WANITA PUN BISA ORGASME
Oleh: Sarlito W. Sarwono*
ungkin buat rata-rata pembaca Femina, istilah orgasme ini (yang artinya adalah
puncak kepuasan yang sangat dahsyat dalam hubungan seksual) tidak asing lagi.
Bahkan sebagian pernah mengalaminya ketika berhubungan seks dengan
pasangannya, suami maupun bukan suami. Tetapi tahukah anda bahwa dua-pertiga wanita di
dunia ini tidak pernah mengalaminya sama sekali (walau pun banyak anaknya), bahkan
mendengar istilah itu pun tidak pernah. Seolah-olah hal itu tidak eksis sama sekali di dunia
ini.
Memang, sebagian terbesar dari yang belum pernah tahu, apalagi mengalaminya, adalah
wanita-wanita dari negara-negara yang belum berkembang (termasuk Indonesia), khususnya
di kalangan yang kurang atau tidak berpendidikan. Bahkan di beberapa negara di Afrika, ada
tradisi untuk mengkhitan wanita semasa kecilnya, yaitu dengan cara mengiris seluruh
klitorisnya sehingga wanita itu memang tidak akan mungkin mengalami orgasme seumur
hidupnya (sekali lagi, walaupun ia tetap bisa mempunyai anak banyak).
Tetapi jangan salah. Dari pengamatan dan pengalaman saya di dalam mau pun di luar
kamar praktek, ternyata masih banyak wanita Indonesia dari kelas menengah ke atas
(tentunya sebagian adalah pembaca Femina) yang sama sekali belum pernah mengalami
orgasme, walau pun ia sudah sangat sering mendengarnya.
Kasus
Salah satu contohnya adalah Rini (bukan nama sebenarnya), isteri seorang perwira
menengah ABRI (karena kejadiannya masih di era Orde Baru, ketika ABRI belum jadi TNI)
yang karirnya sedang menanjak.
Ibu muda yang cantik ini (usianya antara 36-39 tahun, tetapi tampak seperti baru liwat masa
ABG-nya) mengeluh karena merasa bosan dan jenuh dengan hidupnya. Padahal ia sendiri
sarjana hukum yang, walaupun tidak bekerja, mempunyai posisi penting dalam Persit
(Persatuan Isteri Tentara). Anaknya dua orang, pandai-pandai dan sehat. Penghasilan
suaminya lebih dari cukup (ia menyetir mobilnya sendiri dan sudah memakai telpon seluler
ketika benda itu masih berharga di atas Rp 10 juta, uang Orde Baru). Ia pun sudah Hajah
karena mengikuti suaminya ber-Haji Abidin (Atas biaya dinas). Suaminya pun cukup
romantis, tidak sering marah-marah, penuh perhatian dan tidak pernah (sepanjang dia tahu)
terlibat dalam kasus WIL (wanita idaman lain).
* Psikolog, penasihat dan anggota Asosiasi Seksologi Indonesia.
Personal site: www.sarlito.com, www.sarlito.net.ms
M
Tetapi Rini, yang sudah berjilbab sejak jaman jilbab belum populer, tetap jenuh. Tadinya ia
mengeluh tentang hidupnya yang membosankan dan tidakn tahu lagi mau mencari apa.
Tetapi lama kelamaan ia mengaku jenuh dengan suaminya. Ia menjadi sering mengkhayal
tentang bagaimana rasanya kalau bersuamikan orang lain.
Ketika ditanya apakah ia pernah berhubungan dengan orang lain, ternyata Rini memang
sama sekali belum pernah melakukannya. Suaminya adalah laki-laki pertama yang dicintainya
sejak masih taruna AKABRI dan ia memang tidak ingin berhubungan dengan orang lain.
Akhirnya, ketika ditanya apakah Rini pernah orgasme ketika berhubungan dengan suaminya,
ia mengaku belum pernah. Hubungan seks terjadi sewaktu-waktu, kapan saja suaminya ingin
dan berlangsung cepat, karena suaminya biasanya langsung tertidur setelah mencapai
kepuasannya.
Chauvinism laki-laki
Memang ilmu tentang seks, masih sangat muda dibandingkan dengan usia umat manusia
itu sendiri. Penyebabnya di samping ketidak tahuan, juga karena ada pentabuan di hampir
setiap masyarakat terhadap seks itu sendiri. Karena itulah baru pada abad ke 16 Leonardo
da Vinci bisa membuat patung-patung pria dan wanita lengkap dengan alat kelaminnya,
yaitu setelah ia membedah sendiri mayat-mayat pria dan wanita untuk mengamati bagian vital
itu.
Setelah revolusi anatomi oleh da Vinci itu maka muncullah temuan-temuan lain (masih di
abad ke 16), termasuk anatomi alat kelamin wanita. Gabriele Fallopio, misalnya,
menemukan Tuba Fallopi (saluran yang menghubungkan indung telur dengan rahim),
Regnier de Graaf menemukan ejakulasi wanita, dan Caspar Berthelsen (Bartholinus)
menemukan kelenjar Bartholin (kelenjar yang mengeluarkan cairan sesaat sebelum terjadi
orgasme pada wanita).
Tetapi temuan-temuan itu tidak banyak mengubah nasib wanita. Salah satu penyebabnya
adalah karena kalangan ilmuwan sendiri, seperti Sigmund Freud (tokoh Psikoanalisis, 1905)
menganggap bahwa dorongan seksual pada wanita tidak eksis, atau kalau pun ada,
merupakan kelainan.
