HUKUM MEMPERINGATI MAULID NABI SAW.
Maulid Nabi saw. adalah kelahiran nabi Muhammad, Rasulullah saw.. Beliau saw. dilahirkan di tengah keluarga bani Hasyim di Makkah. Mengenai tanggal kelahirannya, para ahli tarikh berbeda pendapat dalam masalah ini, dan tidak ada dari mereka yang mengetahui secara pasti, namun menurut buku “Sirah Nabawiyah”, karya Shafiyurrahman Mubarakfury -Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy- Nabi Muhammad saw. dilahirkan pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun dari peristiwa gajah.
Bertepatan dengan itu, terjadi beberapa bukti pendukung kerasulan di antaranya adalah, runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Selain itu, Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa Ibu Rasulullah saw. berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di syam.”
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam ka’bah, seraya berdo’a kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilihkan nama Muhammad untuk beliau, sebuah nama yang belum pernah dikenal di kalangan Arab. Kemudian beliau dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.
Itulah sekelumit sejarah tentang kelahiran Nabi saw., yang kemudian momen penting tersebut diperingati oleh kebanyakan kaum muslimin sejak berlalunya tiga generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.”
Dan dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Binasalah orang yang berlebih-lebihan dalam tindakannya.” (HR Muslim).
Hadis di atas menerangkan larangan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk memujinya secara berlebih-lebihan. “Janganlah kamu sekalian memujiku dengan berlebih-lebihan.” Artinya adalah janganlah kamu sekalian memujiku dengan cara yang bathil, dan janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku. Makna kata ithra’ dalam hadis tersebut (laa tuthruni), adalah melampaui batas dalam memuji.
Kenyataannya, kebanyakan manusia sangat berlebih-lebihan dalam memuji dan mengagungkan orang yang menjadi panutan dan junjungannya, sehingga mereka meyakini bahwa junjungan mereka itu mampu melakukan sesuatu yang seharusnya hanya hak Allah. Jadi mereka menganggap junjungan mereka itu memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah yang sebenarnya hanya milik Allah. Hal itu karena perilaku mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji dan menyanjung panutan mereka.
Walaupun Rasulullah saw. sudah melarangnya, tapi kenyataan ini masih terjadi di kalangan sebagian orang yang mengaku sebagai umatnya. Kita dapati di sebagian syair yang di anggap sebagai salah satu shalawat, yang berbunyi, “Allahumma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayidina Muhammadin alladzi tanhalu bihil ‘uqadu, watanfariju bihil kurabu, wa tuqdha bihil hawaiju....” yang artinya, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw., yang karenaya ikatan belenggu terurai, dan karenanya malapetaka sirna, dan karenanya kebutuhan-kebutuhan terpenuhi….” Bukankah itu adalah pujian yang berlebihan, karena menyanjung Rasulullah saw. dengan hal-hal yang sebenarnya hanya kekuasaan Allah saja.
Itu adalah satu contoh tentang keadaan sebagian umat yang melampaui batas dalam memuji Nabinya.
Setelah itu, ada masalah yang tersisa, yaitu bagaimana dengan acara-acara perayaan dan beberapa perilaku yang dilakukan oleh kebanyakan orang untuk memperingati kelahiran Nabi saw.. Apakah hal tersebut termasuk perilaku yang berlebih-lebihan dan melampaui batas? Atau merupakan sesuatu hal yang baru yang diada-adakan oleh umat ini?
Tentang hal itu, marilah kita ikuti komentar Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ketika beliau ditanya mengenai hukum merayakan maulid Nabi saw..
Beliau berkata, “Pertama, malam kelahiran Nabi saw. tidak diketahui secara pasti, tetapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa hal itu terjadi pada malam kesembilan Rabi’ul awal, bukan pada malam kedua belas. Tetapi justru saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas, yang tidak ada dasarnya dalam tinjauan sejarah.
Kedua, dipandang dari sisi akidah, juga tidak ada dasarnya. Kalaulah itu syariat dari Allah, tentulah dilaksanakan oleh Nabi saw. atau disampaikan pada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah saw. mengerjakannya atau menyampaikan kepada umatnya, mestinya amalan itu terjaga, karena Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesunggunya Kami benar-benar akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9).
Ketika ternyata hal itu tidak didapati, maka bisa diketahui bahwa hal itu bukanlah termasuk ajaran Islam. Dan jika bukan dari ajaran agama Allah, maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan tidak boleh menjadikannya sebagai amalan taqarrub kepada-Nya.
Allah telah menetapkan suatu jalan yang sudah ditentukan untuk bisa sampai kepada-Nya –itulah yang datang kepada Rasulullah saw.- maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri, yang akan menghantarkan kepada-Nya, padahal kita adalah seorang hamba. Ini berarti mengambil hak Allah, yaitu membuat syariat yang bukan dari-Nya, dan kita masukkan ke dalam ajaran Allah. Ini juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kecukupkan nikmat-Ku kepadamu….” (Al-Maidah: 3).
Maka kami katakan, bila perayaan ini termasuk bagian dari kesempurnaan dien, tentunya sudah ada sebelum Rasulullah saw. wafat. Bila tidak ada, berarti hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan dien, karena Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kecukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (Al-Maidah: 3).
Barang siapa yang menyatakan bahwa perayaan maulid adalah termasuk ajaran agama, maka ia telah membuat hal yang baru sepeninggal Rasulullah saw.. ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat yang mulia tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang merayakan maulid Nabi, ingin mengagungkan beliau, ingin menampakkan kecintaan dan besarnya harapan untuk mendapatkan kasih sayang beliau dari perayaan yang diadakan, dan dan ingin menghidupkan semangat kecintaan kepada Nabi saw.. Sebenarnya semua ini adalah termasuk ibadah. Mencintai Rasul adalah ibadah, bahkan iman seseorang tidak sempurnya sehingga ia lebih mencintai Rasul dari pada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia. Mengagungkan Rasulullah saw. juga termasuk ibadah. Haus akan kasih sayang Rasulullah saw. juga merupakan bagian dari dien. Oleh karena itu, seseorang menjadi cenderung kepada syariat beliau. Jika demikian, tujuan merayakan maulid nabi adalah untuk bertaqarrub kepada Allah, dan pengagungan terhadap Rasul-Nya. Ini adalah ibadah. Bila ini ibadah, maka tidak boleh membuat hal yang baru –yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka dari itu, jelaslah bahwa perayaan maulid Nabi saw. adalah sesuatu yang diada-adakan (bidah) dan haram hukumnya.
Selain itu, kita juga mendengar bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syar’i, perasaan, ataupun akal. Mereka melantunkan nyanyian-nyanyian untuk maksud-maksud tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasulullah saw.. Sehingga mereka menjadikan Rasulullah saw. lebih agung dari pada Allah. –kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut-. Kita juga mendengar bahwa sebagian orang, karena kebodohan mereka, merayakan maulid Nabi, apabila salah seorang membacakan kisah tentang kelahiran Nabi saw. dan jika sudah sampai pada lafadz “Nabi dilahirkan”, mereka berdiri dengan serempak. Mereka berkata, “Rasulullah saw. telah datang, maka kami pun berdiri untuk mengagungkannya.” Ini adalah kebodohan. Dan ini bukanlah adab, karena beliau membenci bila disambut dengan berdiri. Para sahabat adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, tetapi mereka tidak berdiri bila menyambut beliau, karena mereka tahu bahwa beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh apalagi setelah beliau tidak ada.
Dalam bidah ini –bidah maulid Nabi yang terjadi setelah berlalunya tiga generasi mulia, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in- terdapat pula kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang yang merayakannya, yang bukan dari pokok ajaran dien. Terlebih lagi terjadinya ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan. Dan masih banyak kemungkaran-kemungkaran yang lain. (Majmu’ Fatawa, Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin).
Kiranya apa yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin di atas cukup menjelaskan kepada kita tentang hukum merayakan maulid Nabi saw..
