina ‘alaihinna min jalabihinna” (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan kepalanya sembil menampakkan mata kirinya”. Ibnu Al-Arabi dalam “Tafsir Ahkam Al-Qur’an”, ketika membicarakan ayat ini menyebutkan untuk menutup wajahnya dengan kain sehingga tidak tampak kecuali mata kirinya.
Lihatlah betapa Islam sangat menjaga kaum wanita. Tetapi mereka tidak menyadari akan hal tersebut, bahkan sebagian dari mereka masih ada yang beranggapan bahwa Islam ini agama yang kolot, agama yang tidak adil karena telah membedakan antara hak laki-laki dan wanita, hingga lahirlah emansipasi wanita atau prisip gender equality yang sedang marak-maraknya di permasalahkan pada saat sekarang ini, sehingga masih ada sebahagian kelompok yang memberi kekuasan penuh kepada kaum wanita. Padahal Rasulullah Saw - 10 -
dengan jelas mengatakan dalam sebuah hadistnya yang bersumber dari Abu Bakar ra (HR Bukhari):
عن ابى بكرة رضى الله عنه قال قال رسول الله ص م لن يفلح قوم ولوا
امرهم امراءة
“Dari Abi Bakar r.a ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW; Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaannya/perkaranya kepada wanita.”
Dalam hadist yang lain, Nabi juga bersabda: “Dari Abi Huraira ra Rasulullah Saw bersabda: Rusaklah laki-laki apabila taat terhadap wanita… (HR Ahmad).
Betapa agama Islam sangat perhatian dalam menjaga dan melindungi kaum wanita. Yakni dengan menyuruh menutup sekalian auratnya. Lihat saja Anjuran dan perintah untuk menutup aurat kepada kaum wanita tidaklah cukup sekali, firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31 menegaskan:
وليضربن بخمرهن
“Dan hendaklah mereka para wanita-wanita muslimah menurunkan Jilbabnya atas sekeliling leher dan pangkal dadanya.”
Ayat tentang khimar di atas turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani’), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Ayat di atas dengan tegas memerintahkan kepada para wanita muslimah untuk menutupi bagian badan yang tidak ditutupi oleh kerah kebaya atau pangkal dada dan leher. (http://www.smu-net.com).
Diberitakan dari Aisyah ra, dikala ayat ini turun, para muhajirat langsung menggunting kainnya untuk dijadikan kerudung. Dengan artian para muhajirat tersebut langsung menutup seluruh badannya dengan kain baju, sedangkan bagian yang tidak ditutupi oleh baju, yakni pangkal dada dan batang leher langsung ditutupi dengan selendang. Dan Aisyah pun langsung berargumen bahwasanya beruntunglah para muhajirat yang sewaktu turun ayat Allah tersebut mereka langsung merobek kainnya untuk menutup aurat mereka.”
- 11 -
Betapa semangat ketaatan wanita muhajirat tersebut menjalankan syariat Islam di masa kehidupan Rasulullah Saw, sehingga mata-mata keranjang tidak lagi sempat mengumbar hawa nafsunya.
Islam sangatlah menganjurkan kepada seluruh pengikutnya agar menutupi seluruh auratnya, supaya mereka dapat terpelihara dari gangguan liar, karena jilbab merupakan sarana yang paling baik untuk melindungi aurat dan dengan berjilbab wanita tersebut dapat menunjukkan identitas muslimah yang sejati. Tetapi ini semua tidak lepas dengan niat yang tulus karena Allah dan dengan mengedepankan ketaqwaan, kesadaran, dan keiklasan. Insya Allah!
4.1. Jilbab sebagai Identitas Muslimah Sejati
Allah memberikan kewajiban untuk berjilbab agar para wanita mukmin mempunyai ciri khas dan identitas tersendiri yang membedakannya dengan orang-orang nonmuslim. Dengan mengenakan jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak membuka auratnya di sembarang tempat, maka seorang muslimah itu bagaikan sebuah batu permata yang terpajang di etalase yang tidak sembarang orang dapat mengambil dan memilikinya, bukan seperti batu yang berserakan di jalan di mana setiap orang dapat dengan mudah mengambilnya, kemudian menikmatinya, lalu membuangnya kembali.
Allah berfirman dalam QS An-Nahl ayat 97:
من عمل صالحا من ذآر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة
ولنجزينهم أجرهم بأحسن ماآانوا يعملون
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Di samping Jilbab merupakan pakaian ketaqwaan, posisi Jilbab juga bisa berfungsi sebagai symbol identity of moslemah. Hal tersebut sesuai dengan ayat Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
ذلك ادنى ان يعرفن
“…Bahwa dengan berjilbab itu supaya kamu lebih dikenal…”
- 12 -
Dalam pergaulan muda-mudi saat ini, seolah-olah sudah tidak ada aturan yang mampu mencegah perbuatan-perbuatan mereka yang telah menjurus kepada hal-hal yang dapat merusak moralnya. Lihat saja seperti kehidupan di negara-negara Barat yang dilakukan oleh para muda-mudi yang hidup bersama tanpa hubungan mahram, mereka beranggapan bahwa dengan demikian mereka dapat melampiaskan nafsu seksnya dan dengan menelan pil antihamil, sehingga tidak mengganggu study mereka.
Hal seperti inilah yang sudah meracuni jiwa muda-mudi Islam saat ini, yang lebih parahnya lagi masih ada dari mereka yang beranggapan kuno apabila belum merasakan free sex tersebut. Masya Allah!
Seorang yang ikhlas dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya khususnya dalam mengenakan busana muslimah, Insya Allah ia akan selalu menyadari bahwa dia selalu membawa nama dan identitas Islam dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga apabila suatu saat dia melakukan kekhilafan, maka ia akan lebih mudah ingat kepada Allah dan kembali ke jalan yang diridhai-Nya.
4.2. Jilbab Dapat Mencegah Perzinaan
Kita tahu bahwa hampir semua agama mengutuk perzinaan, karena ia dapat merusak citra kemanusiaan yang disiplin, dan teratur baik. Namun anehnya sepanjang sejarah selalu diikuti dengan permasalahan pelacuran. Ini dikarenakan perzinaan yang sangat sukar diberantas.
Kembali kepada konsep Islam yang melarang perzinaan, dan sangat mengutuk perbuatan tersebut, seperti yang terdapat dalam QS Al-Isra ayat 23:
ولا تقربوا الزنا انه آان فاحشة وساء سبيلا
“Janganlah enkau mendekati zina, karena sesungguhnya perbuatan zina itu keji dan cara yang jahat…”
- 13 -
Ayat di atas sangatlah jelas bahwa Allah melarang perbuatan zina tersebut. Hal ini mudah dipahami, dengan seluruh tubuh yang tertutup kecuali muka dan dua telapak tangan, maka tidak akan mungkin ada laki-laki iseng yang tertarik untuk menggoda dan mencelakakannya selama ia tidak berperilaku yang berlebih-lebihan. Sehingga kejadian seperti perkosaan, perzinaan, dan sebagainya dapat dihindarkan.
Oleh sebab itu, Islam mempunyai inisiatif yang tepat untuk mencegah hal itu, yakni dengan menyuruh umatnya untuk menutup aurat agar terhindar dari perbuatan keji tersebut. Karenanya Jilbab sebagai busana muslimah yang diketengahkan oleh Al-Quran dan Hadist merupakan salah satu cara mencegah perzinaan. Insya Allah!
4.3. Jilbab Sebagai Benteng Moral
Ketinggian moral bangsa, menunjukkan baik dan makmurnya kehidupan bangsa, tetapi sebaliknya apabila kemampuan teknologinya diakui, negaranya super power tetapi moralnya tidak ada, maka bersiap-siaplah menemui kejatuhannya.
Tokoh ilmu jiwa, Frued dari Jerman sebagaimana dikutip Masrur, berpendapat, bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga unsur yakni: (Id= Nafsu), (Ego= Aqal), (Super Ego = Moral). Apabila nafsu dan aqal sudal rusak maka moralpun akan ikut rusak pula.
Hal ini tentu tidak terlepas dari peranan wanita. Bahkan kekutan dunia terletak pada wanita, Seperti yang dikatakan oleh Hukama:
“Wanita adalah tiang negara, jika wanita baik, maka negara akan baik, dan jika wanitanya rusak, maka negara juga akan rusak.”
Jika dibuat perbandingan dari segi harta dunia, seperti intan dan berlian, ianya dibungkus dengan rapi dan disimpan pula di dalam peti besi yang berkunci. Begitu juga diumpamakan dengan wanita, Karena wanita yang bermaruah tidak akan memamerkan tubuhnya di khalayak umum. Mereka masih bisa tampil di hadapan masyarakat tetapi masih bersesuaian dengan garisan syara’. Wanita tidak sepatutnya mengorbankan maruah dirinya semata-mata untuk mengejar pangkat, derajat, nama, harta dan kemewahan dunia.
