Optimalkan Ikhtiar
Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
ManajemenQolbu.Com : Ketika harga diri telah dijadikan salah satu kata kunci utama hidup sebagai Muslim di tengah-tengah pergaulan manusia yang nikmat dalam kelalaian karena diperkuda hawa nafsu ini, maka mudah-mudahan saja Allah mentakdirkan kita menjadi bukti kemuliaan Islam. Siapapun yang dianugerahi karunia ini, niscaya tidak akan lagi mencemaskan kehidupan dunia. Betapa tidak! pertolongan-Nya yang sangat mengesankan akan senantiasa tercurah kepada kita, diminta ataupun tidak, insya Allah.Misalnya, kita ingin membangun mesjid atau lembaga dakwah. Sekiranya kita tidak yakin bahwa Allah Azza Wa Jalla akan siap menolong siapapun yang ingin mendirikan rumah-Nya dan menolong menegakan agama-Nya, niscaya akan dengan mudah, bahkan mungkin penuh kesadaran untuk menukar harga diri kita dengan kepingan-kepingan uang logam yang mungkin nilainya lebih kecil daripada yang diberikan kepada pengemis atau penjaga WC umum.
Kita akan rela mencampakan rasa malu kita dan rela tubuh ini terpanggang terik sinar matahari untuk berjalan berkilo-kilo meter dari pintu ke pintu, berdiri di pinggir jalan raya sambil mengacung-acungkan kotak kencleng, atau mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil di perempatan jalan. Padahal, bukankah "Al-Yad al-'ulya khairun min yad ash-shufla (Tangan di atas itu, jauh lebih baik dari pada tangan yang menengadah di bawah)?".
Mengapa bisa terjadi demikian? Sesungguhnya, keadaan semacam itu sangat dimaklumi. Umat Islam saat ini memang baru terjaga dari tidurnya yang lelap. Dan ketika terjaga, ternyata orang lain sudah banyak berbuat, sudah melangkah begitu jauh dan sudah berbekal sejumlah potensi untuk bersaing. Akibatnya, bisa kita lihat ke dalam diri kita sendiri. Secara syariat lahiriyah, kita memang masih memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal potensi sumber daya manusia, dana, kesempatan, maupun strategi untuk bersaing.
Mengingat hal itu, apakah lantas kita hanya akan mengandalkan kemampuan diri yang nota bene pas-pasan, apa yang bisa kita dapat? Oleh sebab itu, kalau ada yang harus dikuatirkan dalam berjuang membangun mesjid, lembaga dakwah, atau kegiatan apapun demi syiar Islam, hanya satu hal saja, yakni kita tidak lagi ditolong Allah, sekaligus juga membuat kita tergelincir kehilangan harga diri.
Kalaupun kita memilih berjuang sekuat-kuatnya untuk menjaga kemuliaan diri, tak ingin meminta-minta sumbangan, sementara jalan wirausahapun belum membuahkan hasil yang berarti, lalu siapa yang harus kita andalkan? Hendaknya cita-cita kita dalam hidup ini haruslah menjadi orang yang selalu rindu akan pertolongan Allah. Biarlah Dia yang mengatur segalanya bagi kita. Biarlah kita menjadi bagian dari rencana dan strategi-Nya. Karena dengan begitu kita akan menjadi orang yang bisa meraih sukses dalam bidang apapun yang dapat mendatangkan kemaslahatan, sekaligus derajat kemuliaan kitapun tetap terpelihara dan bahkan terentaskan.
Mau berdakwah, melanjutkan sekolah, menempuh ujian, mencari pekerjaan, berwirausaha, atau melakukan apapun, kalau hanya mengandalkan otak dan kemampuan belaka, sungguh amat terbatas. Kita tidak bisa melacak apa yang akan terjadi besok atau lusa. Kita tidak tahu persaingan seberat apa yang akan dihadapi. Kita tidak tahu penipu mana yang akan mengganjal dan menghadang kita. Akan tetapi, kalau Allah berkehendak menolong kita, maka Dia Mahatahu segala-galanya. Sekali-kali tidak akan terhalang karunia dan pertolongan-Nya walaupun bergabung seluruh jin dan manusia untuk menghalanginya.
Jadi, yang harus kita lakukan sekarang juga adalah mencari pertolongan Allah, dengan cara berjuang sekuat-kuatnya agar kita menjadi orang yang layak ditolong oleh-Nya. Akan tetapi, bukankah untuk sampai ke arah itu amat berat? Nah, di sinilah justru letak kesalahannya, menganggap berat perjuangan yang justru belum kita mulai. Padahal Allah sama sekali tidak mempersulit kita. Kita saja yang suka menghalangi datangnya pertolongan Allah itu.
Karenanya, agar kita menjadi orang yang tidak menghalangi pertolongan-Nya, rahasianya adalah memulai dengan membersihkan dan meluruskan niat. Untuk apa kita melakukan suatu usaha? Untuk kepentingan sendiri, bolehkah? Untuk ma'isyah rumah tangga, bolehkah? Kedua-duanya boleh saja. Hanya saja, kalau demi motivasi semacam itu, siapapun dapat melakukannya, bahkan termasuk orang yang tidak beriman sekalipun. Padahal kita harus mendapatkan nilai lebih dari sekedar untuk mencukupi diri atau keluarga.
Ketika ingin berwirausaha, niatkanlah karena ingin memiliki harga diri, agar tidak menjadi beban orang lain. Yang kedua, mudah-mudahan usaha kita menjadi dakwah. Yang ketiga, mudah-mudahan banyak teman kita yang bergabung, sehingga mereka mendapatkan rezeki yang jelas kehalalannya. Dan yang keempat, mudah-mudahan jerih payah kita menbuahkan rezeki yang berlimpah ruah, sehingga bisa menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hendaknya, seperti inilah niat kita. Tidak lagi hanya untuk kepentingan diri dan keluarga, tetapi menjadi melebar untuk kepentingan umat. Inilah awal yang baik.
Kalau niat dan motivasi kita hanya sekedar untuk memperkaya diri, jangan-jangan malah kita tidak pernah menjadi kaya. Lain lagi kalau diniatkan untuk memperkaya umat dan menolong agama Allah, maka Allah lah yang akan menjamin kekayaan kita. Bukankah Dia telah tegas-tegas berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad [47]:7). Haruslah segala apa yang kita cita-citakan bersifat menolong agama Allah, barulah akan datang pertolongan-Nya.
Lalu, siasat seperti apa yang dapat kita lakukan agar menjadi bagian dari orang yang layak ditolong oleh-Nya? Langkah awal yang harus kita lakukan adalah berusaha terus menerus untuk meningkatkan pengenalan kita kepada Allah dalam segala aspek kehidupan untuk mendekatkan diri kepada-Nya semata. Ujung dari semua itu adalah terbangunnya ketaqwaan dan ketawakalan. Tidak takut kecuali hanya pada-Nya, karena Dialah satu-satunya tempat bergantung segala makhluk. Manusia hanya diwajibkan berikhtiar, sedang tercapai atau tidaknya ikhtiar tersebut, semuanya bergantung pada izin Allah, laa haula walaa quwwata illa billah.
Sekiranya kita sudah memiliki kesanggupan seperti itu, maka apa lagi yang harus dicemaskan di dunia ini? Jaminan dan janji Allah itu pasti. Mustahil Dia mengingkarinya. "Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tiada terduga. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah. niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3)
Selamat berbahagia bagi siapapun yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pejuang agama-Nya. Dan selamat merugi bagi siapapun yang dijauhkan dari jalan menuju jaminan pertolongan-Nya.***(Dimuat Di Tabloid MQ)