Di Tengah Iftiraqul Ummah (Perpecahan Umat)
Posted by admin
22/10/2005 2216 clicks
Mengapa umat Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya
“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi)
Iftiraqul ummah adalah takdir Allah
Iftiraqul ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang mutawatir:
“Terpecah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (1)
Bukti kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah masing-masing.
Mensikapi iftiraqul ummah
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2)
1. Maka sikap kita yang pertama adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah saw dan para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Maka dalam memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api, barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur:
“Akan suatu pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada jaman ini seperti memegang bara api.”(3)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang yang beramal seperti amalnya kalian.”(4)
Berkata Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya kafasikan dan lemahnya iman.”
Berkata pula Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang besar.”
Akan tetapi, walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”(5)
2. Hal kedua yang harus kita lakukan ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada, sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah:
“Bahwasanya ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”. Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama/ah muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?” Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6)
3.Hal ketiga adalah senantiasa menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr (saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran). Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al ‘Ashr: 4)
Dalam mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan, ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.
Sedangkan jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah banyak dipraktekkan pada shahabat. Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat. Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau tidak mencela satu pun dari keduanya.(7)
Demikian pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umaa keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah saw telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku mengerjakannya begini dan begitu.”(8)
4.Hal keempat yang mesti kita lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)
Dan perintah bersatu di sini bukanlah persatuan telompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish shawab.
Penjelasan tentang haditsul iftiraq
Terkait masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi, bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah). Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’ terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap meruka sesuai dengan tingkad penyimpangan yang ada pada mereka.
Panitia Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Bbz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10)
Maka para ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka diperbolehkan.”
Dan sungguh, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapajah di antara harakah-harakah yang ada yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al Kahfi: 503-104)
Dan demi Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada dalam shiraathal mustaqiim.
Sebuah manhaj (metodologi) dalam memahani dien
Dalam meniti jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:
“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18)
Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apamila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran itu ada cahaya.” (11)
Tolok ukur kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah saw mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)
Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)
Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137)
Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah fs-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegana teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.” Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah sesat.”
Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya. Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab.
Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru mqnusia dengan manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Foot note:
1. Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Asy-Syatibi.
2. HR Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu.
3. Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu..
4. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan lafazh yang panjang.
5. Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”, dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229) secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad: (V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll.
6. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya (1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396), dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra (V/17,18).
7. Lihat: Al Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim.
8. Ibnu ‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84
9. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Juz 1.
10. Lihat: Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah.
11. Syaikh Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855.