- 14 -
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dengan diwajibkannya jilbab sebagai busana muslimah ternyata banyak membawa manfaat dan hikmah bagi yang memakainya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 191:
ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
4.4. Jilbab Pakaian Ketaqwaan
Firman Allah dalam QS Al-A’raf ayat 26
يبني ادم قد انزلنا عليكم لباسا يؤري سوء تكم وريشا ولباس التقوي
ذلك خير ذلك من ايت الله لعلهم يذآرون
“Hai manusia anak cucu adam, sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu pakaian-pakaian yang menutup auratmu, juga telah menurunkan pakaian-pakaian yang mengindahkanmu. akan tetapi ketahuilah bahwa taqwa adalah sebaik-baik pakaian. Dan yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah mudah-mudahan kamu menjadi orang yang memperoleh peringatan.”
Lihatlah, seiring dengan perkembangan zaman di era globalisasi saat ini banyak perubahan-perubahan yang kita lihat, sehingga telah membawa kita jauh dari jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT, khususnya para wanita saat ini yang berlomba-lomba mengikuti mode yang dibawa oleh para misionaris asing, yang mungkin tanpa disadari, mereka telah terpengaruh oleh budaya luar tersebut.
Begitu pula dengan kedudukan Jilbab saat ini, seiring dengan perkembangan gaya dan mode di zaman sekarang ini, kedudukan Jilbab pun telah berubah pula, ini semua dikarenakan berpakaian yang tidak didasari dengan ketaqwaan melainkan hanya ingin mengikuti trend dan dikarenakan culture Barat yang telah meracuni generasi Islam.
Padahal ayat Allah di atas jelas berargumen bahwa pakaian taqwalah yang paling baik daripada pakaian kebendaan. Jadi, apabila taqwa yang dikedepankan maka otomatis pakaian yang kita pakai akan semata-mata karena Allah SWT, dan
- 15 -
tidak akan terpengaruh dengan gaya dan mode. Karena hal tersebut termasuk kedalam berhias secara jahiliah yang sangat dilarang.
Sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 33:
ولاتبرجن تبرج الجاهلية الأولى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilah dulu.”
Walhasil, sepatutnya pakaian bagi seorang wanita mukmin itu adalah bukan saja menutup auratnya, tetapi sekaligus menutup maruahnya sebagai seorang wanita, yaitu pakaian dan tudung yang tidak menampakkan bentuk tubuh badan wanita, dan tidak berhias yang berlebihan yang mana akan menjadikan daya tarikan kepada lelaki bukan muhrimnya. Sekaligus pakaian muslimah tersebut dapat melindungi wanita dari bahan gangguan lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Karenanya dalam surat QS Al-Ahzab ayat 59, disebutkan:
أن يعرفن فلايؤذين
” (BerJilbab itu) supaya kamu tidak diganggu…”
Jika kita melakukan observasi, coba perhatikan semula jilbab yang dipakai dengan tujuan untuk menutupi aurat, namun sekarang jilbab sudah banyak mengalami perubahan, kain yang semula tebal sekarang makin menipis, ukurannya yang semula panjang hingga bisa menutupi seluruh auratnya, tetapi sekarang ukurannya makin memendek, sehingga menampakan rambut dan batang leher, ditambah lagi dengan beberapa tambahan hiasan dengan tujuan agar memikat para peminat, ini semua tidak lepas dari perkembangan mode saat ini, walhasil kepalanya memang tertutup tetapi Aurat dan bentuk lekuk tubuhnya seperti orang yang tidak berpakaian.
Ini sama saja halnya dengan telanjang, dan orang seperti ini adalah termasuk kedalam golongan umat yang tidak pernah disaksikan oleh Nabi tetapi telah disaksikan pada zaman sekarang, dan golongan ini tidak akan masuk syurga, dan tidak akan pernah bisa mencium baunya. Masya Allah!
- 16 -
Hal tersebut sesuai dengan sebuah hadist yang bersumber dari Abi Hurairah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال رسل الله ص م صنفان من اهل النار لم
ارهما قوم معهم سياط آااذناب البقريضربون بها الناس ونساء آاسيات عاريات
مميلات مائلات رؤوسهن آائسنمة البخت المائلة لايدخلن الجنة ولا يجدن ريحها
وان ريحها ليوجد من مسيرة آذا وآذا (رواه مسلم)
“Dua golongan penduduk neraka yang tidak pernah aku saksikan (semasa hidupku); Pertama, kaum yang memiliki cemiti (cambuk) seperti ekor lembu di mana mereka mempergunakannya untuk memukul manusia (penguasa yang kejam); Kedua, wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mereka melengak-lengokkan tubuhnya dan (rambut) kepalanya bagaikan punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk syurga, tidak pula mencium baunya, meskipun bau syurga tersebut dapat tercium dari bau yang sangat dekat.”
Akhwat, hadist di atas sangatlah jelas bahwa bagaimana seharusnya pakaian wanita muslimah yang sebenarnya. Ini semua tidak lepas dari niat ikhlas semata-mata karena Allah, dan berpakaian yang didasari dengan ketaqwaan, dan keiklasan, dan dengan mengharap keridhaan-Nya, janganlah karena mengharap syurga-Nya. Seperti sebait syair yang dilantunkan oleh seorang sufiah yang terkenal yakni Rabiah Al-Adawiyah:
“Lebih baik masuk neraka karena ridha Allah,
Dari pada masuk syurga karena murka Allah.”
B. AURAT WANITA DALAM PERSPEKTIF SYARA’
1. Pengartian Aurat
AURAT menurut etimologi berasal dari bahasa Arab: ’Auraton yakni, aib. Sedangkan menurut termiologi, aurat ialah “bahagian tubuh seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan muhrimnya.” Teungku Hasbi As-Siddiqie mengatakan menutup aurat ialah menutup bagian anggota yang dipandang buruk bila terlihat oleh seseorang, atau yang membuat malu orang yang melihatnya.
Tegasnya, yang dinamakan dengan menutup aurat ialah menutup bagian anggota yang tak layak dilihat orang, atau tak layak terlihat dan tampak kepada orang lain. Dan dalam perspektif Islam, terdapat beberapa keadaan di mana setiap - 17 -
individu muslim dilarang dan dibenarkan untuk membuka auratnya kepada orang-orang tertentu saja.
2. Perintah Menutup Aurat
Perintah menutup aurat terdapat dalam QS Al-A’raf ayat 26:
يبني ادم قد انزلنا عليكم لباسا يؤري سوء تكم وريشا ولباس التقوي ذلك
خير ذلك من ايت الله لعلهم يذآرون
“Hai manusia anak cucu Adam, sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu pakaian-pakaian yang menutup auratmu, juga telah menurunkan pakaian-pakaian yang mengindahkanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa taqwa adalah sebaik-baik pakaian. Dan yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah mudah-mudahan kamu menjadi orang yang memperoleh peringatan.”
Berkaitan dengan hukum aurat perempuan, secara jelas telah dinyatakan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an sebagai suatu perintah dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh hamba-Nya yang mukmin. Adalah menjadi suatu kemestian wajib bagi setiap wanita untuk menutup seluruh auratnya. Kiranya ada di antara mereka yang ingkar dengan perintah yang sudah termaktub dalam Kitabullah, maka bersiap-siaplah menerima siksaan Allah SWT.
Sebagaimana dalam firman Allah QS An-Nisa’ ayat 14:
ومن يعص الله ورسوله و يتعد حدوده يدخله
نارا
“Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya, dan melanggar seluruh ketentuannya, niscaya Allah memasukkannya kedalam neraka.”
Menurut Yusuf Qardhawi, di seluruh kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah aurat wanita yang boleh ditampakkan. Ketika membahas makna “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya”.
Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. Di antara ulama Mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa
- 18 -
wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya dihukumnkan mustahab (sunnat).
Tetapi dalam QS Al-Ahzab ayat 53, dijelaskan bahwa apabila wanita muslimah meminta sesuatu keperluan kepada ajnabinya maka diperintahkan untuk memintanya di belakang hijab.
واذا سءلتموهن متعا فسءلواهن من وراء حجاب
“Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada para istri-istri nabi, maka mintalah dibelakang hijab…”
Namun dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang bersumberkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Dari Aisyah ra, Rasulullah Saw bersabda: "Hai Asmaa'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila telah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini (Rasulullah berkata sambil menunjuk muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangannya)".
Akan tetapi Hadist ini lemah, jadi tidaklah patut jika dijadikan sebuah hujjah, dikarenakan hadist ini terputus silsilah riwayat antar Aisyah dan perawinya. Juga dikarenakan bertentangannya hadist tersebut dengan dengan dalil-dalil syar’i yang memerintahkan untuk menutupi seluruh auratnya termasuk muka dan dua telapak tangan. Kalaulah hadist ini shahih, dapat dijelaskan bahwasanya hadist ini turun sebelum turunnya ayat hijab. Dengan demikian hadist tersebut masih perlu diskusikan.1 Dalam hal ini, beberapa ulama mempertegas bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ini seperti yang telah termaktub dalam buku Al-Hijab yang ditulis oleh As-Syeikh Soleh Fauzan. Jadi dapat disimpulkan bahwa menutup seluruh aurat bagi wanita termasuk muka dan dua telapak tangan adalah wajib
3. Batas-Batas Aurat Wanita
3.1. Persfektif Fiqh 1 Karena belum ada satu keputusan apakah hadist tesebut kuat atau dhaif, jadi untuk keluar dari pendapat tersebut sebaiknya kita berpegang pada pendapat yang mengatakan wajib, agar lebih ihtiyath (pasti).
