Kiat Menulis dalam Bahasa Inggris (1)
Juli 6, 2006 · 24 Tanggapan
Kemampuan menulis adalah satu hal dan bagaimana menulisnya dalam Bahasa Inggris
adalah hal lain lagi. Mungkin ada baiknya menyimak pengalaman dan kiat Andreas
Harsono, satu dari sedikit dari penulis Indonesia yang jago menulis dalam Bahasa
Inggris. Terimakasih buat Bung Andreas atas izin pemuatan artikel ini untuk Blog
Jurnalisme.
The ability to write is one thing, and how to write in English is another matter.
There may be a good experience and gather tips Andreas Harsono, one of the few writers
of the blade to write in English. Thank you for Bung Andreas permission of the listing of
this article for Journalism Blog.
Saya punya rahasia. Bekerjalah di harian The Jakarta Post! Saya tak bisa menulis Inggris
sampai saya masuk ke sana pada 1993.
INI pertanyaan gampang-gampang sulit. Bagaimana cara belajar menulis dalam bahasa
Inggris?
Saya bukan guru bahasa Inggris. Tapi saya bisa cerita tentang bagaimana saya sendiri
belajar menulis dalam bahasa Inggris?
Saya punya rahasia. Bekerjalah di harian The Jakarta Post! Saya tak bisa menulis Inggris
sampai saya masuk ke sana pada 1993.
Terima kasih untuk Endy Bayuni, Hartoyo Pratignyo, Oei Eng Goan, Thayeb Sabil dan
Vincent Lingga. Mereka mengajar saya menulis berita dengan struktur piramida terbalik
dalam bahasa Inggris. Ini langkah pertama. Menulis dalam piramida terbalik.
Mula-mula sulit tapi lama-lama biasa juga. Pak Eng Goan mengajari style. Mas Endy
memberitahu saya Thesaurus sehingga spelling bisa kita cek lewat komputer (Bahasa
Indonesia nggak punya khan?).
Lalu setahun di sana, pindah ke harian The Nation di Bangkok. Lebih banyak menulis
feature. Itu pertama kali saya sadar bahwa standar jurnalisme di sana beda dengan di sini.
Mereka pakai byline, pakai firewall, mempekerjakan kolumnis dan sebagainya. Ini
praktek yang tak ada dalam jurnalisme ala Palmerah hingga Kebon Jeruk.
Belakangan baru sadar standar di media Palmerah, termasuk harian Kompas, Media
Indonesia, Tempo, Gatra dan rombongannya, termasuk ketinggalan banget dari rekan
mereka di Bangkok atau Hong Kong.
The Nation belakangan menunjuk saya jadi kolumnis. Digaji tiap bulan. Lumayan
gajinya dalam dollar Amerika. Bisa buat menabung. Apalagi saat krisis moneter. Satu
dollar pernah jadi Rp 23,000.
Tahun 1996, tiap minggu menulis kolom di halaman editorial. Mereka memberi
kesempatan saya menulis panjang, satu halaman penuh, terkadang lebih. Mewah banget
bukan? Umur saya baru 31 tahun.
Di sana saya melatih diri menulis esai, sebaik-baiknya. Mulai dari soal skandal bisnis
emas Busang, Timor Lorosae, Aceh, Partai Rakyat Demokratik, Sri Bintang Pamungkas,
Aung San Suu Kyi, kebrutalan tentara Indonesia dan sebagainya. Saya juga boleh
menulis untuk media lain asal bukan saingan The Nation –misalnya The Bangkok Post.
Maka saya menulis untuk The American Reporter secara gratisan. Saya suka karena The
American Reporter mencoba jadi media alternatif di Amerika Serikat. Saya dibayar kalau
berita dipakai media lain. Joe Shea, editor di sana, banyak membantu meningkatkan mutu
reportase saya. Dia juga mengomel kalau salah grammar. (bersambung)
Kiat Menulis dalam Bahasa Inggris (2)
Juli 7, 2006 · 31 Tanggapan
Kemampuan menulis adalah satu hal dan bagaimana menulisnya dalam Bahasa Inggris
adalah hal lain lagi. Mungkin ada baiknya menyimak pengalaman dan kiat Andreas
Harsono, satu dari sedikit dari penulis Indonesia yang jago menulis dalam Bahasa
Inggris. Terimakasih buat Bung Andreas atas izin pemuatan artikel ini untuk Blog
Jurnalisme.