Meskipun mengetahui sejarah dan mengenal Nabi saw. adalah wajib bagi kita, bangga –karena beliau adalah rahmat bagi seluruh alam- dan selalu mengenang beliau adalah tugas kita, namun tidak berarti kemudian kita diperbolehkan untuk memuji dan menyanjungnya secara berlebih-lebihan, dan tidak berarti kita boleh mengenangnya dengan melakukan perilaku dan amalan yang justru hal itu tidak pernah dilakukannya dan tidak dianjurkan olehnya.
Seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, mereka merayakan maulid Nabi, yang mereka sebut dengan peringatan maulid Nabi, dengan melakukan berbagai amalan dan perbuatan yang justru hal itu bernilai berlebih-lebihan dalam memuji Nabi, atau bahkan merupakan hal baru yang mereka ada-adakan. Lebih dari itu, sebagian perilaku mereka itu ada yang termasuk dalam kategori kesyirikan, yaitu apabila mereka memuji Rasulullah saw. dengan sanjungan-sanjungan dan pujian-pujian yang berisi bahwa Rasulullah saw. mampu melakukan hal-hal yang seharusnya hanya hak dan kekuasaan Allah.
Walaupun tujuan merayakannya adalah ibadah, namun karena tidak ada tuntunannya, maka perbuatan itu sia-sia belaka, dan justru berubah menjadi dosa dan pelanggaran. Karena ibadah itu harus dibangun dengan dalil yang menunjukkannya.
Mengapa memperingati dan mengenang Nabi saw. harus dilakukan sekali dalam setahun, padahal sebagai muslim harus selalu mengenang Nabi dan meneladaninya dalam segala aspek kehidupannya. Bahkan minimal seorang muslim harus menyebut nama Nabi Muhammad saw. lima kali dalam sehari semalam, yaitu pada syahadat dalam salat wajib.
Mengagungkan dan mencintai Nabi adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan dalam Islam, tapi dalam pelaksanaannya, harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.. Rasulullah saw. melarang umatnya melakukan sesuatu (ibadah) yang tidak pernah dicontohkan olehnya dalam segala hal.
Bagaiamana mungkin, orang yang mengaku mencintai dan menyanjung Rasulullah saw. , akan tetapi justru melakukan sesuatu yang sangat dibenci olehnya. (Zen bin Choodry).
Bolehkah Ruqyah Sebagai Profesi?
Pendahuluan
Ruqyah adalah mengobati orang yang terkena kesurupan, gangguan atau kemasukan jin. Ruqyah syar`iyah adalah mengobati orang yang terkena kesurupan , gangguan atau kemasukan jin dengan cara-cara yang di syariatkan Islam, yaitu dengan ayat-ayat Alquran, Asma`ul husna, do`a-do`a yang berasal dari Alquran dan hadis. Islam melarang ruqyah dengan bantuan dukun, sihir, jin dan cara-cara lain yang bertentangan dengan Islam.
Nabi mengizinkan ruqyah dengan Alquran, dzikir-dzikir, dan do`a-do`a selama tidak menngaundung syirik atau perkataan yang tidak bisa dimengerti maknanya. Berdasarkan hadis di bawah ini:
Dari `Auf Bin Malik, Ia berkata, "Kami meruqyah di masa jahiliyyah , lalu kami berkata, Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?` Beliau menjawab, Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Para ulama telah bersepakat membolehkan ruqyah, apabila menurut kategori yang disebutkan tadi, serta menyakini bahwa ia adalah sebagai sebab, tidak ada pengaruh baginya kecuali dengan taqdir Allah. Adapun menggantungkan sesuatu di leher atau mengikatnya di salah satu anggota tubuh seseorang, jika bukan berasal dari Alquran, hukumnya haram, bahkan syirik. Berdasarkan hadits di bawah ini:
Dari Imran bin Al Husain, bahwa Nabi melihat seseorang di tangannya ada gelang dari kuningan. Beliau bersabda,"Sesungguhnya ia tidak menambahkan anda selain kelemahan, lemparkanlah dari anda. Sesungguhnya jika anda meninggal dan dia tetap bersama anda, anda tidak akan beruntung selamanya." (HR. Ibnu Majah, Ahmad. Dihasankan Al Bushairi dalam Az Zawaa`id).
Dan hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Nafi` dari Nabi beliau bersabda, "Barang siapa yang meanggantung tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barang siapa menggantung wada`ah, semoga Allah tidak mmberi ketenangan padaa dirinya." (HR. Ahmad).
Dari Ibnu mas`ud saya mendengar Rasulullah bersabda, "sesungguhnya ruqyah, tama`im dan tiwalah adalah syirik." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
"Barang siapa menggantungkan tamimah, berarti dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad).
Jika yang digantungkan adalah dari ayat-ayat Al Quran, maka pendapat yang shahih adalah dilarang pula karena tiga alasan :
a. Bersumber dari hadits-hadaits nabi yang melarang menggantungkan tamimah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
b. Menutup jalan, karena hal itu bisa membawa kepada menggantungkan yang bukan dari Alquran.
c. Jika ia menggantungkan dari yang demikian itu (Alquran), menjadi penghinaan dengan membawa serta di waktu buang air, istinja` dan jima` (bersetubuh), serta yang semisal dengannya.1
Hukum Mengambil Upah dari Meruqyah
Perlu diketahui, bahwa bacaan ruqyah tidak akan berguna terhadaap orang yang sakit kecuali dengan beberapa syarat :
a. Pantasnya orang yang meruqyah adalah seorang yang baik, shalih, istiqamah dalam melaksanakan yang wajib, sunah, menghindari yang haram dan syubhat.
b. Tidak menentukan upah atas orang yang sakit, menjauhkan diri dari mengambil upah yang lebih dari kebutuhannya. Maka semua itu lebih mendukung kemanjuran ruqyahnya.
c. Mengenal ruqyah-ruqyah yang dibolehkan dalam syariat.
d. Orang yang sakit adalah orang yang sholeh ,baik , istiqamah dalam beragama dan jauh dari yang diharamkan.
e. Orang yang sakit menyakini bahwa Al Quran adalah pernawar ,rahmat dan obat yang berguna.2
Seharusnya Seorang raaqi/ yang meruqyah (berniat) berbuat baik dengan ruqyahnya untuk manfaat kaum muslimin dan mengharapkan pahala dari Allah dalam mngobati umat islam yang sakit, mennhilangkan bahaya dari mereka, dan tidak mengharapkan upah atas ruqyahnya. Tetapi ia menyerahkan perkaranya pada pasien. Jika mereka memberikan kepadaya melebihi jerih payahnya, ia mesti bersikap zuhud dan mengembalikannya. Jika upahnya kurang dari haknya, ia mesti membiarkan kekurangannya.
Syekh Abdullah Al Jibrin berkata, "Tidak ada halangan mengambil upah atas ruqyah syar`iyyah dengan syarat kesembuhan dari sakit." Dalinya adalah hadits riwayat Abu Sa`id , bahwasannya teman mereka meruqyah pemimpin suku tersebut setelah ada kesepakatan antara mereka atas upah sekelompok kambing, lalu mereka pun menepatinya. Nabi bersabda:
"Bagilah dan tentukanlah satu bagian untukku bersama kalian." ( H.R. Bukhari Muslim ). "Sesungguhnya upah yang paling pantas kamu ambil adalah kitabullah (Alquran)." (HR. Bukhari).
Beliau menetapkan kepada mereka penentuan syarat dan mereka pun memberikan bagian untuk beliau sebagai tanda kebolehannya, namun dengan syarat ia melakukan ruqyah syar`iyyah. Jika bukan ruqyah syar`iyyah maka tidak boleh. dan tidak disyariatkan melainkan setelah selamat dari sakit ( setelah sembuh ) dan hilangnya penyakit. Dan yang utama dalam membaca ruqyah adalah tidak memberi syarat, dan melakukan ruqyah untuk manfaat orang-orang beriman serta menghilangkan bahaya dan sakit. Dan jika memberikan syarat maka janganlah memberikan syarat yang ketat, namun sekadar keperluan mendesak.