- 19 -
Aurat wanita dalam perspektif fiqih adalah seluruh tubuhnya. Tetapi lain halnya pada waktu shalat, kedudukan auratnya yakni selain muka dan dua telapak tangan, selain itu seruhnya harus ditutupi dengan kain yang tebal (yang tidak kelihatan waran kulitnya).
Tetapi aurat tersebut tidak diperuntukkan kepada wanita budak (a’mmah), karena aurat mereka disejajarkan dengan kaum lelaki, yakni mereka hanya diperintahkan untuk menutupi antara pusar dan lutut saja, sedangkan pusar dan lutut diwajibkan, karena dua anggota tersebut akan menyempurnakan anggota yang diperintahkan wajib untuk ditutupi. Karena berdasarkan suatu kaedah (qawae’d) fiqih yakni:
“Ma la yatimmu wajib illa bihi fahuwa wajib”2
Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh melihat sebagian aurat wanitanya yang lain, baik dengan syahwat maupun tidak. Perhatikan Hadist berikut ini:
Dari Muhammad bin Jahsy berkata: Rasulullah lewat di depan Ma'mar kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat." (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim)
Sementara ulama seperti Ibnu Hazm dan sebagian ulama Maliki berpendapat bahwa paha itu bukan aurat. Sedangkan aurat perempuan dalam hubungannya dengan lelaki yang bukan muhrimnya ialah seluruh badannya, kecuali muka dan dua telapak tangan.
a. Kedudukan Aurat Wanita
Perhatikan firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31:
قل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن
إلاماظهر منها وليضرين بخمرهن على جيوبهن ولايبدين زينتهن إلالبعولتهن
أواباءبعولتهن أوأبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بنى إخوانهن أو نسائهن
أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولى الإ بة من الرجال او الطفل الذين لم
يظهروا على عورات النساء ولايضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
2 Maksudnya, pada awal lutut dan pusat tidak diwajibkan untuk ditutupi, tapi dikarenakan hal tersebut akan menyempurnakan hal yang wajib ditutupi (kemaluannya), maka hal yang tidak wajib tersebut berubah kepada wajib.
- 20 -
Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, melainkan kepada: (1) Suami-suami mereka, (2) Bapak-bapak mereka, (3) Bapak-bapak bagi suami mereka, (4) Anak-anak mereka, (5) Anak-anak bagi suami mereka, (6) Saudara laki-laki mereka, (7) Anak bagi saudara laki-laki mereka, (8) Anak bagi saudara perempuan mereka, (9) Wanita-wanita Islam, (10) Hamba-hamba mereka, (11) Orang-orang yang tidak berkeinginan kepada wanita, (12) Anak-anak yang belum mempunyai keinginan/yang belum mengerti tentang aurat wanita.”
Maksud dari kata perhiasan pada ayat di atas yakni, wajah dan dua telapak tangan. Dua perhiasan tersebut boleh-boleh saja dilihat oleh lelaki lain asalkan tidak menimbulkan fitnah, demikian menurut pendapat yang membolehkannya. Tetapi menurut pendapat yang lain mutlak diharamkan melihat dua perhiasan tersebut oleh lelaki yang bukan muhrimnya, sebab merupakan sumber fitnah. Dan pendapat yang kedua ini lebih kuat guna untuk menutup pintu fitnah.
Iman Syafi’i berpendapat; perhiasan yang dimaksudkan dalam ayat di atas terbagi kepada dua makna yaitu: (1) perhiasan yang bersifat fisik, separti muka, badan, dan sebagainya; (2) perhiasan yang bersifat nonfisik, seperti pakaian, make-up, perhiasan, dan sebagainya.
Pemahaman terhadap ayat ini, lebih mendekati kepada kebenaran beberapa pendapat ulama yang mengatakan, bahwa aurat wanita dalam hubungan dengan mahramnya hanyalah antara pusar dan lutut, begitu pula hubungannya dengan perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut kiranya lebih mendekati kepada pendapat sebagian ulama yakni, aurat wanita terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak nampak ketika melayani, sedangkan aurat yang nampak seperti ketika bekerja di rumah itu sah-sah saja.
Karenanya, umat Islam digalakkan dengan mengawali diri sedini mungkin agar tidak melanggar batasan-batasan yang telah digariskan oleh Al-Quran dan Hadist. Terutama dalam soal berhias dan berpakaian.
b. Aspek Hukum dan Sosial
Ayat di atas menjelaskan tentang dua aspek kehidupan manusia, yaitu aspek sosial dan aspek hukum. Dalam aspek hukum, Allah SWT menjelaskan tentang disyari'atkannya hijab, dan berbicara tentang hal-hal lain yang berkaitan dengan seluk beluk wanita, mulai dari soal aurat, batasan yang boleh dilihat dan yang tidak boleh. Termasuk apakah wajah termasuk aurat yang berimplikasi
- 21 -
diwajibkannya niqab (cadar) atau wajah tidak termasuk aurat sehingga tidak wajib niqab. Hal lain adalah tentang siapa saja yang boleh melihat aurat wanita, dan hukum melihat lawan jenis. Dalam aspek sosial, ayat ini berbicara tentang aturan hubungan lawan jenis dan akibat-akibat yang ditimbulkan jika aturan itu dilanggar.
c. Hukum Melihat Lawan Jenis
Dalam ayat ini Allah SWT, menjelaskan bahwa seorang Muslim atau Muslimah tidak boleh (haram) melihat lawan jenisnya yang bukan muhrim, kecuali orang-orang yang dikecualikan dalam ayat tersebut. Meski demikian melihat atau memandang dapat diperbolehkan (halal) jika pandangan tersebut hanya satu kali dan tidak disengaja, karena ketidaksengajaan merupakan perbuatan di luar kemauan manusia yang dilakukan tanpa kesadaran. Lain halnya jika pandangan pertama itu diikuti dengan pandangan yang berikutnya, karena pandangan yang kedua tersebut pada dasarnya berasal dari setan dan akan menimbulkan fitnah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada Ali ra:
"Hai Ali, janganlah mengikuti setiap pandangan, sesungguhnya yang pertama itu (tidak sengaja) untukmu dan yang berikutnya dari setan."
Atas dasar itulah, maka tak aneh jika ayat di atas mewajibkan setiap mukimin dan mukminah untuk menundukkan pandangan sebagai solusi dari terbukanya pintu setan dan fitnah.
d. Aurat Wanita bagi Laki-laki
Asy-Syafi'iyyah dan Al Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya, Imam Ahmad berkata: "Seluruh yang ada pada tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya". Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat: "Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan.".
Masalah zinah yang boleh dinampakkan dalam ayat tersebut mempunyai banyak interpretasi, salah satunya seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Masud dan para jamaah sebagai pakaian luar. Tetapi para jumhur yang lain menafsirkan dengan muka dan dua telapak tangan. Pendapat pertama tersebut lebih sahih untuk
- 22 -
dijadikan sebuah hujjah karena lebih sesuai dengan syara’. Sebagian ahli ilmu mengemukakan bahwa pendapat kedua tersebut berlaku sebelum turun perintah yang mewajibkan hijab, karena pada mulanya para wanita menampakkan wajah dan dua telapak tangannya dihadapan lelaki, kemudian turun ayat hijab (QS 33:53).
Dalil Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam firman Allah SWT tersebut, ditegaskan tidak boleh bagi wanita menampakkan "zinah" mereka, zinah itu terbagi kepada dua bagian: Pertama, zinah yang berasal penciptaan, seperti wajah karena asalnya adalah indah dan sumber fitnah; Kedua, zinah yang dapat dicapai oleh manusia. Seperti yang dapat dicapai dengan mempercantik diri, seperti make-up dan lain sebagainya. Dalam ayat tersebut juga memaparkan haram bagi wanita menampakkan zinahnya dan ia harus menutup seluruh perhiasan yang ada padanya, termasuk wajah dan telapak tangan
e. Perbedaan Kedudukan Aurat Wanita.
Pada aurat wanita terdapat perbedaan dalam beberapa keadaan di antaranya:
Pertama, aurat ketika shalat, seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan;
Kedua, aurat wanita ketika sendirian adalah bagian antara pusat dan lutut;
Ketiga, aurat wanita dengan mahramnya adalah pusat dan lutut. Walau pun begitu wanita dituntut agar menutup seluruh bagian tubuh yang membawa kepada syahwat lelaki walaupun itu mahram sendiri. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31.
Syara’ telah menggariskan golongan yang dianggap sebagai mahram kepada seorang wanita yaitu: (1) suami; (2) bapak; (3) mertua; (4) anak kandung; (5) anak-anak suami.