*
Belajarlah mula-mula dengan piramida terbalik. Lalu feature dan analisis. Lalu narasi.
Sebagai kolumnis, saya melatih diri berargumentasi, mencoba menyakinkan orang yang
tak setuju dengan saya, agar mengerti isu yang saya kemukakan. Setidaknya, mereka
setuju dengan metode analisisnya. Saya banyak belajar bagaimana menulis opini dari
situs web Pulitzer Prize. Di situ banyak contoh. Saya menggunakan kata-kata sederhana
saja. Kalau kesulitan, saya mencari kamus atau menelepon teman yang native speaker.
Ketika dapat beasiswa dan belajar di Universitas Harvard, barulah saya mengerti ada
struktur yang lebih rumit lagi: NARASI.
Kerennya, disebut “jurnalisme sastrawi.” Anda menyebutnya “penulisan kreatif.” Saya
lebih suka nama “narasi” tapi nama “jurnalisme sastrawi” lebih populer. Padahal salah
kaprah sering muncul. Dikiranya, ini penulisan fakta yang mendayu-dayu dan puitis.
Bill Kovach, guru saya di Harvard, mendorong saya belajar narasi. Kovach juga
mententir harus baca buku apa? Tiap minggu ia cek. Sudah selesai? Kalau sudah, ia beri
judul lagi. Black Hawk Down. Philadelphia Aurora. The New York Times. CBS. The
New Yorker, Scotty Reston, Harold Ross, David Halberstam dan sebagainya.
Pulang dari Boston, menulis untuk media internasional secara freelance, sambil
menyunting majalah Pantau. Inilah periode ketika saya benar-benar belajar dan berlatih
bersama rekan-rekan Pantau lainnya: Agus Sopian, Agus Sudibyo, Alfian Hamzah,
Budiman S. Hartojo, Budi Setiyono, Chik Rini, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, Hamid
Basyaib, Helena Rea, Heru Widhi Handayani, Indarwati Aminuddin, Irawan Saptono, Ni
Luh Sekar, Linda Christanty, Max Wangkar, Sirikit Syah, Veven Sp. Wardhana dan masih
banyak lainnya (sorry rek nek ono sing lali).
Sambil menulis dalam Bahasa Indonesia, saya juga membandingkannya dengan bahasa
Inggris. Saya sendiri nggak punya bahasa ibu yang official. Saya lahir di Jember, satu
kota tembakau di Jawa Timur. Nama pemberian orang tua saya, “Ong Tjie Liang,” tapi
oleh rezim Orde Baru, kami dipaksa ganti jadi nama “Indonesia.” Nama “Ong Tjie
Liang” dianggap “bukan Indonesia,” dianggap belum membaur. Papa orang Hokkian.
Mama orang Hakka. Di jalanan, kami memanggil satu dengan lainnya dengan “lu” dan
“gua.” Tapi nenek kecil orang Jawa asal Tuntang, Malang. Saya memanggilnya “kima.”
Jadi saya besar dengan budaya campuran. Besar dengan Man Tuka yang Madura. Mbek
Wie yang Madura. Pak Tie yang Jawa. Masa kecil yang menggembirakan. Omong
Madura, Jawa, Melayu, Hokkian.
Enak. Gado-gado. Kamsia. Kulo nuwun. Sampeyan. Kebacut. Selangkong. Dan (maaf)
Diancuk.
(Kata terakhir itu difamilierken lagi ke kuping saya oleh Alfian Hamzah dalam “Kejarlah
Daku Kau Kusekolahkan.” Alfian sendiri belajar dari anggota-anggota Batalyon Infanteri
521/Dadaha Yodha Kediri yang bertugas di Aceh Barat pada 2002).
Ketika kecil, juga ada bahasa Indonesia ala TVRI dan RRI –yang rasanya keriting di
kuping tapi mereka bilang inilah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika duduk di
bangku SMPK Maria Fatimah Jember, belajar bahasa Inggris dengan Pak Hur, guru
bahasa Inggris di sana. Saya paling muda sekelas.