Hadits Abu Sa`id Al Khudry tersebut adalah menunjukkan bolehnya ruqyah dan mengambil upah atasnya. Syaikh Abdullah Al Jibrin juga mengatakan, "Kami katakan bahwa sesungguhnya dokter yang mengobati, apabila mensyaratkan upah tertentu , maka harus disyaratkan sembuh dan selamat dari sakit yang ditanganinya, kecuali apabila mereka sepakat untuk memberikan senilai biaya pengobatan dan obat-oabatan. Adapun jimat semacam ini, pada dasarnya adalah ruqyah, maksudnya membacakan atas pasien serta meludah disertai sedikit air liur. Demikian pula penulisan ayat-ayat di kertas dan seumpamanya dengan air za`faran, boleh mengambil upah atas yang demikian sebagai imbalan obat-obatan. Dan seperti ini air bersih dan minyak. Apabila dibacakan ayat-ayat Al Quran padanya, maka boleh baginya mengambil nilai biasanya, tanpa berlebih-lebihan dalam penetapan tarif yang tidak sebanding." 3
Hukum Ruqyah Sebagai Profesi dan Mendirikan Tempat Praktek untuknya
Syaikh Shalih Al fauzan pernah ditanya, "Apa pendapat Syaikh tentang orang yang membuka praktek pengobatan dengan bacaan ruqyah?."
Beliau menjawab, "Ini tidak boleh dilakukan karena ia membuka pintu fitnah, membuka pintu usaha bagi yang berusaha melakukan tipu muslihat. Ini bukanlah perbuatan As-Salafush Shalih bahwa mereka membuka rumah atau membuka tempat-tempat untuk tempat praktek. Melebarkan sayap dalam hal ini akan menimbulkan kejahatan, kerusakan masuk di dalamnya dan ikut serta di dalamnya orang yang tidak baik. Karena manusia berlari di belakang sifat tamak, ingin menarik hati manusia kepada mereka, kendati dengan melakukan hal yang diharamkan. Dan tidak boleh dikatakan,"Ini adalah orang shalih." Karena manusia mendapat fitnah, semoga Allah memberi perlindungan. Walaupun dia orang shalih maka membuka pintu ini tetap tidak boleh." 4
Banyak manusia berkenyakinan tentang kekhususan tertentu yang dimiliki oleh orang yang telah melakukan ruqyah (raaqi), sehingga mereka mempunyai anggapan (bersikap ghuluw/berlebihan) terhadap raaqi tentang apa-apa yang dibaca ketika sedang meruqyah. Aslinya dalam syariat Islam adalah saddu dzari`ah (mencegah bahaya) karena pekerjaan ruqyah ini kadang-kadang membuka pintu kejahatan dan kesesatan bagi ahli Islam. Cara-cara seperti ini (mengambil ruqyah sebagai profesi) tidak pernah ada (dasarnya) dari Nabi saw. dan tidak pula dikerjakan oleh satupun dari sahabatnya, serta tidak pernah dikerjakan salah seorang dari ahli ilmu dan ahli kemuliaan, walaupun mereka ada keperluan. Pada dasarnya kita harus mengikuti dan mencontoh mereka (Nabi, para sahabatnya, ahli ilmu, dan ahli kemuliaan). 5
Pada dasarnya bila seseorang menjadikan ruqyah sebagai profesi, ia akan disibukkan oleh urusan ini dan meninggalkan urusan-urusannya yang lain. Terkecuali bila seseorang tadi mempunyai pekerjaan dan tidak menjadikan ruqyah sebagai profesinya serta tidak membuka praktek, maka hal itu boleh-boleh saja. Dan dia hanya melanyani masyarakat yang membutuhkan bantuannya untuk diruqyah karena diganggu setan. Dia niatkan ruqyahnya untuk tolong menolong dalam kebaikan, amar ma`ruf nahi munkar, memerangi setan dan jin yang mengganggu manusia dan mengharapkan ridha Allah semata. Dia tidak mengharapkan upah dari manusia dan tidak menetapkan tarif besar kecilnya dari manusia. Bila di tengah-tengah ia meruqyah ada yang ikut (maksudnya adalah diberi upah), maka bila ia memerlukan boleh diambil. Dan bila ia tidak memerlukannya karena sudah merasa cukup, maka boleh tidak diambil sebagai sikap zuhud pada apa yang ada ditangan manusia. Karena pada dasarnya ia hanya mengharapkan ridha Allah dan wajah-Nya serta menolong manusia yang membutuhkan bantuannya. Melakukan ruqyah dengan niat seperti ini adalah dibolehkan dan disyariatkan .
Adapun bila ia melakukan ruqyah hanya dipakai sebagai profesi saja, membuka praktek, dan memasang tarif yang tinggi serta tidak ada unsur untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Maka meruqyah dengan niat seperti ini, jelas bertentangan dengan syariat. Wallahu A`lam Bish Shawab.
Bolehkah Ruqyah Sebagai Profesi?
Pendahuluan
Ruqyah adalah mengobati orang yang terkena kesurupan, gangguan atau kemasukan jin. Ruqyah syar`iyah adalah mengobati orang yang terkena kesurupan , gangguan atau kemasukan jin dengan cara-cara yang di syariatkan Islam, yaitu dengan ayat-ayat Alquran, Asma`ul husna, do`a-do`a yang berasal dari Alquran dan hadis. Islam melarang ruqyah dengan bantuan dukun, sihir, jin dan cara-cara lain yang bertentangan dengan Islam.
Nabi mengizinkan ruqyah dengan Alquran, dzikir-dzikir, dan do`a-do`a selama tidak menngaundung syirik atau perkataan yang tidak bisa dimengerti maknanya. Berdasarkan hadis di bawah ini:
Dari `Auf Bin Malik, Ia berkata, "Kami meruqyah di masa jahiliyyah , lalu kami berkata, Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?` Beliau menjawab, Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Para ulama telah bersepakat membolehkan ruqyah, apabila menurut kategori yang disebutkan tadi, serta menyakini bahwa ia adalah sebagai sebab, tidak ada pengaruh baginya kecuali dengan taqdir Allah. Adapun menggantungkan sesuatu di leher atau mengikatnya di salah satu anggota tubuh seseorang, jika bukan berasal dari Alquran, hukumnya haram, bahkan syirik. Berdasarkan hadits di bawah ini:
Dari Imran bin Al Husain, bahwa Nabi melihat seseorang di tangannya ada gelang dari kuningan. Beliau bersabda,"Sesungguhnya ia tidak menambahkan anda selain kelemahan, lemparkanlah dari anda. Sesungguhnya jika anda meninggal dan dia tetap bersama anda, anda tidak akan beruntung selamanya." (HR. Ibnu Majah, Ahmad. Dihasankan Al Bushairi dalam Az Zawaa`id).
Dan hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Nafi` dari Nabi beliau bersabda, "Barang siapa yang meanggantung tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barang siapa menggantung wada`ah, semoga Allah tidak mmberi ketenangan padaa dirinya." (HR. Ahmad).
Dari Ibnu mas`ud saya mendengar Rasulullah bersabda, "sesungguhnya ruqyah, tama`im dan tiwalah adalah syirik." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
"Barang siapa menggantungkan tamimah, berarti dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad).
Jika yang digantungkan adalah dari ayat-ayat Al Quran, maka pendapat yang shahih adalah dilarang pula karena tiga alasan :
a. Bersumber dari hadits-hadaits nabi yang melarang menggantungkan tamimah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
b. Menutup jalan, karena hal itu bisa membawa kepada menggantungkan yang bukan dari Alquran.
c. Jika ia menggantungkan dari yang demikian itu (Alquran), menjadi penghinaan dengan membawa serta di waktu buang air, istinja` dan jima` (bersetubuh), serta yang semisal dengannya.1
Hukum Mengambil Upah dari Meruqyah
Perlu diketahui, bahwa bacaan ruqyah tidak akan berguna terhadaap orang yang sakit kecuali dengan beberapa syarat :
a. Pantasnya orang yang meruqyah adalah seorang yang baik, shalih, istiqamah dalam melaksanakan yang wajib, sunah, menghindari yang haram dan syubhat.
b. Tidak menentukan upah atas orang yang sakit, menjauhkan diri dari mengambil upah yang lebih dari kebutuhannya. Maka semua itu lebih mendukung kemanjuran ruqyahnya.
c. Mengenal ruqyah-ruqyah yang dibolehkan dalam syariat.
d. Orang yang sakit adalah orang yang sholeh ,baik , istiqamah dalam beragama dan jauh dari yang diharamkan.
e. Orang yang sakit menyakini bahwa Al Quran adalah pernawar ,rahmat dan obat yang berguna.2
Seharusnya Seorang raaqi/ yang meruqyah (berniat) berbuat baik dengan ruqyahnya untuk manfaat kaum muslimin dan mengharapkan pahala dari Allah dalam mngobati umat islam yang sakit, mennhilangkan bahaya dari mereka, dan tidak mengharapkan upah atas ruqyahnya. Tetapi ia menyerahkan perkaranya pada pasien. Jika mereka memberikan kepadaya melebihi jerih payahnya, ia mesti bersikap zuhud dan mengembalikannya. Jika upahnya kurang dari haknya, ia mesti membiarkan kekurangannya.