Dalam perkara ini, Islam membolehkan isteri untuk bergaul dengan anak suami, karena wanita tersebut telah dianggap dan berperan sebagai ibu kepada anak-anak suaminya: (1) saudara lelaki kandung; (2) anak dari saudara laki-laki; (3) Anak dari saudara perempuan; (4) sesama wanita muslim; (5) hambanya sahaya; (6) orang tua yang tidak lagi mempunyai nafsu syahwat; (7) anak-anak
- 23 -
kecil yang belum mengerti terhadap aurat wanita. Bagi anak-anak yang mempunyai syahwat tetapi belum baligh, dilarang menampakkan aurat terhadap mereka.
Keempat, aurat ketika di hadapan ajnabi: Kewajiban menutup seluruh aurat di hadapan lelaki ajnabi amatlah penting dan perlu diperhatikan oleh setiap wanita. Begitu pula wanita yang bersuami, karena dengan menutup aurat, ia akan dapat membantu suaminya, yang mana dosa seorang isteri yang membuka auratnya akan ditanggung oleh suaminya. Oleh karenanya, para wanita perlu memahami batas-batas aurat ketika berhadapan dengan orang-orang yang tertentu, dalam keadaannya yang berbeda-beda.
Kelima, aurat ketika di hadapan wanita kafir: Aurat wanita apabila berhadapan atau bergaul dengan wanita nonmuslim adalah seluruh tubuhnya, kecuali yang terlihat sewaktu menjalankan rutinitas sehari-hari. Dari Abdullah bin Abbas, ada yang menyatakan Rasulullah Saw pernah bersabda yang maksudnya: "Tidak halal kaum wanita Islam dilihat oleh kaum Yahudi dan Nasrani".
Keenam, aurat ketika bersama suami: Apabila seorang isteri bersama suaminya di tempat yang terlindung dari pandangan orang lain, maka Islam telah memberi dispensasi dengan tiada membataskan aurat kepada suaminya.
“Dari Mu'awiyah bin Haidah mengatakan: "Aku pernah bertanya: Ya Rasulullah, bagaimanakah aurat kami, apakah boleh dilihat oleh orang lain?" Baginda menjawab: "Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau terhadap hamba abdi milikmu". Aku bertanya lagi: "Ya Rasulullah, bagaimanakah kalau ramai orang mandi bercampur-baur di satu tempat?" Baginda menjawab: "Berusahalah seboleh mungkin agar engkau tidak dapat melihat aurat orang lain dan ia pun tidak dapat melihat auratmu". Aku masih bertanya lagi: "Ya Rasullullah, bagaimanakah kalau orang mandi sendirian?" Baginda menjawab: "Seharuslah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada orang lain". (Hadis riwayat Iman Ahmad dan Abu Dawud).
f. Beberapa Hal yang Dilarang Kepada Wanita.
Pertama, Menyerupai Laki-Laki
Kata menyerupai memiliki pengertian yang sangat umum, yakni menyerupai dari hal berpakaian, tingkah laku, dan sebagainya. Imam Al-Grazali mengatakan bahwa sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan
- 24 -
masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal yang menentang dengan tabiatnya. Ia juga menambahkan bahwa Rasulullah Saw pernah meghitung orang-orang yang dilaknat di dunia, yakni orang-orang yang mengubah dirinya dari asal kejadian yang telah Allah ciptakan. Allah dan Rasulnya melaknat wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita.
“Dari Abu Hurairah ra telah meriwayatkan, maksudnya: Rasulullah Saw telah melaknat laki-laki yang berpakaian perempuan, dan perempuan yang berpakaian laki-laki. (HR Ahmad)
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, Rasulullah Saw melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki. (HR Bukhari).
Kedua, Tabarruj
- تبرج يتبرج Tabarruj berasal dari fiil madhi, yakni: yang berfaedah kepada “taklif”, yakni senantiasa, (selalu atau tidak habis-habisnya). Jadi tabarruj dapat diartikan: Berpakaian yang selalu berlebihan, dengan niat yang ingin memperlihatkannya kepada orang lain. Sedangkan menurut Abu Fathan dalam bukunya, mengartikan tabarruj dengan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata. Menurut para mujtahid yang dimaksud tabarruj ialah: Wanita yang keluar dan berjalan di hadapan laki-laki. Qatarada mengartikan tabarruj ialah: Wanita yang berjalan dengan menampakkan lenggokan jalannya. Sedangkan Muqqatil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tabarruj ialah: Memamerkan perhiasan yang dipakainya.
Allah dan Rasulullah sangat melarang orang yang berlebih-lebihan dalam berpakaian, karena dapat membawaki kepada sifat angkuh dan sombong. Berlebih-lebihan, yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan yang dimaksud dengan kesombongan ialah perasaan yang bermaksud untuk bermegah-megah, dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Allah SWT sangat membenci kepada hambanya yang sombong.
Seperti dalam Firman-Nya:
والله لايحب آل مختال فخور
“Allah Tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan sombong…” (QS Al-Hadid ayat 23).
- 25 -
Syaikh Al-Maududi dalam tafsir Al-Hijabnya, kata tabarruj bila dikaitkan dengan seorang wanita, ia memiliki tiga pengertian: (1) menampakkan keelokan wajah dan bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi ajnabinya; (2) memamerkan pakaian dan perhiasan yang indah dihadapan lelaki yang bukan muhrimnya; (3) memamerkan diri dan jalan yang berlenggak-lenggok dihadapan ajnabinya.
Beberapa cara menghindari tabarruj: (1) menundukkan pandangan; (2) tidak bergaul bebas, sehingga terjadi persentuhan antara laki-laki dan perempuan.
Seperti dalam QS An-Nur ayat 31:
ولايبدين زينتهن إلاماظهر منها
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya.”
Al-Barudi, dalam tafsirnya memaparkan tiga pendapat mengenai perhiasan yang zahir, yakni:
(a) Abdullah bin Masud berpendapat, perhiasan yang zahir yaitu: Pakaian yang khusus.
(b) Ibnu abbas dan Miswar mengatakan, pakaian yang zahir yakni celak mata dan cincin. Seperti dalam sebuah hadist yang dima’khudzkan dari Ibni Abbas: “ari Ibnu Abbas, Bersabda Nabi Saw: Perhiasan yang zahir itu adalah adalah celak mata, bekas pacar di tangan, dan cincin.” (H.R.Ibnu Jarir).
(c) Pakaian yang zahir ialah, wajah dan dua telapak tangan.
Ketiga, Mengubah Ciptaan Allah
Allah SWT memberikan anugerah kepada setiap insan di muka bumi ini. Dan menciptakannya dengan sebaik-baik mungkin. Tapi sangat disayangkan apabila pemberian Allah tersebut semula merupakan sebagai suatu anugerah, kini berubah menjadi laknat-Nya. Itulah golongan hamba-hamba-Nya yang merubah ciptaan-Nya. Khalid bin Abdurrahman Asy-Syayi, dalam bukunya menuliskan golongan orang-orang yang termasuk mengubah ciptaan Allah ialah:
(a) Al-Washilah ialah Wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut wanita yang lain atau menyambungnya dengan benda lain seperti sanggul.
- 26 -
(b) Al-Mustaushilah ialah Orang yang meminta disambungkan rambutnya.
(c) Al-Wasyimah ialah wanita yang suka mentato tubuhnya.
(d) Al-Mustausyimah ialah wanita yang meminta untuk mentato dirinya.
(e) Al-Mutanamishah ialah wanita yang mencabut seluruh bulu yang tumbuh di sekitar wajahnya. Seperti Alis.
(f) Al-Mutafallijat ialah wanita yang mengikir giginya.
“Dari Ibnu Umar. Rasulullah Saw melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya, dan wanita yang membuat tato (dengan tusukan jarum), pada tangan dan wajahnya, dan wanita yang meminta diperbuat demikian”. (HR Bukhari-Muslim).
“Dari Abdullah Ibnu Masu’d, Rasulullah Saw bersabda: “Allah mengutuk wanita-wanita yang mentato, dan yang meminta ditatokan, dan yang mencukur alisnya, dan yang memasang gigi palsu, untuk kecantikan dirinya, dan yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari-Muslim)
Keempat, Memakai Farfum
“Dari Abu Musa Al-Asy'ari, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Siapa saja wanita yang memakai wewangian kemudian berjalan melewati suatu kaum dengan maksud agar mereka mencium keharumannya, maka ia telah berzina.” (HR. Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Maksud “Berzina” dalam hadist tersebut ialah wanita tersebut menjadi penyebab timbulnya zina. Dengan demikian wanita tersebut termasuk kepada wanita fasiq, sedangkan perbuatannya tergolong kepada maksiat.
Kelima, Menolak Panggilan Suami Untuk Tidur Bersama.
“Dari Abi Huraira ra, Rasulullah Saw bersabda: Apabila seorang lelaki mengajak isterinya ke tempat tidur tetapi ia menolak, sehingga suaminya jengkel dan marah terhadapnya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi”. (HR. Bukhari-Muslim).
Keenam, Durhaka Kepada Suami.