Ketika masuk SMAK St. Albertus Malang, ambil kursus bahasa Inggris privat, di rumah
seorang dosen IKIP Malang. Bahkan sudah lupa namanya. Tante itu baik sekali. Lalu
sempat les bahasa Jerman di satu pusat kursus di Malang. Juga lupa namanya. Cuma
ingat, “Ich liebe dich.” Tapi punya temen-temen yang hebat, yang mengajar saya untuk
belajar apa saja untuk maju. Pastor kepala sekolah kami, Pater E. Siswanto, juga orang
liberal yang berpikir terbuka. Hidupnya penuh tragedi tapi ia mendidik kami dengan
terbuka. Keluarganya mati dibunuh perampok.
Masuk kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, daerah pekat Jawa-
Mataram, yang makanannya terasa berlebihan manis untuk lidah Jember saya. Logat
Jawatimuran dianggap kasar. Apalagi omong kata, “Diancuk.” Padahal di Malang dan
Jember, “diancuk” adalah bumbu omongan perkoncoan. Nggak apa-apa. Belajar Kromo
Inggil untuk pergaulan. Orang Cina, to be politically correct, orang Tionghoa, disana juga
alus-alus Kromo Inggil.
Di Salatiga, juga kerja sebagai aktivis grassroot (ceile!) dengan para sais dokar. Tiap hari
ada di terminal dokar Margosari. Orang-orang Jawa tapi “ngoko.” Komboran. Jaran.
Suket. Maka mulailah saya dikenal sebagai “Mas Andreas” oleh Pak Achmadi, Mas
Sukardi, Mas Slamet, Bu Endang, Mas Wagimin dan sebagainya. Lalu sempat mengajar
bahasa Inggris untuk anak-anak mereka, dan dipanggil, “Oom Andreas.”
Lulus kuliah, saya bekerja di Phonm Penh. Bicara bahasa Inggris tapi sempat ambil
kursus bahasa Khmer, sehingga bisa bilang, “Cum riep sak sabai?” Artinya, “How are
you?” atau “Are you okay?” Lalu tukang masak di rumah indekost, sering mengajar
kalimat, “Rom Khmer Grohom.” Artinya, “Crush the Khmer Rouge.” Serem. Hi. Orang
Khmer masih trauma dengan “Killing Fields” ala Khmer Rouge. Bahkan koki di rumah
tak suka dengan Khmer Grohom.
Saya belajar dengan sering switching bahasa. Logika, sering bolak-balik antara logika
Melayu, Madura, Jawa dan Inggris. Kalau berhitung dalam hati, saya menggunakan
Mandarin, “Ik, ol, san, tse, u, liok ….” Suka sekali main-main dengan kosakata. Adam
Ellick, rekan dari Fulbright yang kebetulan sering main ke Pantau, mengatakan
pemakaian kata Melayu dalam karya bahasa Inggris saya, membuatnya jadi kenal kalau
ini karya saya. Suatu saat, Adam ketemu suatu karya soal bajak laut di Batam. Ia merasa
akrab dengan gaya itu. Tapi tak ada byline. Ia menduga karya saya. Ternyata benar.
Saya cinta dengan bahasa-bahasa. Goenawan Mohamad, mentor saya di Institut Studi
Arus Informasi, mengatakan saya punya bakat di bidang bahasa. Saya tak tahu. Saya
hanya tahu imajinasi bahasa melampaui khayalan saya sendiri. Kita tak pernah tahu batas
dari kata-kata kita sendiri. Terkadang satu pokok pikiran saya tuangkan dalam dua bahasa
dengan khayalan atas dua audiens yang berbeda. Menulis khan soal khayalan tentang
audiens bukan?
Jadi bagaimana resepnya? Belajarlah. Mulai sekarang juga. Seraplah sebanyak mungkin
bahasa. Bukan hanya bahasa Indonesia. Tapi semuanya. Ia akan memperkaya nalar dan
komparasi berbahasa Anda. Ia akan membuat jarak bahasa jadi sempit, bahkan mesra.
Grammar hanya soal logika. Belajarlah mula-mula dengan piramida terbalik. Lalu feature
dan analisis. Lalu narasi.
Mudah-mudahan cerita ini membantu Anda. Mohon maaf, ini bukan jawaban seorang
guru bahasa Inggris. Tapi seorang wartawan. Terima kasih dan selamat belajar.