Syekh Abdullah Al Jibrin berkata, "Tidak ada halangan mengambil upah atas ruqyah syar`iyyah dengan syarat kesembuhan dari sakit." Dalinya adalah hadits riwayat Abu Sa`id , bahwasannya teman mereka meruqyah pemimpin suku tersebut setelah ada kesepakatan antara mereka atas upah sekelompok kambing, lalu mereka pun menepatinya. Nabi bersabda:
"Bagilah dan tentukanlah satu bagian untukku bersama kalian." ( H.R. Bukhari Muslim ). "Sesungguhnya upah yang paling pantas kamu ambil adalah kitabullah (Alquran)." (HR. Bukhari).
Beliau menetapkan kepada mereka penentuan syarat dan mereka pun memberikan bagian untuk beliau sebagai tanda kebolehannya, namun dengan syarat ia melakukan ruqyah syar`iyyah. Jika bukan ruqyah syar`iyyah maka tidak boleh. dan tidak disyariatkan melainkan setelah selamat dari sakit ( setelah sembuh ) dan hilangnya penyakit. Dan yang utama dalam membaca ruqyah adalah tidak memberi syarat, dan melakukan ruqyah untuk manfaat orang-orang beriman serta menghilangkan bahaya dan sakit. Dan jika memberikan syarat maka janganlah memberikan syarat yang ketat, namun sekadar keperluan mendesak.
Hadits Abu Sa`id Al Khudry tersebut adalah menunjukkan bolehnya ruqyah dan mengambil upah atasnya. Syaikh Abdullah Al Jibrin juga mengatakan, "Kami katakan bahwa sesungguhnya dokter yang mengobati, apabila mensyaratkan upah tertentu , maka harus disyaratkan sembuh dan selamat dari sakit yang ditanganinya, kecuali apabila mereka sepakat untuk memberikan senilai biaya pengobatan dan obat-oabatan. Adapun jimat semacam ini, pada dasarnya adalah ruqyah, maksudnya membacakan atas pasien serta meludah disertai sedikit air liur. Demikian pula penulisan ayat-ayat di kertas dan seumpamanya dengan air za`faran, boleh mengambil upah atas yang demikian sebagai imbalan obat-obatan. Dan seperti ini air bersih dan minyak. Apabila dibacakan ayat-ayat Al Quran padanya, maka boleh baginya mengambil nilai biasanya, tanpa berlebih-lebihan dalam penetapan tarif yang tidak sebanding." 3
Hukum Ruqyah Sebagai Profesi dan Mendirikan Tempat Praktek untuknya
Syaikh Shalih Al fauzan pernah ditanya, "Apa pendapat Syaikh tentang orang yang membuka praktek pengobatan dengan bacaan ruqyah?."
Beliau menjawab, "Ini tidak boleh dilakukan karena ia membuka pintu fitnah, membuka pintu usaha bagi yang berusaha melakukan tipu muslihat. Ini bukanlah perbuatan As-Salafush Shalih bahwa mereka membuka rumah atau membuka tempat-tempat untuk tempat praktek. Melebarkan sayap dalam hal ini akan menimbulkan kejahatan, kerusakan masuk di dalamnya dan ikut serta di dalamnya orang yang tidak baik. Karena manusia berlari di belakang sifat tamak, ingin menarik hati manusia kepada mereka, kendati dengan melakukan hal yang diharamkan. Dan tidak boleh dikatakan,"Ini adalah orang shalih." Karena manusia mendapat fitnah, semoga Allah memberi perlindungan. Walaupun dia orang shalih maka membuka pintu ini tetap tidak boleh." 4
Banyak manusia berkenyakinan tentang kekhususan tertentu yang dimiliki oleh orang yang telah melakukan ruqyah (raaqi), sehingga mereka mempunyai anggapan (bersikap ghuluw/berlebihan) terhadap raaqi tentang apa-apa yang dibaca ketika sedang meruqyah. Aslinya dalam syariat Islam adalah saddu dzari`ah (mencegah bahaya) karena pekerjaan ruqyah ini kadang-kadang membuka pintu kejahatan dan kesesatan bagi ahli Islam. Cara-cara seperti ini (mengambil ruqyah sebagai profesi) tidak pernah ada (dasarnya) dari Nabi saw. dan tidak pula dikerjakan oleh satupun dari sahabatnya, serta tidak pernah dikerjakan salah seorang dari ahli ilmu dan ahli kemuliaan, walaupun mereka ada keperluan. Pada dasarnya kita harus mengikuti dan mencontoh mereka (Nabi, para sahabatnya, ahli ilmu, dan ahli kemuliaan). 5
Pada dasarnya bila seseorang menjadikan ruqyah sebagai profesi, ia akan disibukkan oleh urusan ini dan meninggalkan urusan-urusannya yang lain. Terkecuali bila seseorang tadi mempunyai pekerjaan dan tidak menjadikan ruqyah sebagai profesinya serta tidak membuka praktek, maka hal itu boleh-boleh saja. Dan dia hanya melanyani masyarakat yang membutuhkan bantuannya untuk diruqyah karena diganggu setan. Dia niatkan ruqyahnya untuk tolong menolong dalam kebaikan, amar ma`ruf nahi munkar, memerangi setan dan jin yang mengganggu manusia dan mengharapkan ridha Allah semata. Dia tidak mengharapkan upah dari manusia dan tidak menetapkan tarif besar kecilnya dari manusia. Bila di tengah-tengah ia meruqyah ada yang ikut (maksudnya adalah diberi upah), maka bila ia memerlukan boleh diambil. Dan bila ia tidak memerlukannya karena sudah merasa cukup, maka boleh tidak diambil sebagai sikap zuhud pada apa yang ada ditangan manusia. Karena pada dasarnya ia hanya mengharapkan ridha Allah dan wajah-Nya serta menolong manusia yang membutuhkan bantuannya. Melakukan ruqyah dengan niat seperti ini adalah dibolehkan dan disyariatkan .
Adapun bila ia melakukan ruqyah hanya dipakai sebagai profesi saja, membuka praktek, dan memasang tarif yang tinggi serta tidak ada unsur untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Maka meruqyah dengan niat seperti ini, jelas bertentangan dengan syariat. Wallahu A`lam Bish Shawab.
Menjaga Kehormatan
Sungguh merupakan bahaya besar yang tidak disadari oleh kebanyakan umat Islam, ketika angin fitnah berhembus kencang menerpa mereka. Tak banyak yang mampu teguh berdiri kokoh. Jika seseorang berhasil mengatasi fitnah syubhat, belum tentu mampu menepis fitnah syahwat, atau sebaliknya. Hingga akhirnya, mereka tidak lagi terlihat melindungi dan menjaga harga diri dan kehormatan. Justru mencampakkan dan menggantinya dengan kehinaan.
Itulah fenomena yang terlihat di hadapan mata kita, terutama pada kaum wanita. Keadaan umat semakin terlihat kacau, mereka tampak jauh dari petunjuk Alquran dan sunah, sehingga mereka sangat mudah dipatahkan, karena tidak mempunyai kekuatan prinsip sama sekali. Sampai-sampai orang yang ingin tetap komitmen terhadap agamanya dan menjaga kesucian diri (iffah) nya merasa berat menghadapi kenyataan, dan selalu berhadapan dengan bahaya yang mengerikan.