“Dari Abu Bakar ra, Rasulullah Saw bersabda: Perempuan manapun yang menyiksa suaminya dengan lidahnya, maka ia mendapat laknat Allah dan kemurkaan-Nya, serta malaikat-malaikat dan manusia seluruhnya”.
Ketujuh, Berkhalwat Dengan Lelaki yang Bukan Mahram
- 27 -
Dari Umar bin Khatab ra, Rasulullah Saw bersabda: Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, karena sesungguhnya setan adalah yang ketiga. (HR. Imam Ahmad dan Baihaqi).
Kedelapan, Memandang yang Diharamkan
Dalam QS An-Nur ayat 26, disebutkan:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka…”
Kesembilan, Bersalaman dengan Lelaki yang Bukan Mahram
Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah Saw bersabda: Ditikam oleh seseorang di belakang kamu di kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya dari pada ia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya”. (HR Thabrani).
Kesepuluh, Keluar Rumah Tampa Ada Keperluan
Dalam QS Al-Ahzab ayat 33, Allah berfirman:
وقرن فى بيوتكن ولاتبرجن تبرج الجاهلية
“Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah zaman dahulu”.
Dari Ibni Abbas ra, Rasulullah Saw bersabda: Perempuan manapun yang keluar dari rumah tanpa seizin suaminya, maka dilaknat oleh segala sesuatu yang matahari dan bulan terbit menyinarinya, sehingga ia kembali ke rumah suaminya”.
Kesebelas, Masuk Permandian Awam
Islam memperhatikan masalah pemeliharaan aurat, maka Rasulullah melarang wanita memasuki pemandian umum, guna untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.
“Dari Aisyah ra, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang perempuan masuk pemandian, kemudian beliau membolehkan laki-laki
- 28 -
masuk pemandian dengan memakai kain”. (HR Abu Daud, Tarmizi, dan Ibnu Majah).
Keduabelas, Mempercayai Dukun atau Peramal
Dalam QS Aj-Jin ayat 26-27, Allah SWT berfirman:
عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا , إلا من ارتضى من
رسول
“Dia adalah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib, maka ia tidak memperlihat kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.”
Catatan Penutup
MERUJUK pada uraian yang telah di paparkan oleh penulis, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi, terutama tentang problematika berpakaian. Apalagi perubahan di era yang telah mengubah mode, atau trend yang telah menjadi sebuah panutan. Sebagai umat Islam, wanita muslimah harus konsekuen pada prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh agama. Jadi, pada dasarnya tata cara pergaulan termasuk di dalamnya berpakaian telah diatur rapi oleh syara’, kita hanya menjalankan saja dan tidak perlu mencetak hukum baru karena niat yang ingin berpacu dengan mode.
Jilbab dan khimar telah di ketengahkan oleh Al-Quran dan Hadist kepada hamba Allah yang beriman. Pelaksanaan terhadap dua perintah Allah SWT tersebut seharusnya bisa dijalankan semata-mata karena dorongan keimanan, dan karena keyakinan bahwa Islam diturunkan untuk memberikan aturan yang dapat memecahkan problematika seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Bukan karena arus mode yang ada.
Diwajibkannya jilbab sebagai busana muslimah yang ternyata banyak membawa manfaat dan hikmah bagi yang memakainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
- 29 -
"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran ayat 191).
Di sini penulis juga ingin mempertegaskan bahwa wanita yang sudah sampai umur (baliqh), diwajibkan untuk menutup seluruh tubuhnya, termasuk muka dan dua telapak tangan, karena hal tersebut telah disepakati oleh ulama-ulama terkemuka, dan merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan. Oleh karenanya kita perlu menggalakkan sedini mungkin untuk Wear of Moslemah, agar semua individu Islam bisa menjadi Islam is Really Beautiful.
Demikianlah sebagai penutup marilah kita renungkan firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 85 berikut :
"Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat."
Referensi
Abu Fathan (ed), 1992, Panduan Wanita Sholeha, Asasuddin Press, Jakarta.
Anonim, 1996, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan, Karya Thoha Putra, Semarang.
Anonim, tt, Jilbab dalam Sorotan Populer, […]
Husein Muhammad, Kiai Haji, Jilbab, diakses November 2006 dari: http//joelc.wordpress.com.
Ibnu Masyuri Al-Aziziy, 2006, Menggapai Mutiara di Era Modern, Al-Aziziyah, Kediri.
Imam Al-Ghazali, tt, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Putra Pelajar, Yogyakarta.
Imam Jalaluddin Al-Mahilliy, Imam Jalaluddin As-Sayuthi, 2004, Tafsir Jalalain, Cetakan VIII, Sinar Baru Al-Gensindo, Bandung.
- 30 -
Muhammad Ali Hasyimiy, 1996, Jatidiri Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Muhammad Hasbi As-Siddiqie, Teungku, tt, Al-Islam, Jilid 2, ttp, […]
Muhammad Usman El-Muhammady, Konsep Nur Muhammad di Dunia Melayu dalam Konteks Wacana Sunni, diakses November 2006 dari http://bicaramuslim.com.
Nasaruddin Umar, Fenomena Jilbab, diakses November 2006 dari http://www.smu-net.com.
Rahmi Khairul, Mendiskusikan Jilbab, diakses November 2006 dari http://www.mailarchive.com/kasma.
Riami Larasari, Jilbab dalam Pandangan Syara’, diakses November 2006 dari http://www.riamilarasari.blogspots.com.
Said Abi Bakri bin Said Muhammad Syatha, tt, Lanatutthalibin, Jilid I, Thoha Putra, Semarang.
Syeikh Iman Zaki Al-Barudi, 2004, Tafsir Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Amin bin Yahya Al-Wazan, Fatwa-fatwa tentang Wanita, Ahmad Amin Sjihab (Penterjemah), Darul Haq, Jakarta.
Yulieni, Antara Jilbab dan Kerudung, […], diakses November 2006 dari http://www.waspada.co.id.
- 31 -
Bagian Enam
KEUTAMAAN WANITA SALEHAH DALAM ISLAM
Oleh: Safrida Hamdani
ARUS globalisasi saat ini dari hari ke hari semakin membutakan mata manusia untuk mengenal tata cara kehidupan yang bernuasa Islami terutama bagi umat muslim saat ini.
Mendengar kata singkat “wanita“ yang memiliki sejuta makna yang terkandung dalamnya, seperti kita mendengar kehidupan seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan tanpa wanita. Ia bagai embun pagi yang tak pernah henti-hentinya memberi kesegaran.
Dengan adanya wanita shalehah, dunia akan tercipta dengan keharmonisan, kedamaian serta keberkahan baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat.
Allah telah memberikan sebuah penghargaan yang begitu besar kepada para wanita-wanita yang shalehah dengan sebuah sandangan “ummu warabbah al-bait” (ibu dan pengatur rumah tangga). Di dalam rahim setiap ibu berdenyut sebuah kehidupan baru.
Bahkan jika kita ingin cinta suci, temukanlah di batin wanita. Wanita ibarat lebah muda yang selalu dipercaya dan selalu memberi kekuatan, kemuliaannya tidak bisa diukur dengan ukuran dunia. Karena para wanita shalehah yang akan menjadi bidadari syurga nanti. Untuk mencari wanita yang shalehah pada zaman era globalisasi ini tidak semudah yang kita pikirkan. Ulama fiqah mengatakan di dalam kitab “Iannatutthalibin” bahwa mencari wanita yang shalehah ibarat kita mencari burung gagak yang putih.
1
Lalu apa sebenarnya makna dari wanita yang shalehah? Sekian banyak definisi dari wanita yang tahu dan hanya menguraikan bahwa wanita shalehah adalah nafas kehidupan atau perhiasan dunia yang paling berharga.
Sabda Rasulullah Saw, dalam salah satu hadist yang diriwayatkan Muslim berbunyi:
الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المراة الصالحة
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah”
Perlu kita akui bahwa untuk menemukan wanita shalehah tidak semudah yang kita bayangkan dikarenakan pada zaman era seperti ini begitu hebatnya pengaruh budaya Barat, berbagai macam cara usaha mereka untuk merusak generasi muda Islam. Wanita shalehah merupakan dambaan bagi setiap laki-laki dan ia kelak akan menjadi permata hati bagi suami dan menjadi penerang bagi kehidupan keluarga jika ia menjadi seorang istri (Abdurrahman, 1999: 5).
Kita akan mencoba menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan wanita shalehah dalam Islam yang tujuan dan maksudnya tertuju bagi saudari-saudari kita yang lagi sedih, berkecil hati, akan masalah perbedaan antara laki-laki dengan perempuan serta kelebihan laki-laki dengan perempuan.
Kita harus ingat, bahwa ini bukan lagi zaman Jahiliah yang mereka itu selalu merendahkan dan meremehkan kaum wanita dan menganggap wanita si pembawa sial, maka saya rasa tidak sepantasnya kita menyalahkan satu sama lain dikarenakan Allah SWT sendiri telah menempatkan wanita dan laki-laki pada tingkatan dan derajat yang sama. Dengan kata lain wanita memiliki semua bakat untuk berkembang, tanpa cacat dan kesalahan, dan ia juga memiliki seluruh faktor kesempurnaan sebagaimana pria.