Kategori: Blogging · Campus Press · Citizen Journalism · Features · Media · Online
Journalism · Peace Journalism · Print Journalism · Publisher · Tips & Trick · Writing
Kiat Menulis Artikel Iptek di Media
Juni 5, 2006 · 10 Tanggapan
Dalam kapasitas saya sebagai redaktur halaman Iptek di Koran Tempo, saya sering
ditanya bagaimana kriteria sebuah artikel Iptek yang layak muat. Pekan lalu, ada teman
yang menanyakan hal ini via e-mail. Jawabannya saya tulis panjang-lebar dan saya
posting di Blog agar yang lain juga bisa membacanya. Lagi pula, menulis artikel Iptek di
Blog juga tak kalah menariknya. Semoga bermanfaat.
HAMPIR setiap suratkabar harian dan mingguan memuat berita-berita dan artikel populer
ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan dekade sebelumnya, berita dan tulisan
iptek tidak lagi dipandang sebagai suatu yang eksklusif, tetapi sudah menjadi bacaan bagi
masyarakat luas. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didorong
oleh teknologi informasi seperti Internet, berhasil menggugah keingintahuan masyarakat
terhadap sains.
Belum lagi peristiwa-peristiwa alam, mulai dari banjir, gempa bumi, wabah penyakit,
hingga kecelakaan pesawat terbang, yang semuanya itu bisa dijelaskan melalui
pendekatan sains, membuat masyarakat mulai akrab misalnya dengan istilah daya dukung
lingkungan (carrying capacity), daerah tangkapan air (DTA), retakan bawah di
permukaan bumi, evolusi virus, hingga istilah-istilah teknis dalam penerbangan
(aviation). Masyarakat ingin tahu lebih banyak soal itu dengan tujuan bisa melakukan
antisipasi jika suatu saat hal itu dialaminya sendiri.
Maka tidaklah mengherankan, media massa terus mencoba memenuhi kebutuhan
pembacanya akan sajian-sajian Iptek. Dengan intensitas dan visi redaksional yang
berbeda-beda, setiap media akan mencoba menyajikan tulisan-tulisan Iptek sesuai selera
dan segmen pembacanya. Namun, dalam fungsinya sebagai media massa – dan bukan
sebagai jurnal ilmiah untuk komunitas ilmuwan tertentu saja – tulisan-tulisan tersebut
tentulah ditampilkan dengan bahasa dan gaya penulisan yang populer.
Jika berita-berita Iptek – yang bisa berupa laporan peristiwa, wawancara maupun hasil
penelitian para ilmuwan dan peneliti – disiapkan oleh redaksi media massa itu sendiri,
sebaliknya artikel iptek berasal dari luar media, yakni dari para penulis, peneliti,
ilmuwan, dan pencinta iptek. Berbeda dengan umumnya staf redaksi media yang lebih
berbekal pengalaman riset, wawancara dan reportase di lapangan, kalangan penulis luar
ini berasal dari disiplin ilmu dan latar pendidikan yang memadai. Mereka ini adalah
ilmuwan itu sendiri. Karenanya, para penulis ini dituntut menulis lebih mendalam, tajam,
akurat, dan tentu saja dengan gaya penulis yang populer sehingga lebih mudah
dimengerti masyarakat luas.
Media massa nasional misalnya, pada umumnya menyediakan tempat yang luas untuk
pemuatan artikel-artikel iptek populer ini. Namun masalahnya, mereka kesulitan
mendapatkan artikel iptek yang menarik dari segi topik, baru dari segi sudut pandang
(angle) dan aktual dari segi peristiwanya. Tidak sedikit artikel-artikel yang bagus dari sisi
kajiannya, tapi tak bisa dimuat karena sama sekali tidak relevan dengan peristiwa yang
sedang terjadi di tengah masyarakat.
Bagi para peneliti dan ilmuwan yang ingin tulisannya dimuat di media massa, kecermatan
memperhatikan kriteria artikel yang layak muat sangat diperlukan. Sebetulnya hal itu bisa
dipelajari sendiri dengan cara mencermati artikel-artikel yang sudah dimuat. Coba
perhatikan, kira-kira apa yang menarik dari artikel yang sedang Anda baca itu sehingga
dimuat di suratkabar?