Kenyataan tersebut berawal dari hanyutnya sebagian kaum muslimin terhadap propaganda-propaganda dan slogan-slogan batil yang dilancarkan musuh-musuh Islam. Westernisasi (pemberdayaan budaya Barat) oleh umat tidak dihitung sebagai upaya penggeseran nilai-nilai akidah. Sehingga, dengan berbagai dalih seperti globalisasi atau universalisasi musuh berhasil menipu umat. Maka, semakin jauhlah manusia dari petunjuk dan kebenaran. Isu globalisasi tersebut telah berhasil mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, antara kebaikan dan kemungkaran, antara sunah dan bidah, juga antara Islam dan non-Islam.
Teori inilah yang paling jitu untuk melunturkan agama dari dalam diri orang beriman, dan mengubah umat Islam menjadi binatang piaraan yang mudah dihalau dan dikendalikan. Dengan hal itu, mereka meninabobokkan umat, membuatnya terlena dalam kesenangan nafsu, sehingga perasaan menjadi tumpul tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang mungkar. Bahkan, ada di antara mereka yang perlahan-lahan mulai murtad dari ajarannya.
Semua ini akibat dari sikap meremehkan kaidah al-wala' wal-bara' atau loyalitas kepada agama dan pembebasan diri dari selainnya. Selain itu, karena adanya penodaan terhadap makna cinta dan benci karena Allah, pembungkaman mulut untuk mengatakan kebenaran, dan munculnya berbagai tuduhan yang dilontarkan kepada orang yang masih mempunyai kebaikan dan berusaha memperjuangkan kebenaran. Mereka dituduh sebagai teroris, ektremis, radikalis, fundamentalis, dan lain-lainnya, bahkan julukan-julukan yang sangat keji.
Di antara upaya yang sangat membahayakan dan berpengaruh besar dalam meluluhlantakkan umat Islam dan menghanyutkan mereka dalam gelombang kesenangan syahwat dan kemerosotan akhlak adalah penyebaran fitnah berupa upaya memalingkan kaum wanita Islam dari penjagaan-penjagaan keutamaan yang ada dalam diri mereka kepada pintu-pintu kehancuran dan pembukaan berbagai perbuatan keji. Sehingga, kebanyakan wanita Islam tidak lagi terlihat melindungi dan memelihara kehormatan serta harga diri, malah mengobrak-abrik, merusak, dan menjadikannya hina.
Dengan semboyan HAM, kebebasan kaum wanita, kesetaraan gender, dan lain-lainnya yang semuanya bersumber dari paham demokrasi yang sesat dan menyesatkan. Dengan itu mereka telah berhasil mengubah pola pikir wanita-wanita Islam. Sehingga, dengan serta merta kaum wanita Islam mulai meninggalkan hijab, ikut meramaikan budaya mengumbar aurat di depan umum, bertabarruj (berdandan), dan sufur (buka-bukaan aurat), berpenampilan tidak senonoh, dan ikut terlibat dalam pornografi maupun pornoaksi.
Di Indonesia, negara berkembang yang berpenduduk mayoritas muslim dan akrab dengan budaya ketimuran, sudah mulai terasa derasnya arus budaya Barat. Kaum muslimin mulai mengadopsi budaya-budaya bejat itu. Kaum remaja tanpa batas leluasa meniru gaya orang-orang kafir Barat, mulai dari trend mode pakaian, gaya bergaul, dan gaya hidup. Maka, tidak heran jika remaja yang tinggal di kota-kota besar sudah akrab dengan budaya seks bebas. Anehnya, para orang tua tidak sedikit yang justru ikut membantu dan mendorong putra-putrinya ke jurang kenistaan dan kemerosotan moral itu. Na'udzubillah min dzalik.
Musuh-musuh Islam menggunakan cara-cara yang sangat halus dalam melancarkan aksi untuk sampai pada tujuan mereka. Tahap awal yang mereka lakukan adalah menggalakkan budaya ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dan perempuan).
Ikhtilath yang jelas-jelas tegas dilarang oleh Islam sudah ditanamkan mulai pada anak usia TK hingga di perguruan-perguruan tinggi. Penyebaran budaya sesat ini yang paling gencar melalui media informasi. Di Indonesia kebanyakan acara-acara TV ataupun radio yang bertema kaum muda rata-rata menjiplak acara-acara dari negara-negara Barat. Kita saksikan di bebarapa stasiun TV berbagai program acara yang justru mendidik kawula muda untuk hidup bebas. Ada acara AFI, KDI, Indonesia Idol, Indonesian Star, Penghuni Terakhir, dan lain-lainnya. Hampir setiap stasiun TV di Indonesia menampilkan acara-acara yang tidak lagi mengindahkan moral dan etika agama. Tidak hanya ikhtilath yang kelihatan, namun kehidupan bebas yang dimeriahkan. Jadi, seakan kawula muda diarahkan untuk menerapkan budaya bebas itu dengan cara menyuguhi mereka acara-acara yang sarat dengan pengajaran hidup bebas.
Dari situ kemudian dampaknya mulai meningkat lebih parah. Hijab, kerudung, atau biasa disebut jilbab mulai ditinggalkan oleh kaum muslimah. Atau, paling tidak ada penggeseran dari nilai-nilai dasarnya. Mereka yang masih mau menunjukkan identitas muslimahnya tidak lagi memakai kerudung yang sesuai dengan aturan syariat Islam, tetapi memakai kerudung-kerudung mungil, gaul, sesuai mode yang pada hakikatnya melanggar aturan Islam. Tindakan ini tidak menambah kebaikan sama sekali pada pelakunya, justru jika menggalakkan sunnah sayyiah (budaya yang tidak sesuai dengan Islam), mereka akan mendapat multilevel dosa.
Yang lebih parah lagi ketika kaum muslimah sudah mulai mengadopsi cara perpakaian orang Barat, yang jelas mengumbar aurat. Bagi remaja putri, mungkin saat ini akan malu jika perpakaian longgar. Gaya berpakaian ala Barat ini sudah dikenalkan pada anak-anak yang baru usia TK. Maka tidak heran jika kita lihat hampir di semua tempat adanya kenyataan yang sangat memprihatinkan. Mereka yang mengaku sebagai muslimah memakai pakaian-pakaian yang ketat, bahkan super ketat yang menampakkan lekuk-lekuk keindahan tubuhnya. Dalam hal ini, disadari maupun tidak disadari, dari fenomena ini diketahui bahwa mereka sudah jauh dari moral dan sangat jauh dari akhlak yang benar. Gaya berpakaian dengan menampakkan pusar atau bagian perut bahkan dada sudah sangat sulit untuk dihindari. Sehingga orang yang masih menjaga dirinya merasa risih dengan fenomena ini. Sudah demikian jauhkah keadaan mereka sehingga mereka tidak mengetahui ancaman Rasulullah terhadap wanita-wanita yang memakai busana namun seperti telanjang bahwa mereka adalah calon penghuni neraka?
Ada yang berusaha membungkus kebusukan ini dengan cara yang lain. Yaitu, ketika sebagian tetap memakai kerudung (tentu saja yang mungil, trendi, gaul, dan tidak memenuhi sarat Islam), namun mereka tetap memakai pakaian-pakaian yang ketat. Cara berkerudungnya sudah salah, ditambah dengan pakaian yang tidak senonoh.
Semua itu menunjukkan hilangnya harga diri dan kehormatan sebagian wanita muslimah. Dan, karena kebanyakan manusia sudah diliputi hawa nafsu akibat jauhnya dari petunjuk, maka pemandangan semacam itu tidak lagi menjadi masalah, justru dinikmati, dibela dan diperjuangkan. Na'udzubillah min dzalik.
Sebenarnya masalah ini menjadi tanggung jawab semua lapisan kaum muslimin. Semua harus berupaya semampunya untuk mengembalikan citra, harga diri, dan kehormatan Islam. Bagi orang tua hendaknya mendidik putra-putrinya agar berakhlak dan berbudaya Islam, dan tidak membiarkan mereka larut dengan gaya-gaya orang kafir. Bagi para guru supaya menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak didiknya agar terbentuk pola pikir Islam. Bagi para dai supaya tidak bosan menyuarakan kebenaran dan ajakan untuk kembali kepada Alquran dan sunah. Dan bagi semua pihak, terutama kaum wanita, agar bertakwa kepada Allah, berserah diri kepada-Nya, tunduk pada tuntunan Rasulullah saw., tidak mudah terbujuk oleh rayuan dan bisikan penyeru kerusakan. Barang siapa mempunyai iman dan keyakinan yang kuat, pastilah ia membentengi diri dengan berpegang teguh pada tuntunan syariat Allah.