2
Di dalam penulisan yang singkat ini terdapat beberapa keutamaan- utamaan wanita yang mungkin bisa kita jadikan arah serta pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari.
1. Wanita Shalehah Merupakan Perhiasan Dunia yang Terbaik
ALLAH SWT dalam QS An-Nisa’ ayat 34, berfirman:
فاالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله …
“... Istri-istri shalehah adalah isteri-isteri yang taat lagi setia kepada suami dan memelihara kehormatannya sewaktu ditinggal suaminya.“
Dari firman Allah di atas, dapat kita tahu bahwa mereka adalah para wanita dan tidak mau digunakan untuk kepentingan bisnis, baik atas nama iklan, peragaan busana, artis sinetron maupun bintang-bintang lainnya. Mereka tidak ingin dikenal oleh orang banyak, mereka akan merasa rugi jika auratnya ada yang melihat selain muhrimnya. Wanita shalehah ibarat madu yang selalu melihat dengan mata dan mencium dan berkata-kata dengan mulut dan mendengar dengan telinga untuk segala hal-hal yang baik. Ia tidak akan pernah hinggap di tempat-tempat kotor dan ia juga memilih makanan yang halal dan baik dalam artikata wanita shalehah tidak akan tinggal di tempat yang penuh dengan kemaksiatan (Anonim, 1978: 67).
Begitu banyak anggapan orang awam yang mengatakan bahwa wanita hanyalah pemberi kepuasan bagi laki-laki semata. Padahal jika kita sadari wanita tidak ubahnya seperti cahaya yang selalu menjadi penerang dalam kegelapan.
Hadist Nabi mengatakan bahwa: baik buruknya dunia karena wanita. Hadits ini mengingatkan kita untuk selalu menjadi wanita yang shalehah dan
3
menjadi perhiasan dunia yang baik yang akan menyinari kehidupan di dalam dunia ini.
Allah memuliakan mereka dengan kemulian yang pas, imbang, tengah-tengah, manis, dan adil. Allah juga memerintahkan kepada mereka untuk berhijab sebagai perindungan serta membebaskan para wanita dari kezaliman syahwat, Allah tak pernah melarang mereka untuk beramal ibadah dalam interaksi dengan sangat nyaman dengan laki-laki dan membebaskan mereka dari tuduhan-tuduhan yang syubhat lagi yang mengekang (Mahridi, 2004: 37).
2. Wanita Shalehah Sama Derajatnya dengan Laki-Laki
RASULULLAH Saw, bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan Muslim (dikutip dari Mahridi, 2004: 34): “Sesungguhnya wanita merupakan mitra sejajar dengan laki-laki.”
Islam menempatkan mereka sejajar dengan kaum Adam, baik di lapangan pendidikan, ekonomi, sosial, maupun politik. Begitu juga halnya dalam memperoleh syurga. Islam menempatkan sama, dalam arti kata wanita shalehah tidak hanya berdiam diri di rumah saja, tetapi ia juga berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 228 (Anonim, 1978: 28), berbunyi:
ولهن مثل الذى عليهن ماالمعروف والرجال عليهن درجة …
“... dan para wanita mempunyai hal yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suani mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”
4
Banyak sekali kita dapati sekarang wanita diperlakukan semena-mena, padahal Allah sendiri telah menyatakan dalam Al-Qur’an, bahwa wanita dan laki-laki sama derajatnya.
Islam memperlakukan wanita dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bahwa wanita dengan shalehah dianggap tiang negara yang kokoh, Islam tidak pernah mendiskreditkan salah satunya, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya para kaum Jahiliah saja yang menganggap bahwa wanita tidak sama derajat dengan lelaki, mereka beranggapan bahwa wanita lemah tidak bisa diajak kompromi. Tapi ketika Islam datang wanita diangkat derajatnya menjadi sama dengan laki-laki, mereka menjadi layak untuk di puji.
Allah SWT dalam QS Al-Hujarat ayat 13 berfirman bahwa: “tiada beda antara laki-laki dengan si wanita di mata Allah dan sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah hanyalah orang bertaqwa”.
Secara fisik lelaki memang lebih kuat dari wanita, tetapi secara psikologis wanita juga mempunyai sifat yang sangah mudah dipahami oleh anak-anak dalam mendidiknya.
Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa hanya orang mulialah yang menghormati kaum wanita dan hanya orang hinalah yang merendahkan kaum wanita. Dengan melihat hadits tersebut, timbul pertanyaan, mengapa masih ada sebagian orang yang menghina kaum wanita? Begitu banyak harga diri wanita yang telah dihancurkan oleh sebagian laki-laki yang menganggap wanita hanya pemuas nafsu belaka. Orang yang belum membuka mata terhadap siapa wanita itu, perlu dari sekarang untuk belajar menghargai dan menjaga kaum hawa. Sebagaimana sabda Rasullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad
5
dan Boihaqi: “Sesungguhnya wanita adalah belahan yang tak terpisah dari laki-laki.”
3. Wanita Shalehah dalam Naungan Islam
MEREKA telah mendapatkan ketenteraman dan harga diri sebagai wanita mulia sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw sebagai bukti Islam sangatlah menghormati wanita, mereka bukanlah makhluk kedua, bukan pula pelengkap penderita, mereka adalah sosok yang punya andil dalam kemajuan peradaban.
Para wanita shalehah yang akan menjadi cermin bagi kemajuan peradaban, jika mereka baik maka dunia pun akan menjadi indah. Karena kedudukan yang sangat tinggi mereka junjung saat ini, maka mereka patut untuk dibanggakan demi kemajuan dan kedamaian suatu negara.
Kita harus tahu bagaimana para wanita-wanita Arab menjaga dirinya dari yang bukan muhrimnya, mereka yang menjaga auratnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki karena mereka tahu bagaimana Allah telah memberikan kemuliaan dan naungan yang sangat mulia kepada mereka.
Kutipan yang saya ambil dari Kitab “Uqudul Lijjain” (Syaikh Muhammad Umar, 1294 H: 8), menyebutkan tiga ciri wanita shalehah, yakni: (a) menutup aurat atau wajah dari pandangan ajnabi; (b) taat kepada suami dan kepada orang tua; (c) memelihara dirinya dari harta suami pada saat suami berada di luar rumah.
Adapun ciri wanita shalehah juga adalah melaksanakan shalat lima waktu dan berpuasa. Ciri-ciri ini merupakan ciri utama bagi wanita shalehah. Namun demikian, keshalehan itu juga ditentukan oleh sejauhmana seorang wanita itu shaleh dengan lingkungan sekitarnya.
6
Dalam buku yang saya baca, Ahmad Muhammad Jamal (2002) Stein royen menyatakan: “kamu wanita telah menemukan apa yang mereka cari terus-menerus dalam naungan Islam, sebab agama telah menempatkan mereka pada posisi sentral ketika agama lain menghina mereka.”
Dalam kutipan di atas jelas bahwa Islam telah mengangkat kaum wanita dari berbagai fungsi, posisi, serta peran, Islam membawa wanita dari dapur, sumur, dan ranjang para kaum awam melangkah menuju perpustakaan alam semesta yang penuh dengan ayat-ayat Allah SWT.
Banyak yang mengira pandangan dan perlakuan merendahkan terhadap wanita hanya ada di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. Tapi sebenarnya berlanjut pada masa-masa setelah Jahiliyah. Nilai wanita masih bermasalah dalam segala kekejian persepsi dan perlakuan yang dilakuakan oleh para filsuf dan masyarakat Yunani, peradaban Romawi Tiongkok, Persia, raja-raja Eropa abad pertengahan, abad kegelapan hingga abad revolusi para kaum Yahudi. Hanya Islam yang dari awal berkehendak membebaskan wanita dari diskriminasi semacam ini.
Islam sangatlah jeli dalam mengarah dan membina wanita, bahkan sebahagian ulama berpendapat bahwa wanita haram keluar rumah, kecuali dengan muhrimnya. Timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah wanita yang berdakwah sekarang bukanlah wanita shalehah? Tentu saja tidak seperti itu. Maksud shalehah di sini bukan berarti ia tidak boleh meneruskan dakwah untuk kemajuan Islam, tetapi wanita shalehah di sini adalah wanita yang selalu bisa memberi ide cemerlang serta dorongan di mana saja ia berada asalkan ia masih berada dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agama Islam. 7
Ini merupakan sebuah bukti bahwa Islam tak pernah membiarkan para wanita berkeliaran dengan kezaliman yang hanya membuat mereka akan hina pada pandangan orang banyak.
Timbul pertanyaan, kenapa wanita sekarang begitu dekat dengan budaya-budaya Barat? Itu semua disebabkan mereka tidak pernah tahu bahwa Allah telah memberikan sebuah kemuliaan yang tak tertandingi.
Islam benar-benar memberikan penghargaan dan perlindungan, Islam tidak memandang wanita dalam dengan kehinaan, memperbudak bahkan martabatnya direndahkan, harga diri mereka dilecehkan dan penganiaan yang bermacam-macam.