Berikut beberapa kriteria utama bagi artikel-artikel iptek yang bisa dipertimbangkan
untuk dimuat:
Aktual. Hal pertama yang diperhatikan redaktur media ketika menerima kiriman artikel
adalah aktualitasnya. Adakah newspeg-nya? Adakah cantolan aktualitasnya pada
peristiwa atau kegiatan yang sudah dan sedang berlangsung? Newspeg ini bisa berupa
peristiwa itu sendiri, misalnya wabah demam berdarah, banjir, pendaratan wahana robotik
di Mars atau bisa juga berupa aktivitas ilmiah seperti adanya kongres ilmuwan nasional
maupun dunia mengenai suatu topik ilmu. Peristiwa penganugerahan Hadiah Nobel juga
bisa dijadikan peg, bisa ke peristiwanya sendiri, atau terkait pada temuan ataupun
biografi para pemenang Nobel itu sendiri. Jadi, jika “tidak ada angin, tidak ada ribut”
tiba-tiba Anda menulis tentang bioteknologi misalnya, tulisan Anda tidak akan berada
pada daftar prioritas yang akan dimuat. Jika tulisan Anda tentang bioteknologi ini benarbenar
bagus, tapi tidak aktual, ada kalanya redaktur menyimpannya dulu sambil
menunggu peg-nya, baru kemudian dimuat. Tapi ini jarang sekali terjadi, sebab begitu
tulisan Anda dinilai tidak aktual, biasanya segera diputuskan untuk tidak dimuat atau
dikembalikan kepada Anda
Mengandung unsur baru. Jika tulisan Anda sudah aktual, hal lain yang akan diperhatikan
redaktur adalah adakah unsur baru dalam tulisan tersebut. Unsur baru ini bisa dilihat dari
angle (sudut pandang) tulisan – dalam penulisan karya ilmiah angle ini mungkin mirip
dengan perumusan masalah – maupun data-data dan informasi baru yang disajikan.
Apakah angle tulisan Anda menarik atau tidak? Sekarang kita ambil contoh. Taruhlah
Anda ingin menulis soal wabah flu burung. Jika Anda mengambil angle soal karakteristik
flu burung ini, angle serupa pasti banyak dipilih oleh penulis lain. Akibatnya, tulisan
Anda harus bersaing dengan para penulis lain, syukur-syukur bisa lolos. Namun, jika
Anda memilih angle yang lain, yang menurut Anda pasti tidak banyak diperhatikan oleh
penulis lain, berarti Anda sudah selangkah lebih maju dan kemungkinan tulisan Anda
untuk dimuat tentu lebih besar lagi. Lalu, seperti apa misalnya angle yang tampil beda
itu? Banyak sekali. Anda misalnya, bisa memilih angle evolusi yang sedang berlangsung.
Jika dulu, virus tertentu hanya bisa berpindah antara sesama hewan, kini sudah terjadi
perpindahan antara hewan dan manusia dengna merujuk ada kasus mad cow, SARS dan
flu burung (jadi wabah SARS atau flu burung sebagai peg saja). Jika Anda berhasil
mengungkapkan argumen yang meyakinkan soal evolusi virus, akan sulit bagi redaktur
untuk tidak memuat tulisan Anda.
Kerangka atau sistematika tulisan. Secara substansial, tidak ada perbedaan antara
kerangka penulisan artikel iptek populer dengan artikel ilmiah; setidaknya mengandung
tiga komponen utama, yakni pendahuluan, bagian isi dan bagian akhir yang berisi
kesimpulan dan saran. Namun untuk artikel iptek populer, pemisahan itu sengaja dibuat
tidak begitu nyata. Artinya, Anda tidak perlu menulis sub-judul dalam tulisan dengan
Pendahuluan, Isi dan Penutup, tetapi bisa Anda ganti sub-judul lain yang lebih menarik,
tapi tetap mengandung ketiga komponen di atas. Makin rajin Anda menulis artikel
populer, pasti Anda akan terbiasa dengan dengan struktur penulisan yang sesungguhnya
tidaklah asing bagi Anda.