Sesungguhnya awal kesuksesan hidup, keselamatan, dan kebahagiaan yang hakiki adalah mengikuti sunnah (petunjuk) Rasulullah saw. Sebaliknya, awal kesengsaraan, kehancuran, dan malapetaka adalah mengikuti hawa nafsu. Setiap yang menyelisihi sunah adalah hawa nafsu, dan hawa nafsu mengikuti setan. Maka, marilah kita sesuaikan segala aspek kehidupan kita dengan petunjuk Rasulullah saw. agar harga diri dan kehormatan kita tetap terjaga. Wallahu a'lam (Zen Al-Choodry).
Sikap dan Solusi atas Kelemahan Aqidah Umat
Allah SWT menciptakan manusia dengan dua ketentuan: ketentuan bersifat mutlak sebagai kehendak Allah yang disebut iradah kauniyyah dan ketentuan yang menghendaki menusia berjalan menuju ke jalan kebenaran atau disebut iradah syar'iyyah. Dalam iradah kauniyyah, manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas kehendak Allah yang terjadi padanya: mengapa ia menjadi seorang pria atau wanita, mengapa muka kita seperti ini, mengapa berbadan tinggi, dan yang semacamnya.
Ketentuan kedua Allah, iradah syar'iyyah, menghendaki manusia berjalan menuju kebenaran. Untuk tujuan tersebut, Allah memberikan sejumlah perangkat. Pengutusan para rasul yang ditutup oleh Nabi kita, Muhammad saw., adalah salah satunya. Barang siapa yang menerima dan memegang komitmen dalam hidupnya sesuai dengan kehendak Allah, maka dia selamat dunia maupun akhirat (lihat An-Nahl: 97). Tetapi sebaliknya, jika ia menolak dengan berpegang pada isme-isme buatan jin dan manusia, dia tersesat di dunia dan merugi di akhirat (lihat Taha: 124-126). Atas dasar itu, terjadi tarik-menarik antara kebenaran dan kebatilan. Bendera kebenaran dibawa oleh para nabi, sedang bendera kebatilan dibawa oleh setan dan konco-konconya dari jin dan manusia (Al-An'am: 112). Maka, sejak iblis diusir dari neraka, dia bersumpah untuk menyesatkan seluruh manusia, kecuali hamba Allah yang bersyukur (Al-A'raf: 12-18). Upaya penyesatan itu berlangsung sampai hari kiamat. Maka, sejak itu terjadi dua kelompok yang selalu tarik-menarik, seperti firman Allah SWT (yang artinya), "Orang yang beriman di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir berjuang di jalan thaghut, maka perangilah pembela-pembela seitan, sesungguhnya tipu daya syaitan itu lemah." (An-Nisa: 76).
Upaya perusakan setan dilakukan melalui dua arah. Pertama, fitnah syubhat berupa wacana pemikiran dan keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran. Fitnah ini diusung oleh non-muslim (baca: kafir), atau juga lewat orang muslim yang berpenyakit (baca: munafik). Kedua, fitnah syahwat dalam perilaku seksual. Jika seorang muslim terkena salah satu fitnah tersebut atau bahkan keduanya, daya memperjuangkan Islamnya akan lumpuh.
Dalam melumpuhkan kekuatan umat Islam, musuh-musuh Islam menggunakan segala macam cara yang terus-menerus dikembangkan, baik melalui eksternal (vis to vis dengan kaum muslimin) maupun internal (pembusukan dari dalam). Dan itu dilakukan sepanjang sejarah perjuangan umat Islam. Semenjak dari negara pimpinan Nabi saw., lalu dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dinasti-dinasti lain, dan sampai yang terakhir, Utsmaniyah. Dicatat oleh Dr. Abdul Halim dalam kitabnya, Asbaabu Suquuthi Tsalatsiina Daulah Islamiyah (Sebab-Sebab Kejatuhan 30 Negara Islam), bahwa kejatuhan negara-negara Islam umumnya disebabkan oleh hal-hal di atas, dari penyimpangan ideologi sampai penyimpangan moral.
Faktor Eksternal yang Menggerogoti Umat Islam
Kerja sama zionisme dan salibisme internasional dalam menghadapi umat Islam dicatat Dr. Umar al-Faruk dalam bukunya, Segi Tiga: Penjajahan, Orientalisme, dan Kristenisasi, sebagai usaha yang memporak-porandakan kekuatan umat Islam di seluruh dunia.
Kita melihat bagaimana Portugal, Inggris, dan Belanda ketika menjajah Indonesia. Ketiga hal di atas (penjajahan, orientalisme, dan kristenisasi) menjadi suatu langkah kongret usaha mereka yang berhasil mengangkangi umat Islam Indonesia berabad-abad. Mereka memperlakukan umat Islam sekehendaknya, dan bagi yang menentang, dikenakan tuduhan ektresmis, fundamentalis, dan lain-lain.
Ketika penjajah sudah hengkang, peranan mereka digantikan oleh kaum intelek kita yang menjadi perpanjangan tangan para orientalis dengan mengampanyekan paham-paham mereka atas nama nasionalisme, modernisme, sekularisasi, desakralisasi, reaktualisasi, pribumisasi, dan semacamnya. Hal tersebut diungkapkan R. William Lidle dalam bukunya, Islam, Politik, dan Modernisasi. Di antara wacana-wacana itu, yang kini lumayan naik daun adalah Islam Liberal.
Perkembangan Islam Liberal telah mendominasi para intelektual kita. Greg Burton dalam bukunya, Islam Liberal di Indonesia, menyebutkan paling tidak ada tiga nama besar pembawa gagasan paham ini di Indonesia: Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Johan Effendi.
Ditinjau dari sudut pemerintahan, perjalanan peran umat Islam dipegang oleh tiga elemen. Pertama, elemen nasionalis muslim, Soekarno, yang dilanjutkan oleh Soeharto, lalu Habibie. Mereka adalah tipe pemimpin sekuler yang mengadopsi paham Islam formalistik. Kepemimpinan model ini telah gagal menciptakan kesejahteraan umat, bahkan keadaannya termarjinalkan. Elemen kedua adalah kelompok modernis dan Islam liberal. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, model ini terbukti gagal juga.
Terakhir, kaum kafirin khawatir akan lahirnya elemen ketiga, yang nantinya membawa kemenangan dan kesejahteraan Islam melalui kekuasaan, secara de facto dan de jure. Elemen ketiga itu mereka sebut fundamentalisme.
Roger Garraudy menyebut fundamentalisme sebagai antitesis bagi sekularisme. Sementara, mantan Presiden Amerika Richard Nixon setidaknya menginventarisasi lima pemicu munculnya kaum fundamentalis dalam Islam. Pertama, mereka yang digerakkan kebencian terhadap Barat/anti-Barat. Kedua, mereka yang bersikeras mengembalikan peradaban Islam yang lalu. Ketiga, mereka yang bertujuan mengaplikasikan syariat Islam. Keempat, mereka yang mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara. Kelima, mereka yang menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun masa depan, mereka ini bukan orang-orang konservatif, namun cukup revolusioner (Adian Husaini, Yusril Versus Masyumi, hal. 49).
Fundamentalisme benar-benar dianggap ancaman oleh blok kafir yang dikomandoi oleh Barat. Mata dunia terbuka lebar ketika menyaksikan Sovyet yang kokoh bertekuk lutut di hadapan para mujahidin Afghanistan, yang oleh mereka disebut muslim fundamentalis. Sebuah bukti bahwa kekuatan fisik dan mesin-mesin perang tidak cukup ampuh melawan gelora jihad (mereka menyebutnya fundamentalisme). Maka, tidak heran jika kemudian tesis Samuel Huntington, The Class of Civilisation/Benturan Peradaban, mereka jadikan kemudi untuk menyudutkan umat Islam di seluruh dunia. Lalu, dibuatlah isu terorisme untuk membungkam gelora jihad umat Islam sehingga tidak mempunyai perlawanan lagi. Betul kata Nabi saw., "Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad kecuali akan hina."