Tetapi Islam malah sebaliknya, Islam memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Sementara di kalangan orang Arab masa dahulu, meskipun wanita diberi kebebasan yang cukup memadai, tetapi mereka masih saja menindas dan memperlakukan wanita dengan kasar. Semua yang dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam datang tidak pernah terjadi ketika Islam sudah datang. Islam merupakan agama yang paling mulia derajatnya dan paling tinggi kedudukannya, Islam adalah agama Allah yang tidak kenal dengan kebatilan dari sisi manapun, Islam membersihkan wanita dengan menghargai martabatnya dan meninggikan kedudukan para wanita yang hilang haknya, mengaruniainya kehormatan yang tidak boleh diinjak-injak, Islam memberikan keputusan yang bijaksana kepada wanita dan hak untuk mengelola apa yang ia miliki.
Islam berjuang mengakhiri penindasan orang zalim yang telah menzalimi kaum wanita, melepaskan belenggu perbudakan darinya dan mengeluarkannya dari kegelapan ke alam yang terang benderang, mengeluarkannya dari kegelapan
8
kehinaan dan penyiksaan yang pedih serta memanjakan hak-haknya dengan benteng yang kokoh.
4. Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu
SUDAH tidak asing lagi bagi kita tentang sebuah hadist yang menyatakan bahwa “Syurga di bawah telapak kaki ibu.”
Hadist tersebut menunjukkan bahwa keridhaan Allah terletak pada keridhaan ayah dan ibu, begitu juga sebaliknya jika Allah murka, itu juga karena murka kita pada ibu dan bapak. “Ketika seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah: kepada siapa aku harus berbakti? kemudian Rasul menjawab: ibumu, kemudian ia bertanya lagi, kemudian kepada siapa lagi ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: ibumu, kemudian ia bertanya lagi, Rasulullah juga menjawab: ibumu. Dan hingga kali keempat ia bertanya, baru Rasulullah menjawab: bapakmu.”
Begitu besarnya derajat seorang ibu, jangan pernah kita menyia-nyiakan mereka, jangan pernah menyakiti mereka, mengatakan “ah” saja Allah begitu murka kepada kita, apalagi menyakiti hatinya.
Ini merupakan keutamaan yang paling berharga yang telah diceritakan oleh Allah kepada kita para wanita.
Wanita shalehah merupakan kunci utama bagi seseorang untuk masuk ke dalam syurga Allah, jika kita durhaka kepada mereka, jangankan mendapat syurga, merasakan nikmatnya saja jangan pernah bermimpi.
9
Oleh karena itu hormatilah wanita sebagaimana Sabda Rasulullah Saw: “yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik memperlakukan isterinya.”
Semua ini merupakan ungkapan keunggulan wanita dalam Islam. Islam juga menempatkan wanita pada posisi yang sangat terhormat, sedangkan agama lain hanya menganggap sebagai keranjang sampah, hina dan menyesatkan.
5. Di Belakang Kesuksesan Laki-Laki Ada Wanita Shalehah
SUDAH tidak dapat dipungkiri lagi, memang sudah menjadi lumrah jika wanita merupakan penunjang dalam karir serta kesuksesan para laki-laki. Sebagai bukti wanita sebagai penunjang kesuksesan, akan kita uraikan kisah Rasulullah saat beliau berada di Gua hirak.
Ketika Rasulullah berada di Gua hirak, Malaikat Jibril menghampiri beliau sambil berkata “bacalah”, kemudian Rasul menjawab: “saya tidak bisa membaca.” Kemudian Jibril berkata lagi “bacalah” dengan seraya Rasul merasa gugup, ketakutan dan berkeringat dingin membasahi tubuhnya, dan menghampiri sang istri tercinta (Khadijah), saat itu Khadijah melihat Rasulullah sangat ketakutan dan Khadijah segera menyelimuti Rasulullah, khadijah menanyakan apa yang telah terjadi dengan Rasulullah. Rasulullah menceritakan apa yang semua dialaminya di Gua Hira.
Kemudian Khadijah mengajak Rasulullah untuk menemui sang pamannya (Warakah bin Nofal), ia merupakan seorang pendeta, setelah keduanya bertemu dengan Waraqah, mereka menceritakan apa yang dialami oleh Rasulullah di Gua Hira, Warakah mengatakan: “wahai keponakanku bersyukurlah kamu, bahwa
10
suamimu itu merupakan seorang utusan Tuhan, yang akan membawa ajaran-ajaran yang benar dan yang berada di Gua Hira itu adalah seorang malaikat (Jibril namanya).
Kemudian Rasulullah pulang bersama Khadijah untuk mengajarkan ajaran-ajaran Allah dan wanita pertama masuk Islam adalah Khadijah. Saat itu Khadijah-lah yang memberi dorongan kepada Rasullah untuk melangsungkan dakwahnya, Khadijah memberikan sejumlah hartanya untuk berbekalan Rasullah dalam berdakwah, ini merupakan sebuah kemulian Islam terhadap para wanita-wanita shalehah. Masih banyak lagi para wanita-wanita yang menjadi pendorong dalam kesuksesan menyebarkan dakwah tentang ajaran Allah mereka adalah: Fatimah Az Zuhra, Umu Salamah, Zainab, Hamidah, Sausan, Halimah, dan Aisyah.
6. Wanita Shalehah Merupakan Tokoh Utama dalam Kehidupan
SEBUAH fakta bahwa wanita merupakan tokoh utama dalam kehidupan baik dia seorang isteri maupun telah menjadi seorang ibu, walaupun wanita dikatakan sebagai fitnah, tapi kata fitnah ini harus kita artikan dengan makna yang positif, dengan demikian wanitalah yang akan mewarnai kehidupan dengan corak ragan yang nyata, ia merupakan pendidik utama dalam pangkuan seseorang, wanitalah seorang yang bisa menepati ke jenjang yang lebih tinggi.
Singkatnya wanita dalam lingkup kelurga merupakan arena penyokong utama kemajuan dan kenyamanan dalam kehidupan, tidaklah benar kalau ia yang menjadi penyebab kedewasaan orang lain, wanita sejati dan shalehah adalah mitra istimewa dalam kehidupan.
11
Dengan demikian wanita sebagai seorang ibu atau isteri merupakan pilar keluarga sama dengan peran yang diembankan oleh seorang ayah bahkan dapat kita simpulkan posisi wanita dalam keluarga lebih unggul dari pada posisi laki-laki. Wanita adalah pendidik dan pengasuh para wanita dan pria terhormat, dari pangkuan seorang wanitalah seorang laki-laki menempati jenjang yang tinggi di pangkuan wanita merupakan tempat pendidik orang-orang besar, wanita dan pria.“
Perlu kita ingat bahwa pendidikan utama yang dibutuhkan oleh sianak adalah didikan dari keluarga, sedangkan yang berperan sebagai pendidik yang lebih mengetahui dalam keluarga ialah seorang ibu, mereka tidak akan menjadikan anak yang shaleh dan shalehah, jika dalam keluarga hancur, amburadul jika penuh dengan caci maki.
Jika seorang ibu berhasil mendidik anak-anaknya dengan sempurna dalam keluarga, maka kita tidak perlu gelisah, Insya Allah mereka akan terbawa ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT, tetapi jika seandainya peran seorang ibu gagal dalam mendidik keluarga maka janganlah kita heran kenapa mereka begitu sulit menuju kejalan yang benar, begitu juga jika seorang wanita berperan sebagai seorang isteri, karena isteri merupakan salah satu penunjang keberhasilan dalam melakukan dakwah sang suaminya.
Jangan pernah kita menyia-yiakan kemuliaan serta kelebihan yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, yaitu dengan julukan “ummu warabbah al-bait (wanita sebagai pengatur rumah tangga yang baik). Wanita shalehah-lah yang selalu memahami akan fitrahnya, ia akan menjadi cahaya bagi peradaban yang akan datang.
12
7. Wanita Tempat Berbagi Suka dan Duka
SEBAGAI wanita shalehah, dibebankan kita untuk melaksanakan tiga kewajiban, yaitu kewajiban kepada Allah, kewajiban kepada suami, dan kewajiban kepada anak-anak.
Kewajiban kepada Allah merupakan kewajiban yang paling utama yang harus dipenuhi oleh seorang wanita. Seorang wanita shalehah-lah yang selalu taat kepada sang suami ia akan mendapat indahnya nikmat syurga bila ia memenuhi kewajibannya kepada seorang suami. Wanita merupakan tempat curahan suka dan duka sang suami jika ia menjadi seorang isteri kelak, alangkah indahnya jika seorang wanita selalu menjadi tempat curahan bagi suami. Kala susah wanitalah yang menjadi arahan dan dorongan sebagai penunjang kesuksesan, dengan senyuman saja keputusan bisa menjadi sebuah harapan serta kegelapan bisa menjadi terang. Saat duka datang, wanitalah yang membuat ketenangan, ia selalu memberi kesejukan, kedamaian yang tak tertandingi.