Gaya penulisan. Jika tulisan Anda sudah aktual dan mengandung unsur baru, langkah
berikutnya yang harus diperhatikan adalah gaya penulisan. Sering kali tulisan yang
menarik tapi harus ditolak hanya karena gaya penulisannya sangat “academic-heavy” dan
dipenuhi dengan istilah-istilah yang tak disertai padanannya dalam bahasa Indonesia.
Anda harus membayangkan, redaktur tidak punya banyak waktu untuk mengedit kembali
tulisan Anda, jadi dia cenderung akan memuat tulisan yang sudah jadi dan siap muat saja.
Karenanya, cobalah tulis gagasan dan pemikiran Anda dalam bahasa yang sederhana,
populer dan hidup. Tempatkan diri Anda sebagai pembaca awam ketika Anda sedang
memeriksa hasil akhir tulisan Anda. Kalau Anda merasa istilah yang digunakan masih
terlalu “berat”, carilah padanan lain yang yang lebih pas – tentunya dengan tidak
mengurangi makna ilmiah yang sebenarnya.
Bahan pendukung. Jangan lupa melengkapi tulisan Anda dengan dengan bahan, foto,
gambar, grafik, ilustrasi dan tabel pendukung. Ingat, sebagai artikel iptek, Anda tentu
berurusan dengan data, skema, angka, rumus dan referensi tertentu, yang dapat
mendukung argumen Anda dalam tulisan tersebut dan Anda merasa hal itu penting untuk
diketahui masyarakat.
Untuk menyiasati hal di atas, memang harus dimulai dari diri Anda sendiri. Tidak
mungkin Anda bisa mendapatkan topik tulisan yang aktual jika Anda tidak mengikuti
perkembangan yang terjadi. Jadi cobalah untuk mengkliping berita maupun tulisan yang
menarik dan cocok dengan minat Anda. Semakin kaya referensi yang Anda gunakan,
akan semakin hidup dan menatik tulisan yang Anda sajikan.
Selain itu, hal-hal nonteknis juga berperan dalam mendorong bermunculannya penulispenulis
iptek andal. Anda harus punya motivasi yang kuat untuk menulis di media massa,
karena ini merupakan salah satu cermin tanggungjawab moral Anda sebagai ilmuwan dan
peneliti. Sampaikanlah ilmu yang Anda miliki kepada masyarakat yang membutuhkan.
Jangan disimpan di dalam laci saja.
Setelah memiliki motivasi, hal lain yang harus Anda miliki adalah ambisi dan militansi.
Ambisi dan militansi akan membuat motivasi Anda menjadi efektif dan bisa digerakkan.
Ketika Anda ingin menulis sesuatu karena topik tersebut memang sangat hangat,
lakukanlah segera, dan jangan menunda-nundanya. Bagaimana pun, proses penerimaan
naskah, pemeriksaan dan pemuatan oleh redaksi, setidaknya membutuh waktu paling
cepat dua-tiga hari. Jadi Anda harus berburu waktu untuk menghindari tulisan Anda tidak
jadi basi.
Dengan militansi yang tinggi, kendala-kendala seperti kesibukan mengajar, meneliti atau
mengurusi jurusan, sama sekali tidak akan menghalangi langkah Anda untuk menjadi
penulis iptek yang andal. Dengan militansi yang tinggi, Anda juga tidak perlu merasa
kecewa jika tulisan Anda ditolak, tapi mestinya akan terus memacu Anda untuk menulis
lebih baik lagi. Anda tentu pernah membaca, tidak sedikit penulis-penulis yang terkenal
saat ini, ketika memulai aktivitas menulisnya, menemukan kenyataan tidak sedikit
tulisan-tulisannya yang dikirim ke media yang ditolak redaksi.
Ketika tulisan-tulisan Anda dimuat di media massa, sesungguhnya banyak sekali
keuntungan yang bisa diperoleh. Selain masyarakat mendapatkan manfaat setelah
membacanya, Anda juga akan dikenal luas, bisa pula menambah credit point (Kum) bagi
dosen untuk naik pangkat, dan Anda juga dapat sejumlah uang karena memang ada
honornya.
Jadi? Tidak ada resep ampuh apapun agar dapat menjadi penulis iptek terkenal, selain
dengan memulainya dari sekarang!
Catatan: Artikel ini sudah pernah diposting di [theGadget!]