Adapun gerakan kristenisasi, yang berjalan terus semenjak masa penjajahan hingga kini, imbasnya jelas-jelas dirasakan oleh umat Islam di berbagai pelosok daerah. Grafik statistik kependudukan tentang kuantitas kaum muslimin yang menurun drastis adalah bukti yang autentik. Padahal, Indonesia mempunyai piranti undang-undang yang melarang pemaksaan agama.
Jika memperhatikan keadaan umat Islam, akan kita dapati berbagai indikasi kemerosotan dalam hampir seluruh aspek kehidupan, baik akidah, ibadah, maupun moralitas. Fenomena kemusyrikan terjadi di mana-mana. Di antara yang paling menonjol adalah praktik perdukunan. Ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan aliran-aliran sesat yang memanfaatkan kebodohan umat.
Dalam ibadah ritual, umat Islam masih jauh dari masjid, terutama salat subuh. Dari segi moralitas, sudah nyata-nyata bobrok. Sebagai ilustrasi, Jakarta yang penduduknya 80% muslim, dengan jumlah masjid 2.400, musala 5.500, dan majelis taklim 6.750 (data statistik 1997), mencetak rekor tertinggi dalam peredaran narkoba skala nasional, sekitar 60%, sedang sisanya tersebar di wilayah-wilayah lainnya.
Budaya munafik, sikap ulama yang tidak berpihak kepada umat dalam bentuk pembodohan atas nama ketaatan, sikap para penguasa muslim dengan komitmen Islam yang lemah, sikap masa bodoh para pengusaha muslim dalam mengentaskan kemiskinan, dan tampilnya ulama-ulama kagetan yang bodoh tetapi sok pintar, serta berbagai macam penyakit umat yang sudah sangat kronis, pengobatannya membutuhkan waktu yang cukup lama dengan melibatkan semua elemen umat Islam yang terampil untuk bangkit menyelamatkan umat dari jurang kehancuran. Dari kezaliman menuju keadilan Islam; dari kebodohan menuju kesadaran Islam.
Faktor Internal Penyebab Kelemahan Umat
Jika ditinjau lebih jauh, masyarakat muslim di berbagai pelosok Indonesia terpecah-pecah dalam berbagai sekat kelompok, organisasi dan model dakwah variatif lainnya, dengan klaim masing-masing kelompok paling benar. Realita itulah yang menyebabkan kekuatan dakwah tercecer.
Berbicara tentang dakwah berarti berbicara risalah Islam. Sudahkah ia terimplementasi dengan baik? Seberapa jauh pemahaman dai kita tentang metode dakwah Rasulullah? Seberapa banyak dai yang diterjunkan ke dalam masyarakat? Setingkat apa kualifikasi mereka? Bagaimana intensifitas dakwah mereka? Sejauh mana mereka dapat menghindarkan masyarakat muslim dari keterperosokan moral? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk direnungkan, mengingat bahwa kebangkitan umat Islam dari multidimensi yang dialaminya sangat bergantung pada keberhasilan peranan dakwah.
Dalam tataran lokal (Indonesia), kelemahan dakwah telah sampai pada tingkat yang luar biasa, sehingga sulit mengharapkan sebuah kebangkitan Islam dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut.
Masih meratanya tingkat kebodohan tentang Islam.
Banyaknya syirik, bidah, khurafat, dan takhayul.
Dekadensi moral yang mengerikan.
Permusuhan antar-umat yang kerap terjadi hanya karena sebuah perbedaan.
Integritas pribadi para dai yang bermasalah.
Masjid-masjid banyak yang kosong dan difungsikan hanya untuk salat.
Pendidikan agama di sekolah-sekolah mengkhawatirkan.
Mayoritas masyarakat muslim enggan menampakkan penampilan Islamnya.
Banyak daerah yang tidak terjamah dakwah karena kurangnya dai dan diperparah oleh penyebaran aliran sesat yang sangat luas.
Fanatisme tiap-tiap kelompok yang sulit dipertemukan.
Dan lain-lain.
Solusi Problematika Umat: Menegakkan Islam dengan Cara Islam
Sub-judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun pada kenyataannya banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakan kalimat Allah itu dengan berbagai cara. Ada kalanya islami tetapi parsial, ada pula yang tidak islami tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak bersifat ijthadi pada saat ada dalil, sebab ijtihad dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.
Karena itu, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka harus mengemukakakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah dengan kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dans seterusnya.
Tanggung Jawab Personal
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).
"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84).
"Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Rasulullah saw. bersabda, "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu."
Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan, yaitu "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya. Yaitu "segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridai Allah SWT".
"Segala apa yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah syariat Islam.
Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).
Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab, dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Dan apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).
Dalam istilah fikih, bahwa tanggung jawab personal itu fardu ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayah. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladalan bagi perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjalanan perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengotak-kotakan masa Mekah dan masa Madinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara sempurna. Maka, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komperehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita seperti firman Allah SWT. "Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (Ath-Thaghabun: 16).
Dan, Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani. "Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari hukumnya." (HR Daruqutni, hadis hasan).
Dan, beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan. "Maka barang siapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka hendaklah kalian (mengikuti) sunahku dan juga sunah khulafa ar-rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhui perkara-perkara yang diciptakan, karena sesungguhnya setiap bidah adalah sesat." (HR Abu daud dan Tirmizi, hadis hasan).
Secara ringkas, kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam, yaitu sebagai berikut.
Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian, beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian, beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader.
Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-muslim.
Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali belaiu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun akidah yang benar sampai kesatuan langkah. Yaitu, menuju tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat DR. Robi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).
Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan Jihad. Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian.
1. Jihad menundukkan hawa nafsu (meliputi 4 tahap).
Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berjihad dengan melaksanakan ilmu yang telah diperolehnya, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti, dan bahkan membahayakan.
Berjihad dengan menjalankan dakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
Berjihad dengan menekan diri agar sabar terhdap cobaan dakwah berupa gangguan manusia.
Empat hal inilah makna yang terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafii, seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia.
2. Jihad melawan setan (meliputi 2 hal).
Berjihad melawan pemikiran setan berupa syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
Berjihad melawan setan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (Lihat As-Sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kufar dan munafikin (melalui 4 tahap).
Berjihad dengan qalbu.
Berjihad dengan lisan.
Berjihad dengan harta.
Berjihad dengan tangan.
4. Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara terhadap kaum munafikin dengan lisan.
Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bidah (ditempuh melalui 3 tahap).
Berjihad dengan tangan kalau mampu.
Kalau tidak, dengan lisan.
Kalau masih tidak mampu, maka terakhir dengan hati. (HR Muslim).
Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3, hlm. 6--12).
Sebagai penutup, kami kutipkan ucapan Umar bin Khattab r.a. yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainnya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah." Juga, ucapan Imam Malik rhm. yang artinya, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam. (Ust. Farid Achmad Okbah, M.A.).
Persekongkolan Blok Kafir terhadap Umat Islam
Pergolakan antara kebenaran dan kebatilan bermula sejak Iblis menolak perintah Allah SWT bersujud kepada Adam. Dia bersumpah untuk menyesatkan umat manusia, kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas, karena mereka mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Karena, itulah perlawanan paling berat yang dialami oleh para nabi. Allah SWT menjelaskan (yang artinya), "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia) ...." ( Al-An'aam: 112).
Kebatilan akan terus melahirkan kezaliman-kezaliman dan ujungnya adalah kehancurannya, sedangkan kemenangan akan berada di pihak kebenaran, cepat atau lambat. Allah SWT berfirman, "Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." ( Al-Israa': 81).
Kemenangan bagi umat Islam adalah sunah yang bersifat aksiomatik apabila dipenuhi syarat-syaratnya. Amerika sedang memimpin kebatilan dunia untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Tetapi, "Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari." (An-Naml: 50).
Mari kita lihat sejauh mana kekuatan musuh kita dan apa bekal kita untuk menghadapi Amerika dan sekutu-sekutunya.