Kemudian yang terakhir adalah kewajiban seorang wanita terhadap anak-anak, seorang anak bisa tersenyum lebar bila seorang ibu selalu berada di dekatnya, semua suka duka yang ia hadapi hanya nasehat seorang ibu yang bisa membuat ia menjadi lebih bahagia dan tenang.
Ibu merupakan kata penegasan pendidikan pertama, tempat seorang anak mempertanyakan sesuatu yang belum ia mengerti dengan bahasa yang begitu akrab, berjuta harapan serta keinginan yang sangat mendalam tentang semua yang belum ia mengerti, ia merupakan tempat pengaduan yang paling tepat pada saat ia 13
sedang terluka, belaian yang paling tentram saat ia gelisah dan dekapan yang paling aman pada saat ia merasa ketakutan.
Wanita shalehah adalah perpustakaan yang paling lengkap, lapangan yang paling luas, kelas yang paling nyaman. Dan pribadi seorang wanita shalehah tidak bisa tertandingi ketika seseorang membutuhkannya. Betapa besar peranan ia dalam membangun kemajuan bangsa sebuah kisah di antara wanita shalehah yang ia seorang wanita yang paling mahir bersyair, ia mendidik anak-anaknya serta mengorbankan hidupnya untuk membesarkan mereka, ia selalu memberikan semangat kepada anak-anaknya saat anak-anaknya ingin berperang dan ia selalu berpesan kepada anak-anaknya: apabila kalian telah melihat peperangan maka janganlah kalian mundur selangkahpun supaya kalian mendapatkan fahala di akhirat, di negeri keabadian.
Inilah salah satu bukti bahwa betapa besarnya peranan wanita dalam membangun dan mengembangkan generasi Islam. Wanita shalehah bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan si buah hatinya, mengenai hal ini ia tidak pernah mau berpindah tangan kepada orang lain, untuk itu dikatakan bahwa rumahlah madrasah pertama bagi anak-anak, sebegitu pentingnya peranan seorang ibu dalam pendidikan anaknya.
Oleh karena itu, jika di dunia modern seperti saat ini masih ada yang menyia-nyiakan kaum wanita shalehah dan selalu menzaliminya, mudah-mudahan Allah SWT mempertahankan mereka dengan laki-laki yang beriman di akhirat kelak, seperti seorang laki-laki yang mulia. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah ini merupakan doa istri Rasullullah Aisyah ra.
14
8. Wanita adalah Sebagai Manusia Individu
DARI sekian banyak keutamaan-keutamaan yang telah penulis tulis dalam karangan ini, penulis ingin menguraikan tentang wanita dalam Al-Qur’an sebagai manusia individu yang diciptakan oleh Allah SWT dengan sempurna.
Berbicara tentang perbedaan antara wanita sebagai individu dengan wanita sebagai bagian dari masyarakat ialah Al-Qur’an telah memperlakukan wanita sebagai manusia individu baik laki-laki maupun perempuan secara sama, berkenaan dengan spritualitas hak perempuan tidak berbeda dengan hak lelaki. Di dunia ini, setiap individu telah diberikan tanggung jawab dan kemampuan dalam berbicara, berbicara akan kemampuan Allah SWT tidak pernah membeda-bedakan di antara wanita dan laki-laki.
Perlu diketahui, bahwa para pengarang muslim telah mengeluarkan penfsiran inipun mengakui bahwa Al-Qur’an bertujuan untuk menegakkan keadilan. Wanita muslimah pada awal munculnya Islam ikut berperang mendampingi kaum pria, perawat pasukan yang terluka, membantu membalut perban untuk menghentikan darah yang mengalir, memperkuat tulangnya yang patah mempompa semangat perjuangan, berpatroli di antara barisan pasukan, mempertaruhkan nyawanya menentang kematian, merelakan tubuhnya dihantam anak panah.
Semua ini yang akan penulis sebut nantinya sudah pernah dilakukan oleh wanita-wanita muslim yang telah terdahulu. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka, mereka telah menjadi wanita-wanita yang terbaik di dunia ini.
15
9. Hak-Hak Wanita dalam Islam
WANITA adalah mata air kebahagian dalam kehidupan, sumber kasih sayang dan kelembutan wanita adalah tiang dan rahasia kesuksesan laki-laki dalam bekerja. Wanita dapat membagikan keberanian dan semangatnya, wanita adalah teman hidup suaminya, sekaligus menjadi sumber ketenangan batin di dalam kehidupan Islam. Tetapi mengapa masyarakat Arab Jahiliah sangat benci kepada anak perempuan, padahal Allah SWT telah berfirman dalam QS An-Nahlu ayat 58-59 yang artinya: ”Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah mukanya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya, apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburnya ke dalam tanah hidup-hidup? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Berbicara mengenai wanita dalam Islam akan panjang sekali tetapi nyaman, menarik, dan jauh dari sasarannya manis menegakkan jiwa dan menarik hati semenjak menyingsingnya mentari Islam, telah menyempatkan iman kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya. Di dalam Islam, wanita dicipatakan untuk ikut berbagi manis dan pahitnya kehidupan bersama pria, agar ia menjadi tempat bagi pria menyampaikan ceritanya dengan demikian, wanita adalah penasehat pertama bagi manusia sekaligus menjadi pendidik, dan tempat belajar sebelum seseorang mengenal berbicara, wanita shalehah-lah yang menanam kebiasaan-kebiasaan yang baik dan sifat-sifat terpuji pada diri manusia sehingga ia menjadi orang yang terpandang dan berani.
16
Catatan Penutup
DALAM penulisan ini saya menyimpulkan bahwa wanita shalehah merupakan sosok peranan utama dalam sebuah kehidupan demi menunjang masa depan yang cerah, ia memiliki sifat alamiah dan hakikat dalam menuntun dan mengarah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sebagai wanita muslimah, kita wajib menjaga kodrat-kodrat wanita sebagaimana yang telah diterapkan dalam agama Islam baik itu dari Al-Quran, maupun Al-Hadis, kita hanya bisa menengadah tangan dan pinta kepada Allah SWT, semoga kita menjadi wanita shalehah yang akan melangkah kaki pertama untuk memasuki syurga-Nya.
Referensi
Anonim, 1978, Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Pentafsir Al-Quran, Jakarta.
Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, 2000, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jakarta.
Abdurrahman Ahmad, 1999, Fadhilah Wanita Sholehah, Pustaka Nawawi, Cirebon.
Abu Al-Ghifari, 2003, Wanita bukan Makhluk Penggoda, Mujahid Press, Bandung.
Mahridi Mahdi, 2004, Wanita Ideal Menurut Islam, Pustaka Zahara, Jakarta.
Muhammad Jamil Zainu, 2002, Penghormatan Islam terhadap Wanita, Pustaka Arafah, Solo.
Syaikh Muhammad Umar, 1294 H, Uqudullijjain, Indonesia, Pustaka Jeddah.
Syaikh Abu Bakri bin Muhammad Asy-Syatha, tt, Ianatut Thalibin, Toha Putra, Semarang.
17
18
BIODATA PENULIS
SITI ZALIKHA H. IBRAHIM, lahir di Pulo Keunari, Pidie, 1 Januari 1975. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun dan mengkoordinir MUDI Post. Selain di dayah, ia juga sebagai Mahasiswi Fakultas Syariah STAI Al-‘Aziziyah, Samalanga, Kabupaten Bireun. Selama ini dipercayakan beberapa jabatan, antara lain: Ketua Sanggar Keputrian Dayah MUDI Mesjid Raya, dan Ketua Bagian Kesejahteraan Mahasiswi STAI Al-‘Aziziyah, Samalanga.
AZIZAH MUHAMMAD, lahir di Paloh Punti, Pidie, 2 Juni 1985. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun dan Mahasiswi Fakultas Dakwah STAI Al-‘Aziziyah Samalanga serta anggota Rabithah Bahasa Arab MUDI Mesjid Raya, Samalanga. Alumni SMU Darussa’dah (Pidie) ini pernah meraih Juara Harapan I Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Tingkat Nasional (2006).
JUNAIDAH MAHMUD, lahir di Gampong Lam Leupung, Aceh Besar, 22 April 1982. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Dayah Putri Ruhul Fatayat, Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar.
MAISARAH H. MUHAMMAD, lahir di Samalanga, 12 Agustus 1984. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun. Sekarang juga tercatat sebagai Mahasiswi Fakultas Syariah STAI Al-‘Aziziyah Samalanga dan anggota Rabithah Bahasa Arab MUDI Mesjid Raya, Samalanga. Mengelola MUDI Post, dengan posisi Wakil Pimpinan Redaksi.
SITI RADHIAH H. RIDHWAN GAPI, lahir di Langsa, 21 Juni 1987. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga, Kabupaten Bireun. Sekarang juga tercatat sebagai anggota Rabithah Bahasa Arab MUDI Mesjid Raya, Samalanga.
SAFRIDA HAMDANI, lahir di Langsa, 5 April 1987. Saat ini, tercatat sebagai Santriwari di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya, Samalanga dan Mahasiswi Fakultas Syariah STAI Al-‘Aziziyah, Samalanga, Kabupaten Bireun.
Langganan:
Postingan (Atom)