Nasib wanita itu juga tidak berubah, bahkan setelah pada tahun 1960 ginekolog asal Berlin
yang hijrah ke New York, Grafenberg, menemukan gejala ejakulasi pada wanita dan adanya
pusat erotis (sejenis klitoris) yang terletak pada dinding sebelah dalam vagina. Pusat ini
kemudian dinamakan G-spot (dari: Grafenberg). Selanjutnya, pada tahun 1966 Ginekolog AS,
William H. Masters dan isterinya Virginia Johnson, menemukan bahwa orgasme pada
pria adalah tunggal (single orgasm) sementara pada wanita berganda (multiple orgasm).
Temuan Masters & Johnson yang terakhir ini kemudian memicu penelitian-penelitian di
kalangan para psikolog seksual. Mereka kemudian menemukan bahwa kunci “penderitaan”
kaum perempuan (termasuk kasus Rini tersebut di atas) adalah proses orgasme pada wanita
yang jauh berbeda dari pada pria.
Pria, menurut hasil penelitian Masters & Johnson di laboratorium, hanya memerlukan
waktu beberapa menit untuk meliwati empat fase orgasme, yaitu excitement (terangsang),
plateau (mendatar pada puncak keterangsangan), orgasm (kenikmatan yang dahsyat, meledak)
dan resolution (kembali ke asal). Tanda-tanda fisik pada pria sangat nyata, yaitu dengan ereksi
(penis membesar dan mengeras) dan ejakulasi (penis menyemburkan sperma pada saat
orgasme). Tetapi orgasme itu, pada laki-laki, walau pun sangat dahsyat, hanya terjadi sekali.
Untuk terjadi orgasme yang berikut diperlukan minimal satu jam, bahkan seriangkali lebih
dari sehari dan proses itu harus diulang dari tahap excitement lagi.
Lain halnya dengan wanita. Keempat proses itu harus diliwati dengan perlahan-lahan,
kadang-kadang sampai setengah jam atau lebih, karena wanita harus dibangkitkan emosi
positifnya dulu sebelum ia bisa masuk ke tahap excitement. Selain itu, proses fisik pada wanita
tidak terlalu nyata, karena tidak ada penis yang bereksi. Tetapi kelenjar Bartholin
mengeluarkan cairan pada tahap plateau untuk memperlicin jalan masuknya penis. Perubahanperubahan
bentuk, warna dan posisi juga terjadi pada klitoris, labia minora (bibir dalam) dan
labia mayora (bibir luar vagina) dan vagina itu sendiri. Sedangkan pada saat orgasme, terjadi
kontraksi-kontraksi pada vagina dan seluruh tubuh wanita. Namun yang paling hebat adalah
bahwa wanita mengalami ledakan dahsyat orgasme berkali-kali (bisa 4-5 kali) berturut-turut,
sebelum ia kembali masuk ke tahap resolution.
Perbedaan proses ini, menurut para peneliti psiko-seksual, tidak dipahami oleh para pria,
termasuk suaminya Rini. Laki-laki maunya cepat-cepat, sampai ke klimaks, ejakulasi dan
langsung tidur setelah fase resolution, karena memang seperti itulah proses sekual laki-laki.
Sudah barang tentu proses yang secepat kilat ini tidak memberi peluang pada wanita untuk
menjalani tahap-tahap orgasme secara utuh. Itulah sebabnya wanita tidak akan mencapai
orgasme kalau tidak dibantu oleh pasangannya.
Kembali ke kasus
Biasanya kasus-kasus anorgasme (tidak bisa berorgasme) mudah diatasi jika pria pasangan si
wanita bisa diajak berkonsultasi. Tetapi kebanyakan kasus, termasuk Rini, tidak bisa
membawa suami atau pasangannya, karena pada umumnya laki-laki itu merasa dirinya tidak
bermasalah (yang ke psikolog kan yang bermasalah saja, kata para laki-laki itu). Keangkuhan
(chauvinism) laki-laki itulah yang menyebabkan Rini (dan mungkin ada juga di antara para
pembaca Femina yang lain) terjebak dalam kejenuhan, ketiadaan makna hidup.
Buat beberapa wanita, misalnya wanita karir, mungkin anorgasme bukan masalah serius.
Mereka bisa saja hidup melajang dengan pola hidup aseksual (tanpa seks sama sekali), atau
ber-multi-partner. Tetapi buat wanita sejenis Rini, orgasme merupakan suatu kebutuhan nyata,
dan satu-satunya penyaluran adalah suaminya. Kegagalan suami untuk memenuhi kebutuhan
isterinya ini, bahkan pernah menyebabkan salah satu kasus saya (jauh sebelum Rini), memilih
berhubungan lesbian (dengan sesama jenis), karena teman wanitanya itu lebih pandai
mengolah emosinya, sehingga ia bisa mencapai orgasme (yang multiple itu).
Karena itu satu-satunya cara untuk wanita seperti Rini (berpartner tunggal, tidak mau
selingkuh dan suaminya tidak mau diajak konsultasi) adalah mengajarkan mereka untuk
bermasturbasi, karena teknik ini jauh lebih aman ketimbang mencari pria lain (yang mungkin
justru lebih angkuh dari suaminya sendiri).