Kekafiran adalah agama yang satu, kerja sama di antara mereka suatu keniscayaan. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa." (Al-Jaatsiyah: 19).
Segala upaya mereka satu padukan untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Apalagi, setelah mereka merasa menang dalam perang dingin dengan Rusia yang gulung tikar setelah kekalahan telak yang dialaminya di Afghanistan, yang oleh Gorbachev dikatakan sebagai salah perhitungan. Satu per satu wilayah yang dicengkeram Rusia berguguran dan komunisme pun bubar.
Melalui penasihatnya, Sammuel Hungtington mengatakan, musuh yang harus dihancurkan selanjutnya adalah Islam dengan segala kekuatannya. Berdasar inilah segala langkah disusun. Melihat gulung tikarnya Rusia karena perjuangan mujahidin, maka Amerika berusaha menghancurkan para mujahidin dengan mempersempit semua langkah gerak mereka. Terutama, setelah peranan mujahidin terlihat jelas dalam perjuangan mereka membantu saudara-saudara sesama muslim yang mengalami etnic cleansing di Bosnia, perjuangan Kashmir, perjuangan di Filipina Selatan, dan sebagainya. Maka, dicarilah jalan untuk menghancurkan mereka. Rupanya analisis buku ini, Bukan tetapi Perang Terhadap Islam, menguatkan rekayasa 11 September sebagai entri point untuk menyatakan perang total terhadap terorisme internasional, yaitu Islam.
Sasaran yang dituju adalah WTC sebagai pusat bisnis internasional dan counternya adalah membasmi perdagangan Islam, yaitu jihad dan mujahidin. Firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya." (Ash-Shaf: 10--11).
Mereka telah berhasil sedemikian rupa untuk mempengaruhi opini dunia bahwa yang diperjuangkan betul-betul adalah membasmi terorisme. Padahal, kenyataan membuktikan bahwa Amerika adalah sumber terorisme dalam infasinya ke negara-negara berdaulat, seperti Afghanistan, Irak, Somalia, dan sebagainya. Begitu pula dengan Israel yang selalu mendapat dukungan dari hak veto PBB. Teroris Israel malah mendapat dukungan luar biasa dari PBB, bahkan vetonya selalu membelanya. Begitulah keadaan yang berlangsung di mata dunia, tanpa ada yang bisa menghentikan langkah-langkahnya, termasuk PBB yang bermarkas dan biayai oleh Amerika itu. Tetapi, justru dalam kazaliman dan arogansi Amerika itu, kita akan melihat masa kehancurannya. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (Asy-Su'araa: 227).
"Maka, orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Rab semesta alam." (Al-An'am: 45).
Rasulullah saw. bersabda, "Perbuatan zalim adalah kegelapan-kegelapan di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim).
Ya, Amerika yang dikuasai oleh lobi Yahudi Internasional telah bekerja sama dengan salibisme internasional dan pemerintah-pemerintah sekuler yang didukung oleh ulama ulama suu' (ulama yang jelek) berikut jajaran intelejen yang canggih. Mereka berusaha keras melumatkan kekuatan umat Islam. Tidak jarang sebagian tokoh Islam ikut-ikutan menyudutkan umat Islam, padahal mereka mengaku sebagai seorang muslim.
Kekuatan memang tidak seimbang, tetapi Allah SWT selalu membela hamba-hamba-Nya yang ikhlas berjuang karena-Nya, sehingga tidak ada istilah menyerah, apalagi pensiun berjuang. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (Muhammad: 7).
Sejak melemahnya umat Islam pada abad ke-16 M di bawah dinasti Utsmaniyah di Turki, Shafawiyah di Iran dan Moghol di India dimanfaatkan oleh blok-blok kafir untuk menjajah wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia oleh Portugis dan Belanda. Mereka merusak umat Islam dengan tiga senjata: (1) menjajah fisik dengan senjata, (2) menjajah agama dengan kristenisasi, dan (3) Menjajah otak dengan oreintalisme. Penjajahan fisik berakhir dengan merdekanya wilayah-wilayah jajahan, tetapi kristenisasi dan orientalisasi tetap berjalan. Meskipun demikian, rupanya perkembangan Islam semakin pesat dan kekuatannya semakin mantap, baik dari segi sumber daya alam maupun manusianya yang menunjukkan kebangkitan umat Islam di segala bidang. Hal itu menjadikan blok kafir bersatu untuk menghadang kekuatan Islam yang oleh mereka dianggap sebagai ancaman serius, terutama karena faktor agama. Makanya, keluarlah dari mulut George Bush sebuah pernyataan bahwa ini adalah perang salib (crusade), walaupun kemudian menarik lagi karena takut umat Islam besatu.
Amerika Akan Hancur dari Dalam
Sebenarnya binatang besar, gajah, yang bernama Amerika mengandung banyak kelemahan. Al-Maududi berkata, andaikan umat Islam bagaikan lalat-lalat yang mengiang di telinga sang gajah, gendang telinganya akan pecah. Tetapi, sayangnya suara umat Islam tidak bulat. Mereka dipecah-pecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok formalistik, yaitu mayoritas umat Islam yang mempraktikkan Islam sebatas ritual. Kedua, kelompok umat Islam yang substansialistis atau modernis, atau inklusif, atau liberalis, atau nasionalis, atau sekularis, yang hanya mau roh Islam tetapi jasadnya setan. Mereka adalah anak-anak emas Barat. Adapun yang menjadi target mereka dan harus dihancurkan adalah kelompok fundamentalis (istilah mereka), yaitu umat Islam yang ingin kembali menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), di bidang ekonomi, sosial, politik, dll. Apa pun kerja mereka, semuanya bertujuan untuk menzhalimi umat Islam.
Sesungguhnya indikasi-indikasi kehancuran Amerika sudah mulai kelihatan, hal itu seperti diungkap seorang penyair Mesir, Syauqi:
Bangsa- bangsa itu tergantung akhlaknya
Apabila akhlak mereka bejat, hancurlah bangsa itu.
Melihat hasil penelitian oleh dua orang Amerika bernama James Pattersoon dan Pater Kirm dalam bukunya yang berjudul The Day Amerika Told the Truth, dari hasil polling yang dilakukan kepada 2000 orang Amerika dari berbagai strata sosial, terungkap 54 hakikat kehancuran Amerika dari dalam, di antaranya sebagai berikut.
Amerika tidak memiliki keteladanan moral, baik politikus, ekonom, agamawan, dan yang paling buruk adalah wartawan.
Kejahatan terus meningkat sampat 600 %, dan 60 % pernah menjadi korban.
Kebohongan sudah melanda luas masyarakat Amerika.
1 dari 7 orang pernah mengalami kekerasan seksual, dan gadis-gadis kehilangan keperawanan sebelum usia 13 tahun.
Penodongan, penjambretan, dan perampokan merajalela, 20 % dari mereka pernah mengalami hal itu.
Broken home menjadi umum, karena anak-anak tidak mendapat kasih sayang.
Minuman keras dan narkoba melanda kawasan umum rakyat Amerika, termasuk free sex.
Satu dari tiga orang yang terkena aids tidak memberitahukan pasangannya bahwa ia terinfeksi.
Satu dari tujuh orang membawa senjata tajam atau senjata api (pistol).
Rasisme dan egoisme menimpa masyarakat umum, dll.
Ini adalah indikasi pertama. Adapun indikasi kedua adalah bahwa perkembangan Islam di Amerika termasuk yang terpesat, sehingga semakin banyak orang Amerika yang memeluk agama Islam. Majalah Mujtama' pernah memuat berita bahwa 10.000 tentara Amerika di Pentagon adalah Muslim. Jadi, Amerika, insya Allah, akan jatuh dari dalam. Semoga kita bisa menyaksikan kehancuran Amerika, seperti kita menyaksikan keruntuhan salah satu negara adi daya: Uni Sovyet, yaitu setelah gagal memenangkan perang dengan Afghanistan. Dan semoga Amerika juga gagal memerangi kaum muslimin di seluruh dunia, yang dilanjutkan dengan kejatuhannya.
Oleh: Farid Ahmad Okbah, M.A., Ketua Majelis Dakwah Al-Irsyad Al-Islamiyyah